Berjalan
di Jalan Tengah Sang Buddha itu sungguh penuh tantangan dan tak mudah. Ada dua
ekstrim, baik dan buruk.
Jika
kita percaya apa yang orang katakan, kitapun nurut dan melaksanakannya. Kalau
ada seseorang menjengkelkan, kita serta merta membalas orang itu. Tidak ada
kesabaran dan ketabahan (khanti). Bila mencintai seseorang, kita maunya
melindunginya dari kepala hingga tumit. Benar tidak? Kedua sisi jalur ini
meleset dari tengah. Ini bukan yang dianjurkan Sang Buddha. Ajaran beliau
adalah: bertahap letakkan segala sesuatunya.
Latihannya
merupakan sebuah jalan yang menuntun keluar dari keberadaan, lepas dari
kelahiran kembali — sebuah jalan yang bebas dari proses menjadi, kelahiran,
kebahagiaan, ketidak-bahagiaan, baik dan buruk.
Orang-orang
yang kecanduan eksistensi buta akan jalan tengah. Mereka meleset keluar dari
Jalan, jatuh pada sisi kesenangan, — lalu sepenuhnya malah melewatkan yang di
tengah saat menyebrang ke sisi ketidak-puasan dan kejengkelan.
Mereka
terus melewatkan yang ada di tengah. Tempat suci ini tidak terlihat bagi mereka
saat mereka tergopoh-gopoh pulang-pergi. Mereka tidak singgah di tempat yang
tanpa keberadaan dan tiada-kelahiran. Mereka tidak menyukainya, jadi mereka tak
mau tinggal. Keluar dari rumah, mereka digigit anjing atau naik ke atas mereka
dipatuk burung nasar. Inilah keberadaan (existence).
Manusia
itu buta terhadap hal yang bebas dari eksistensi yang tiada kelahiran kembali.
Hati manusia buta terhadap itu, jadi ia berulang kali melewatinya dan
mengabaikannya.
Sang
Buddha berjalan di Jalan Tengah, merupakan jalan praktik yang benar, yang
mengatasi keberadaan dan kelahiran-kembali.
Pikiran
melampaui kebaikan dan keburukan. Ini merupakan jalan para bijak yang damai.
Jika kita tidak menjalankannya kita tidak akan pernah menjadi seorang bijak
yang tenang. Kedamaian takkan berkesempatan untuk mekar. Mengapa? Karena
keberadaan
dan kelahiran kembali. Karena ada kelahiran dan kematian.
Jalan
Buddha tidak ada kelahiran atau kematian.
Tidak
ada rendah dan tidak ada tinggi. Tak ada kebahagiaan dan tiada penderitaan.
Tiada baik dan tiada buruk. Ini merupakan jalan yang lurus.
Ini
merupakan jalan yang damai dan hening. Kedamaiannya bebas dari kesenangan dan
kesakitan, kebahagiaan dan kesedihan. Inilah cara mempraktikkan Dhamma. Saat
mengalaminya, pikiran dapat berhenti. Ia dapat berhenti bertanya. Tak perlu
lagi mencari jawaban.
Di
sana! Inilah makanya Sang Buddha mengatakan bahwa yang bijaksana mengetahui
langsung oleh diri mereka sendiri. Tidak perlu lagi bertanya kepada orang lain.
Kita mengerti jelas oleh kita sendiri tanpa sedikitpun keraguan bahwa segala
hal memang tepat persis seperti yang dikatakan Sang Buddha.
Demikian
saya telah menceritakan beberapa cerita tentang bagaimana saya berlatih. Saya
tidak memiliki banyak pengetahuan. Saya tidak belajar (study) banyak. Apa yang
telah saya pelajari adalah bathin dan pikiran saya, saya mempelajarinya
secara
alamiah melalui pembuktian, percobaan dan kesalahan-kesalahan.
Saat
saya menyukai sesuatu, saya akan menyelidikinya ke mana ia akan pergi dan akan
menjadi apa.
Yang
pasti akhirnya hal ini membuat saya cukup menderita.
Praktik
saya adalah untuk mengamati diri sendiri. Seiring dengan pemahaman dan insight
yang mendalam, lambat laun saya jadi memahami diri saya sendiri.
Berlatihlah
dengan tekun dan tanpa gentar! Jika anda ingin praktik, cobalah untuk tidak
berpikir-pikir terlalu banyak. Saat bermeditasi, kalau menyadari bahwa anda
sedang memaksakan diri untuk mencapai sesuatu, lebih baik berhenti.
Ketika
pikiran anda menjadi tenang dan anda mulai berpikir, “Ini dia!
Bukankah
ini? Inikah?”, maka berhentilah juga. – Bungkus,simpan, letakkan saja
pengetahuan analitis dan teoritis anda dalam dada. Dan jangan mengeluarkannya
untuk berdiskusi atau untuk mengajar. Itu bukanlah bentuk pengetahuan yang
berasal
dari dalam. Mereka merupakan bentuk pengetahuan yang lain.
Kenyataan
sesuatu hal yang terlihat tidak sama dengan penjelasan yang tertulis.
Contohnya, katakanlah kita menulis kata “nafsu indera”. Tatkala nafsu indera
sungguh menyerang bathin ini, maka ungkapan tertulisnya tidaklah mungkin sama
dengan
kenyataan yang sesungguhnya. Ia sama dengan “kebencian”.
Kita
dapat menulis huruf-hurufnya pada papan tulis, tetapi hal ini tidak sama saat
kita sungguh-sungguh mengalami kebencian. Kita tak sempat lagi membaca
huruf-huruf tersebut, dan bathin kita sekejab ditelan api kemarahan.
Ini
merupakan sebuah titik yang amat penting. Pengajaran teoritis itu memang benar
akurat, namun sangat penting untuk merasukkannya ke dalam hati. Ia harus
di-internalisasi.
Dhamma
yang tidak meresap ke dalam bathin, belum benarbenar diketahui.
Ia
belum benar-benar dipahami. Tidak berbeda dengan saya. Saya tidak belajar
secara luas, tetapi sayamemang sudah belajar cukup buat lulus ujian teori
Buddhis.
Pada
suatu hari saya berkesempatan mendengarkan kotbah dari seorang master meditasi.
Seiring saya mendengarkannya timbul pemikiran yang tidak hormat.
Saya
tidak tahu bagaimana mendengarkan kotbah Dhamma yang sesungguhnya. Saya tidak
dapat membayangkan apa yang sedang dibicarakan oleh bhikku meditasi pengembara
yang membingungkan ini. Dia mengajar seakan-akan datang dari pengalaman
langsungnya,seolah-olah dialah kebenaran itu.
Seiring
berjalannya waktu saya memperoleh pengalaman langsung di dalam praktik.
Saya
menyaksikan sendiri kebenaran pada ajaran guru tadi.
Saya
mengerti bagaimana memahaminya. Insight pun kemudian muncul mengikuti
keterjagaan ini. Dhamma mulai mengakar di dalam bathin dan pikiran saya. Ini
memerlukan waktu yang cukup lama sebelum saya benar menyadari bahwa segala yang
diajarkan oleh bhikku pengembara tersebut datang dari apa yang telah ia saksikan
sendiri. Dhamma yang diajarkannya datang langsung dari pengalamannya sendiri,
bukan dari buku. Ia berbicara menurut pandangan-terang (insight) dan
pemahamannya. Ketika saya menempuh Jalan itu sendiri, saya menjumpai setiap
detail yang telah dijelaskan dan mesti mengakui bahwa dia benar.
Maka
sayapun berlanjut.Berjuanglah, berusaha mengambil setiap kesempatan yang ada
untuk praktik Dhamma. Apakah jadinya menenangkan atau tidak, jangan risaukan
itu dulu. Yang terpenting adalah membuat roda-praktik ini segera menggelinding
dan membangun sebab-sebab bagi pembebasan di waktu mendatang.
Kalau
anda sudah melaksanakan tugas ini, tak perlu mengkhawatirkan hasilnya. Jangan
cemas manakala anda belum memperoleh hasil.
Kecemasan
bukanlah kedamaian. Kalau sebaliknya, anda tidak melaksanakan pekerjaan
tersebut,bagaimana anda boleh mengharapkan hasil? Jangan pernah
berharap.
Hanya dia yang mencari, yang menemukan. Siapa yang makan dialah yang kenyang. —
Segala sesuatu di sekeliling kita, membohongi kita. Mengenali ini walaupun
sampai sepuluh kali masih tetap lebih baik.
Namun
penipu tua itu terus mencelotehkan kebohongan-kebohongan kuno dengan trik-trik
usang. Masih lumayanlah jika kita tahu tipuan mereka; tetapi hal itu bisa jadi
butuh waktu yang lama sebelum kita menyadarinya. Konco lawas itu terus datang
dan mencoba memperdayai kita dengan bualannya dari waktu ke waktu.
Mempraktikkan
Dhamma berarti menegakkan kebajikan, mengembangkan samadhi dan menumbuhkan
kebijaksanaan dalam hati kita. Mengingat dan merenungi tiga permata: Sang
Buddha, Dhamma, dan Sangha. Tinggalkan semuanya total tanpa kecuali.
Tindakan-tindakan kita merupakan sebab dan kondisi yang akan berbuah dalam
kehidupan ini. Jadi berjuanglah dengan tekun.
Kendati
harus duduk di kursi untuk meditasi, tetap mungkin untuk memusatkan perhatian.
Pada awal latihan kita hanya perlu memusatkan perhatian pada nafas. Jika suka
boleh juga dalam hati melafal kata “Buddha”,”Dhamma”, atau “Sangha” bersamaan
dengan setiap nafas. Pastikan untuk tidak mengontrol nafas saat memusatkan
perhatian. Apabila nafas terasa tak teratur dan tak nyaman, ini tanda bahwa
kita belum melakukannya dengan benar. Selama kita belum merasa nyaman dengan
nafas ini, ia akan terasa terlalu dangkal atau terlalu dalam, terlalu halus
atau terlalu kasar. Tetapi bagaimanapun kita akan merasa rileks dengan nafas
kita suatu saat, merasakan senang dan nyaman. Menyadarinya dengan jelas setiap
tarikan dan hembusan, kemudian kita bergandengan dengannya. Kita akan
kehilangan nafas ini jika tidak melakukannya dengan perhatian.
Kalau
ini terjadi, lebih baik berhenti sejenak lalu pusatkan kembali perhatian anda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar