Berlatihlah
seperti itu. Bila orang ingin ngomong panjang lebar tentang teori, itu urusan
mereka. Namun tak peduli berapa banyak diperdebatkan, latihan itu selalu tiba
pada titik yang satu ini. Ketika sesuatu muncul, ia munculnya di sini. Entah
banyak atau sedikit, ia berasal tepat di sini. Ketika ia berhenti,
penghentiannya pun tepat di sini. Ya mau dimana lagi?
Sang
Buddha menyebut titik ini sebagai “yang Mengetahui”(the “Knowing”).
Ketika
the “Knowing” ini mengetahui segala sesuatu dengan akurat, yakni sesuai dengan
kebenaran, kita bakal memahami seperti apa pikiran itu.
Segala
macam hal tak henti-hentinya membohongi. Anda mempelajarinya, namun pada saat
yang sama mereka mengelabui anda. Ya, bagaimana lagi saya harus ngomong?
Walaupun anda memahami mereka,namun anda tetap saja masih dikecoh olehnya
justru persis pada pemahaman anda itu. Itulah situasinya. Menurut hemat saya,
inti masalahnya adalah: Sang Buddha tidak ingin kita cuma sekedar tahu tentang
bagaimana menamai hal-hal diatas.
Tujuan
dari ajaran Sang Buddha adalah memahami jalan yang membebaskan diri kita dari
hal-hal tersebut melalui penyelidikan akan pelbagai sebab [penderitaan] yang
mendasari(the underlying causes).
Saya
mempraktikkan Dhamma dengan tanpa banyak pengetahuan [teori].
Saya
hanya tahu jalan untuk pembebasan dimulai dengan moralitas atau kebajikan
(sila). Sila merupakan indahnya permulaan dari Jalan. Kedamaian yang mendalam
dari samadhi merupakan indahnya pertengahan. Kebijaksanaan (panna) adalah
indahnya akhir. Kendati mereka dapat dibagi atas tiga aspek unik dari latihan,
bila kita meninjau lebih dalam lagi ketiga kualitas ini bertemu menjadi satu.
Untuk
mendukung kebajikan, anda harus bijak. Kita biasanya menganjurkan orang untuk
mengembangkan standar etikanya dengan menjaga lima aturan perilaku (Panca
Sila), dengan demikian sila-nya akan menjadi mantap. Bagaimanapun kesempurnaan
sila memerlukan banyak kebijaksanaan (wisdom).
Kita
harus mempertimbangkan perkataan dan tindakan kita, serta menganalisa
konsekuensinya. Inilah pekerjaan dari kebijaksanaan.
Kita
musti mengandalkan wisdom untuk menumbuhkan kebajikan.
Menurut
teori, kebajikan datang duluan lalu Samadhi dan selanjutnya kebijaksanaan.
Namun ketika saya menelitinya sendiri, ternyata saya menemukan bahwa
sesungguhnya kebijaksanaan merupakan landasan setiap aspek lain dari praktik.
Agar
memahami sepenuhnya segala konsekuensi dari apa yang kita ucapkan dan lakukan —
khususnya yang merugikan — kita perlu menngunakan wisdom guna menuntun,
mengendalikan,dan menyelidiki bekerjanya sebab-dan-akibat. Ini akan memurnikan
(purify) perbuatan dan ucapan kita. Manakala kita menjadi terbiasa dengan
tindakan etis dan tidak etis, kita mulai paham untuk berlatih. Kitapun lalu
meninggalkan apa yang buruk dan menumbuhkan apa yang baik. Kita meninggalkan
yang salah dan mengembangkan yang benar. Inilah: kebajikan.
Dengan
menjalankan ini, bathin bertambah kokoh dan tabah.
Ketegaran
serta kemantapan ini bebas dari kekhawatiran, rasa bersalah, keraguan dalam
bertindak dan berbicara. Inilah: samadhi.
Penyatuan
pikiran yang stabil ini membentuk tambahan sumber tenaga yang lebih kuat lagi
bagi praktik kita,membuat kontemplasi yang lebih mendalam pada
penglihatan,pendengaran, segala yang kita alami. Begitu pikiran telah terbentuk
dengan perhatian-penuh (mindfulness) yang kokoh,mantap serta damai — kita bisa
memulai penyelidikan tanpa putus terhadap realitas tubuh, perasaan, persepsi,
buah pikir,kesadaran, penglihatan, pendengaran, penciuman, pengecapan,sensasi
dan segala obyek dari pikiran. Sebagaimana mereka selalu muncul, kita pun
terus-menerus gigih menginvestigasi dengan sepenuh hati tanpa kehilangan
mindfulness sedikitpun.
Kemudian
kita akan tahu hal yang sebenarnya.
Mereka
sekedar muncul ke eksistensi sesuai dengan hakekat alamiahnya sendiri. Sejalan
dengan tumbuhnya pemahaman kita, maka lahirlah kebijaksanaan.
Begitu
ada pemahaman jernih akan kebenaran segala sesuatu, maka persepsi-persepsi
kolot kita bakal tercerabut dan pengetahuan konseptual kitapun lalu
transformasi menjadi wisdom.
Demikianlah
kebajikan, samadhi dan kebijaksanaan bergabung serta berfungsi sebagai satu
kesatuan.
Dengan
bertambahnya kekuatan serta keteguhan dari kebijaksanaan, samadhi akan jadi
kian mantap. Semakin samadhi tak tergoyahkan, sila secara menyeluruh pun kian
tak tergoncangkan. Sempurnanya sila, akan turut mengembangkan samadhi;
meningkatnya penguatan samadhi mendorong matangnya kebijaksanaan. Inilah tiga
aspek dari latihan yang saling membaur kait-mengkait. Kesatuannya disebut Jalan
Mulia Berunsur Delapan, jalan Sang Buddha. — Ketika Sila,Samadhi dan Panna
mencapai puncaknya, Jalan ini mampu mencerabut semua ketidakmurnian dalam
pikiran. Saat nafsu keinginan, kebencian dan kebodohan tampil, Jalan inilah
satu-satunya
yang dapat membabatnya habis hingga ke akar akar.
Kerangka
dari praktik Dhamma adalah Empat Kebenaran Mulia yaitu:
Kebenaran
adanya penderitaan (dukkha),
sebab
dari penderitaan (samudaya),
berhentinya
penderitaan(nirodha) dan
Jalan
menuju lenyapnya penderitaan (magga).
Jalan
ini terdiri dari kebajikan, samadhi dan kebijaksanaan —kerangka dalam melatih
bathin ini. Maksud sebenarnya bukan ditemukan dalam kata-kata tersebut tetapi
ada di kedalaman bathin kita. Begitulah sila, samadhi, dan panna. Mereka
berputar terus menerus. Jalan Mulia Berunsur Delapan akan melingkupi setiap
pemandangan, suara, bau, rasa, sensasi tubuh dan obyek pikiran yang muncul.
Namun demikian, apabila unsur-unsur dari Jalan Mulia ini lemah dan lesu,
kotoran-bathin akan menguasai pikiran kita. Sebaliknya kalau Jalan ini kuat dan
teguh, ia akan mengalahkan dan menghancurkan kekotoran tersebut. Jika kekotoran
begitu kuat dan tangguh sementara Jalan ini ringkih dan lemah, maka kekotoran
bakal mengalahkan Sang Jalan. Mereka akan menguasai bathin kita.
Apabila
the knowing kurang sigap dan gesit, begitu bentuk-bentuk pikiran, perasaan,
persepsi serta buah-buah-pikir muncul, maka mereka bakal segera menguasai dan
menghancurkan kita. Sang Jalan dan kekotoran bathin itu berjalan ber-iringan.
Dengan
berkembangnya latihan Dhamma dalam bathin kita, kedua kekuatan itu mesti
bertarung pada setiap langkahnya. Ini seperti dua orang yang bertengkar dalam
pikiran kita. Tetapi ini hanyalah Jalan Dhamma dan kekotoran yang saling
bergulat buat menguasai bathin. Jalan ini menuntun serta mengembangkan
kemampuan kita untuk terus menyelidiki dengan perhatian-penuh. Selama kita
mampu berkontemplasi
secara
tepat, kekotoran-bathin akan kehilangan pijakannya. Namun bila kita goyah,
seketika itu pula kekotoran bersatu-padu dan mendapatkan kekuatannya kembali.
Sang
Jalan akan terkepung ketika kekotoran kembali merebut posisinya. Kedua pihak
ini akan terus bertempur hingga ada pemenangnya, serta seluruh urusan telah
dirampungkan.
Bila
kita memusatkan usaha kita untuk mengembangkan Jalan Dhamma, kekotoran akan
berangsur-angsur musnah. Begitu tumbuh secara penuh, Empat Kebenaran Mulia akan
menetap dalam bathin. Dalam bentuk apapun penderitaan itu hadir, ia selalu
berkaitan dengan suatu sebab. Itulah Kebenaran Mulia Kedua. Dan apa penyebabnya?
Lemahnya kebajikan, samadhi dan kebijaksanaan. Saat Sang Jalan tak mampu
bertahan, kekotoran menguasai pikiran. Ketika mereka menguasai, Kebenaran Kedua
berperan dan kekotoran ini menimbulkan beragam jenis penderitaan. Saat kita
menderita,segala kualitas untuk menumpas penderitaan pun hilang.
Sebaliknya
jika kondisi-kondisi yang menyokong Sila, Samadhi dan Panna mencapai kekuatan
maksimal, Jalan Dhamma tidak dapat dihentikan, melaju terus mengatasi
kemelekatan dan keterikatan yang telah membuat kita begitu menderita.
Penderitaan tidak dapat muncul karena Jalan telah melenyapkan kekotoran bathin.
Disinilah berhentinya penderitaan. Mengapa Jalan dapat melenyapkan penderitaan?
Karena sila, Samadhi dan panna telah mencapai puncak kesempurnaan, dan Sang
Jalan telah membangun suatu momentum yang tidak dapat dibendung lagi. Semuanya
hadir bersamaan tepat disini.
Bahkan
saya mau katakan bahwa: siapa saja yang berpraktik seperti ini, segala ide
teoritis [tentang pikiran] tidak bakalan muncul. Bila pikiran telah terbebaskan
dari hal-hal ini, maka ia benar-benar dapat diandalkan dan pasti. Kini apapun
jalannya yang hendak ditempuh, kita tidak perlu lagi terlalu pusing
mengendalikannya agar tetap lurus.
Bayangkanlah
daun-daun pohon mangga. Seperti apakah mereka? Dengan meneliti cukup satu daun
saja kita akan tahu seperti apa yang
lainnya walau mungkin terdapat sepuluh ribu daun. Yang lain pada dasarnya sama
saja. Begitu juga dengan batangnya, kita hanya perlu melihat batang dari satu
pohon mangga untuk mengetahui karakteristik semuanya. Hanya melihat pada satu
pohon. Semua pohon mangga lainnya pada dasarnya tidaklah berbeda. Walaupun
terdapat seratus ribu pohon, jika satu diketahui maka semuanya juga diketahui.
Inilah yang diajarkan Sang Buddha.
Kebajikan,
samadhi dan kebijaksanaan memang membentuk Jalan Sang Buddha.
Tapi
Jalan ini sendiri bukanlah esensi dari Dhamma. Jalan ini bukanlah tujuan-akhir,
bukan sasaran utama Sang Bhagava. Tetapi sekedar jalan yang menuntun ke dalam
bathin. Ini seperti saat anda berkunjung dari Bangkok ke vihara ini, Wat Nong
Pah Pong. Bukanlah jalan itu yang hendak dicapai. Apa yang diinginkan adalah
mencapai vihara, tapi untuk mencapainya anda memerlukan jalan tersebut.
Jalan
yang anda lalui bukanlah vihara, ini merupakan cara untuk tiba ke sana.
Hal
ini sama seperti kebajikan, samadhi dan kebijaksanaan. Kita dapat mengatakan
mereka bukanlah esensi dari Dhamma, tetapi merupakan jalan untuk tiba ke sana.
Saat
sila, samadhi dan panna telah kita kuasai, hasilnya adalah kedamaian pikiran
yang sangat mendalam. Itulah tujuannya.
Begitu
kita tiba disana, walaupun ada kebisingan, pikiran tetap tenang seimbang.
Saat
kita mencapai kedamaian ini, tidak ada yang perlu dilakukan lagi.
Sang
Buddha mengajarkan untuk melepas. Apapun yang terjadi, tak ada yang perlu
dikhawatirkan.Kemudian kita benar-benar yakin dan tahu sendiri. Kita tidak lagi
sekedar mempercayai perkataan orang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar