Ini
tak lain adalah Kebenaran Mulia kedua, nafsu-keinginan (craving) akan
menimbulkan penderitaan.
Jika
sadar akan kebenaran ini dan merenungkannya dengan mendalam, kita akan mengerti
bahwa memaksakan hasil dari latihan Dhamma adalah murni kebodohan. Itu salah.
Memahami hal ini, kita pasrah dan membiarkannya tumbuh menurut kemampuan,
kecakapan spiritual dan pahala yang telah kita kumpulkan. Kita tetap
mengerjakan bagian kita. Jangan khawatir berapa lama hasilnya muncul. Walaupun
masih seratus, seribu kehidupan lagi untuk mencapai pencerahan, lalu kenapa?
Berapa banyakpun kehidupan yang diperlukan, kita terus berlatih dengan bathin
yang enteng, melangkah dengan tanpa beban. Begitu pikiran memasuki arus, tidak
ada ketakutan. Perbuatan jahat sekecil apapun telah lenyap.
Sang
Buddha menyebutkan bahwa pikiran seorang sotapanna — seseorang yang telah
mencapai tingkat pertama dalam pencerahan, yang sudah memasuki arus Dhamma —
terus mengalir menuju pencerahan.Orang tersebut tak lagi mengalami alam rendah
yang menyedihkan, takkan jatuh ke neraka. Bagaimana mungkin mereka yang
pikirannya telah terbebas dari niat jahat bisa jatuh ke dalam neraka? Mereka
sudah melihat bahaya dari melakukan kamma buruk. Sekalipun anda memaksa mereka
untuk melakukan atau mengatakan sesuatu yang jahat, mereka tidak mampu
melakukannya. Jadi tak ada kesempatan bagi mereka untuk jatuh ke neraka atau
alam yang menyedihkan.Pikiran mereka mengalir sesuai arus Dhamma.
Saat
anda memasuki arus, anda tahu apa tanggungjawab anda. Anda memahami kerjanya.
Mengerti cara berlatih. Anda tahu kapan harus berjuang keras dan kapan harus
rileks.
Anda
memahami tubuh dan pikiran anda, proses fisik dan mental ini, dan meninggalkan
hal-hal yang musti ditinggalkan, terus menerus melepas tanpa setitik pun
keragu-raguan.
Dalam
pengalaman saya mempraktikkan Dhamma, saya tidak berharap menguasai semua
bagian. Hanya satu: saya memurnikan hati ini. Seperti saat melihat sesosok
tubuh. Kalau kita tertarik, maka analisalah. Perhatikan baik-baik: rambut,bulu
badan, kuku, gigi, dan kulit yang indah. Sang Buddha mengajarkan untuk meneliti
dan berulang-ulang merenungi bagian-bagian tubuh ini. Membayangkannya secara
terpisah,memisahkannya dengan mengupas kulit ini dan membakarnya.
Beginilah
caranya. Latih terus meditasi ini hingga mantap dan kokoh. Lihat setiap orang
secara sama. Sebagai contoh ketika para bhikkhu dan murid pemula (samanera)
pergi ke desa untuk mengumpulkan dana makanan di pagi hari, siapapun yang
mereka lihat — apakah ia bhikkhu maupun penduduk desa — mereka membayangkannya
sebagai tubuh mati, sosok mayat yang berjalan sempoyongan di depan mereka.
Selalulah melihat dengan cara seperti itu. Inilah cara kerja kita. Ini akan
menuntun kepada kematangan dan perkembangan bathin.Ketika anda melihat seorang
wanita muda yang menurut anda menarik, bayangkan ia adalah mayat yang berjalan,
badannya busuk dan bau bangkai. Lihatlah setiap orang dengan cara itu.
Jangan
biarkan mereka terlalu dekat. Jangan sampai nafsu timbul dalam diri anda.
Apabila anda melihatnya busuk dan berbau, saya jamin nafsu tak akan muncul.
Kontemplasikan
hingga anda yakin dengan apa yang anda lihat, hingga jelas dan anda menjadi
mahir. Maka jalan apapun yang akan anda tempuh, anda takkan tersesat. CEBUR-kan
diri sepenuh hati ke dalam meditasi ini. Kapanpun anda melihat seseorang, itu
sama dengan mayat. Apakah ia laki-laki atau perempuan, lihatlah mereka sebagai
mayat. Hasilnya, mayatlah yang anda lihat.
Berusahalah
mengembangkan cara ini dengan seksama semampu anda.
Melatihnya
sampai hal tersebut menjadi bagian dalam pikiran anda. Saya jamin, ini bakal sangat
mengasyikkan bila anda melatihnya sungguh-sungguh. Apabila hal ini Cuma
terbayang-bayang dalam pikiran setelah anda membacanya dari buku, anda akan
mengalami kesulitan. Jadi anda harus mem-praktik-kannya. Lakukan dengan sepenuh
hati dan ikhlas.
Melatihnya
hingga meditasi ini menjadi bagian dari diri anda. Tanamkan cita-cita yang kuat
untuk merealisasikan Kebenaran.
Jika
anda termotivasi oleh keinginan untuk mengatasi penderitaan, maka anda akan
berada di jalan yang benar.
Saat
ini banyak orang yang mengajar Vipassana dan berbagai ragam teknik-teknik
meditasi. Saya mau katakan: tidak gampang melakukan vipassana. Kita tidak bisa
langsung melompat ke dalamnya. Tak bakal jalan kalau tidak dimulai dengan
latihan moralitas yang tinggi. Coba saja. Disiplin moral dan latihan sila
adalah penting, karena sebelum perilaku,perbuatan, dan ucapan kita tanpa-cela
kita takkan pernah bisa berdikari. Bermeditasi tanpa adanya kebajikan adalah
mengabaikan bagian pokok dari jalan.
Begitu
pula, terkadang anda mendengar orang berkata, “Anda tak perlu mengembangkan
ketenangan (samatha). Loncati, langsung saja meditasi vipassana”. — Orang malas
yang grusah-grusuh suka ngomong seperti itu. Mereka bahkan mengatakan anda tak
perlu pusing dengan disiplin-moralitas. — Menegakkan dan memurnikan sila memang
penuh tantangan. Tidak main main.
Andai
saja kita boleh melewati semua latihan laku etis,urusan jadi gampang; begitu
‘kan? Dan lalu setiap menjumpai kesulitan, kita hanya menghindar — lompati
saja. Ya tentu, kita semua maunya sih meloncati kesulitan-kesulitan.
Dahulu
saya pernah ketemu seorang Bhikkhu yang mengatakan bahwa ia seorang
praktisi-meditator. Dia minta ijin untuk tinggal bersama saya di sini dan
menanyakan jadwal kegiatan serta peraturan biara. Saya menjelaskan bahwa kita hidup
di vihara ini menurut Vinaya, peraturan kebiaraan yang diberikan Sang Buddha.
Dan apabila ia ingin tinggal dan berlatih dengan saya maka ia mesti
meninggalkan uang dan semua barang miliknya. Dia menjawab bahwa ia berlatih
“tidak-melekat kepada aturan-umum (conventions)”. “Dapatkah saya tinggal di
sini?”, dia bertanya, “Dan saya mau tetap menyimpan semua uang saya, namun
tanpa melekat kepadanya. Uang itu ‘kan cuma konvensi”. — Dia cuma sedang
membual. Sebenarnya dia hanya terlalu malas untuk mengikuti vinaya. Makanya
saya bilang, ini tidak gampang. — “Jika anda bisa menelan garam dan dengan
jujur bisa meyakinkan saya bahwa itu tidak asin,maka saya akan tanggapi anda
dengan serius.
Dan
ketika anda mengatakan itu tidak asin, saya akan membawakan sekarung lagi untuk
anda makan. Coba saja. Asin tidak? Ketakmelekatan terhadap konvensi bukanlah
hanya soal pintar bersilat lidah.Kalau anda cuma terus ngomong macam begitu,
anda tidak dapat tinggal bersama saya.” Kemudian ia pun ngeloyor pergi.
Kita
harus berusaha dan menjaga praktik kebajikan (sila).
Para
biarawan musti berlatih dengan berupaya menjalankan praktik asketik (dhutanga),
sementara umat awam musti melatih Pancasila Buddhis. Berusahalah mencapai
kemurnian dalam setiap ucapan dan perbuatan. Kita harus mengembangkan kebaikan
dengan segenap kemampuan kita, dan terus melakukannya.
Ketika
kita mulai mengembangkan ketenangan meditasi samatha, jangan membuat kesalahan
dengan cuma berlatih sekali dua kali lalu berhenti karena pikiran tidak bisa
tenang. Itu bukan cara yang benar. Anda harus menumbuhkan meditasi dalam jangka
waktu yang panjang. Mengapa membutuhkan waktu yang panjang?
Coba
pikirkan. Entah berapa lama kita telah membiarkan pikiran ini mengembara?
[Sejak dahulu kala] sudah berapa tahun anda tidak melakukan meditasi samatha?
Kapan
saja pikiran ini memerintahkan hal tertentu, kita tergopoh-gopoh memburunya.
Untuk menenangkannya, agar berhenti dan diam, sekedar latihan beberapa bulan
belumlah cukup. Pikirkanlah ini.
Ketika
kita melatih pikiran agar menjadi tenang di segala situasi, harap dimaklumi
bahwa di awal manakala emosi negative muncul, pikiran ini tidak akan tenang. Ia
akan terganggu dan hilang kendali.
Mengapa?
Karena masih ada nafsu-kemauan (tanha)18. — Kita tidak mau pikiran ini
berpikir. Kita tidak mau mengalami gangguan suasana hati atau emosi.
Ketidak-mauan ini adalah keterikatan terhadap non-eksistensi [atau maunya:TIDAK-terganggu].
Semakin kita menolaknya semakin kita justru mengundang dan mempersilahkannya
masuk. —“Saya tidak menginginkan ini, tapi mengapa mereka datang padaku? Saya
tidak mengharapkan begini, tapi mengapa terjadi begini?
”
Nah, itu! — Kita mau-nya pelbagai hal jadinya begini atau begitu, karena kita
tidak memahami pikiran kita sendiri. Ini bisa memakan waktu yang panjang
sebelum kita meng-realisasi (menyadari) bahwa berputar-putar dengan hal
tersebut adalah sebuah kesalahan. Pada akhirnya kita akan mengerti dengan
jelas, “Ooh, hal-hal tersebut muncul karena aku memang mengundangnya.”
Mendambakan
untuk TIDAK-mengalami sesuatu, mendambakan untuk menjadi tenang, mendambakan
untuk tidak terganggu atau teragitasi — ini semua adalah tanha. Itu semuanya seperti
lempeng besi panas membara. Tetapi, okelah.
Pokoknya
berlatihlah terus. Tiap kali mengalami suatu mood atau emosi, periksalah bahwa
ini tidak kekal, tidak memuaskan,dan tanpa inti, dan cemplungkan mereka ke
dalam salah satu dari tiga kategori ini. Kemudian refleksi dan selidiki:
perasaan yang keruh selalu dibarengi dengan pemikiran yang berlebihan
(excessive thinking). Manakala suatu mood terbit, pemikiran mesti lalu datang
membayang-bayangi. Pemikiran atau mikir mikir (thinking) dan kebijaksanaan (wisdom)
adalah dua hal yang sangat berbeda.
Mikir-mikir
itu cuma bereaksi dan membuntuti suasana hati kita, dan mereka berlanjut tanpa
henti.
Tetapi
begitu wisdom bekerja, ia akan membawa pikiran ke keheningan (stillness).
Pikiran ini berhenti dan tidak ke manamana.
Yang
ada sekedar mengetahui dan mengenali apa yang sedang dialami: ketika emosi ini
muncul, pikiran seperti ini; dan saat mood itu muncul, ia seperti itu. Kita
pertahankan yang “mengetahui” ini. Akhirnya terjadilah pada kita, “Heii, semua
mikir-mikir, ocehan mental tak ada juntrungnya, kekhawatiran serta pelbagai
sikap-menghakimi, mengecap, memberi penilaian— ini semuanya gombal tanpa makna.
Semuanya tak permanen, tidak memuaskan, bukan aku atau milikku.” Cemplungkan
hal tersebut ke dalam satu dari TIGA-KATEGORI yang mencakup semuanya ini, dan
tumpas habis. Anda memotong sumbernya.Nanti saat kita bermeditasi lagi, hal ini
akan muncul lagi. Terus waspadai dan awasi. Mata-matailah dia.
IBARAT
menggembalakan kerbau. Anda punya: petani, tanaman padi, dan kerbau. — Si
kerbau maunya memakan tanaman padi. Bukankah tanaman padi adalah makanan yang
disukainya?
Pikiran
anda adalah ibarat kerbau. Perasaan yang keruh adalah seperti tanaman padi.
Yang “mengetahui” adalah petaninya. Praktik adalah seperti itu. Tidak berbeda.
Bandingkanlah sendiri. Ketika menggembalakan seekor kerbau, apa yang anda
lakukan? Anda melepas, membiarkannya leluasa, tetapi anda memantaunya.
Ketika
ia nyeleweng terlalu dekat ke tanaman padi, anda meneriakinya. Ia pun berbalik
saat mendengar suara anda.
Tetapi
jangan lalai, lengah akan apa yang sedang dilakukan kerbau. Bila anda mempunyai
kerbau yang bebal yang tidak nurut pada peringatan anda, ambillah tongkat dan
pukul pantatnya. Maka ia takkan berani mendekati tanaman padi. Tetapi anda jangan
bobok-siang. Kalau anda rebah terkantuk-kantuk, tanaman padi itu bakal tinggal
kenangan.
Demikian
juga dengan praktik Dhamma: anda cukup mengawasi pikiran anda; “si tahu”
menggembalakan pikiran ini.
“Orang-orang
yang mengawasi pikirannya dengan cermat akan terbebas dari jeratan Mara.” Namun
demikian “pikiran yang-mengetahui” ini adalah sang pikiran juga, jadi siapakah
yang sedang mengamati pikiran ini? Pertanyaan begini ini bisa jadi sangat
membingungkan. Pikiran adalah satu hal, yang-mengetahui adalah hal lain; tetapi
yang-mengetahui ini terbentuk dalam pikiran yang sama. Apa yang dimaksud dengan
mengetahui pikiran? — Yaa, seperti apakah rasanya menjumpai suasana hati dan
emosi-emosi? Seperti apakah keadaan perasaan yang jernih? Pengetahuan tentang hal
inilah yang dimaksud dengan yang “mengetahui.”
Yang-mengetahui
mengikuti pikiran dengan pengamatan, dan dari “mengetahui” inilah lahir
kebijaksanaan. — Pikiran yang berpikir dan yang terikat satu sama lain dengan
emosi-emosi ini persis seperti kerbau. Ke arah mana pun ia pergi, gunakan
pengamatan yang jeli. Bagaimana ia dapat lolos? Kalau ia mendekat tanaman padi,
anda bentak. Jika tak mau mendengar, ambil sepotong tongkat dan pukul. “Whack!”
Inilah cara menundukkan tanha (craving).
Tak
beda pula dengan melatih pikiran. Ketika pikiran mengalami suatu perasaan
(emosi) dan sekejab menggenggamnya — merupakan tugas “yang-mengetahui” untuk
mendidik.
Selidiki
suasana hati tersebut apakah ia baik atau buruk.
JELASKAN
pada pikiran bagaimana berlakunya sebab-dan akibat
Apabila pikiran kembali meraih, memegang
sesuatu yang ia sangka menyenangkan, “yang-mengetahui” harus mendidiknya lagi,
menjelaskan sebab dan akibatnya sampai ia rela melepaskan hal tersebut. Ini
akan membawa kedamaian pikiran. — Setelah menyadari bahwa apapun yang ia ambil
dan genggam pada dasarnya tidak memuaskan, pikiran pun berhenti. Ia tak
memusingkan hal-hal semacam itu lagi, karena ia di bawah cecaran teguran dan
nasehat-nasehat teratur.
Hadang nafsu-pikiran ini
dengan gigih. Desak dia sampai ke sarangnya, hingga ajaran ini merasuk dalam
bathin. Begitulah cara anda melatih pikiran
Tidak ada komentar:
Posting Komentar