Sabtu, 02 Juni 2012

2. Teori Dan Kenyataan



Sang Buddha tidak mengajarkan mengenai pikiran dan faktor-faktor mentalnya untuk kita lekati sebagai konsep. Satu satunya tujuan beliau hanyalah agar kita memahami bahwa semua ini tidak-kekal, tak memuaskan dan tiada-diri. Kemudian: biarkanlah berlalu. Letakkan. Sadar dan ketahuilah saat kemunculannya. — Pikiran ini memang sudah sangat begitu terkondisinya. Ia terlalu lama malah dilatih dan terkondisi untuk selalu lari, meleset dari keadaan kesadaran-murni (pure awareness).
Dan ketika ia menggelincir, ia menciptakan fenomena terkondisi yang selanjutnya mempengaruhi suasana pikiran, demikianlah seterusnya ia beranak-pinak. Proses inilah yang melahirkan baik, buruk serta segala hal di muka bumi ini.
Sang Buddha mengajarkan kita untuk meninggalkan semua itu. Di awal, tentu saja anda harus membiasakan diri mempelajari pelbagai teori supaya nantinya anda mampu meninggalkan semuanya.
Ini sekedar proses alamiah saja. Ya demikianlah pikiran ini. Demikian pula faktor-faktor mental. Ambil sebagai contoh:
Jalan Mulia Berunsur Delapan.
Manakala kebijaksanaan (wisdom) memandang segala sesuatu secara benar dengan wawasan-kebijaksanaan (insight), maka pandangan-benar ini akan membawa kepada pemikiran benar,ucapan-benar, tindakan-benar dan seterusnya. Semua ini meliputi pelbagai kondisi psikologis yang timbul dari hasil pengetahuan-kesadaran-murni (pure knowing awareness).
Pengetahuan ini bagaikan sebuah lentera yang menerangi jalan setapak di hadapan kita di kegelapan malam. Bila pengetahuan ini (the knowing) sudah benar, yakni sesuai dengan kenyataan (truth), ia bakal menyebar serta menerangi setiap langkah pada jalan berikutnya.
Apapun yang kita alami, semuanya muncul dari dalam pengetahuan ini. Apabila pikiran ini tidak eksis, pengetahuan tersebut juga tidak akan ada. Semua ini adalah fenomena pikiran. Seperti yang dikatakan Sang Buddha, pikiran adalah cuma sekedar pikiran. Ia bukanlah makhluk, orang, diri ataupun diri-anda. Juga bukan diri kita maupun mereka. Dhamma itu adalah sekedar Dhamma, begitu saja titik.
 Ia alami, berlangsung dengan sendirinya tanpa ada “diri” yang terlibat. Ia bukanlah kepunyaan kita atau siapapun. Ia bukan pula sesuatu. Apapun yang dialami seseorang tak lain adalah lima gugus fundamental(khandha): tubuh, perasaan, pencerapan (persepsi), bentuk bentuk pemikiran dan kesadaran.
Sang Buddha mengatakan: biarkanlah semua itu berlalu.
Meditasi itu bagaikan sebatang kayu. Pemahaman dan penyelidikan (vipassana) di salah satu ujung; ketenangan dan konsentrasi (samatha) di ujung yang lain. Jikalau kita memungutnya, apakah hanya satu ujung yang terbawa? Atau keduanya? Saat seseorang mengambil sebatang kayu, kedua ujungnya terangkat bersama. Lalu, bagian mana yang vipassana, dan mana yang samatha? Dimana batas persisnya?
Sesungguhnya: keduanya adalah pikiran. Bilamana pikiran ini menjadi damai, awalnya kedamaian ini muncul dari ketenangan samatha. Kita memusatkan dan menyatukan pikiran dalam kekhusukan meditatif (samadhi). Akan tetapi, bilamana kedamaian dan ketenangan dari samadhi itu berlalu,penderitaan bakal datang menggantikan. Mengapa demikian?
Karena kedamaian yang dihasilkan dari meditasi samatha saja itu masih berdasarkan kemelekatan. Kemelekatan ini kemudian bisa justru menjadi penyebab penderitaan lagi. Jadi, ketenangan bukan merupakan tujuan akhir.
Sang Buddha menyaksikan berdasarkan pengalamanNya sendiri bahwa kedamaian pikiran seperti itu bukanlah yang pamungkas. Sebab-sebab terdalam yang mendasari proses eksistensi (bhava) belumlah terpadamkan (nirodha). Kondisi yang menyebabkan kelahiran kembali masih ada. Usaha spiritualnya belum mencapai kesempurnaan.
Mengapa? Karena: masih ada penderitaan. Jadi berlandaskan ketenangan samatha itu beliau melanjutkan kontemplasi, meng-investigasi dan menganalisa hakekat realitas terkondisi hingga ia terbebas dari kemelekatan, bahkan kemelekatan terhadap ketenangan itu sendiri. Ketenangan ini masihlah merupakan bagian dari dunia eksistensi yang terkondisi dan merupakan realitas-konvensional. Melekat pada kedamaian ini adalah kemelekatan pada realitas-konvensional;selama kita melekat, kita akan terjerumus dalam eksistensi dan kelahiran kembali. Jadi, kalau cuma berhenti dan hanya menikmati ketenangan samatha saja masih akan membawa kepada eksistensi berikutnya serta kelahiran kembali. Tatkala kegelisahan dan gejolak pikiran mereda, seseorang melekat
pada buah kedamaian tersebut. Sang Buddha melanjutkan untuk memeriksa sebab dan kondisi yang mendasari keberadaan dan kelahiran kembali. Selama beliau belum sepenuhnya menembus persoalan dengan tuntas dan memahami kebenaran, beliau terus mengamati semakin mendalam dan kian mendalam dengan pikiran yang damai, merefleksikan segalanya — baik yang menyenangkan maupun yang tidak — muncul ke [permukaan] eksistensi.
Investigasi-nya terus merangsek maju hingga segalanya menjadi sangat jelas bagi beliau bahwa: semua yang hadir ke dalam eksistensi ini adalah bagai bongkah besi membara. Lima gugus pengalaman  makhluk hidup (khanda) adalah bongkahan besi yang panas. Apakah kita dapat menyentuh sebongkah besi merah membara tanpa cidera? Apakah terdapat bagian yang dingin?
Coba sentuh bagian atas, samping, ataupun bawahnya.
Apakah ada satu titik pun yang dingin? Tak mungkin.
Bongkahan besi yang terbakar ini seluruhnya panas membara.
Kita bahkan jangan melekat pada ketenangan-bathin. Karena bila kita mengidentifikasikan-diri kita dengan kedamaian itu, lalu beranggapan bahwa ada “seseorang” yang diam dan tenang — ini akan mempertajam rasa adanya diri yang independen atau jiwa.
Rasa-diri ini cuma merupakan bagian realitas konvensional.
Dengan [kebiasaan] berpikir, “Saya tenang”, “Saya gelisah”, “Saya baik”, “Saya buruk”, “Saya bahagia” atau “Saya tidak bahagia”, kita bakal kian terperangkap lebih dalam lagi pada eksistensi dan kelahiran kembali. Bakal kian menderita.
Bila kebahagiaan berakhir, maka penggantinya adalah ketidakbahagiaan.Ketika kesedihan hilang, maka kitapun kembali senang. Terperangkap pada lingkaran tiada akhir ini, membuat kita terus berputar-putar antara surga dan neraka.
Sebelum pencerahannya, Sang Buddha mengenali pola ini dalam hatiNya. Beliau mengetahui bahwa kondisi untuk eksistensi
dan kelahiran kembali belumlah lenyap. Pekerjaannya belum selesai. Dengan berfokus pada kondisi kehidupan, Ia merenungi sesuai dengan hakekat: “Oleh sebab ini maka ada kelahiran, adanya kelahiran menyebabkan adanya kematian,dan semua perubahan datang dan pergi”. Maka Sang Buddha mengambil tema ini sebagai perenungan untuk memahami kebenaran lima khandha.
Segala sesuatu baik mental maupun fisik, semua yang ditangkap dan dipikirkan tanpa kecuali adalah terkondisi. Begitu Ia mengetahuinya, maka Ia mengajar kita untuk melepaskan semua itu. Ia mendorong orang lain untuk memahami kebenaran ini. Jika tidak, kita akan terus menderita. Kita tidak akan dapat melepas hal-hal ini. Bagaimanapun,ketika kita memahami sesuatu sebagaimana adanya, kita akan
mengetahui bahwa semuanya ini telah mengecoh kita.
Sebagaimana ajaran Sang Buddha, “Pikiran ini tak mempunyai substansi, ia bukanlah apa-apa”.Pikiran ini tidak terlahir sebagai milik siapapun. Ia tidak mati sebagai milik seseorang. Pikiran itu [sejatinya] bebas,cemerlang, cerah dan tidak digayuti dengan masalah atau isu apapun. Masalah itu ada karena pikiran dikaburkan oleh hal- hal berkondisi tadi, persepsi yang salah akan diri. Jadi Sang Buddha menyuruh kita mengamati pikiran ini. Apakah yang ada di sana pada mulanya? 
Sebenarnya, tidak ada apapun.
Pikiran tidak lahir dengan hal-hal berkondisi dan juga tidak mati dengannya. Ketika pikiran berjumpa dengan sesuatu yang baik, ia tidak menjadi baik. Ketika berhubungan dengan sesuatu yang jahat, ia tidak pula menjadi jahat.
Demikianlah adanya manakala ada insight yang jernih terhadap hakekat diri seseorang. Inilah pemahaman bahwa pada dasarnya segala hal itu tanpa-substansi.
Sang Buddha melihat dengan sangat jelas bahwa segala sesuatu adalah tidak kekal, tidak memuaskan dan tiada diri.
Ia menginginkan kita juga memahami hal itu sepenuhnya.
Dengan demikian “yang tahu” (the “knowing”) akan memahami sejalan dengan kebenaran (truth). Kemudian manakala ia berjumpa dengan kebahagiaan dan kesedihan, ia kokoh tetap tak-goyah. Emosi bahagia merupakan wujud kelahiran.
Kecenderungan untuk sedih adalah wujud dari kematian.
Bila ada kematian maka ada kelahiran, dan apa yang dilahirkan bakal mati.
Segala yang timbul dan lenyap ini terjebak dalam siklus menjadi-sesuatu (becoming) yang tiada hentinya.
Begitu pikiran seorang meditator mencapai level pemahaman seperti ini,
tiada lagi kebimbangan — baik tentang apakah ada penjelmaan?
Apakah ada kelahiran kembali?
Tiada perlu lagi bertanya kepada siapapun.
Sang Buddha telah menyelidiki fenomena terkondisi ini secara menyeluruh, dengan demikian mampu membiarkan semuanya berlalu.
Kelima khandha dibiarkan berlalu, dan “yang-mengetahui” berlangsung sekedar sebagai pengamat yang tak terpisahkan dari proses tersebut. Jika ia mengalami
sesuatu yang positif, ia tidak berubah jadi positif. Ia sekedar menyimak dan tetap menyadari. Jikalau ia mengalami sesuatu yang negatif, ia tidak menjadi negatif. Mengapa bisa demikian?
Karena pikirannya telah bebas terlepas dari segala sebab dan kondisi.
Ia telah menembus Kebenaran. Kondisi-kondisi yang membawa kelahiran kembali telah tiada. Inilah “si tahu” yang jelas dan bisa diandalkan.
Inilah pikiran yang damai sejati.
Inilah:yang tak dilahirkan, tak menua, yang tidak mengalami sakit dan kematian. Ini bukanlah sebab maupun akibat, juga tidak tergantung pada sebab dan akibat. Bebas dari proses causal conditioning. Penyebabnya lenyap tanpa ada kondisi yang tersisa. Pikiran ini melampaui semua kelahiran dan kematian,
kebahagiaan dan kesedihan, baik dan jahat. Lalu apa?
Ini di luar jangkauan bahasa untuk menjelaskannya. Semua kondisi yang mendukungnya telah lenyap, dan segala usaha untuk mendeskripsikannya cuma akan membawa ke kemelekatan.
Kata-kata yang digunakan kemudian cuma menjadi teori dari pikiran.
Penjelasan teoritis mengenai pikiran dan cara kerjanya memang benar akurat, namun Sang Buddha menyadari bahwa dengan pengetahuan macam ini saja relatif tak banyak berguna. Kita bisa memahami sesuatu secara intelektual lalu mempercayainya, tapi ini bukanlah manfaat yang nyata. Itu takkan membawa ke kedamaian pikiran. Pengetahuan Sang Buddha membawa ke pelepasan (letting go) — yang menghasilkan sikap meninggalkan (abandoning) dan mentas (renunciation).
Oleh sebab pikiran inilah tepatnya yang membawa kita terlibat dengan apa yang benar dan yang salah. Jika kita cerdik, maka kita hanya akan berurusan dengan hal-hal yang benar. Namun kalau kita bodoh kita bakal berurusan dengan hal-hal yang salah.
Pikiran yang begitulah dunia ini, dan Yang Terberkahi mengambil hal-hal dari dunia untuk menyelidiki dunia itu sendiri.
Mengetahui dunia ini sebagaimana adanya,beliau kemudian dikenal sebagai ‘Yang memahami dunia dengan jelas’.
Pembahasan samatha dan vipassana ini, yang penting
bagi diri kita adalah mengembangkan keadaan tersebut dalam bathin kita sendiri. Hanya pada saat kita menumbuhkembangkan sendirilah, baru kita dapat mengetahui seperti apa samatha dan vipassana itu sesungguhnya. Kita bisa saja menempuh belajar segala apa yang dikatakan buku-buku mengenai faktor-faktor psikologis pikiran, tetapi [sekedar] pemahaman intelektual ini tidaklah banyak berguna untuk benar benar dapat memotong nafsu egois keinginan, kebencian dan kebodohan. Hanya mempelajari teori tentang itu sama halnya dengan menjelaskan ciri-ciri dari kekotoran bathin tersebut, ‘nafsu keinginan seperti ini’, ‘kebencian seperti itu’, ‘kebodohan seperti ini’.
Mengetahui ini sebatas teori, kita hanya dapat memperbincangkannya sebatas itu pula. Kita tahu dan kita pandai, tetapi tatkala kekotoran bathin ini sungguh-sungguh muncul dalam pikiran, apakah mereka cocok dengan teori tersebut atau tidak? Contoh, ketika kita mengalami sesuatu yang tidak diharapkan, apakah kita lalu bereaksi dan menjadi murung? Apakah kita melekat? Bisakah kita membiarkannya berlalu?
Jika sesuatu yang tidak disukai timbul dan kita mengenalinya,
apakah kita masih larut padanya? Atau begitu kita telah melihatnya, apakah kita segera melepaskan? — Kalau berjumpa dengan hal-hal yang tidak kita sukai lalu kejengkelan masih saja berkembang di dalam hati, lebih baik kita kembali mulai belajar lagi dari awal.
Ini masih belum benar. Latihan ini belumlah sempurna. Ketika ia memang sudah mencapai kesempurnaan, maka pelepasan pun terjadi. Perhatikanlah ini dengan jelas.
Kita harus benar-benar melihat ke dalam bathin kita sendiri jika ingin mendapatkan buah dari praktik-meditatif.
Sekedar berusaha mendeskripsikan keadaan psikologis pikiran,
dengan cara merinci sejumlah momen-momen terpisah dari kesadaran serta berbagai perbedaaan karakteristiknya,
menurut hemat saya, tidaklah membawa praktik-meditasi kita berkembang. Masih sangat banyak kurangnya. Bila kita
memang hendak mempelajari hal-hal ini, maka kuasailah
mereka sepenuhnya, dengan kejelasan serta pemahaman yang
mendalam. Tanpa kejernihan insight, bagaimana mungkin
kita menuntaskannya? Tak ada akhir dari itu. Kita takkan pernah
menyelesaikan pembelajaran kita.
Mempraktikkan Dhamma sangatlah luar-biasa penting.
Ketika saya praktik, ya dengan begitulah cara saya belajar.
Saya tidak tahu apapun mengenai momen-momen pikiran dan faktor-faktor mental. Saya hanya mengamati kualitas “mengetahui”.
Jika buah pikir kebencian timbul, saya sekedar menanyai diri sendiri:
mengapa ya? Bila buah pikir cinta timbul, saya bertanya pada diri sendiri: mengapa? Inilah caranya.
Apakah ia mau disebut buah-pikir atau faktor-mental, terus ngapain?
J — Cukup tembuslah satu-titik ini saja: hingga anda mampu mengatasi rasa cinta dan benci, sampai mereka sepenuhnya lenyap dari bathin.
Dalam keadaan apapun, ketika saya mampu stop mencintai dan membenci, disitulah saya mampu mengatasi penderitaan. Selanjutnya tiada lagi beban
apapun — hati serta pikiran lega, santai. Tiada yang tersisa.
Semua telah berhenti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar