Seluruh
alasan untuk mempelajari Dhamma, ajaran Sang Buddha, adalah guna menyelidiki:
cara mengatasi penderitaan serta mencapai kedamaian dan kebahagiaan. Apakah kita mau mempelajari fenomena fisik
atau mental, pikiran (citta) atau faktor-faktor psikologikal-nya (cetaskas),
hanya manakala kita menjadikan pembebasan-dari-penderitaan sebagai tujuan-utama
kitalah maka itu berarti kita ada di jalur yang benar — tak lebih, tak kurang.
Penderitaan mempunyai sebab dan kondisi bagi keberadaannya.
Harap
dipahami dengan jelas bahwa sesungguhnya saat pikiran ini diam, ia ada dalam
keadaan alami-nya —keadaan normalnya. Namun begitu pikiran ini bergerak, ia
menjadi terkondisi (sankhâra). Ketika pikiran terpikat pada suatu hal, ia
menjadi terkondisi (conditioned). Saat kebencian timbul, ia menjadi terkondisi.
Dorongan
untuk goyang kesana kemari ini timbul dari pengkondisian. Jika ke-awas-an
(awareness) kita kalah cepat dengan munculnya keadaan mental yang segera
berentet berkembang-biak itu, maka pikiran ini akan goyah — larut membuntuti
serta terkondisi olehnya.
Kapanpun
pikiran bergerak, pada saat itu, ia menjadi sebuah realitas-konvensional.
Maka
Sang Buddha mengajarkan kita untuk merenungkan kondisi yang mengacaukan pikiran
itu. Kapanpun pikiran bergerak, ia menjadi tidak stabil dan tak permanen
(anicca),tak memuaskan (dukkha) dan bukan sebuah diri (anattâ).
Ini
merupakan tiga corak universal dari semua fenomena yang terkondisi. Sang Buddha
mengajarkan kita mengamati serta mengkontemplasikan pergerakan pikiran ini.
Demikian
pula halnya dengan ajaran mengenai sebab-musabab saling bergantungan
(paticca-samuppâda):kekelirutahuan (avijja) merupakan sebab dan kondisi
timbulnya bentuk-bentuk karma kehendak (sankhâra); yang mana kemudian menjadi
sebab dan kondisi bagi munculnya kesadaran (viññana); lalu merupakan sebab dan
kondisi bagi munculnya bathin dan jasmani (nâma-rûpa) dan seterusnya,
sebagaimana yang kita pelajari dalam kitab suci.
Sang
Buddha memilah setiap mata-rantai agar membuatnya lebih mudah dipelajari.
Sebenarnya ini merupakan penjelasan yang akurat dan teliti tentang realita,
tetapi ketika hal ini sungguh terjadi di kehidupan nyata, [pikiran] para
cendekiawan kalah sigap, tak mampu mengikuti proses ini. Bagai jatuh
terjerembab dari atas pohon hingga menghantam tanah. Kita tak lagi tahu berapa
banyaknya ranting yang telah kita lewati sepanjang proses jatuh itu. Sama
seperti tatkala pikiran ditubruk oleh suatu kesan mental — apabila tergiur
olehnya, maka pikiran ini segera melayang-layang ke dalam suasana bathin yang
menyenangkan; ia menganggapnya sebagai suatu hal yang baik tanpa menyadari
rantai kondisi yang menyebabkannya.
[Urutan]
proses ini memang berjalan sesuai dengan uraian dalam teori, namun pada saat
yang sama ia juga melampaui batas-batas teori tersebut.
Tidak
ada yang mengumumkan, “Ini lho kebodohan. Ini lho bentuk-bentuk karma, dan
inilah kesadaran”.
Proses
tersebut manakala sungguh sedang terjadi [berlangsung begitu cepat] tak lagi
memberi kesempatan bagi para cendekiawan untuk membaca tabel itu. Walaupun Sang
Buddha telah menganalisa dan menjelaskan urutan momen-momen pikiran dengan amat
rinci, namun bagi saya kejadiannya lebih mirip seperti jatuh dari pohon. Tiada
lagi ada kesempatan bagi kita untuk memperkirakan berapa meter kita telah terjatuh.
Apa yang kita ketahui cuma: kita menubruk tanah dengan keras dan itu
menyakitkan!
Begitu
juga dengan pikiran ini. Saat ia terjatuh untuk suatu hal, apa yang kita sadari
hanyalah rasa-sakitnya. Dari manakah datangnya semua penderitaan ini, rasa
sakit, kesedihan dan keputus-asaan? Mereka tidak datang dari teori yang ada
dalam buku. Tiada dimanapun jua tempat rincian penderitaan ini dituliskan.
Penderitaan kita takkan sama persis dengan teori, tetapi keduanya melintasi
jalan yang sama.
Jadi
sekedar kecendekiawanan itu saja tidaklah bakal mampu mengikuti kenyataan.
Itulah sebabnya Sang Buddha mengajarkan kita untuk mengembangkan pemahaman yang
jelas (clear knowing) bagi diri kita sendiri. Apapun yang muncul, muncul dengan
diketahui. — Manakala “yang-mengetahui” mengetahuinya sejalan dengan kebenaran
(truth), maka pikiran ini beserta faktor-faktor mentalnya pun bakal dikenali
sebagai: bukan-milik-ku. Dan pamungkasnya, semua fenomena itu adalah cuma untuk
ditinggalkan — dibuang layaknya sampah. Kita musti jangan melekat atau memberi
arti apapun padanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar