Tampilkan postingan dengan label Living Dhamma (IND). Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Living Dhamma (IND). Tampilkan semua postingan

Kamis, 11 Oktober 2012

8. Still, Flowing Water


  
Sekarang, harap perhatikan, jangan biarkan pikiran anda berkeliaran mengejar hal-hal lain. Timbulkan suatu perasaan bahwa seakan-akan anda sekarang sedang duduk di pegunungan atau di tengah hutan, hanya anda seorang diri. Apa yang sedang duduk di sini sekarang? Ada tubuh dan pikiran, itu saja, hanya kedua hal ini saja. Semua yang ditampung di dalam bingkai yang sedang duduk di sini sekarang disebut “tubuh”. “Pikiran” adalah yang menyadari dan berpikir pada saat ini. Kedua hal ini disebut “nama” dan “rupa”. Nama merujuk kepada sesuatu yang tidak memiliki ”rupa”, atau bentuk. Semua bentuk-bentuk pikiran dan perasaan, atau keempat khanda batin dari perasaan, persepsi, kehendak dan kesadaran, adalah nama, mereka semua tidak berbentuk. Ketika mata melihat bentuk, bentuk tersebut disebut rupa, sedangkan kesadaran disebut nama. Bersama-sama mereka disebut nama dan rupa, atau secara sederhana disebut tubuh dan pikiran.


Memahami bahwa yang sedang duduk di sini pada saat ini adalah hanya tubuh dan pikiran saja. Tetapi kita dibingungkan oleh kedua hal ini. Jika anda menginginkan kedamaian, anda harus mengetahui kebenaran tentang mereka. Pikiran dalam kondisi saat ini masih tidak terlatih; ia kotor, tidak jernih. Ia masih belum murni. Kita harus melatih pikiran ini lebih jauh lagi melalui praktek meditasi.

Beberapa orang berpikir bahwa meditasi artinya duduk dengan suatu metode khusus, tetapi pada kenyatannya berdiri, duduk, berjalan dan berbaring, semuanya adalah kendaraan untuk berlatih meditasi. Anda dapat berlatih pada setiap saat. Samadhi secara harfiah berarti “pikiran yang kokoh”. Untuk mengembangkan samadhi, anda tidak perlu memaksa dan mengurung pikiran anda. Beberapa orang mencoba untuk mendapatkan kedamaian dengan cara duduk diam dan tidak membiarkan apa pun menganggu mereka, tetapi itu sama saja dengan menjadi orang mati. Latihan samadhi adalah untuk mengembangkan kebijaksanaan dan pemahaman.

Samadhi adalah pikiran yang kokoh, pikiran yang terpusat. Pada titik yang mana ia terpusat? Ia terpusat pada titik keseimbangan. Itulah titiknya. Tetapi orang berlatih meditasi dengan mencoba untuk mendiamkan pikiran mereka. Mereka bilang,”Saya mencoba duduk bermeditasi tetapi pikiran saya tidak mau diam bahkan untuk semenit saja. Pada suatu saat ia akan berkeliaran ke tempat yang satu, di saat yang lain ia pergi ke tempat lain… Bagaimana saya bisa membuatnya berhenti?” Anda tidak perlu menghentikannya, bukan itu intinya. Di mana ada gerakan, di situ pula pemahaman akan muncul. Orang-orang mengeluh, ”Ia melarikan diri dan saya menariknya kembali; lalu ia pergi lagi dan saya menariknya kembali sekali lagi..” Jadi, mereka hanya duduk di sana sambil menarik-lepas menarik-lepas berulang-ulang seperti ini.

Mereka mengira pikiran mereka berlarian ke segala tempat, tetapi sebenarnya ia hanya kelihatan seolah-olah berlarian ke sana ke mari. Sebagai contoh, perhatikanlah ruangan ini… “Oh, ia begitu besar!” kata anda… sebenarnya ia tidaklah besar sama sekali. Apakah ia terlihat besar atau tidak, itu tergantung dari persepsi anda terhadapnya. Pada kenyataannya, ruangan ini memiliki ukuran yang seperti apa adanya, tidak besar ataupun kecil, tetapi orang-orang selalu berkutat pada perasaan mereka di setiap saat.

Bermeditasi untuk menemukan kedamaian… Anda harus memahami apa kedamaian itu. Jika anda tidak memahaminya, anda tak akan bisa menemukannya. Sebagai contoh, misalkan hari ini anda membawa sebuah pulpen yang sangat mahal ke vihara. Sekarang misalkan, dalam perjalanan anda ke mari, anda meletakkan pulpen tersebut di kantong depan anda, tetapi selanjutnya anda mengeluarkannya dan meletakkannya di tempat lain, seperti di kantong belakang. Sekarang, bila anda mencari di kantong depan anda… Ia tidak ada di sana! Anda pun menjadi takut. Anda takut karena kesalahpahaman anda, anda tidak melihat kebenaran dari hal tersebut. Penderitaan adalah hasilnya. Apakah sedang berdiri, berjalan, datang dan pergi, anda tidak dapat berhenti mencemaskan pulpen anda yang hilang tersebut. Pemahaman anda yang salah menyebabkan anda menderita. Memahami secara salah menyebabkan penderitaan… “Memalukan! Saya baru saja membeli pulpen tersebut beberapa hari yang lalu dan sekarang ia hilang!”
amun kemudian anda pun ingat, ”Oh, tentu saja! Ketika saya mandi, saya meletakkan pulpen tersebut di kantong belakang saya.” Segera setelah anda ingat, anda telah merasa lebih lega terlebih dahulu, tanpa perlu melihat pulpen itu. Anda lihat itu? Anda sudah bahagia terlebih dahulu, anda bisa berhenti mengkhawatirkan pulpen anda. Anda merasa yakin tentang pulpen anda sekarang. Sembari anda berjalan, anda mengarahkan tangan anda ke kantong belakang, dan itu dia. Pikiran anda telah menipu anda selama itu. Kekhawatiran muncul dari kebodohan anda. Kini, setelah melihat pulpen itu, anda telah melampaui keragu-raguan, kekhawatiran anda telah ditenangkan. Kedamaian jenis ini muncul dari penglihatan akan penyebab masalah, samudaya, penyebab dari penderitaan. Segera setelah anda ingat bahwa pulpen tersebut ada di kantong belakang anda, di sana ada nirodha, akhir dari penderitaan.

Jadi, anda harus merenungkan untuk menemukan kedamaian. Apa yang biasanya orang-orang maksudkan tentang kedamaian hanyalah menenangkan pikiran, bukan menenangkan kekotoran batin. Kekotoran batin hanya ditaklukkan untuk sementara, seperti rumput yang ditutupi dengan sebongkah batu. Dalam tiga atau empat hari, anda mengangkat batu tersebut dari rumput dan dalam waktu yang tidak lama, ia tumbuh lagi. Rumput itu tidak benar-benar mati, ia hanya ditekan saja. Sama halnya ketika sedang duduk bermeditasi: pikiran tenang tetapi kekotoran tidak benar-benar tenang. Oleh karena itu, samadhi bukanlah sesuatu yang pasti. Untuk menemukan kedamaian sejati, anda harus mengembangkan kebijaksanaan. Samadhi adalah salah satu jenis kedamaian, seperti batu yang menutupi rumput… dalam beberapa hari, anda membuang batu itu dan rumput pun tumbuh kembali. Ini hanyalah kedamaian yang sementara saja. Kedamaian dari kebijaksanaan adalah seperti meletakkan batu dan tidak mengangkatnya lagi, hanya membiarkannya seperti itu. Rumput tidak akan mungkin tumbuh kembali. Inilah kedamaian yang sejati, menenangkan kekotoran batin, kedamaian yang pasti yang muncul dari kebijaksanaan.

Kita berbicara tentang kebijaksanaan (panna) dan samadhi sebagai hal-hal yang terpisah, tetapi pada intinya mereka adalah satu dan sama. Kebijaksanaan adalah fungsi dinamis dari samadhi; samadhi adalah aspek pasif dari kebijaksanaan. Mereka muncul dari tempat yang sama tetapi menuju arah yang berbeda, fungsi yang berbeda, seperti buah mangga ini. Sebuah mangga hijau yang kecil akan tumbuh semakin besar dan semakin besar sampai ia masak. Ini semua adalah mangga yang sama, yang besar dan yang masak, semuanya mangga yang sama, tetapi kondisinya yang berubah. Di dalam praktek Dhamma, kondisi yang satu disebut samadhi, kondisi yang selanjutnya disebut panna, tetapi dalam kenyataannya sila, samadhi, dan panna adalah sama, seperti mangga.

Di dalam latihan kita, tidak perduli aspek apa yang anda tuju, anda harus selalu memulai dari pikiran. Tahukah anda apa pikiran itu? Seperti apa pikiran itu? Apakah pikiran itu? Di manakah ia?... Tidak ada yang tahu. Yang kita tahu adalah bahwa kita ingin pergi ke sana atau ke mari, kita ingin yang ini dan kita ingin yang itu, kita merasa baik atau kita merasa buruk… tetapi pikiran sendiri kelihatannya mustahil untuk diketahui. Apakah pikiran itu? Pikiran tidak memiliki bentuk. Yang menerima kesan-kesan, apakah baik dan buruk, kita menyebutnya “pikiran”. Ia seperti pemilik rumah. Pemilik tersebut tinggal menetap di rumah ketika tamu-tamu datang mengunjunginya. Dialah yang menerima tamu-tamu. Siapa yang menerima kesan-kesan indera? Apa yang ia amati? Siapa yang melepaskan kesan-kesan indera? Itulah yang kita sebut “pikiran”. Tetapi orang tidak bisa melihatnya, mereka memikirkan diri mereka sendiri di dalam lingkaran… “Apakah pikiran itu, apakah otak itu?” … Jangan menjadi bingung akan hal-hal ini. Apa yang menerima kesan-kesan? Beberapa kesan yang ia suka dan beberapa yang ia tidak suka… Siapakah itu? Adakah seseorang yang menyukai dan tidak menyukai? Tentu saja ada, tetapi anda tidak bisa melihatnya. Itulah yang kita sebut “pikiran”.
Di dalam latihan kita, tidaklah perlu untuk berbicara tentang samatha (konsentrasi) atau vipassana (pandangan terang), sebut saja dia latihan Dhamma, itu sudah cukup. Dan lakukanlah latihan ini dari pikiran anda sendiri. Apakah pikiran itu? Pikiran adalah yang menerima, atau yang sadar akan, kesan-kesan indera. Dengan beberapa kesan indera ada reaksi menyukai, dengan yang lain ada reaksi tidak menyukai. Penerima kesan-kesan tersebut menuntun kita menuju kebahagiaan dan penderitaan, benar dan salah. Tetapi ia tidak memiliki bentuk apa pun. Kita menganggapnya adalah sesuatu, tetapi sebenarnya ia hanyalah namadhamma. Apakah “kebaikan” memiliki bentuk? Bagaimana dengan kejahatan? Apakah kebahagiaan dan penderitaan memiliki bentuk? Anda tidak bisa menemukan mereka…. Apakah mereka bulat atau persegi, pendek atau panjang? Bisakah anda melihat mereka? Ini adalah namadhamma, mereka tidak bisa dibandingkan dengan benda-benda bermateri, mereka tak berbentuk… tetapi kita tahu bahwa mereka itu ada.

Oleh sebab itu dikatakan agar mulai berlatih dengan menenangkan pikiran. Tempatkan kesadaran di dalam pikiran. Jika pikiran sadar, ia akan damai. Beberapa orang tidak mengembangkan kesadaran, mereka hanya menginginkan kedamaian, sejenis keadaan yang kosong melompong. Jadi mereka tak pernah mempelajari apa pun. Jika kita tidak memiliki “yang mengetahui” ini, apa lagi yang bisa dijadikan dasar latihan kita?

Jika tidak ada yang panjang, maka tidak ada yang pendek, jika tidak ada yang benar maka tidak akan ada yang salah. Orang-orang di zaman sekarang belajar, mencari yang baik dan yang jahat. Tetapi yang melampaui baik dan jahat, sama sekali tidak mereka ketahui. Semua yang mereka ketahui hanyalah benar dan salah. “Saya hanya akan mengambil yang benar saja. Saya tidak ingin mengetahui yang salah. Kenapa harus?” Jika anda mencoba untuk mengambil hanya yang benar saja, dalam waktu singkat ia akan menjadi salah lagi. Yang benar menuntun kepada yang salah. Orang terus mencari-cari di antara yang benar dan yang salah, mereka tidak mencoba menemukan yang tidak benar maupun yang tidak salah. Mereka mempelajari tentang kebaikan dan kejahatan, mereka mencari keluhuran, tetapi mereka sama sekali tidak mengetahui yang melampaui baik dan jahat. Mereka belajar tentang panjang dan pendek, tetapi yang tidak panjang maupun tidak pendek, sama sekali tidak mereka ketahui.

Pisau ini memiliki mata pisau yang tajam, bagian yang tidak tajam, dan gagang. Bisakah anda mengangkat hanya mata pisau yang tajam saja? Bisakah anda mengangkat hanya bagian yang tidak tajam saja dari mata pisau itu, atau gagangnya saja? Gagang, bagian yang tak tajam dan mata pisau yang tajam, semuanya adalah bagian dari pisau yang sama: ketika anda mengambil pisau tersebut, anda mendapatkan ketiga bagian itu sekaligus.

Dengan cara yang sama, jika anda mengambil yang bagus, maka yang buruk pasti mengikuti. Orang mencari kebaikan dan mencoba membuang yang jahat, tetapi mereka tidak mempelajari yang tidak baik maupun yang tidak jahat. Jika anda tidak mempelajari hal ini, maka tidak akan ada penyelesaian. Jika anda mengambil kebaikan, maka kejahatan akan mengikuti. Jika anda mengambil kebahagiaan, penderitaan pun mengikuti. Praktek kemelekatan terhadap kebaikan dan penolakan terhadap kejahatan adalah Dhamma anak-anak, seperti sebuah mainan. Tentu saja, itu tidak apa-apa, anda bisa mengambil hanya yang ini saja, tetapi jika anda menggenggam kebaikan, kejahatan pun akan mengikuti. Akhir dari jalan ini adalah kebingungan, ia tidaklah begitu bagus.

Ambil sebuah contoh sederhana. Anda memiliki anak – sekarang, anggap saja anda menginginkan untuk hanya menyayangi mereka saja dan tak pernah membenci mereka. Ini adalah pemikiran dari seseorang yang tidak mengetahui sifat alamiah manusia. Jika anda memegang erat pada cinta, kebencian akan mengikuti. Dengan cara yang sama, orang-orang memutuskan untuk belajar Dhamma guna mengembangkan kebijaksanaan, mempelajari yang baik dan yang jahat sedetil-detilnya. Sekarang, setelah mengetahui yang baik dan yang jahat, apa yang akan mereka lakukan? Mereka mencoba melekat pada kebaikan, dan kejahatan pun mengikuti. Mereka tidak mempelajari yang melampaui kebaikan dan kejahatan. Inilah yang seharusnya anda pelajari.
“Saya akan menjadi seperti ini,” “Saya akan menjadi seperti itu”… tetapi mereka tak pernah berkata “Saya tidak akan menjadi apa pun, karena tidak ada yang benar-benar merupakan “saya” di sana.” Yang ini tidak mereka pelajari. Semua yang mereka inginkan adalah kebaikan. Jika mereka mendapatkan kebaikan, mereka kehilangan kontrol diri di dalamnya. Jika hal-hal menjadi terlalu bagus, mereka akan mulai berkelakuan buruk, jadi orang-orang hanya mengayun ke kiri dan ke kanan seperti itu berulang-ulang.

Untuk menenangkan pikiran dan menjadi sadar terhadap yang mengamati kesan-kesan indera, kita harus memperhatikannya. Ikutilah “yang mengetahui.” Latihlah pikiran hingga ia menjadi murni. Sampai sejauh manakah kemurnian pikiran yang seharusnya anda latih ? Jika ia benar-benar murni, pikiran seharusnya melampaui kebaikan dan kejahatan, bahkan melampaui kemurnian. Ia telah selesai. Itulah saat di mana latihan telah selesai.

Apa yang orang-orang sebut sebagai duduk bermeditasi hanyalah jenis kedamaian yang sementara saja. Tetapi bahkan di dalam kedamaian seperti itu, terdapat pengalaman-pengalaman. Jika suatu pengalaman muncul, maka harus ada seseorang yang mengetahuinya, yang melihat ke dalamnya, mempertanyakan dan menyelidikinya. Jika pikiran hanya berada dalam keadaan kosong saja, maka itu tidaklah begitu berguna. Anda mungkin memperhatikan beberapa orang yang terlihat begitu tenang, dan berpikir mereka itu damai, tetapi kedamaian sejati bukan hanya pikiran yang damai saja. Ia bukan kedamaian yang berkata, “Semoga saya berbahagia dan tidak akan pernah mengalami penderitaan apa pun.” Dengan jenis kedamaian seperti ini, pada akhirnya bahkan pencapaian kebahagiaan pun akan menjadi tidak memuaskan. Penderitaan pun muncul. Hanya ketika anda bisa membuat pikiran anda melampaui kebahagiaan dan penderitaan sajalah maka anda akan menemukan kedamaian sejati. Itulah kedamaian sejati. Ini adalah topik yang tidak dipelajari kebanyakan orang, mereka tak pernah benar-benar memperhatikan hal yang satu ini.

Cara yang benar untuk melatih pikiran adalah dengan menjadikannya terang, untuk mengembangkan kebijaksanaan. Jangan berpikir bahwa melatih pikiran adalah hanya dengan duduk diam. Itu adalah batu yang menutupi rumput. Orang-orang dimabukkan olehnya. Mereka berpikir bahwa samadhi adalah duduk. Itu hanyalah salah satu kata untuk samadhi. Tetapi sebenarnya, jika pikiran memiliki samadhi, maka berjalan adalah samadhi, duduk adalah samadhi… samadhi di dalam posisi duduk, di dalam posisi berjalan, berdiri dan berbaring. Itu semua adalah latihan.

Beberapa orang mengeluh, “Saya tidak bisa bermeditasi, saya terlalu gelisah. Bilamana saya duduk, saya memikirkan ini dan itu… saya tak dapat melakukannya. Saya memiliki terlalu banyak kamma buruk. Saya seharusnya menghabiskan kamma buruk saya terlebih dahulu dan kemudian baru datang kembali dan mencoba bermeditasi.” Tentu, coba saja. Coba saja menghabiskan kamma buruk anda…

Beginilah caranya orang berpikir. Mengapa mereka berpikir seperti ini? Penghalang-penghalang ini adalah hal-hal yang harus kita pelajari. Bilamana kita duduk, pikiran segera pergi mengembara ke mana-mana. Kita mengikutinya dan mencoba membawanya kembali dan memperhatikannya sekali lagi… lalu ia akan pergi lagi. Inilah yang seharusnya anda pelajari. Kebanyakan orang tidak mau belajar dari alam… seperti murid sekolah yang bandel yang tidak mau mengerjakan pekerjaan rumahnya. Mereka tidak ingin melihat perubahan pikirannya. Bagaimana anda akan mengembangkan kebijaksanaan? Kita harus hidup dengan perubahan seperti ini. Ketika kita tahu bahwa pikiran adalah seperti ini, terus berubah… ketika kita tahu bahwa ini adalah sifat alaminya, kita akan memahaminya. Kita harus tahu ketika pikiran sedang memikirkan yang baik dan yang buruk, berubah terus setiap saat, kita harus mengetahui hal-hal ini. Jika kita memahami hal ini, maka bahkan ketika kita sedang berpikir, kita bisa menjadi damai.

Sebagai contoh, misalnya di rumah anda memiliki seekor monyet peliharaan. Monyet tidak akan diam untuk waktu yang lama, mereka suka melompat ke sana ke mari dan memegang benda-benda. Begitulah monyet adanya. Sekarang, anda datang ke vihara dan melihat monyet di sini. Monyet ini juga tidak bisa diam, ia juga melompat ke sana ke mari. Tetapi ia tidak menganggu anda, bukan? Mengapa ia tidak mengganggu anda? Karena anda telah memelihara monyet sebelumnya, anda tahu sifat-sifat mereka. Jika anda mengetahui sifat-sifat seekor monyet saja, tidak perduli berapa banyak propinsi yang anda kunjungi, tidak perduli berapa banyak monyet yang anda lihat, anda tidak akan terganggu oleh mereka, bukan? Ini adalah seseorang yang memahami monyet.


Jika kita memahami monyet, maka kita tak akan menjadi monyet. Jika anda tidak memahami monyet, mungkin anda sendiri akan menjadi monyet! Mengertikah anda? Ketika anda melihatnya memegang ini dan itu, anda berteriak, “Hey!” Anda marah… “Monyet sialan itu!” Ini adalah seseorang yang tidak memahami monyet. Seseorang yang memahami monyet melihat bahwa monyet yang ada di rumah dan monyet yang ada di vihara adalah sama. Mengapa anda harus terganggu oleh mereka? Ketika anda melihat sifat-sifat monyet adalah seperti itu, itu sudah cukup, anda bisa menjadi damai.

Kedamaian adalah seperti ini. Kita harus mengetahui kesan-kesan indera. Beberapa kesan indera menyenangkan, beberapa lagi tidak menyenangkan, tetapi itu tidak penting. Itu urusan mereka. Seperti monyet, semua monyet adalah sama. Kita memahami kesan-kesan tersebut, pada saat-saat tertentu bisa disetujui, di saat-saat yang lain tidak – itu hanyalah sifat-sifat alami mereka. Kita seharusnya memahami mereka dan mengetahui cara untuk melepaskan mereka. Kesan-kesan indera itu tidak pasti. Mereka tidak kekal, tidak sempurna dan tidak ada pemiliknya. Segala sesuatu yang kita amati adalah seperti ini. Ketika mata, telinga, hidung, lidah, tubuh dan pikiran menerima kesan-kesan, kita mengetahui mereka, seperti memahami monyet. Lalu kita bisa menjadi damai.

Ketika kesan-kesan indera muncul, ketahui mereka. Mengapa anda mengejar mereka? Kesan-kesan indera itu tidak pasti. Di menit ini mereka berada pada jalur yang satu, di menit yang lain sudah berganti jalur. Keberadaan mereka tergantung pada perubahan. Dan kita semua di sini, juga ada karena tergantung pada perubahan. Nafas keluar, lalu ia harus masuk kembali. Ia harus mengalami perubahan ini. Cobalah untuk hanya menarik nafas saja, bisakah anda melakukan itu? Atau coba untuk hanya menghembuskan nafas saja tanpa menarik nafas… dapatkah anda melakukannya? Jika tidak ada perubahan seperti ini, berapa lama anda bisa hidup? Harus ada kedua-duanya, nafas masuk dan nafas keluar.

Kesan-kesan indera juga sama. Harus ada hal-hal seperti ini. Jika tidak ada kesan-kesan indera, maka anda tidak dapat mengembangkan kebijaksanaan. Jika tidak ada yang salah, maka tidak akan ada yang benar. Anda harus benar terlebih dahulu sebelum anda bisa melihat yang salah, dan anda harus memahami yang salah terlebih dahulu untuk menjadi benar. Beginilah segala sesuatu itu adanya.

Bagi murid yang benar-benar tekun, semakin banyak kesan-kesan indera, semakin bagus. Tetapi kebanyakan meditator melarikan diri dari kesan-kesan indera, mereka tidak mau berurusan dengannya. Ini seperti murid sekolah yang bandel yang tidak mau pergi ke sekolah, tidak mau mendengarkan gurunya. Kesan-kesan indera ini mengajari kita. Ketika kita mengetahui kesan-kesan indera, maka kita mempraktekkan Dhamma. Kedamaian di dalam kesan-kesan indera adalah seperti memahami monyet-monyet di sini. Ketika anda memahami monyet-monyet itu sehingga anda tidak lagi merasa terganggu oleh mereka.
Mempraktekkan Dhamma adalah seperti ini. Dhamma tidak berada jauh di sana, ia ada bersama kita. Dhamma bukanlah tentang malaikat-malaikat di langit atau apa pun yang menyerupai itu. Ia hanyalah tentang kita, tentang apa yang sedang kita kerjakan sekarang. Perhatikan diri anda sendiri. Kadang-kadang ada kebahagiaan, kadang-kadang penderitaan, kadang-kadang nyaman, kadang-kadang sakit, kadang-kadang cinta, kadang-kadang benci… ini adalah Dhamma. Anda melihatnya? Anda seharusnya mengetahui Dhamma ini, anda harus membaca pengalaman-pengalaman anda.

Anda harus mengetahui kesan-kesan indera sebelum anda dapat melepaskan mereka pergi. Ketika anda melihat bahwa kesan-kesan indera itu tidak kekal, maka anda tidak akan direpotkan oleh mereka. Begitu suatu kesan indera muncul, cukup katakan kepada diri anda sendiri, “Hmmm… ini bukan hal yang pasti.” Ketika suasana hati anda berubah… “Hmmm, tidak pasti.” Anda bisa berdamai dengan hal-hal ini, sama seperti melihat monyet dan tidak merasa terganggu olehnya. Jika anda mengetahui kebenaran dari kesan-kesan indera, itu artinya mengetahui Dhamma. Anda melepaskan kesan-kesan indera, menyadari bahwa mereka semua tidak pasti.

Apa yang kita sebut ketidakpastian di sini adalah Sang Buddha. Sang Buddha adalah Dhamma. Dhamma adalah karakteristik dari ketidakpastian. Siapa pun yang melihat ketidakpastian dari segala sesuatu, akan melihat realita yang tidak berubah dari mereka. Seperti itulah Dhamma adanya. Dan itu adalah Sang Buddha. Jika anda melihat Dhamma, anda melihat Sang Buddha, melihat Sang Buddha, anda melihat Dhamma. Jika anda mengetahui aniccam, ketidakpastian, anda akan melepaskan segala sesuatu dan tidak melekat pada mereka.

Anda bilang, “Jangan pecahkan gelas saya!” Bisakah anda mencegah sesuatu yang bisa pecah agar tidak pecah? Jika ia tidak pecah sekarang, ia akan pecah di masa mendatang. Jika anda tidak memecahkannya, orang lain akan melakukannya. Jika orang lain tidak memecahkannya, salah satu dari ayam-ayam itu akan melakukannya! Sang Buddha berkata agar kita menerima hal ini. Beliau menembus kebenaran dari hal-hal ini, dengan melihat bahwa gelas sudah pecah terlebih dahulu. Bilamana anda memakai gelas ini, anda seharusnya merenungkan bahwa ia sudah pecah terlebih dahulu. Dapatkah anda memahami ini? Pemahaman Sang Buddha adalah seperti ini. Beliau melihat gelas yang sudah pecah di dalam gelas yang masih utuh. Bilamana waktunya tiba, ia akan pecah. Kembangkanlah pemahaman seperti ini. Pergunakan gelas tersebut, jagalah ia, sampai pada suatu hari, ia lepas dari pegangan anda… “Jatuh!” … tak ada masalah. Mengapa tidak ada masalah? Karena anda telah melihatnya pecah sebelum ia pecah!

Tetapi biasanya orang-orang berkata, “Saya sangat menyukai gelas ini, semoga saja ia tak akan pernah pecah.” Selanjutnya, seekor anjing memecahkannya… “Saya akan membunuh anjing sialan itu!” Anda membenci anjing itu karena memecahkan gelas anda. Jika salah seorang dari anak-anak anda memecahkannya, anda akan membenci mereka juga. Mengapa demikian? Karena anda telah menyumbat diri anda sendiri, air tidak dapat mengalir. Anda telah membuat bendungan tanpa pintu air. Satu-satunya yang bisa dilakukan bendungan itu adalah jebol, benar kan ? Bila anda membuat bendungan, anda harus membuat pintu air juga. Ketika air naik terlalu tinggi, air bisa mengalir dengan aman. Bila sudah penuh, anda membuka pintu air. Anda harus membuat katup pengaman seperti ini. Ketidakkekalan adalah katup pengaman bagi Para Suci. Jika anda memiliki ”katup pengaman” ini, anda akan damai.

Berdiri, berjalan, duduk, berbaring, berlatihlah terus-menerus, pergunakan sati untuk mengawasi dan melindungi pikiran. Ini adalah samadhi dan kebijaksanaan. Keduanya adalah sama, tetapi mereka memiliki aspek yang berbeda.
Jika kita benar-benar melihat ketidakpastian dengan jelas, kita akan melihat kepastian. Kepastian tersebut adalah bahwa segala sesuatunya, mau tidak mau harus menempuh jalan ini, tidak ada jalan lain. Pahamkah anda? Dengan hanya mengetahui hal ini saja, anda bisa mengenal Sang Buddha, anda bisa memberi penghormatan yang layak kepada beliau.

Selama anda tidak membuang Sang Buddha, anda tidak akan menderita. Begitu anda membuang Sang Buddha, anda akan mengalami penderitaan. Begitu anda membuang perenungan terhadap ketidakkekalan, ketidaksempurnaan dan ketanpapemilikan, anda akan mendapatkan penderitaan. Jika anda bisa mempraktekkan yang ini saja, itu sudah cukup; penderitaan tidak akan muncul, atau jika ia muncul anda dapat dengan mudah mengatasinya, dan ia akan menjadi faktor yang mencegah munculnya penderitaan di kemudian hari. Inilah akhir dari latihan kita, pada titik di mana penderitaan tak lagi muncul. Dan mengapa penderitaan tak lagi muncul? Karena kita telah mengatasi penyebab dari penderitaan, samudaya.

Sebagai contoh, jika gelas ini pecah, biasanya anda akan mengalami penderitaan. Kita tahu bahwa gelas ini akan menjadi penyebab penderitaan, jadi kita melenyapkan penyebabnya. Semua dhamma muncul dari suatu sebab. Mereka juga harus berakhir karena suatu sebab. Sekarang, jika ada penderitaan dikarenakan gelas ini, kita seharusnya melepaskan penyebabnya. Jika merenungkan sebelumnya bahwa gelas ini telah pecah terlebih dahulu, walaupun ketika ia tidak pecah, sebab-sebab tersebut telah berakhir. Ketika tidak ada sebab-sebab apa pun lagi, ketika penderitaan tidak lagi bisa muncul, ia telah berakhir. Inilah pengakhiran.

Anda tidak perlu melampaui titik ini, hanya ini saja sudah cukup. Renungkan ini di dalam pikiran anda. Pada dasarnya, anda seharusnya mengambil kelima aturan (note: Peraturan dasar moral untuk umat Buddha : menahan diri dari melakukan pembunuhan yang disengaja, pencurian, perzinahan, pendustaan dan memakai zat-zat yang menghilangkan kesadaran) sebagai acuan untuk bertingkah laku. Tidak perlu pergi mempelajari tipitaka, cukup pusatkan perhatian saja pada kelima aturan terlebih dahulu. Mula-mula anda akan melakukan kesalahan-kesalahan. Ketika anda menyadarinya, berhenti, kembali dan bangun serta jalankan lagi aturan-aturan anda. Mungkin anda akan tersesat dan melakukan kesalahan yang lain lagi. Ketika anda menyadarinya, bangunkan kembali diri anda.

Berlatih seperti ini, sati anda akan meningkat dan menjadi lebih konsisten, seperti air yang menetes dari ketel. Jika kita memiringkan ketel tersebut sedikit, tetesannya jatuh perlahan-lahan… plop!... plop!... plop!... Jika kita memiringkan sedikit lagi ketel tersebut, tetesannya menjadi semakin cepat… plop, plop, plop!!... Jika kita memiringkan ketel tersebut lebih jauh lagi, “plop” nya akan hilang dan air mengalir dengan teratur. Ke mana “plop-plop” tersebut pergi? Mereka tidak pergi ke mana-mana, mereka berubah menjadi aliran air yang teratur.

Kita harus membicarakan Dhamma seperti ini, dengan mempergunakan perumpamaan, karena Dhamma tidak memiliki bentuk. Apakah ia persegi atau berbentuk lingkaran? Anda tidak bisa menyebutnya. Satu-satunya cara untuk membicarakannya adalah dengan melalui perumpamaan seperti ini. Jangan berpikir bahwa Dhamma berada jauh dari anda. Ia berada tepat bersama anda, di sekeliling anda. Lihatlah… satu menit bahagia, kemudian sedih, lalu marah… semuanya adalah Dhamma. Lihat dan pahamilah. Apa pun yang menyebabkan penderitaan, anda seharusnya mengatasinya. Jika penderitaan masih ada di sana, lihat sekali lagi, anda masih belum melihatnya dengan jelas.

Jika anda bisa melihat dengan jelas, anda tak akan menderita, karena penyebabnya tidak akan berada di sana lagi. Jika penderitaan masih ada di sana, jika anda masih menahan penderitaan, itu artinya anda belum berada pada jalur yang benar. Di mana pun anda terjebak,
bilamana anda terlalu menderita, maka tepat di sanalah letak kesalahan anda. Bilamana anda begitu berbahagia, anda melayang-layang di awan… itu dia… salah lagi!

Jika anda berlatih seperti ini, anda akan memiliki sati di setiap saat, di setiap posisi tubuh. Dengan sati, perhatian penuh, dan sampajanna, kesadaran diri, anda akan mengetahui yang benar dan yang salah, kebahagiaan dan penderitaan. Dengan mengetahui hal-hal ini, anda akan tahu bagaimana cara menghadapi mereka.
Saya mengajar meditasi seperti ini. Bila tiba waktunya untuk duduk bermeditasi, maka duduklah, itu tidak salah. Anda seharusnya melatih ini juga. Tetapi meditasi bukan hanya duduk saja. Anda harus membiarkan pikiran anda untuk sepenuhnya mengalami berbagai hal, membiarkan mereka mengalir dan pelajari sifat alami mereka. Bagaimana seharusnya anda mempelajari mereka? Lihatlah mereka sebagai hal yang fana, tidak sempurna dan tidak ada pemiliknya. Semuanya tidak pasti. “Yang ini begitu indah, saya benar-benar harus memilikinya.” Itu bukan hal yang pasti. “Saya sama sekali tidak menyukai yang ini”… katakan pada diri anda sendiri, “Tidak pasti!” Benarkah ini? Tentu saja, tidak salah lagi. Tetapi mencoba menganggap segala sesuatu itu nyata… “Saya pasti akan mendapatkan benda ini”… Anda sudah keluar dari jalur. Jangan lakukan ini. Betapa pun besarnya rasa suka anda terhadap sesuatu, anda seharusnya merenungkan bahwa ia tidaklah pasti.

Beberapa jenis makanan kelihatannya begitu lezat, tetapi tetap saja anda seharusnya merenungkan bahwa ia bukanlah hal yang pasti. Ia mungkin kelihatannya begitu pasti, ia begitu lezat, tetapi tetap saja anda harus berkata pada diri anda sendiri, “Tidak pasti!” Jika anda ingin menguji apakah ia pasti atau tidak, cobalah menyantap makanan kesukaan anda setiap hari. Ya, setiap hari. Pada akhirnya anda akan mengeluh, “Ini tidak begitu lezat lagi.” Pada akhirnya anda akan berpikir, “Sebenarnya, saya lebih menyukai makanan yang itu.” Itu juga bukan hal yang pasti! Anda harus membiarkan segala sesuatu mengalir, sama seperti nafas masuk dan nafas keluar. Di sana harus ada kedua-duanya, nafas masuk dan nafas keluar, pernafasan bergantung pada perubahan. Segala sesuatu bergantung pada perubahan seperti ini.

Hal-hal ini ada bersama kita, bukan di tempat lain. Jika kita tidak lagi ragu-ragu, apakah sedang duduk, berdiri, berjalan, atau berbaring, kita akan senantiasa damai. Samadhi bukan hanya duduk saja. Beberapa orang duduk sampai mereka terbius. Mereka mungkin hampir sama seperti orang mati, mereka tidak bisa membedakan utara dan selatan. Jangan melakukannya dengan ekstrim. Jika anda merasa ngantuk maka berjalanlah, ganti posisi tubuh anda. Kembangkan kebijaksanaan. Jika anda benar-benar lelah, istirahatlah. Begitu anda bangun, segera lanjutkan latihan anda, jangan biarkan diri anda terbius. Anda harus berlatih seperti ini. Miliki pertimbangan, kebijaksanaan, kehati-hatian.

Mulailah berlatih untuk tubuh dan pikiran anda sendiri, melihat mereka sebagai hal yang tidak permanen. Segala sesuatu yang lain juga sama. Tanamkan hal ini di dalam pikiran ketika anda berpikir bahwa makanan itu begitu lezat… anda harus berkata pada diri anda sendiri, “Bukan hal yang pasti!” Anda harus menginjak-injaknya lebih dulu. Tetapi biasanya ia yang menginjak-injak anda setiap saat, bukan? Jika anda tidak menyukai sesuatu, anda akan menderita karenanya. Beginilah caranya mereka menginjak-injak kita. “Jika dia menyukai saya, saya pun menyukainya,” mereka menginjak-injak kita lagi. Anda tidak pernah memukulnya! Anda harus melihatnya seperti ini. Bilamana anda menyukai sesuatu, katakan saja pada diri anda sendiri, “Ini bukanlah hal yang pasti!” Anda harus melawan arus untuk melihat Dhamma.
Berlatihlah di dalam segala posisi tubuh. Berdiri, berjalan, duduk, berbaring… anda dapat mengalami kemarahan di dalam posisi apa pun, benar kan? Anda bisa marah ketika berjalan, ketika duduk, ketika berbaring. Anda bisa punya nafsu keinginan di dalam segala posisi tubuh. Jadi latihan kita harus mencakup seluruh posisi tubuh; berdiri, berjalan, duduk dan berbaring. Ia harus konsisten. Jangan hanya memamerkannya saja, lakukanlah dengan sungguh-sungguh.

Ketika duduk bermeditasi, beberapa kejadian mungkin muncul. Sebelum yang satu itu diatasi, yang lainnya berlomba-lomba untuk muncul. Bilamana hal-hal ini terjadi, katakan saja pada diri sendiri, “Tidak pasti, tidak pasti.” Injak saja ia sebelum ia memiliki kesempatan untuk menginjak anda.

Sekarang, ini adalah poin yang penting. Jika anda tahu bahwa segala sesuatu itu tidak kekal, semua pemikiran anda akan setahap demi setahap menjadi terbuka. Ketika anda merenungkan ketidakpastian dari segala sesuatu yang lewat, anda akan melihat bahwa segala sesuatunya menuju arah yang sama. Bilamana sesuatu muncul, satu-satunya yang perlu anda katakan adalah, “Oh, ada lagi!”

Pernahkah anda melihat air yang mengalir?... Pernahkah anda melihat air yang tenang?... Jika pikiran anda damai, ia akan menjadi seperti air tenang yang mengalir. Pernahkah anda melihat air tenang yang mengalir? Itu dia! Anda hanya pernah melihat air yang mengalir dan air yang tenang, bukan? Tetapi anda tidak pernah melihat air tenang yang mengalir. Tepat di sana, tepat di mana pikiran anda tidak bisa membawa anda, walaupun ia damai, anda bisa mengembangkan kebijaksanaan. Pikiran anda akan menjadi seperti air yang mengalir, namun ia juga tenang. Ia hampir seolah-olah tenang, namun ia mengalir. Jadi, saya menyebutnya “air tenang yang mengalir.” Kebijaksanaan bisa muncul di sini.


* Note : Ceramah ini diberikan di Wat Tham Saeng Phet, selama Masa Vassa tahun 1981.

* Dikutip dan diterjemahkan dari buku : “The Teachings Of Ajahn Chah”, sub judul : “Living Dhamma – Still, Flowing Water”

6. Hidup Di Dunia Dengan Dhamma


Kebanyakan orang masih saja tidak mengetahui inti dari latihan meditasi. Mereka mengira meditasi berjalan, meditasi duduk dan mendengarkan khotbah Dhamma itulah yang disebut berlatih. Itu ada benarnya juga, tetapi hal-hal ini hanyalah penampilan luar saja dari latihan. Latihan yang sebenarnya akan terjadi pada saat pikiran bertemu dengan objek-objek indera. Itulah tempat untuk berlatih, di mana kontak dengan indera terjadi. Bila orang-orang mengatakan hal-hal yang tidak kita sukai, maka akan ada kebencian, jika mereka mengucapkan kata-kata yang kita sukai, maka kita pun senang. Sekarang, di sinilah tempat untuk berlatih. Bagaimana kita akan berlatih dengan hal-hal semacam ini? Ini adalah titik yang sangat penting. Jika kita hanya berlari ke sana ke mari sambil mengejar kebahagiaan dan menghindar dari penderitaan di setiap saat, kita bisa saja berlatih hingga hari kematian kita, namun kita takkan pernah melihat Dhamma. Tidak ada gunanya. Ketika kesenangan dan kesengsaraan muncul, bagaimana kita akan menggunakan Dhamma untuk membebaskan diri dari mereka? Inilah tujuan dari latihan.

Biasanya, ketika orang berhadapan dengan sesuatu yang tidak sejalan dengan mereka, mereka tidak akan membuka diri terhadapnya. Seperti ketika orang dikritik: Jangan ganggu saya! Mengapa menyalahkan saya? Ini adalah seseorang yang telah menutup dirinya sendiri. Tepat di sanalah tempat untuk berlatih. Ketika orang mengkritik kita, kita seharusnya mendengarkannya. Apakah mereka berkata benar? Kita seharusnya terbuka dan mempertimbangkan apa yang mereka katakan. Mungkin ada tujuan di balik kata-kata mereka, barangkali memang ada sesuatu yang salah pada diri kita. Mereka mungkin saja benar namun kita dengan cepat menjadi tersinggung. Jika orang menunjukkan kesalahan kita, kita seharusnya berusaha untuk menghilangkan kesalahan tersebut dan memperbaiki diri kita sendiri. Beginilah caranya orang-orang yang cerdas akan berlatih.

Di mana ada kebingungan, maka di sana pula kedamaian bisa muncul. Bila kebingungan ditembus dengan pengertian, yang tersisa adalah kedamaian. Beberapa orang tidak bisa menerima kritik, mereka arogan. Mereka malah berbalik dan berdebat. Hal ini terjadi khususnya ketika orang-orang dewasa berhadapan dengan anak-anak. Sebenarnya, kadangkala anak-anak mungkin mengatakan beberapa hal yang cerdas, tetapi jika, katakanlah, kalian menjadi ibu mereka, kalian tak ingin menyerah begitu saja kepada mereka. Jika kalian adalah seorang guru, kadang-kadang murid-murid kalian mungkin mengatakan sesuatu yang tidak kalian ketahui, tetapi karena kalian adalah sang guru, maka kalian tidak mau mendengar. Ini bukanlah pemikiran yang benar.

Pada zaman Sang Buddha dulu, ada seorang murid yang sangat cerdas. Pada suatu waktu, ketika Sang Buddha sedang membabarkan Dhamma, beliau berpaling kepada bhikkhu ini dan bertanya, Sariputta, apakah kamu mempercayai ini? Yang Mulia Sariputta menjawab, Belum, saya belum mempercayainya. Sang Buddha memuji jawabannya. Bagus sekali, Sariputta, engkau adalah orang yang diberkahi dengan kebijaksanaan. Seseorang yang bijaksana, tidak langsung percaya, dia mendengarkan dengan pikiran yang terbuka dan kemudian mempertimbangkan kebenarannya sebelum mempercayai atau tidak mempercayainya.

Sekarang, di sini Sang Buddha telah memberikan contoh yang baik sebagai seorang guru. Apa yang dikatakan Yang Mulia Sariputta adalah benar, beliau hanya mengutarakan perasaannya yang sebenarnya. Beberapa orang akan berpikir bahwa untuk mengatakan kalian tidak percaya pada ajaran itu berarti sama seperti tidak menghormati guru tersebut, mereka takut mengatakan hal-hal semacam ini. Mereka hanya setuju dan menerima begitu saja. Beginilah jalan duniawi itu adanya. Tetapi Sang Buddha tidak tersinggung. Beliau mengatakan bahwa kalian tidak perlu merasa malu terhadap hal-hal yang tidak salah atau buruk. Tidak ada salahnya jika kalian berkata bahwa kalian tidak percaya kalau memang kalian tidak mempercayainya. Itulah sebabnya mengapa Yang Mulia Sariputta berkata, Saya belum mempercayainya. Sang Buddha memuji beliau. Bhikkhu ini memiliki kebijaksanaan yang tinggi. Dia mempertimbangkan dengan teliti sebelum mempercayai apa pun. Tindakan Sang Buddha di sini merupakan suatu contoh yang baik untuk mereka yang menjadi guru bagi yang lain. Kadangkala kalian bisa belajar sesuatu bahkan dari seorang anak kecil; jangan secara membuta melekat begitu saja pada posisi-posisi dalam hirarki kekuasaan.
Apakah kalian sedang berdiri, duduk, atau berjalan di berbagai tempat, kalian selalu dapat mempelajari hal-hal di sekitar kalian. Kita belajar dengan cara yang alamiah, bersifat terbuka pada segala sesuatunya, apakah mereka berupa penglihatan-penglihatan, suara-suara, bau-bauan, rasa-rasa kecapan, perasaan ataupun pikiran-pikiran. Orang yang bijaksana mempertimbangkan mereka semua. Di dalam latihan yang sebenarnya, kita menuju pada suatu titik di mana tiada lagi kekhawatiran apa pun di dalam batin.

Jika kita masih tetap tidak mengetahui rasa suka dan tidak suka begitu mereka muncul, itu artinya masih ada kekhawatiran di dalam batin kita. Jika kita tahu kebenaran dari semua ini, kita merenungkan, Oh, perasaan suka ini tidak ada apa-apanya. Ia hanyalah perasaan yang muncul dan pergi begitu saja. Ketidaksukaan itu tidak lebih dari suatu perasaan yang muncul dan pergi. Mengapa menganggap seolah-olah mereka itu ada? Jika kita mengira bahwa kesenangan dan kesengsaraan adalah milik pribadi, maka kita akan menghadapi masalah, kita takkan pernah keluar dari titik di mana kita mengalami kekhawatiran atau yang lainnya, di dalam suatu mata rantai yang tidak terputus. Beginilah keadaannya bagi kebanyakan orang.


Tetapi pada zaman sekarang, orang-orang tidak begitu sering membicarakan tentang batin ketika sedang mengajarkan Dhamma, mereka tidak membicarakan tentang kebenaran. Jika kalian berbicara tentang kebenaran, orang bahkan akan menyangkalnya. Mereka mengatakan hal-hal seperti, Dia tidak tahu waktu dan tempat, dia tidak tahu bagaimana cara berbicara yang sopan.Tetapi orang-orang seharusnya mendengarkan kebenaran. Guru yang sejati tidak hanya berbicara dari ingatannya saja, tetapi dia juga mengatakan kebenaran. Orang-orang di dalam masyarakat umum biasanya berbicara dari ingatan mereka saja, tetapi sebaliknya guru yang sejati berbicara tentang kebenaran. Orang-orang di dalam masyarakat umum biasanya berbicara dari ingatan mereka, dan yang lebih parah lagi mereka biasanya berbicara untuk memuja-muji diri mereka sendiri. Bhikkhu yang sejati tidaklah berbicara seperti itu, dia mengatakan kebenaran, tentang sifat-sifat sejati dari segala sesuatunya.

Tidak peduli sekeras apa pun usahanya untuk menjelaskan tentang kebenaran, sungguh sulit bagi orang-orang untuk memahaminya. Sungguh sulit untuk memahami Dhamma. Jika kalian memahami Dhamma, kalian seharusnya mempraktekkannya. Mungkin tidak perlu menjadi bhikkhu, walaupun kehidupan seorang bhikkhu adalah bentuk yang ideal untuk berlatih. Untuk benar-benar berlatih, kalian harus meninggalkan segala kebingungan di dunia ini, melepaskan keluarga dan harta milik, dan pergi ke hutan-hutan. Inilah tempat yang ideal untuk berlatih.

Tetapi jika kita masih memiliki keluarga dan tanggung jawab, bagaimana kita bisa berlatih? Beberapa orang bilang tidak mungkin mempraktekkan Dhamma selagi masih menjadi umat awam. Pertimbangkan hal ini, kelompok mana yang lebih besar, bhikkhu atau umat awam? Umat awam jauh lebih banyak. Sekarang, jika hanya bhikkhu-bhikkhu saja yang berlatih dan umat awam tidak, lalu itu artinya akan ada begitu banyak kebingungan. Ini adalah pemahaman yang salah. Saya tak bisa menjadi bhikkhu. Menjadi seorang bhikkhu bukanlah tujuan sebenarnya! Menjadi bhikkhu tidak mempunyai arti sama sekali jika kalian tidak berlatih. Jika kalian benar-benar memahami praktek Dhamma, maka tak peduli apa pun jabatan atau pekerjaan kalian sehari-hari, apakah itu guru, dokter, pegawai sipil atau apa pun itu, kalian dapat mempraktekkan Dhamma di setiap saat.

Untuk berpikir bahwa sebagai umat awam, kalian tidak bisa berlatih, itu artinya kalian telah kehilangan arah sama sekali. Mengapa orang-orang bisa punya motivasi untuk melakukan hal-hal yang lain? Jika mereka merasa kekurangan sesuatu, mereka berusaha untuk mendapatkannya. Jika ada keinginan yang cukup, orang dapat melakukan apa pun. Beberapa orang bilang, Saya belum ada waktu untuk mempraktekkan Dhamma.Saya katakan, Lalu bagaimana kalian bisa mempunyai waktu untuk bernafas? Bernafas itu sangat penting bagi kehidupan manusia. Jika mereka memandang praktek Dhamma sama pentingnya dengan hidup mereka, maka mereka juga akan memandang Dhamma sama pentingnya dengan nafas mereka.

Praktek Dhamma bukanlah sesuatu yang harus kalian kelilingi sambil berlari-lari atau sesuatu yang akan menghabiskan seluruh tenaga kalian. Perhatikan saja perasaan-perasaan yang muncul di dalam pikiran kalian. Bila mata melihat bentuk-bentuk, telinga mendengar suara-suara, hidung mencium aroma-aroma dan seterusnya, mereka semua bergerak menuju pikiran yang menyatu ini, yang mengetahui. Sekarang, ketika pikiran mengamati hal-hal ini, apa yang terjadi? Jika kita menyukai objek tersebut, kita akan merasa senang, jika kita tidak menyukainya, kita merasa tidak senang. Itu saja mereka adanya.

Jadi, di manakah kalian akan menemukan kebahagiaan di dunia ini? Apakah kalian mengharapkan agar setiap orang mengucapkan hanya kata-kata yang menyenangkan kalian saja sepanjang hidup kalian? Mungkinkah itu? Tidak, itu tidak mungkin. Jika tidak mungkin, lalu apa yang akan kalian lakukan? Dunia memang seperti ini, kita harus mengetahui dunia lokavidu mengetahui kenyataan dari dunia ini. Dunia adalah sesuatu yang seharusnya kita pahami dengan jelas. Sang Buddha hidup di dunia ini, beliau tidak hidup di tempat lain. Beliau menjalani kehidupan berkeluarga, tetapi beliau melihat keterbatasannya dan melepaskan diriNya dari mereka. Sekarang, bagaimana kalian sebagai umat awam, akan berlatih? Jika kalian ingin berlatih, kalian harus berusaha untuk mengikuti sang jalan. Jika kalian berusaha dengan tekun untuk berlatih, kalian juga akan melihat keterbatasan dunia ini dan akan mampu untuk melepaskannya.

Orang yang minum alkohol kadang-kadang berkata, Saya tidak bisa melepaskannya. Mengapa mereka tidak bisa melepaskannya? Karena mereka belum melihat kerugian yang ada di dalamnya. Jika mereka melihat dengan jelas kerugiannya, mereka tak akan menunggu hingga disuruh untuk melepaskannya. Jika kalian tidak melihat kerugian dari sesuatu, itu berarti kalian juga tidak dapat melihat manfaat dari melepaskannya. Latihan kalian menjadi sia-sia, kalian hanya bermain-main dengan latihan. Jika kalian melihat dengan jelas kerugian dan manfaat dari sesuatu, kalian tidak perlu lagi menunggu orang lain untuk memberitahukan kalian tentangnya. Coba renungkan cerita mengenai nelayan yang menemukan sesuatu pada jaring penangkap ikannya. Dia tahu ada sesuatu di sana, dia bisa mendengarnya menggelepar di dalam. Menyangka bahwa ia adalah ikan, dia menjulurkan tangannya ke dalam jaring, tetapi hanya menemukan jenis hewan yang lain. Dia belum bisa melihatnya, jadi dia menjadi ragu-ragu. Di tangan yang satu mungkin ikan belut (note: ikan belut dianggap sebagai makanan yang lezat di beberapa daerah di Thailand), tetapi lagi-lagi ia bisa saja seekor ular. Jika dia membuangnya, dia mungkin akan menyesalinya, ia bisa saja seekor ikan belut. Di pihak lain, jika dia terus memegangnya dan jika ternyata ia adalah seekor ular, ia bisa menggigit dirinya. Dia terjebak di dalam keragu-raguan. Nafsu keinginannya begitu kuat sehingga ia terus memegangnya, kalau-kalau saja ia adalah ikan belut, tetapi begitu dia mengangkatnya dan melihat kulit yang bercorak loreng-loreng, dia langsung melemparkannya ke bawah. Dia tidak perlu menunggu seseorang untuk berteriak, Itu seekor ular, itu seekor ular, lepaskan! Penglihatan akan ular, memberitahukan apa yang harus dilakukannya secara jauh lebih jelas daripada yang bisa dilakukan dengan kata-kata saja. Mengapa? Karena dia melihat bahaya, ular bisa menggigit! Siapa yang perlu memberitahukannya tentang hal ini? Dengan cara yang sama, jika kita berlatih hingga kita mampu melihat segala sesuatu sebagaimana adanya, kita tidak akan terlibat dengan hal-hal yang membahayakan.

Orang-orang tidak terbiasa berlatih seperti ini, mereka biasanya berlatih untuk hal-hal lain. Mereka tidak mempertimbangkan segala sesuatunya, mereka tidak merenungkan usia tua, sakit dan kematian. Mereka hanya berbicara tentang hal-hal yang tak berhubungan dengan usia tua dan kematian, jadi mereka tidak pernah mengembangkan perasaan yang benar terhadap praktek Dhamma. Mereka pergi dan mendengarkan khotbah Dhamma, tetapi mereka tidak sungguh-sungguh menyimaknya. Kadang-kadang saya diundang untuk memberikan ceramah pada acara-acara yang penting, tetapi hal itu hanya akan menjadi gangguan bagi saya saja untuk pergi ke sana. Mengapa demikian? Karena ketika saya memperhatikan orang-orang yang berkumpul di sana, saya bisa melihat bahwa mereka datang bukan untuk mendengarkan Dhamma. Beberapa orang ada yang mulutnya bau alkohol, ada yang merokok, ada yang sedang ngobrol. mereka sama sekali tidak terlihat seperti orang-orang yang telah meyakini Dhamma. Memberikan ceramah di tempat-tempat seperti itu sungguh kecil manfaatnya. Orang yang tenggelam dalam ketidakpedulian cenderung untuk berpikir hal-hal seperti, Kapan sih dia akan berhenti berbicara?... Tak bisa melakukan ini, tak bisa melakukan itu dan pikiran mereka pun berkeliaran ke mana-mana.

Kadang-kadang, mereka bahkan mengundang saya untuk memberikan ceramah hanya untuk sekedar formalitas belaka: Tolong berikanlah kami sedikit ceramah Dhamma saja, Yang Mulia.Mereka tidak ingin saya berbicara terlalu banyak, itu akan mengganggu mereka! Begitu saya mendengar orang-orang berbicara seperti ini, saya sudah tahu apa maksud mereka. Orang-orang ini tidak suka mendengarkan Dhamma. Itu akan mengganggu mereka. Jika saya hanya memberikan ceramah yang sedikit saja, mereka tak akan mengerti. Jika kalian mengambil sedikit saja makanan, apakah cukup? Tentu saja tidak.

Kadang-kadang, ketika saya sedang memberikan ceramah, dan baru saja memulai topik pembicaraan, beberapa orang pemabuk akan berteriak, Oke, berikan jalan, berikan jalan kepada Yang Mulia, dia akan keluar sekarang! mencoba untuk mengalihkan perhatian saya! Jika saya bertemu dengan orang seperti ini, saya mendapat banyak bahan-bahan untuk direnungkan, saya memperoleh suatu pencerahan akan sifat alami manusia. Seperti seseorang yang mendapat sebotol penuh air dan kemudian meminta lebih banyak lagi. Tidak ada tempat lagi untuk menampungnya. Itu semua tidak sepadan dengan waktu dan tenaga yang dihabiskan untuk mengajari mereka, karena pikiran mereka sudah penuh terlebih dahulu. Tuang lebih banyak lagi dan ia hanya akan meluap dengan sia-sia. Jika botol mereka kosong, akan ada tempat untuk menampung air, dan kedua-duanya, baik yang memberi maupun yang menerima, akan memperoleh manfaatnya.

Dengan cara ini, ketika orang-orang benar-benar tertarik pada Dhamma dan duduk dengan tenang, mendengarkan dengan seksama, saya merasa lebih terinspirasi untuk mengajar. Jika orang tidak memperhatikan, ia sama seperti orang dengan botol yang penuh dengan air, tidak ada ruang kosong lagi untuk menampungnya. Sungguh tidak setimpal dengan waktu yang dihabiskan untuk berbicara dengan mereka. Dalam situasi seperti ini, saya tidak punya tenaga sama sekali untuk mengajar. Kalian tidak bisa berusaha keras untuk memberi, bila tidak ada yang berusaha keras untuk menerima pula.

Pada zaman sekarang, memberikan ceramah cenderung menjadi seperti ini, dan ia menjadi semakin memburuk setiap saat. Orang-orang tidak mencari kebenaran, mereka belajar hanya untuk mendapatkan pengetahuan yang diperlukan untuk meniti karir, membangun keluarga dan menjaga diri mereka sendiri. Mereka belajar untuk sebuah mata pencaharian. Mungkin ada beberapa pelajaran Dhamma, tetapi tidak banyak. Para pelajar di zaman sekarang memiliki pengetahuan yang lebih luas dibandingkan pelajar-pelajar di masa lalu. Semua keperluan mereka dipenuhi, segala sesuatunya menjadi lebih menyenangkan. Tetapi mereka juga menjadi semakin bingung dan menderita dibandingkan sebelumnya. Mengapa demikian? Karena mereka hanya mencari jenis pengetahuan yang dipergunakan untuk meniti karir saja.

Bahkan para bhikkhu juga seperti ini. Kadang-kadang saya mendengar mereka berkata, Saya menjadi bhikkhu bukan untuk mempraktekkan Dhamma, saya ditahbiskan hanya untuk belajar. Ini adalah kata-kata dari seseorang yang telah menghentikan latihannya secara total. Tidak ada jalan lagi di depan sana, jalan buntu. Bila bhikkhu-bhikkhu ini mengajar, ia bersumber hanya dari ingatannya saja. Mereka mungkin mengajarkan sesuatu, tetapi pikiran mereka sepenuhnya berada di tempat lain. Cara mengajar seperti ini tidaklah benar.

Beginilah dunia ini. Jika kalian mencoba hidup sederhana, mempraktekkan Dhamma dan hidup dengan damai, mereka bilang kalian itu aneh dan tidak mau bermasyarakat. Mereka bilang kalian menghambat kemajuan di masyarakat. Mereka bahkan menakut-nakuti kalian. Pada akhirnya kalian bahkan mungkin mulai mempercayai mereka dan kembali kepada jalan duniawi, tenggelam lebih dalam dan lebih dalam lagi ke dalam dunia hingga tidak mungkin lagi untuk keluar. Beberapa orang berkata, Saya tidak bisa keluar sekarang, saya sudah masuk terlalu dalam. Inilah kecenderungan masyarakat. Mereka tidak menghargai nilai dari Dhamma.

Nilai dari Dhamma tidaklah untuk ditemukan di buku-buku. Itu hanyalah penampilan luar saja dari Dhamma, mereka bukanlah pemahaman Dhamma sebagai suatu pengalaman pribadi. Jika kalian memahami Dhamma, kalian memahami batin kalian sendiri, kalian melihat kebenaran di sana. Ketika kebenaran menjadi semakin jelas, ia akan menghentikan arus khayalan dan kebodohan.

Ajaran Sang Buddha adalah kebenaran yang tidak berubah, apakah di saat ini ataupun di waktu yang lain. Sang Buddha membabarkan kebenaran ini 2.500 tahun yang lalu dan sejak saat itu, ia menjadi kebenaran yang sejati. Ajaran ini seharusnya tidak ditambah atau dikurangi. Sang Buddha berkata, “Apa yang telah Tathagata paparkan seharusnya tidak dibuang, apa yang tidak dipaparkan oleh Tathagata seharusnya tidak ditambahkan ke dalam ajaran-ajaran ini”. Beliau menutup rapat-rapat ajaran-ajaran ini. Mengapa Sang Buddha menutup mereka rapat-rapat? Karena ajaran-ajaran ini adalah kata-kata yang berasal dari seseorang yang sudah tidak memiliki kekotoran batin. Tidak peduli bagaimana pun dunia ini berubah, ajaran-ajaran ini tidak akan terpengaruh, mereka tak akan berubah dengannya. Jika ada sesuatu yang salah, meskipun jika orang-orang mengatakan ia benar, tidak membuatnya menjadi berkurang salahnya. Jika sesuatu benar, itu tidak akan berubah hanya karena orang-orang mengatakan yang sebaliknya. Generasi demi generasi akan datang dan pergi, tetapi hal-hal ini tidak akan berubah, karena ajaran-ajaran ini adalah kebenaran.


Sekarang, siapakah yang menciptakan kebenaran ini? Kebenaran sendirilah yang menciptakan kebenaran! Apakah Sang Buddha menciptakannya! Tidak, beliau tidak menciptakannya. Sang Buddha hanya menemukan kebenaran, sifat-sifat sejati dari segala sesuatunya, dan kemudian membabarkannya. Kebenaran ini tetaplah benar, terlepas dari apakah seorang Buddha muncul di dunia atau tidak. Sang Buddha hanya memiliki Dhamma di dalam konteks ini, beliau tidak benar-benar menciptakannya. Ia telah ada di sini sepanjang masa, namun sebelumnya tidak ada seorang pun yang mencari dan menemukan Yang Tidak Mati tersebut, dan kemudian mengajarkannya sebagai Dhamma. Beliau tidak menciptakannya, ia telah ada di sana terlebih dahulu.


Pada beberapa masa, kebenaran ini bersinar terang dan praktek Dhamma pun berkembang. Seiring dengan berjalannya waktu dan berakhirnya generasi demi generasi, praktek ini menjadi menurun dan berkurang hingga ajaran tersebut sirna sama sekali. Setelah beberapa waktu, ajaran ini ditemukan kembali dan berkembang lagi. Waktu pun terus berlanjut, pengikut-pengikut Dhamma menjadi berlipat ganda, kesejahteraan pun tiba, dan sekali lagi ajaran ini mulai mengikuti kegelapan dunia. Jadi, untuk kesekian kalinya, ia merosot dan menurun, hingga pada suatu saat ia tidak mampu lagi bertahan. Kebingungan pun berkuasa kembali. Lalu kemudian tiba saatnya untuk membangun kembali sang kebenaran. Sebenarnya, kebenaran ini tidak pergi ke mana-mana. Ketika para Buddha wafat, Dhamma tidak ikut hilang bersama mereka.

Dunia berputar seperti ini. Mirip seperti pohon mangga. Pohonnya tumbuh besar, berbunga, dan buah-buah pun muncul dan berkembang hingga masak. Mereka membusuk dan benihnya kembali ke dalam tanah untuk menjadi pohon mangga yang baru. Perputarannya dimulai lagi. Pada akhirnya, terdapat lebih banyak buah-buah masak yang terus jatuh, busuk, terbenam di dalam tanah sebagai benih-benih dan tumbuh kembali menjadi pohon-pohon. Beginilah dunia. Ia tidak pergi terlalu jauh, ia hanya berputar di sekitar hal-hal yang sama.

Kehidupan kita di saat ini juga sama. Hari ini kita hanya melakukan hal-hal yang sama yang selalu kita lakukan pada hari-hari sebelumnya. Orang-orang berpikir terlalu banyak. Ada begitu banyak hal yang membuat mereka tertarik, tetapi tidak satu pun dari mereka yang menuntun kepada penyelesaian. Ada ilmu pengetahuan seperti matematika, fisika, psikologi dan seterusnya. Kalian bisa menggali mereka secara lebih mendalam, tetapi kalian bisa mengakhiri segala sesuatunya hanya dengan kebenaran.

Anggaplah ada sebuah pedati yang sedang ditarik oleh seekor keledai. Roda-rodanya tidak panjang, tetapi jejak rodanya lah yang panjang. Selama keledai itu menarik pedati tersebut, jejak rodanya akan mengikuti. Roda-rodanya bulat, namun jejaknya panjang; jejak rodanya panjang namun roda-rodanya hanya berupa bulatan saja. Hanya memperhatikan pedati yang tidak bergerak itu saja, kalian takkan dapat melihat apa pun yang panjang darinya, tetapi begitu keledai itu mulai bergerak, kalian melihat jejaknya yang membentang di belakang kalian. Selama keledai itu terus menarik, roda-rodanya pun terus berputar tetapi akan tiba saatnya ketika keledai itu lelah dan melepaskan tali penariknya. Si keledai angkat kaki dan meninggalkan pedati yang kosong itu di sana. Roda-rodanya tidak lagi berputar. Bila saatnya tiba, pedati tersebut akan tercerai berai, bagian-bagiannya akan terurai kembali menjadi keempat unsur-unsur tanah, air, angin dan api.

Mencari kedamaian di dunia adalah seperti kalian membentangkan jejak roda pedati secara terus-menerus tanpa akhir di belakang kalian. Selama kalian masih mengikuti dunia, tak akan ada penghentian, takkan ada istirahat. Jika kalian berhenti mengikutinya, pedati akan beristirahat, roda-rodanya tidak lagi berputar. Mengikuti dunia akan memutar roda-roda tersebut tanpa henti. Membuat kamma buruk adalah seperti ini. Selama kalian masih mengikuti cara yang lama, maka tidak akan ada penghentian. Jika kalian berhenti, maka akan ada penghentian. Beginilah cara kita mempraktekkan Dhamma.


Oleh : Venerable Ajahn Chah

1. Menyucikan Hati







Akhir-akhir ini banyak orang pergi ke berbagai tempat untuk melakukan kebajikan (memberikan persembahan) ke vihara. Dan mereka tampaknya selalu singgah di Wat Ba Pong (sebuah vihara di Thailand), entah dalam perjalanan perginya, atau pada pulangnya. Beberapa orang begitu terburu-buru sehingga saya tidak sempat bertemu atau pun bercakap dengan mereka. Kebanyakan orang mencari kebajikan, tetapi saya lihat tidak banyak yang mencari jalan keluar dari perbuatan salah. Mereka begitu bernafsu mendapatkan jasa, tetapi tidak tahu akan menempatkannya di mana. Ini seperti mencoba mewarnai kain yang kotor, dengan tidak mencucinya.

Walau para bhikkhu berbicara terus terang seperti ini, tetapi banyak orang mengalami kesulitan untuk melaksanakannya dalam praktek. Hal ini sulit karena mereka tidak mengerti, padahal jika mereka mengerti akan menjadi lebih mudah. Misalkan ada sebuah lubang dan ada sesuatu pada dasarnya. Siapapun yang memasukkan tangannya ke dalam lubang tersebut dan tidak dapat menyentuh dasarnya akan mengatakan bahwa lubang itu terlalu dalam. Dari 100 bahkan 1000 orang yang melakukannya, mereka semua berkata bahwa lubangnya yang terlalu dalam. Tidak ada yang mengatakan bahwa lengan merekalah yang terlalu pendek!

Ada begitu banyak orang yang mencari jasa/kebajikan. Cepat atau lambat mereka harus mulai mencari jalan keluar dari perbuatan salah. Akan tetapi tidak banyak orang tertarik akan hal ini. Ajaran Sang Buddha begitu singkat, tetapi sebagian besar orang melewatkannya begitu saja, seperti halnya mereka hanya melewati Wat Ba Pong. Bagi banyak orang itulah Dhamma, hanya sekedar titik perhentian.

Hanya 3 baris, tidak lebih.

Sabba papassa akaranam: menahan diri dari semua perbuatan salah; 
Kusalassupasampada: senantiasa mengembangkan kebajikan; 
Sacittapariyodapanam: menyucikan batin; Itulah ajaran dari semua Buddha. 

Inilah inti dari ajaran Buddha.

Tetapi orang terus melewatinya, mereka tidak menginginkan itu. Pelepasan dari segala perbuatan salah, besar atau kecil, baik dalam ucapan, fisik dan mental.... inilah inti ajaran pertama dari semua Buddha.

Jika kita ingin mewarnai sehelai kain kita harus mencucinya terlebih dahulu. Tetapi banyak orang tidak mau melakukan hal ini. Tanpa melihat kondisi kain, mereka langsung saja mewarnai kain tersebut. Jika kain itu kotor, mewarnainya hanya akan membuat kain itu lebih kotor. Pikirkanlah hal ini. Mewarnai kain kotor, dapatkah kelihatan baik?

Kita lihat? Beginilah agama Buddha mengajarkan, tapi banyak orang melewatkannya begitu saja. Mereka hanya ingin melakukan perbuatan baik, tetapi mereka tidak mau melepaskan perbuatan salah mereka. Ini sama halnya dengan mengatakan "lubang itu terlalu dalam". Semua mengatakan bahwa lubang itu terlalu dalam, tidak ada yang mengatakan bahwa lengan merekalah yang terlalu pendek. Kita harus kembali kepada diri kita sendiri. Dengan ajaran ini kita harus mundur dan mengamati diri kita sendiri.

Kadang-kadang mereka pergi mencari jasa kebajikan bagaikan berada di dalam bis. Mereka mungkin bertengkar dalam bis, atau bahkan mabuk. Tanyakan pada mereka arah tujuannya dan mereka akan mengatakan mereka mencari jasa. Mereka mau jasa, tetapi mereka tidak mau menghentikan perbuatan salah mereka. Maka mereka tidak akan memperoleh jasa dengan cara seperti itu.

Begitulah manusia. Kita harus mengamati diri sendiri dengan dekat dan jelas. Sang Buddha mengajarkan tentang adanya kesadaran (awareness) dan perenungan (recollection) dalam segala situasi. Perbuatan salah dapat timbul baik lewat tindakan secara fisik, lewat kata-kata, dan pikiran. Apakah kita membawa pikiran, perbuatan dan perkataan kita hari ini? Atau hanya kita tinggalkan di rumah? Di situlah harus kita lihat, tepat di situ. Kita tidak perlu melihat terlalu jauh. Lihatlah pada pikiran, perkataan, dan perbuatan. Lihat apakah tingkah laku kita sudah betul, atau masih salah.

Orang tidak benar-benar melihat hal-hal semacam ini. Seperti seorang ibu yang mencuci piring dengan cemberut. Dia begitu terpaku pada usahanya membersihkan piring-piring tersebut sehingga tidak menyadari bahwa pikirannya sendiri kotor. Pernahkah anda melihat hal semacam ini? Dia hanya melihat piring-piring tersebut. Dia melihat terlalu jauh, bukan? Saya kira beberapa di antara kita mungkin telah mengalami hal semacam ini. Di sinilah kita harus melihat. Orang berkonsentrasi untuk membersihkan piring tetapi mereka membiarkan pikiran mereka kotor. Ini tidak baik. Mereka melupakan diri sendiri.

Karena orang tidak melihat diri sendiri, maka mereka dapat melakukan segala macam perbuatan tercela. Mereka tidak melihat pikiran mereka sendiri. Ketika akan melakukan sesuatu yang jelek, orang sering melihat ke sekeliling terlebih dahulu untuk melihat apakah ada orang yang mengamati... "Apakah dilihat Ibu?" "Apakah dilihat suami saya?" "Apakah dilihat anak-anak?" "Apakah dilihat istri saya?" Jika tidak ada yang mengamati maka mereka akan langsung melakukannya. Ini sebenarnya merendahkan diri sendiri. Mereka berkata: "Tidak kelihatan orang, kok", jadi langsung saja mereka lakukan. Tetapi bagaimana dengan mereka sendiri? Bukankah mereka juga "orang"?

Kita lihat bahwa lewat pengamatan terhadap diri sendiri seperti itu, orang tidak akan pernah menemukan nilai yang sesungguhnya. Mereka tidak menemukan Dhamma. Jika kita dapat melihat diri kita sendiri sewaktu akan melakukan sesuatu yang buruk, dan kita dapat melihat diri sendiri tepat pada waktunya, kita dapat berhenti. Jika lkita ingin melakukan sesuatu yang berarti, lihatlah pikiran kita. Dengan bisa melihat diri sendiri, kita akan tahu tentang kebaikan/keburukan, keuntungan/kerugian, nilai-nilai buruk/nilai-nilai luhur. Inilah hal-hal yang harus kita ketahui.

Jika hal-hal seperti ini tidak dibicarakan, kita tidak akan tahu. Kita mempunyai ketamakan dan kegelapan batin dalam pikiran, tetapi kita tidak tahu. Kita tidak akan tahu apapun jika kita selalu melihat keluar. Inilah masalah orang yang tidak melihat diri sendiri. Melihat ke dalam, kita akan melihat baik dan buruk. Melihat kebaikan, kita dapat menyimpannya dalam hati dan mempraktekkannya.

Meninggalkan yang jelek, melakukan yang baik..... ini adalah jiwa agama Buddha. Sabba papassa akaranam —tidak melakukan perbuatan salah, baik melalui fisik, kata-kata ataupun pikiran. Inilah latihan yang benar, ajaran dari semua Buddha. Nah, sekarang "kain" kita sudah bersih.

Kemudian kita punya kusalassupasampada —membuat pikiran luhur dan trampil. Jika pikiran kita luhur dan trampil, kita tidak perlu naik "bis" ke mana-mana untuk mencari jasa/kebajikan. Dengan duduk di rumah pun kita bisa berbuat jasa yang baik. Tetapi kebanyakan orang hanya mau pergi ke mana-mana untuk mencari jasa tanpa mau meninggalkan perbuatan jelek mereka. Saat mereka pulang, sia-sialah usaha mereka! Mereka kembali berwajah masam/kecut. Itulah mencuci piring dengan penuh perhatian dengan wajah yang masam. Di sinilah orang jarang mengamati. Mereka jauh dari jasa/kebajikan.

Kita mungkin tahu tentang hal-hal seperti ini, tetapi kita belum benar-benar mengerti jika hal itu tidak kita pahami dalam pikiran kita. Jika pikiran kita luhur dan trampil, itulah bahagia. Ada senyum di hati kita. Tetapi kebanyakan dari kita bahkan tidak punya waktu untuk tersenyum. Kita hanya tersenyum jika keadaan berjalan seperti harapan kita. Banyak orang yang kebahagiaannya tergantung dari keadaan/kondisi sekelilingnya. Mereka butuh orang lain untuk mengatakan hal-hal yang indah dan hanya yang indah. Begitukah kalian mencari kebahagiaan? Dapatkah kita mengharapkan semua orang untuk mengatakan hanya hal-hal yang menyenangkan saja? Jika begitu kemauan kita, kapan kita akan menemukan kebahagiaan?

Kita harus menggunakan Dhamma untuk mencapai kebahagiaan. Apapun itu, benar atau salah, jangan mengukuhinya dengan membuta. Cukup diketahui saja, dan kemudian dilepaskan. Jika pikiran kita tenang, kita bisa tersenyum. Pada saat kita menolak sesuatu, pikiran menjadi jelek. Dan kemudian tidak ada apapun yang baik.

Ketika orang mengatakan sesuatu yang sesuai dengan keinginan kita, kita tersenyum. Ketika mereka mengatakan hal yang tidak mengenakkan, kita cemberut. Bagaimana kita dapat mengharapkan orang untuk selalu mengatakan hal yang kita sukai setiap waktu? Apakah mungkin? Bahkan anak-anak kita... pernahkah mereka mengatakan pada kita hal-hal yang tidak menyenangkan? Pernahkah kita mengecewakan orang tua kita? Tidak hanya orang lain, pikiran kita sendiri pun dapat mengecewakan kita. Kadangkala hal yang kita pikirkan pun tidak menyenangkan. Apa yang dapat kita lakukan? Kadang kita sedang berjalan dan tiba-tiba tersandung akar pohon... Dug... Aduh...! Dimana permasalahannya? Siapa yang membuat kita tersandung? Siapa yang akan kita salahkan? Itu adalah salah kita sendiri. Bahkan pikiran kita sendiri pun dapat menjengkelkan. Jika kita pikirkan hal ini, kita akan tahu bahwa ini benar. Kadangkala kita melakukan hal-hal yang bahkan kita sendiri pun tidak suka. Yang dapat kita katakan hanyalah "sialan". Namun tidak ada yang dapat disalahkan.

Jasa atau kebaikan dalam ajaran Buddha adalah melepaskan perbuatan salah. Jika kita meninggalkan kesalahan, kita tidak lagi salah. Jika tidak ada lagi kesalahan, tidak ada lagi tekanan (stress). Jika tidak ada tekanan lagi, timbullah ketenangan. Pikiran yang tenang adalah pikiran yang bersih, yang tidak menyimpan kemarahan, dan jernih.

Bagaimana kita membuat pikiran jernih? Hanya dengan mengendalikannya. Sebagai contoh, kita mungkin berpikir, "Hari ini suasana hati saya jelek sekali, apapun yang saya temui adalah menjengkelkan, bahkan piring-piring di meja pun menjengkelkan saya". Kita mungkin merasa ingin membanting semuanya. Apapun yang kita temui menjadi kelihatan salah atau jelek, ayam, anjing, kucing.... kita membenci semuanya. Segala yang dikatakan sang suami terasa menyinggung. Bahkan melihat pikiran kita sendiri pun kita tidak suka. Apa yang dapat kita lakukan dalam situasi seperti ini? Dari mana datangnya penderitaan ini? Inilah yang disebut tidak mempunyai jasa kebajikan (merit). Akhir-akhir ini di Thailand ada ungkapan bahwa orang yang sudah meninggal jasanya juga sudah berakhir. Ini tidak benar, karena banyak orang yang meskipun masih hidup tetapi jasanya telah berakhir.... itulah orang-orang yang tidak mempunyai jasa. Pikiran yang jelek terus-menerus menumpuk kejelekan.

Perjalanan pergi mencari jasa/kebajikan seperti ini sama seperti membangun rumah tanpa menyiapkan lahannya terlebih dahulu. Dalam waktu yang tidak lama rumah tersebut akan runtuh, bukan? Rancangannya tidak begitu baik. Nah, sekarang kita harus mencoba cara lain. Kita harus melihat ke dalam diri sendiri. Lihatlah kesalahan-kesalahan pada perbuatan, perkataan, dan pikiran kita. Di mana lagi kita akan berlatih bila tidak dalam semua bentuk pikiran, perkataan, dan perbuatan kita sendiri? Banyak orang tersesat. Mereka ingin pergi dan berlatih Dhamma di tempat yang tenang, di hutan atau di Wat Ba Pong. Apakah Wat Ba Pong tenang? Tidak, tidak benar-benar tenang. Tempat yang benar-benar tenang adalah di rumah sendiri.

Jika kita mempunyai kebijaksanaan, ke mana pun pergi kita akan merasa senang. Dunia sudah indah sebagaimana adanya saat ini. Semua pohon di hutan sudah indah seperti apa adanya: ada yang tinggi, ada yang pendek, berbagai jenis. Semuanya seperti apa adanya. Karena kebodohan, kita tidak mengerti sifat alami mereka dan kita memaksakan penilaian kita... "Wah, pohon yang ini terlalu pendek, yang itu terlalu besar". Pepohonan itu ya cuma pohon, yang lebih baik daripada kita.

Biarkan pepohonan mengajarkan kita. Sudahkah kita belajar sesuatu dari mereka? Paling tidak, kita harus belajar satu hal dari mereka. Ada banyak pohon, semua dengan sesuatu yang bisa mengajar kita. Dhamma ada di mana saja, dalam segala hal di alam ini. Kita harus memahami hal ini. Jangan menyalahkan lubang yang terlalu dalam... lihat di sisi yang lain, lengan kita sendiri! Jika kita dapat melihat hal ini, kita akan bahagia.

Jika kita berbuat baik, simpanlah dalam pikiran. Itu adalah tempat terbaik untuk menyimpan. Berbuat kebajikan adalah hal yang baik, tetapi bukan yang terbaik. Mengkonstruksikan bangunan adalah hal yang baik tapi bukan yang terbaik. Membangun pikiran baik itulah yang terbaik. Dengan begitu kita akan menemukan kebaikan baik di sini maupun di rumah sendiri. Temukanlah keunggulan ini dalam pikiranmu. Rangka luar seperti bangunan ini hanyalah seperti kulit pada pohon dan bukan kayu inti.

Jika kita mempunyai kebijaksanaan, ke mana pun kita melihat di situ ada Dhamma. Jika kita kekurangan kebijaksanaan, bahkan hal yang baik akan menjadi buruk adanya. Darimana datangnya yang buruk itu? Tak lain dari pikiranmu sendiri. Lihat bagaimana pikiran ini mengubah segala sesuatu. Suami istri yang biasanya rukun, suatu saat ketika perasaan hati mereka sedang tidak baik, apapun yang dikatakan oleh pasangannya membuat tersinggung. Pikiran telah menjadi jelek, dan segalanya berubah. Begitulah.

Jadi, untuk melepaskan kejahatan dan menggali kebaikan kita tidak harus pergi mencari ke mana-mana. Jika pikiran sedang jelek jangan melihat ke orang yang ini atau yang itu. Lihatlah pikiran kita sendiri dan carilah darimana pikiran-pikiran itu muncul. Mengapa pikiran ini berpikir sedemilian rupa? Pahamilah ini: segala sesuatu adalah sementara. Cinta adalah sementara, benci demikian pula. Pernahkah kita mencintai anak-anak kita? Tentu saja. Pernahkah kita membenci mereka? Saya akan menjawab... kadangkala. Benar 'khan? Bisakah kita membuang mereka? Tidak. Mengapa? Anak-anak bukanlah seperti peluru yang ditembakkan ke luar, anak-anak ditembakkan balik pada orang tua. Jika mereka baik, mereka anak-anak kita. Jika jelek pun, mereka juga tetap anak-anak kita. Kita dapat berkata bahwa anak adalah kamma kita. Ada yang baik ada yang buruk. Tetapi, baik ataupun buruk, mereka tetap anak kita. Bahkan yang buruk pun berharga. Ada yang mungkin terlahir sakit polio, cacat tubuh, tetapi bisa menjadi lebih berarti dibanding anak lainnya. Setiap kali akan pergi kita meninggalkan pesan: "Tolong jagai si kecil ini, dia tidak begitu mampu". Kita mencintainya lebih dari yang lain.

Jika begitu kita harus menyeimbangkan pikiran: setengah cinta, setengah benci. Jangan hanya mengambil satu sisi, selalu lihatlah dari kedua sisi. Anak-anak adalah kamma kita, semua sesuai dengan hukumnya sendiri. Mereka adalah kamma kita, kita harus bertanggung jawab terhadapnya. Jika mereka betul-betul memberi kita penderitaan, kita ingatkan diri kita: "Ini kammaku". Jika mereka menyenangkan, kita ingatkan diri kita: "Ini kammaku". Kadangkala begitu frustasinya kita di rumah sehingga kita ingin melarikan diri. Beberapa malahan begitu frustasi sehingga mereka bunuh diri. Ini adalah kamma. Kita harus menerima kenyataan. Hindarilah perbuatan jelek. Dengan demikian kita akan dapat melihat diri kita sendiri dengan lebih jelas.

Inilah sebabnya sangat penting bagi kita untuk merenungkan segala sesuatu. Biasanya saat meditasi kita menggunakan suatu obyek, misalkan Buddho, Dhammo, atau Sangho. Tetapi kita dapat membuatnya lebih singkat. Pada saat pikiran kita jelek atau jengkel, katakanlah "A-ha!". Ketika perasaan kita enak, katakanlah "A-ha!... ini bukanlah hal yang pasti". Jika kamu mencintai seseorang, katakan "A-ha". Demikian juga saat kamu akan marah. Kamu tidak perlu mencari di Tipitaka. Katakan saja "A-ha". Ini berarti "tidak kekal". Cinta, benci, baik, buruk, semua tidak kekal. Bagaimana bisa kekal? Di mana unsur kekekalannya?

Dapat kita katakan bahwa semuanya itu hanya permanen dalam ketidak-permanennannya. Menit ini ada cinta, menit berikutnya timbul benci. Begitulah adanya. Sifat berubahnya inilah yang permanen. Maka dari itu saya katakan bahwa ketika timbul cinta, katakanlah "A-ha". Ini menghemat banyak waktu. Kita tidak harus mengatakan "Anicca, dukkha, anatta". Jika kita tidak menginginkan tema meditasi yang panjang, gunakan saja kata yang singkat ini... katakan saja: "A-ha".

Nah, jika semua orang lebih sering mengatakan "A-ha", dan melatihnya dalam kehidupan sehari-hari, maka kemelekatan akan semakin berkurang. Orang tidak akan tersuruk dalam cinta dan benci. Mereka tidak akan melekat kepada hal-hal demikian. Mereka akan menaruh kepercayaan terhadap kebenaran dan bukan yang lain. Sudah cukup bagi kita untuk mengetahui sebegini saja. Apalagi yang ingin kita ketahui?

Setelah mengetahui ajaran ini, kita harus selalu mencoba untuk mengingatnya. Apa yang harus diingat? Meditasi.... Mengerti, bukan? Kalau kita mengerti, dan Dhamma menyatu dengan kita, pikiran akan berhenti. Jika ada kemarahan dalam pikiran, hanya "A-ha".. dan itu cukup, berhenti di situ. Jika belum benar-benar mengerti, lihatlah lebih dalam ke pokok masalahnya. Jika ada pengertian, ketika kemarahan timbul di dalam pikiran, kita dapat membungkamnya dengan berkata "A-ha, inipun tidak kekal".

Yang paling penting adalah perekam yang ada di pikiran kita. Bacaan ini dapat musnah begitu saja tapi jika Dhamma telah dapat terekam dengan baik di dalam pikiran, itu tidak akan dapat dimusnahkan, akan berada di situ selamanya.



[ Dikutip dari Mutiara Dhamma VII, Living Dhamma ]

Jumat, 01 Juni 2012

4. Empat Kesunyataan Mulia




   
        
Hari ini saya diundang kepala biara untuk membabarkan ajaran pada anda, jadi saya minta anda duduk dengan tenang dan memusatkan pikiran.
Karena kendala bahasa, kita harus menggunakan seorang penerjemah, tanpa perhatian yang seksama anda mungkin tidak akan mengerti.
Selama saya tinggal di sini saya merasa senang, baik guru maupun anda semua, para muridnya, telah memperlakukan saya dengan ramah, dengan penuh senyum, sepertinya anda telah mempraktekkan Dhamma yang sesungguhnya. Tempat kalian ini juga sangat mengagumkan, dan begitu luas!
Saya mengagumi dedikasi anda yang berusaha merenovasinya dan menyediakan tempat untuk berlatih Dhamma.Selama menjadi guru beberapa tahun ini, banyak masa sulit yang telah saya alami.
Saat ini kurang lebih ada 40 (empat puluh) cabang vihara saya, yaitu Wat Nong Ba Pong.
Tetapi sampai hari inipun masih ada murid saya yang sulit diajar.
Ada yang sudah mengerti tetapi tiak mau berlatih, dan ada yang tidak mengerti dan tidak mencoba mengerti.Saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan terhadap mereka.
Mengapa manusia mempunyai pola pikir demikian?
Sikap tidak peduli itu tidak begitu baik, tetapi meskipun telah saya beritahu, mereka tetap tidak mau mendengarkan. Saya tidak tahu lagi harus berbuat apa.  banyak orang yang diliputi keraguan saat berlatih, mereka selalu ragu.
Mereka semua ingin menuju Nibbana, tetapi mereka tidak mau melalui jalurnya, ini membingungkan.
Ketika saya menyuruh mereka meditasi mereka ketakutan atau kalau tidak mereka mengantuk.
Sering kali mereka ingin melakukan hal-hal yang tidak saya ajarkan.
Ketika saya bertemu dengan yang terhormat Kepala Biara di sini, saya menanyakan tentang murid-murid beliau.Beliau mengatakan hal yang sama terjadi di sini. Inilah yang membuat luka hati seorang guru.
Ajaran yang akan saya babarkan untuk anda hari ini adalah jalan untuk mengatasi masalah pada saat ini, pada hidup ini. Beberapa orang mengatakan mereka begitu sibuk sampai-sampai tidak punya waktu untuk berlatih Dhamma,
"Apa yang dapat kami lakukan?" tanya mereka.
Saya bertanya, "Apakah kalian bernafas saat bekerja?"
Jawab mereka, "Tentu saja!"
"Jadi bagaimana kalian bisa punya waktu untuk bernafas kalau kalian begitu sibuk?"
Mereka tidak tahu harus menjawab apa.
"Jika kalian punya sati (perhatian, kewaspadaan) saat bekerja, kalian akan punya cukup banyak waktu untuk berlatih."
Berlatih meditasi sama halnya dengan bernafas.
Saat bekerja kita bernafas, saat tidur kita bernafas, saat duduk kita bernafas...
mengapa kita punya waktu untuk bernafas?
Karena kita melihat betapa pentingnya bernafas, jadi kita selalu dapat menyediakan waktu untuk bernafas.
Begitu pula jika kita melihat pentingnya berlatih meditasi, maka kita akan mempunyai waktu untuk itu.
Pernahkah anda menderita?...
pernahkah anda bahagia?... 
di sinilah kebenaran, di sinilah anda harus berlatih Dhamma.
Siapakah itu yang berbahagia? Pikiran yang berbahagia.
Siapa yang menderita?... Pikiran.
Di manapun hal-hal semacam itu muncul, di situ pulalah mereka lenyap.

Sudahkah anda mengalami penderitaan?...
sudahkah anda mengalami kebahagiaan?...
mengapa demikian?
Apa yang menyebabkan semua ini?... inilah masalah kita.
Jika kita mengetahui penderitaan, penyebab penderitaan, hilangnya penderitaan dan jalan yang menuju ke akhir penderitaan, kita dapat memecahkan masalah itu.

Ada dua macam penderitaan:
penderitaan biasa dan penderitaan tidak biasa.
Penderitaan biasa adalah penderitaan yang memang menjadi sifat dari semua kondisi,
berdiri adalah penderitaan, duduk adalah penderitaan, berbaring adalah penderitaan.
Ini adalah penderitaan yang memang ada di dalam setiap fenomena yang terkondisi.
Bahkan Sang Buddha-pun mengalami hal-hal semacam itu.
Beliau mengalami rasa nyaman dan rasa sakit, tetapi mengenalinya sebagai kondisi alami.
Beliau tahu bagaimana mengatasi perasaan-perasaan yang timbul dari rasa nyaman dan rasa sakit ini lewat pengertian terhadap sifat alami.
Karena pengertian inilah maka perasaan-perasaan yang timbul tidak mengganggu Beliau.

Jenis penderitaan yang kedua inilah yang penting, yaitu penderitaan yang masuk dari luar, penderitaan yang tidak biasa.
Jika kita sakit mungkin kita akan memerlukan suntikan dokter, saat jarum suntik disuntikan ada sedikit rasa sakit, ini hal yang wajar.
Saat jarum dicabut rasa sakit itupun ikut lenyap.
Ini adalah penderitaan yang biasa, tidak ada masalah, semua mengalami, penderitaan yang tidak biasa adalah penderitaan yang timbul dari apa yang kita sebut upadana, kemelekatan pada sesuatu, ibarat mendapat suntikan yang berisi racun, ini bukan lagi rasa sakit biasa, melainkan rasa sakit yang berakhir dengan kematian.

Demikian juga penderitaan yang timbul karena kemelekatan.
Pandangan yang salah, tidak mengetahui bahwa segala sesuatu yang terkondisi itu tidak kekal, adalah masalah yang lain lagi.
Keadaan yang terkondisi adalah alam samsara.
Bila kita tidak menginginkan adanya perubahan—kita pasti menderita.
Ketika kita berpikir bahwa badan ini adalah kita atau milik kita, rasa takut timbul saat kita melihat badan ini berubah menjadi tidak lebih baik.
Lihatlah nafas:
sesudah keluar ia harus masuk lagi.
Begitulah sifatnya.
Dan karena sifat inilah kita mampu bertahan hidup.
Jika kita hanya menghembuskan nafas keluar atau hanya menghirup masuk saja kita tidak dapat hidup, segala sesuatu tidak berjalan seperti itu, begitulah kondisi, tetapi kita tidak menyadari hal itu.

Misalnya, kita kehilangan sesuatu benda, jika kita berpikir bahwa benda itu benar-benar milik kita, kita akan berlarut-larut bersedih karenanya, dan jika kita tidak dapat melihatnya sebagai sesuatu yang terkondisi, yang menjalani sifat alaminya, maka kita akan menderita.
Jika kita hanya menghirup nafas dan tidak menghembuskannya, menghembuskan nafas saja tanpa menghirupnya, dapatkah
kita hidup?
Hal yang terkondisi memang harus berubah.
Melihat hal ini adalah melihat Dhamma, melihat aniccam, perubahan.
Hidup kita tergantung dari perubahan semacam itu.
Bila kita mengetahui segala sesuatunya seperti apa adanya, kita dapat melepaskan.

Tujuan latihan Dhamma adalah mengembangkan pengertian tentang bagaimana berlangsungnya proses hukum alam, dan dengan demikian penderitaan tidak muncul.
Jika kita mempunyai pola pikir yang salah, maka kita akan berselisih dengan dunia, dengan Dhamma dan dengan kebenaran.
Misalkan anda sakit dan harus dirawat di rumah sakit.
Kebanyakan orang berpikir,
"Tolong, jangan biarkan saya mati, saya tidak mau mati, saya ingin sembuh."
Ini adalah cara berpikir yang salah, yang akan membawa penderitaan.
Anda harus berkata pada diri sendiri:
"Saya berusaha mengobati jasmani ini, jika saya akan sembuh, ya sembuh.
Dan jika saya akan mati, ya mati".
Ini adalah cara berpikir yang benar, karena kita tidak dapat sepenuhnya mengatur keadaan.
Jika kita berpikir seperti ini, sembuh atau tidak sembuh tidak jadi soal. Kita tidak bisa salah, dan kita tidak perlu khawatir.
Ingin sembuh dengan segala cara dan takut menghadapi kematian...
ini adalah pikiran yang tidak mengerti kondisi.
Kita harus berpikir,
"Jika saya sembuh, itu bagus, jika tidak itupun bagus".
Dengan begitu kita tidak dapat salah.
Kita tidak perlu menangis atau takut, karena kita telah menyesuaikan diri dengan segala sesuatu seperti apa adanya.

Sang Buddha melihat dengan jelas, ajaran Beliau selalu relevan, tidak pernah ketinggalan jaman.
Tidak pernah berubah, pada jaman sekarangpun masih tetap benar seperti dulu, belum ketinggalan jaman.
Segala sesuatunya masih tetap benar seperti dulu, belum ketinggalan jaman, segala sesuatunya masih seperti apa
adanya, belum berubah.
Dengan membawa ajaran ini ke dalam sanubari maka kita dapat memperoleh ketenangan dan kesejahteraan.
Dalam Ajaran, ada gambaran mengenai
"bukan diri":
'ini bukanlah aku, bukan milikku'.
Tetapi orang tidak suka mendengarkan Ajaran-ajaran seperti ini karena mereka terikat pada konsep diri, inilah penyebab penderitaan.
Kita harus mencatatnya.

Hari ini seorang wanita bertanya tentang bagaimana cara menghadapi kemarahan.
Saya katakan bahwa jika lain kali kemarahan itu timbul, pasanglah jam weker dan taruhlah di depan mata.
Kemudian sediakan dua jam untuk mengusir kemarahan itu.
Jika kemarahan itu benar-benar miliknya maka ia mungkin bisa mengusir kemarahan itu dengan berkata,
"Pergilah dalam waktu dua jam!"
Tetapi nyatanya kita tidak berkuasa memerintah seperti itu.
Kadang kala dalam dua jam kemarahan itu belum berlalu, sedangkan pada kesempatan lain satu jam saja sudah cukup.
Berpegangan pada kemarahan sebagai milik pribadi akan membawa penderitaan.
Jika ia benar-benar milik kita seharusnya ia patuh.
Jika tidak, berarti itu hanyalah tipuan.
Jangan terpedaya.
Jangan tertipu baik oleh pikiran sedih atau gembira, jangan tertipu baik oleh pikiran mencinta atau membenci, semuanya hanyalah tipuan.
Pernahkah anda marah? 
Ketika anda marah, bagaimana rasanya: 
nyaman atau tidak? 
Jika terasa tidak enak mengapa tidak dibuang saja perasaan itu, mengapa repot-repot disimpan? 
Bagaimana Anda dapat menyebut diri pandai dan bijaksana jika anda melekati hal-hal semacam itu? 
Semenjak lahir sudah berapa kali anda ditipu oleh pikiran sehingga menjadi marah? 
Ada hari-hari di mana pikiran bahkan dapat menyebabkan seluruh anggota keluarga bertengkar, atau menyebabkan anda menangis semalaman. 
tetapi masih saja marah, kita masih melekat pada ini dan itu, kemudian menderita. 
Jika anda tidak melihat ke dalam penderitaan maka anda akan tetap menderita. 
Jika anda melihat penderitaan dalam kemarahan hari ini, buanglah! 
Jika tidak dibuang kemarahan itu akan terus menerus dan pasti membawa penderitaan. 
Tidak ada kesempatan untuk beristirahat, dunia samsara memang seperti ini. 
Jika kita tahu sebagaimana adanya, kita dapat memecahkan masalahnya.

Ajaran Sang Buddha menyatakan bahwa alat terbaik untuk mengatasi penderitaan adalah melihat bahwa 
"Ini bukanlah aku", 
"Ini bukanlah milikku". 
Ini adalah metode terhebat. 
tetapi biasanya kita tidak memperhatikan hal ini. 
Ketika penderitaan muncul, kita hanya menangis saja tanpa belajar darinya. 
Kita harus benar-benar memperhatikan penderitaan yang timbul, penyebabnya dan jalan menuju lenyapnya penderitaan, untuk mengembangkan ke-Buddha-an.
Perhatikanlah baik-baik, saya akan memberikan Dhamma di luar kitab, beberapa di antara anda mungkin tidak menyadari bahwa ini adalah ajaran Dhamma.
Kebanyakan orang melihat kitabnya tetapi tidak melihat Dhamma. 
Hari ini saya akan memberikan ajaran di luar kitab, beberapa orang mungkin akan melewatkan intinya atau bahkan tidak mengerti.

Misalkan, ada dua orang yang sedang bercakap-cakap, dan kemudian melihat seekor ayam dan seekor itik. 
Yang satu berkata: 
"Mengapa ayam itu tidak seperti itik,  mengapa itik itu tidak seperti ayam?" 
Dia ingin agar ayam itu menjadi seperti itik dan itik menjadi seperti ayam. 
Ini adalah sesuatu yang tidak mungkin. 
Meskipun orang tersebut berharap sepanjang hidupnya maka hal itu tidak akan terjadi, karena ayam adalah ayam dan itik adalah itik. 
Selama orang berpikir semacam itu ia akan menderita. 
Orang yang satu mungkin melihat bahwa ayam adalah ayam dan itik adalah itik, begitu saja. 
Tidak ada masalah, ia melihat dengan benar. 
Jika anda menginginkan ayam menjadi itik atau sebaliknya, anda pasti akan menderita.

Demikian juga, hukum aniccam menyatakan bahwa segala sesuatunya tidak kekal. 
Jika anda menginginkan segala sesuatunya menjadi kekal, anda akan menderita. 
Tiap kali ketidak-kekalan menampakkan diri, anda akan kecewa.
Seseorang yang melihat bahwa segala sesuatu memang bersifat tidak kekal akan tenang. 
Dia tidak akan berada dalam konflik, sebaliknya yang menginginkan segala sesuatunya kekal tidak akan tenang, bahkan mungkin tidak bisa tidur. 
Itu adalah ketidak-pedulian tentang aniccam, ketidak-kekalan.

Jika anda ingin mengenal Dhamma, ke mana harus mencari? 
Kita harus mencarinya dalam tubuh dan pikiran ini. 
Anda tidak akan menemukannya di rak-rak buku. 
Untuk benar-benar melihat Dhamma kita harus melihat pada tubuh dan pikiran, hanya dua hal ini. 
Pikiran memang tidak terlihat oleh mata fisik, ia harus dilihat dengan "mata batin". 
Sebelum Dhamma dapat direalisasikan kalian harus tahu ke mana harus mencari. 
Dhamma yang ada di dalam tubuh harus dilihat pada tubuh. 
Dan dengan apa kita melihat tubuh? 
Dengan pikiran. 
Kalian tidak akan melihat Dhamma jika mencari ke arah lain, karena baik kebahagiaan maupun penderitaan muncul persis di sini. 
Atau sudah pernahkah anda melihat kebahagiaan tumbuh di pepohonan? 
Atau dari sungai, atau cuaca? 
Kebahagiaan dan penderitaan adalah perasaan yang muncul dari tubuh dan pikiran kita sendiri.
Maka dari itu Sang Buddha mengatakan pada kita untuk mengenali Dhamma persis di sini, Dhamma ada di sini dan di sinilah kita harus melihat. 
Guru anda mungkin menyuruh anda mencarinya di buku-buku, tetapi jika anda benar-benar mengira bahwa di situlah Dhamma sebenarnya berada, anda tidak akan pernah melihatnya. 
Setelah melihat buku-buku itu anda harus merenungkan ajaran itu.
Dengan demikian anda akan mengerti Dhamma. 
Di mana letak Dhamma yang sebenarnya?
Ia berada persis di sini, di dalam tubuh dan pikiran kita. 
Gunakanlah pikiran untuk merenungkan tubuh. 
Ini adalah inti dari latihan perenungan.

Bila kita melakukan hal ini, kebijaksanaan akan muncul dalam pikiran, bila ada kebijaksanaan dalam pikiran kita, maka tidak jadi soal, kemanapun kita melihat akan ada Dhamma. 
Kita akan melihat aniccam, dukkham dan anatta setiap
saat. Aniccam artinya sementara (transient). 
Dukkham—jika kita melekat pada
hal-hal yang sementara kita pasti menderita, karena mereka bukan kita atau kepunyaan kita (anatta), tetapi jika kita tidak melihat hal ini, kita akan selalu melihatnya sebagai kita atau milik kita.

Ini artinya kita tidak melihat kebenaran dari konvensi (kesepakatan bersama), kita harus mengerti tentang konvensi. Sebagai contoh, semua yang hadir di sini mempunyai nama. 
Apakah nama-nama itu dilahirkan bersama kita atau diberikan sesudahnya? 
Mengertikah kalian? 
Inilah konvensi. 
Apakah konvensi itu berguna? 
Tentu saja. 
Sebagai contoh, misalkan ada empat orang lelaki yaitu A, B, C, dan D. 
Mereka semua harus punya nama sendiri-sendiri untuk memudahkan komunikasi dan kerja bersama. 
Jika kita ingin berbicara kepada Pak A kita dapat memanggil "Pak A" dan beliau akan datang, bukan yang lain. 
Ini adalah kemudahan yang diberikan konvensi. 
Tetapi jika kita melihat dalam-dalam kita akan melihat kekosongan. 
Yang ada hanya empat elemen (tanah, air, angin dan api), hanya inilah tubuh kita.

Tetapi kita tidak melihatnya seperti itu karena kekuatan kemelekatan—Attavadupadana. 
Jika kita mau melihat dengan jelas, kita akan melihat bahwa yang disebut manusia itu tidaklah seberapa. 
Bagian yang padat adalah elemen tanah, bagian yang cair adalah elemen air, bagian yang bergerak
adalah elemen angin dan bagian yang panas adalah elemen api. 
Perpaduan keempat elemen itulah yang kita sebut manusia. 
Bila dipisah-pisahkan, kita hanya akan melihat tanah, air, angin dan api. 
Lalu di mana orangnya? 
Tidak ada.

Itulah sebabnya mengapa Sang Buddha mengajarkan bahwa tidak ada latihan yang lebih tinggi dari pada melihat bahwa "Ini bukan aku dan bukan milikku".
Semuanya hanyalah konvensi. 
Jika kita memahami segala sesuatunya dengan jelas seperti ini kita akan berada dalam kedamaian. 
Jika saat ini kita menyadari ketidak-kekalan, bahwa segala sesuatu bukanlah kita atau milik kita, ketika mereka hancur kita tidak akan terganggu, karena toh mereka bukan milik siapapun.
Mereka hanyalah elemen tanah, air, angin dan api.
Sulit bagi orang untuk melihat hal ini, tetapi bukan berarti tidak mungkin jika kita dapat melihat hal ini kita akan merasa tenteram, tidak akan ada begitu banyak kemarahan, ketamakan atau khayalan. 
Akan selalu ada Dhamma dalam hati kita. 
Tidak perlu ada rasa cemburu dan iri hati karena semua hanyalah elemen tanah, air, angin dan api, tidak lebih. 
Ketika kita menerima kebenaran ini kita akan melihat kebenaran ajaran Sang Buddha.

Jika kita dapat melihat kebenaran ajaran Sang Buddha, kita tidak akan memerlukan terlalu banyak guru! 
Tidak perlu mendengarkan ajaran setiap hari.
Jika mengerti, maka kita akan mengerjakan apa yang dituntut dari kita. 
Apa yang membuat orang sulit diajar adalah mereka tidak mau menerima ajaran itu dan mendebat guru serta ajaran tersebut. 
Di depan guru, mereka bertindak sedikit lebih baik, tetapi mereka menjadi pencuri di belakangnya. 
Orang memang sulit diajar. 
Orang-orang Thailand pun seperti ini, itulah sebabnya mereka harus mempunyai banyak guru.

Waspadalah, jika tidak waspada anda tidak akan melihat Dhamma, anda harus tanggap terhadap situasi. 
Dengarkanlah ajaran, dan pertimbangkan baik-baik, apakah bunga ini indah? 
Apakah anda dapat melihat keburukan bunga ini?... 
Berapa lama mereka akan tetap indah?... Akan jadi seperti apakah
nantinya?... 
Mengapa itu berubah?... 
Dalam waktu tiga atau empat hari anda harus membuang bunga itu bukan? 
Ia kehilangan keindahannya. 
Orang melekat pada keindahan dan kebaikan. 
Jika sesuatu tampak baik mereka langsung saja melekat.
Sang Buddha mengajar kita untuk melihat sesuatu yang indah sebagai sesuatu yang indah tanpa terikat padanya. 
Jika ada perasaan menyenangkan jangan terpedaya.
Kebaikan (goodness), keindahan bukanlah sesuatu yang pasti, tidak ada sesuatupun di dunia ini yang pasti, inilah kesunyataan. 
Hal-hal yang bukan benar adalah hal-hal yang berubah, misalnya kecantikan. 
Kebenaran yang ada pada hal-hal semacam itu adalah bahwa semuanya berubah terus. 
Jika kita percaya bahwa sesuatu itu benar-benar indah, maka saat keindahannya hilang, pikiran kita ikut kehilangan keindahannya. 
Ketika sesuatu tidak lagi baik, pikiran kita ikut kehilangan kebaikannya. 
Kita "menginvestasikan" pikiran kita dalam hal-hal materi seperti ini. 
Ketika mereka rusak atau hancur kita menderita karena kita merasa memiliki. 
Sang Buddha mengatakan pada kita untuk melihat hal-hal ini semata-mata sebagai stuktur alam. 
Keindahan muncul dan dalam beberapa hari akan lenyap. 
Bisa melihat ini berarti mempunyai kebijaksanaan.

Maka dari itu kita harus melihat ketidak-kekalan, jika melihat sesuatu yang indah, kita harus berkata kepada diri kita sendiri: 
"Itu tidak indah." 
Jika berpikir, bahwa sesuatu jelek kita harus mengatakan pada diri sendiri: 
"Itu tidak jelak." 
Cobalah untuk melihat seperti ini, teruslah merenung seperti ini.
Kita akan melihat kebenaran pada hal-hal yang tidak benar, melihat kepastian pada hal-hal yang tidak pasti.

Hari ini saya telah menerangkan jalan untuk mengerti penderitaan, apa yang menyebabkan penderitaan, hilangnya penderitaan dan jalan menuju akhir penderitaan. 
Jika kalian mengerti penderitaan, kalian harus membuang penderitaan, jika kalian mengerti penyebab penderitaan, kalian harus membuang penyebab. 
Berlatihlah untuk melihat hilangnya penderitaan. 
Lihatlah aniccam, dukkham dan anatta maka penderitaan pun akan berkurang.
Ketika penderitaan menghilang ke mana kita harus pergi? 
Untuk apa latihan yang kita jalankan? 
Kita berlatih untuk melepaskan, bukan untuk mendapatkan. 
Ada seorang wanita yang sore tadi memberitahukan pada saya bahwa dia menderita. 
Saya bertanya padanya apa yang diinginkan dan dia menjawab ia ingin penerangan (enlightenment). 
Saya berkata, 
"Selama kamu masih menginginkan penerangan kamu tidak akan pernah mencapai penerangan. 
Jangan menginginkan apapun." 
Ketika kita mengerti kebenaran penderitaan kita membuang penderitaan.
Ketika kita mengerti sebab-sebabnya kita tidak menciptakan sebab-sebab tersebut,
kita berlatih untuk membawa penderitaan pada akhir jalan lenyapnya penderitaan.
Latihan yang menuju ke penghentian itu adalah dengan melihat 
"Ini bukanlah diri", 
"Ini bukan aku atau mereka". 
Melihat dengan cara seperti ini memungkinkan penderitaan untuk hilang. 
Ini seperti mencapai tujuan dan berhenti. 
Itulah penghentian, mendekati Nibbana. 
Dengan kata lain, maju adalah penderitaan, mundur adalah penderitaan, berhenti adalah penderitaan. 
Tidak maju, tidak mundur, tidak berhenti... apa yang tersisa? 
Tubuh dan pikiran berhenti di sini.
Inilah berhentinya penderitaan. 
Sulit untuk dimengerti bukan? 
Jika kita rajin terus menerus mempelajari ajaran ini kita akan melampaui segala sesuatu dan mencapai pengertian. 
Akan ada penghentian. 
Inilah ajaran utama Sang Buddha: 
titik akhir, ajaran Sang Buddha berakhir pada titik tercapainya pelapasan total.
Hari ini saya menawarkan ajaran ini pada kalian semua dan juga YM Kepala Biara. 
Jika ada yang salah mohon dimaafkan. tetapi jangan terburu-buru menghakimi benar atau salah, dengarkan saja dulu. 
Jika saya memberi anda buah dan mengatakan bahwa buah itu enak, kalian catat saja komentar saya itu, tetapi jangan langsung percaya, karena kalian belum mencicipinya sendiri. 
Ajaran yang saya berikan hari ini, juga demikian. 
Jika anda ingin tahu apakah "buah" ini manis atau masam, kupas lalu cicipi. 
Kemudian anda akan tahu apakah itu manis atau masam. 
lalu anda dapat mempercayai saya karena telah membuktikannya sendiri. 
Jadi tolong jangan buang "buah" ini, simpan dan rasakan, kenalilah rasanya sendiri.

Hari ini adalah hari yang sangat menguntungkan bagi kita semua. 
Saya telah berkesempatan untuk bertemu dengan anda semua dan juga para guru terhormat lainnya. 
Anda tadinya tidak berpikir bahwa kita akan bisa bertemu seperti ini karena kita tinggal berjauhan. 
Saya rasa pasti ada alasan khusus kenapa kita bisa bertemu seperti ini. 
Sang Buddha mengajarkan bahwa segala sesuatunya pasti mempunyai sebab. 
Jangan lupakan ini. 
Pasti ada beberapa sebab, mungkin dalam kehidupan yang lalu kita semua adalah saudara, mungkin karena guru yang lain tidak datang saya yang datang, mengapa demikian? 
Mungkin karena kita membuat penyebabnya sendiri saat ini.
Saya akan meninggalkan anda semua dengan ajaran ini, semoga anda tekun dalam latihan.
Tidak ada yang lebih baik dari pada berlatih Dhamma, Dhamma adalah pendukung kehidupan.
Orang bingung sekarang ini karena mereka tidak mengerti Dhamma.
Jika kita mempunyai Dhamma kita akan tenteram.
Saya merasa berbahagia berkesempatan membantu anda dan para guru untuk mengembangkan latihan Dhamma.
Saya meninggalkan anda dengan hati yang berisi harapan-harapan yang baik bagi anda.
Besok saya akan pergi, saya tidak yakin ke mana.
Ini adalah hal yang wajar, ada kedatangan harus ada kepergian, ada kepergian harus ada kedatangan.
Beginilah dunia.
Kita jangan terlalu terpengaruh oleh perubahan yang ada, ada kebahagiaan kemudian ada penderitaan, ada penderitaan kemudian ada kebahagiaan,
ada untung kemudian ada rugi, ada rugi kemudian ada untung, beginilah segala sesuatunya.

Pada masa Sang Buddha ada seorang murid yang tidak suka pada Sang Buddha, karena Sang Buddha selalu mendesak mereka untuk bertekun, untuk selalu waspada.
Mereka yang malas takut kepada Sang Buddha dan menolak Beliau, ketika Sang Buddha meninggal, satu kelompok murid menangis dan tertekan karena Sang Buddha tidak bisa membimbing mereka lagi, kelompok ini belum pandai.
Kelompok yang lain merasa senang dan lega karena Sang Buddha tidak akan bisa mendorong-dorong mereka dan memerintah mereka untuk berlatih dengan rajin dan sebagainya.
Kelompok yang ketiga tetap tenang, mereka merenungkan bahwa apa yang muncul pasti akan lenyap sebagai konsekwensinya.
Ada tiga kelompok ini.
Kalian ingin menjadi kelompok yang mana?
Kelompok yang menangis adalah kelompok yang masih belum mengerti Dhamma, kelompok yang kedua adalah kelompok yang menolak Sang Buddha.
Beliau selalu melarang mereka melakukan hal-hal tidak bermanfaat yang mereka inginkan, mereka hidup dalam ketakutan akan komentar-komentar Sang Buddha, jadi saat Beliau meninggal mereka merasa sangat lega.

Sekarang ini keadaan tidak begitu banyak berubah, ada kemungkinan guru-guru di sini mempunyai murid-murid yang menolak mereka, mungkin tidak secara langsung, hanya dalam hati.
Memang wajar bagi orang yang masih mempunyai kekotoran batin untuk bertindak seperti itu.
Bahkan Sang Buddha pun ada yang membenci.
Saya juga mempunyai murid yang seperti itu, saya mengatakan kepada mereka untuk berhenti berbuat jahat tetapi mereka menyayangi perbuatan jahat.
Jadi mereka membenci saya, banyak yang seperti ini, semoga kalian semua pandai membawa diri dalam berlatih Dhamma.

Semoga semua mengerti
Semoga semua makhluk berbahagia