Saya
telah menjalankan demikian ini sejak saya mengasingkan diri ke hutan untuk
berpraktik meditasi. Saya melatih murid-murid saya dengan cara seperti itu
pula. Karena saya ingin mereka melihat kebenaran, daripada hanya cuma
membacanya di dalam kitab suci; saya ingin mereka menyaksikan sendiri bathin
yang terbebas dari pemikiran-pemikiran konseptual.
Saat
kebebasan terjadi, anda mengetahuinya;
dan
kala hal tersebut belum terjadi, anda bisa mengkontemplasikan proses bagaimana
satu hal mengakibatkan serta membawa ke hal yang lain. Renungi hingga anda
mengerti dengan mendalam dan semakin mendalam. Suatu waktu begitu ia tertembus
dengan insight, segalanya terbuka dengan sendirinya.
Ketika
sesuatu muncul merintangi dan macet, selidiki. Jangan menyerah hingga ia
melepaskan cengkeramannya.
Berulang-ulang
selidikilah disini ini. Secara pribadi, inilah cara saya berlatih, karena Sang
Buddha mengajarkan bahwa anda harus mengetahuinya sendiri. Para bijaksana
mengalami dan menyaksikan sendiri kebenaran. Anda harus menemukannya di
kedalaman bathin anda. Ketahuilah sendiri.
Jika
anda yakin dengan diri anda dan apa yang anda ketahui, anda tetap tenang saat
menerima pujian ataupun teguran.
Apapun
yang dikatakan orang, anda merasa santai. Mengapa?
Karena
anda mengenal diri anda sendiri. Bila seseorang menyiram
anda
dengan pujian, namun sebenarnya anda tak layak menerimanya, apakah anda akan
mempercayai mereka?
Tentu
saja tidak. Anda sekedar melanjutkan praktik anda.
Ketika
seseorang yang tidak yakin dengan pengetahuannya sendiri mendapat pujian dari
orang, ia akan terperangkap untuk mempercayai dan menyesatkan pandangannya.
Demikian juga jika orang yang mengkritik anda, lihat dan periksa diri anda. “
Tidak, apa yang mereka katakan tidak benar. Mereka menuduh saya salah tetapi
sebenarnya tidak. Tuduhan mereka tak benar.
”
Kalau kejadiannya seperti ini, mengapa kita harus marah? Perkataan mereka tidak
benar. Sebaliknya, jika tuduhan mereka benar atas kesalahan kita, jika
kejadiannya seperti ini, mengapa kita harus menjadi marah? Kalau anda mampu
berpikir seperti ini, kehidupan itu sebenarnya nyaman dan tanpa masalah. Tidak
ada kejadian yang salah. Kemudian segalanya adalah Dhamma. Inilah cara saya
berlatih. Ini merupakan jalan yang tersingkat dan langsung. Anda dapat datang
ke sini dan memperdebatkan Dhamma dengan saya, tetapi saya tak mau meladeni.
Daripada mendebat balik, saya akan memberi anda beberapa hal untuk
direfleksikan. Pahamilah bahwa apa yang diajarkan oleh Sang Buddha adalah:
lepaskan segalanya. — Lepaskan dengan mengetahui-dan kesadaran.
Tanpa
sadar-dan-mengetahui, maka pelepasan ini tak beda dengan sapi-sapi dan kerbau-kerbau
itu. Tanpa melibatkan hati anda di dalamnya, pelepasan ini tidak benar.— Anda
melepas karena mengerti realitas konvensional.
Ini
adalah ketidak-melekatan.
Sang
Buddha mengajarkan bahwa perlu usaha yang sangat keras di permulaan praktik
Dhamma anda; mengembangkan hal-hal dengan teliti dan banyak melekat.
Melekat
kepada Sang Buddha. Melekat kepada Dhamma. Melekat kepada Sangha. Melekat ketat
dan mendalam. Inilah yang diajarkan Sang Buddha.
Melekat
dengan tulus, tanpa henti dan memegangnya erat-erat.
Dalam
proses pencarian ini, saya telah mencoba hampir semua kemungkinan cara
ber-kontemplasi.
Saya
menyerahkan hidup ini untuk Dhamma, karena saya mempunyai keyakinan akan
realitas-pencerahan serta jalan menuju kepadanya.
Pencerahan
itu memang sungguh ada, sebagaimana yang dikatakan Sang Buddha. Tetapi butuh
praktik untuk mewujudkannya,praktik yang benar.
Perlu
mendorong diri sendiri hingga limit. — Ini dibutuhkan keteguhan-hati untuk
berlatih, untuk bercermin ke dalam diri, dan untuk perubahan yang mendasar.
Dibutuhkan keberanian untuk menempuh apa yang musti ditempuh. Dan bagaimana
melakukannya? Latihlah bathin ini. — Pemikiran-pemikiran di dalam benak kita
meminta kita pergi ke satu arah, tetapi Sang Buddha menyuruh kita ke arah yang
lain. Mengapa berlatih itu penting? Karena bathin ini masih sepenuhnya tertutup
oleh kekotoran-kekotoran. Seperti itulah bathin yang belum ter-tranformasi
melalui praktik. Ia tak dapat diandalkan, jadi jangan mempercayainya. Ia belum
mulia. Bagaimana kita dapat mempercayai bathin yang tidak murni dan tidak
jernih.
Oleh
sebab itu Sang Buddha mengingatkan agar: jangan mempercayai bathin yang kotor
itu.
Mulanya
bathin ini hanyalah kaki-tangan dari kekotoran, tetapi apabila mereka lama
bergaul, bathin ini akan berubah menjadi kekotoran itu sendiri. Itulah sebabnya
mengapa Sang Buddha mengajar kita: untuk tidak mempercayai bathin (pikiran)
kita sendiri.
Jika
kita perhatikan latihan disipilin di vihara ini, anda akan melihat bahwa
semuanya adalah tentang melatih bathin. Dan kapanpun saat kita melatih bathin
ini, kita akan merasa: panas dan terganggu (!). — Begitu merasa gerah dan
resah, kita akanmulai mengeluh,
“Aduh,
latihan ini sulit sekali! Mustahil.” Tetapi Sang Buddha tidak berpikir seperti
itu. Dia berpikir bahwa saat praktik menyebabkan panas dan penolakan, itu
berarti [justru] kita telah berada di jalur yang benar. Namun biasanya kita
tidak berpikir begitu. — Kita [malah] berpikir itu tanda ada sesuatu yang
salah. Kesalah-pahaman ini membuat latihan jadi nampak sangat berat. Pada
mulanya kita merasa panas dan risih, sehingga kita mengira bahwa kita keluar
dari jalur. Setiap orang maunya senang, tetapi mereka kurang perduli apa itu
benar atau tidak. — Ketika kita pergi melawan arus kilesa ini dan menghadang
nafsu kita, ya tentu saja kita bakal menderita.
Kita
panas, jengkel, gerah — [biasanya] lalu menyerah. Kita mengira berada di jalan
yang salah. Tetapi Sang Buddha justru mengatakan bahwa: kita telah berada di
jalan yang benar.
Kita
menempuri kekotoran-kekotoran kita, dan mereka-lah yang jadi terbakar dan
gerah. Kekotoran-kekotoranlah yang memberontak dan menjadi tidak bahagia. Hal
ini sama pada tiap orang.
Itulah
sebabnya mengapa praktik Dhamma dikatakan begitu berat. Orang tidak memeriksa
segalanya dengan jelas. Umumnya mereka kehilangan Jalan dan terjebak pada sisi
ekstrim, yaitu: memanjakan diri atau menyiksa diri. — Pada satu sisi mereka
suka memuaskan, memperturuti keinginan-keinginan bathinnya. Melakukan apa saja
yang disukai. Maunya duduk nyaman. Mereka suka rebahan, berbaring di tempat
yang lembut. Apapun yang mereka lakukan, maunya mencari nyaman.
Inilah
yang saya maksud dengan memanjakan diri:
Keterikatan
pada perasaan yang menyenangkan.
Dengan
bermanja-manja begitu bagaimana praktik Dhamma bisa maju?
Kemudian
kalau kita tak lagi bisa berasyik-asyik dalam kenikmatan, sensualitas dan
kesenangan, kita lalu gelisah. Kita jadi sedih, marah, dan menderita karenanya.
Ini tergelincir dari Jalan, jatuh ke sisi penyiksaan-diri. Ini bukan Jalan para
bijak yang damai; bukan jalan seseorang yang tenang. Sang Buddha memperingatkan
agar jangan jatuh pada dua sisi jalur dari memanjakan-diri atau menyiksa-diri.
Ketika mengalami kesenangan,sekedar ketahuilah dengan kesadaran. Ketika
mengalami kemarahan, kebencian, dan kejengkelan — ketahuilah bahwa kita sedang
tidak mengikuti jejak-langkah Sang Buddha. Itu bukanlah jalan orang yang
mencari kedamaian, tetapi jalan orang-kampung biasa. Seorang bhikkhu yang
tenang tidak berjalan di jalur itu. Dia berjalan lempang di tengah-tengah
diantara manja di sebelah kiri dan penyiksaan-diri di kanan.
Inilah
praktik Dhamma yang benar.
Bila
anda tertarik dengan latihan kebiaraan, anda harus berjalan di Jalan Tengah,
tidak diributkan oleh kesenangan maupun ketidaksenangan. Letakkan mereka.
Tetapi rasanya mereka menendangi terus. Pertama mereka menendang kita ke sisi
yang satu, “Aduh!”, kemudian menendang lagi ke tempat lain, “Aduh!”. Rasanya
seperti bandul di lonceng kayu, membentur dari sisi yang satu ke sisi yang
lain. — Jalan Tengah adalah melepaskan (letting go) kesenangan dan
ketidaksenangan, dan praktik yang benar adalah berlatih di tengah.
Ketika
haus-kesenangan datang dan kita tidak menurutinya, kita menderita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar