Praktek kita ini tidaklah mudah. Kita mungkin mengetahui banyak hal, tetapi masih banyak hal lagi yang tidak kita ketahui. Misalnya, ketika kita mendengar ajaran seperti "ketahuilah jasmani, lalu ketahuilah jasmani dalam jasmani itu"; atau "ketahuilah batin, lalu ketahuilah batin dalam batin itu". Jika kita belum mempraktekkan hal-hal ini, ketika kita mendengar perkataan tersebut kita bisa bingung. Begitu pula dengan vinaya ("Vinaya" adalah istilah umum yang diberikan untuk tata tertib kebhikkhuan, aturan kehidupan viharawan. Secara harfiah "vinaya" berarti "mengantarkan keluar", karena pelaksanaan terhadap aturan ini "mengantarkan keluar dari" perbuatan yang tidak baik, dan diperluas menjadi keadaan-keadaan pikiran yang tidak baik. Sebagai tambahan, ia dapat dikatakan "mengantarkan keluar dari" kehidupan berumah-tangga, dan diperluas menjadi keterikatan terhadap dunia ini). Dahulu saya adalah seorang guru (Ini menunjukkan masa awal dari kebhikkhuan Yang Mulia Achan Chah, sebelum beliau praktek dengan tekun), tetapi hanya sebagai "guru kecil", bukan seorang guru besar. Mengapa saya katakan seorang "guru kecil"? Karena saya tidak praktek. Saya mengajar tentang vinaya tapi saya tidak melaksanakan hal itu. Ini saya sebut guru kecil, guru yang kurang bermutu. Saya katakan "guru yang kurang bermutu" karena ketika sampai pada praktek, saya kurang. Sebagian besar praktek saya sangatlah jauh dari teori, bagaikan saya belum mempelajari vinaya sama sekali.
Bagaimanapun, saya ingin menegaskan bahwa dengan pengucapan-pengucapan saja, tidaklah mungkin untuk mengetahuivinaya secara lengkap, karena beberapa hal, apakah kita mengetahui atau tidak, tetaplah merupakan pelanggaran/kesalahan. Ini memang rumit. Namun ditekankan bahwa jika kita belum memahami aturan latihan atau ajaran tertentu, kita harus mempelajari peraturan tersebut dengan penuh semangat dan penuh hormat. Jika kita tidak tahu, kita harus berusaha untuk belajar. Jika kita tidak berusaha, dengan sendirinya itu merupakan suatu pelanggaran/kesalahan.
Misalnya, jika kalian ragu-ragu... seandainya di sana ada seorang wanita dan tanpa mengetahui apakah ia seorang wanita atau pria, kalian menyentuhnya (Pelanggaran sanghadisesa kedua, yang berkaitan dengan menyentuh wanita dengan penuh nafsu.). Kalian tidak yakin, tetapi tetap menyentuh... itu tetap salah. Dahulu saya heran mengapa itu salah, tetapi ketika saya merenungkan prakteknya, saya menyadari bahwa seorang pemeditasi harus memiliki sati, ia harus sangat berhati-hati. Apakah ketika berbicara, menyentuh, atau memegang sesuatu, pertama-tama ia harus mempertimbangkan dengan cermat. Dalam hal/kasus ini kesalahannya adalah pada tiadanya sati, atau kurangnya perhatian pada saat itu.
Ambil contoh lain, misalnya saat itu pukul sebelas siang tetapi langit berawan sehingga kita tidak bisa melihat matahari, dan kita tidak mempunyai jam. Sekarang seandainya kita memperkirakan saat itu telah lewat tengah hari... kita merasa yakin bahwa saat itu sudah lewat tengah hari... tapi kita tetap akan makan. Kita mulai makan dan kemudian awan berlalu dan kita melihat dari posisi matahari, saat itu baru lewat sebelas siang. Ini tetap merupakan pelanggaran (Menunjuk pelanggaran pacittiya No. 36, memakan makanan di luar waktu yang diizinkan —fajar sampai tengah hari.) Dahulu saya heran, "Eh? Belum lewat tengah hari, mengapa merupakan pelanggaran?"
Di sini suatu kesalahan terjadi karena adanya kelalaian, kecerobohan, kita tidak cermat mempertimbangkannya. Ada kekurangan pengendalian diri. Jika ada keraguan dan kita bertindak atas keraguan itu, maka terjadilah pelanggaran dukkata(Dukkata —pelanggaran-pelanggaran karena "perbuatan salah", sekelompok pelanggaran yang paling ringan dalam vinaya yang banyak jumlahnya, parajika —pelanggaran-pelanggaran karena dikalahkan, sejumlah empat, merupakan yang terberat, termasuk dikeluarkan dari Bhikkhu Sangha.) karena bertindak atas dasar keraguan. Kita mengira telah lewat tengah hari yang pada kenyataannya belum. Tindakan makan itu sendiri tidak salah, tetapi ada pelanggaran di sini karena kita ceroboh dan lalai. Jika sudah lewat tengah hari tetapi kita mengira belum, maka terjadi pelanggaran pacittiya yang lebih berat. Jika kita bertindak dengan keraguan, apakah perbuatan itu salah atau tidak, kita tetap melakukan pelanggaran. Jika perbuatan itu sendiri tidak salah maka pelanggarannya lebih sedikit; jika salah maka pelanggaran yang lebih berat sudah kita lakukan. Oleh karena itu vinaya bisa menjadi cukup membingungkan.
Pada suatu ketika saya mengunjungi Achan Mun (Yang Mulia Achan Mun Bhuridatto, merupakan Guru Meditasi yang sangat terkenal dan dihormati dari tradisi hutan di Thailand. Beliau mempunyai banyak murid yang sudah menjadi guru, di antaranya Achan Chah. Yang Mulia Achan Mun wafat pada tahun 1949). Saat itu saya baru mulai berlatih/praktek. Saya sudah membacaPubbasikkha (Pubbasikkha Vannana —"Latihan Dasar" —Penjelasan tentang Dhamma-Vinaya dalam bahasa Thai yang berdasarkan pada Penjelasan-penjelasan dari bahasa Pali; Visuddhi Magga —"Jalan Kesucian" —penjelasan yang mendalam tentang Dhamma-Vinaya oleh Achariya Buddhaghosa.) dan cukup bisa memahaminya. Kemudian saya melanjutkan dengan membaca Visudhi Magga, di mana sang penulis itu menulis tentang Silanidesa (Bagian tentang Peraturan-peraturan/sila),Samadhinidesa (Bagian tentang Pelatihan-Batin/samadhi) dan Paññanidesa (Bagian tentang Kebijaksanaan/paññâ) ...saya merasa kepala saya mau pecah! (Setelah membaca buku itu, saya merasa bahwa semua itu berada di luar kemampuan manusia untuk mempraktekkannya. Tapi kemudian saya merenungkan bahwa Sang Buddha tidak akan mengajarkan sesuatu yang tidak bisa dipraktekkan. Beliau tidak akan mengajarkan dan membabarkannya, karena semua itu tidak akan bermanfaat, baik bagi Beliau sendiri maupun pihak lain. Silanidesa benar-benar sangat teliti, Samadhinidesa lebih dari itu, dan Paññanidesa bahkan jauh lebih dari itu! Saya duduk dan berpikir, "Tampaknya saya tak bisa melanjutkan. Tak ada jalan untuk maju". Sepertinya saya sudah sampai pada jalan buntu.
Saat itu saya tengah berjuang dengan praktek saya... dan saya macet. Begitulah, sampai saya mempunyai kesempatan untuk menemui yang Mulia Achan Mun dan bertanya: "Yang Mulia Achan, apa yang harus saya lakukan? Saya baru saja mulai praktek tetapi saya tetap belum mengetahui cara yang benar. Saya mempunyai begitu banyak keraguan dan saya tak dapat menemukan landasan sama sekali dalam praktek saya". Beliau bertanya, "Apakah persoalannya?"
"Pada saat berlatih, saya mengambil Visuddhi Magga dan membacanya, tetapi tampaknya itu mustahil untuk dipraktekkan. Isi dari Silanidesa, Samadhinidesa, dan Paññanidesa tampaknya sangat tidak praktis. saya pikir tidak seorang pun di dunia ini yang bisa melaksanakannya, bagian-bagian tersebut begitu mendetail dan cermat. Tak mungkin untuk mengingat setiap urutannya, itu berada di luar kemampuan saya".
Beliau lalu berkata kepada saya, "Yang Mulia... memang banyak, itu benar, tetapi sesungguhnya itu hanyalah sedikit. Jika kita harus mencatat setiap aturan dalam Silanidesa itu memang sulit... benar... Tetapi sesungguhnya, apa yang kita sebutSilanidesa adalah berkembang dari batin manusia. Jika kita melatih batin ini untuk memiliki rasa malu dan takut untuk berbuat salah, maka kemudian kita akan terkendali, kita akan berhati-hati...".
"Ini akan mengkondisikan kita untuk merasa puas dengan yang sedikit, dengan sedikit keinginan, karena kita tidak mungkin untuk mencari yang banyak. Bila ini terjadi maka sati kita menjadi lebih kuat. Kita bisa memiliki sati setiap saat. Dimanapun kita berada, kita akan berusaha untuk memiliki sati yang cermat. Kewaspadaan akan berkembang. Apapun yang kamu rasa ragu, jangan katakan tentang itu, jangan bertindak atas keraguan. Jika ada sesuatu yang tidak kamu pahami, tanyakanlah kepada guru. Berusaha untuk mempraktekkan setiap aturan tentu akan sangat memberatkan, tetapi kita harus menguji apakah kita siap untuk mengakui kesalahan-kesalahan kita atau tidak".
Ajaran ini sangat penting. Tidaklah begitu banyak yang harus kita ketahui dari setiap aturan, jika kita mengetahui bagaimana melatih batin kita.
"Semua bahan yang sudah kamu baca muncul dari dalam batin. Jika kamu tetap belum melatih batin untuk memiliki kepekaan dan kejelasan maka akan selalu ragu-ragu. Kamu harus berusaha mengingat ajaran-ajaran Sang Buddha. Milikilah batin yang tenang. Apapun yang muncul yang kamu ragukan, tinggalkanlah itu. Jika kamu benar-benar tidak tahu, janganlah katakan atau lakukan itu. Misalnya jika kamu bingung "Ini salah atau tidak?" —Berarti kamu tidak yakin —maka jangan katakan, jangan bertindak atas dasar itu, jangan tinggalkan pengendalian dirimu".
Ketika saya duduk dan mendengarkan, saya merenungkan bahwa ajaran ini sesuai dengan delapan cara untuk menilai kebenaran ajaran Sang Buddha: Ajaran apapun yang membahas tentang pengikisan kekotoran-batin; yang mengantarkan keluar dari penderitaan; yang membahas tentang pelepasan (dari kesenangan-kesenangan inderawi); tentang kepuasan terhadap yang sedikit; tentang kerendahan hati dan tidak mementingkan kedudukan dan status; tentang pengasingan-diri dan penyepian; tentang usaha yang gigih; tentang mudah dirawat... delapan kualitas ini merupakan ciri dari Dhamma-Vinaya, ajaran Sang Buddha yang sejati. Apapun yang bertolak belakang dengan semua itu bukanlah ajaran Sang Buddha.
"Jika kita benar-benar tulus kita akan mempunyai rasa malu dan takut terhadap perbuatan salah. Kita akan tahu jika terdapat keraguan di dalam batin kita, kita tak akan bertindak atau berbicara atas dasar itu. Silanidesa hanyalah kata-kata. Misalnya, hiri-ottappa (Hiri —rasa malu, Ottappa —takut akan perbuatan salah. Hiri dan Ottappa merupakan keadaan batin yang positif yang menjadi dasar bagi suara hati yang murni serta keutuhan sila. Mereka muncul berdasarkan pada rasa hormat untuk diri sendiri dan pihak lain.) di dalam buku adalah satu hal, tetapi di dalam batin kita adalah hal lain".
Saya memperoleh banyak hal dari mempelajari vinaya kepada Yang Mulia Achan Mun. Ketika saya duduk dan mendengarkan, pemahaman muncul.
Jadi, tentang vinaya saya sudah mempelajarinya. Beberapa hari selama pengasingan diri dalam Masa Vassa saya, belajar dari pukul enam petang sampai fajar keesokan hari. Saya cukup memahaminya. Semua faktor apatti (Apatti: istilah untuk pelanggaran dari berbagai kelompok bagi para bhikkhu.) yang tercakup di dalam Pubbasikkha saya catat dalam buku dan simpan dalam tas saya. Saya sungguh-sungguh mengerahkan usaha terhadap hal itu, tetapi selanjutnya secara bertahap saya lepaskan. Itu terlalu banyak. Saya tidak mengetahui mana intisari dan mana perlengkapannya, saya ambil semuanya. Ketika saya memahami lebih sempurna, saya lepaskan itu, karena itu terlalu berat. Saya hanya mengarahkan perhatian pada batin dan secara bertahap melepaskan naskah-naskah.
Akan tetapi, saat mengajar para bhikkhu di sini saya tetap memakai Pubbasikkha sebagai standar saya. Selama bertahun-tahun di sini di Wat Ba Pong, hanya saya sendiri yang membacakannya pada kumpulan bhikkhu saat pertemuan. Pada waktu itu saya akan menempati kursi-Dhamma dan terus membacakannya paling tidak sampai pukul sebelas atau tengah malam, beberapa hari bahkan sampai pukul satu atau dua dini hari. Kami sangat berminat. Dan kami berlatih. Setelah mendengarkan pembacaanvinaya kami akan pergi dan merenungkan apa yang sudah kami dengar. Kalian tidak bisa memahami vinaya hanya dengan mendengarkan saja. Setelah mendengarkan kalian harus menguji serta menyelidikinya lebih lanjut.
Walaupun saya sudah mempelajarinya selama bertahun-tahun, pengetahuan saya tetap belum sempurna, karena begitu banyak kedwiartian dalam naskah-naskah itu. Sekarang setelah lewat begitu lama dari saat saya mempelajari dari buku-buku, ingatan saya pada berbagai aturan latihan sudah agak berkurang, tetapi tak ada kekurangan dalam batin saya. Ada suatu standar di sana. Tidak ada keraguan, tapi terdapat pemahaman di sana. Saya singkirkan buku-buku itu dan memusatkan perhatian pada pengembangan batin. Saya tidak mempunyai keraguan terhadap aturan latihan (sila) yang manapun. Batin menghargai kebajikan sila, batin tak berani melakukan kesalahan, baik di depan umum maupun secara pribadi. Saya tidak membunuh binatang, bahkan yang kecil sekalipun. Seandainya seseorang, misalnya meminta saya agar sengaja membunuh seekor semut atau rayap, atau melumatnya dengan tangan saya, saya tidak dapat melakukannya, biarpun seandainya mereka akan memberikan banyak uang untuk itu. Hanya seekor semut atau rayap! Bagi saya, kehidupan semut itu lebih berharga daripada uang-uang itu.
Akan tetapi, mungkin saya bisa menyebabkan kematiannya, seperti misalnya sesuatu merayap di kaki saya dan saya mengibaskannya. Mungkin ia mati, tetapi ketika saya melihat ke dalam batin tidak ada rasa bersalah di sini. Tidak ada kegoyahan atau keragu-raguan di sini. mengapa? Karena di sana tidak ada kehendak. Silam vadami bhikkhave cetanaham: "Kehendak adalah intisari dari latihan sila". Dengan pertimbangan itu saya melihat tidak ada kehendak untuk membunuh. Suatu saat ketika sedang berjalan saya mungkin menginjak serangga dan ia terbunuh. Pada masa lalu, sebelum saya betul-betul memahami, saya akan bersedih menghadapi kejadian seperti itu. Saya akan berpikir bahwa saya sudah melakukan pelanggaran. "Mengapa? Tidak ada kehendak di sana". "Tidak ada kehendak di sana, tetapi saya kurang berhati-hati!" Saya akan terus gundah dan gelisah.
Jadi vinaya ini merupakan sesuatu yang bisa mengganggu para pelaksana Dhamma, tetapi ia juga mempunyai nilai tersendiri, berkaitan dengan apa yang dikatakan oleh para guru —"Apapun aturan latihan yang belum kamu ketahui harus kamu pelajari. Jika kamu tidak tahu maka kamu harus menanyakannya kepada yang tahu". Mereka sangat menekankan hal ini.
Sekarang jika kita tidak mengetahui aturan latihan, kita tidak akan menyadari pelanggaran yang sudah kita lakukan. Sebagai contoh misalnya, seorang Thera pada masa lampau, Achan Pow dari Wat Kow Wong Got di Propinsi Lopburi. Pada suatu hari seorang Maha (Maha: gelar yang diberikan kepada para bhikkhu yang sudah menyelesaikan pendidikan bahasa Pali sampai dengan tahun ke-empat atau lebih.), murid beliau, duduk bersamanya, ketika sekelompok wanita datang dan bertanya, "Luang Por! Kami ingin mengajak Anda berpiknik bersama kami, maukah Anda ikut?"
Luang por Pow tidak menjawab. Si Maha yang duduk di dekat beliau menduga bahwa Yang Mulia Achan Pow tidak mendengar, sehingga ia berkata,
"Luang Por, Luang Por! Apakah Anda dengar? Kelompok wanita ini mengundang Anda untuk pergi berpiknik". Beliau menjawab, "Saya dengar". Para wanita itu bertanya lagi,
"Luang Por, Anda mau ikut atau tidak?"
Beliau tetap duduk di sana tanpa menjawab, sehingga tak terjadi apapun dari undangan ini. Ketika mereka pergi, Mahaberkata,
"Luang Por, mengapa Anda tidak menjawab wanita-wanita itu?"
Beliau berkata, "Oh Maha, tidakkah kamu mengetahui aturan ini? Mereka yang tadi datang kemari adalah kaum wanita. Jika kaum wanita mengajakmu pergi janganlah kamu setujui. Jika mereka berunding sendiri di antara mereka, itu baik. Jika saya mau pergi, saya bisa, karena saya tidak mengambil bagian dalam perundingan itu".
Si Maha duduk dan berpikir, "Oh, saya telah bertindak bodoh".
Vinaya menyebutkan bahwa membuat perundingan dan pergi bersama dengan kaum wanita, walaupun tidak hanya berdua, merupakan pelanggaran pacittiya.
Kita ambil kasus lain lagi. Umat awam akan mempersembahkan uang di atas baki kepada Y.M. Achan Pow. Beliau akan mengulurkan kain penerima (Sehelai "kain penerima" merupakan kain yang dipakai oleh para bhikkhu Thai untuk menerima sesuatu dari kaum wanita, dari siapa mereka tidak menerima sesuatu secara langsung. Yang Mulia Achan Pow menarik tangan beliau dari kain penerima, menunjukkan bahwa beliau sesungguhnya tidak menerima uang itu.), dan memegangnya di satu ujung. Tetapi ketika mereka memindahkan dari baki ke kain, beliau akan menarik tangannya dari kain itu. Selanjutnya beliau akan meninggalkan uang itu di tempatnya. Beliau tahu ia di situ, tetapi beliau tidak peduli, hanya bangun dan pergi, karena di dalamvinaya dikatakan bahwa jika seseorang tidak menerima uang tidaklah perlu melarang umat awam untuk mempersembahkannya. Jika ia memiliki keinginan terhadapnya, ia harus memberitahu mereka. Jika kamu memiliki keinginan terhadapnya, kamu harus melarang mereka mempersembahkan sesuatu yang tidak diizinkan. Akan tetapi, seandainya kamu sama sekali tidak mempunyai keinginan terhadapnya (uang itu), hal itu tidak perlu dikatakan. Cukup kamu meninggalkannya di sana dan pergi.
Walaupun Achan Pow dan para murid beliau hidup bersama selama bertahun-tahun, beberapa murid beliau tetap tidak memahami praktek Achan Pow. Ini sungguh keadaan yang menyedihkan. Untuk saya sendiri, saya menyelidiki dan memperhatikan berbagai pokok praktek yang lebih halus dari Yang Mulia Achan Pow.
Vinaya bahkan bisa menyebabkan beberapa orang lepas jubah. Ketika mereka mempelajarinya, semua keragu-raguan muncul. Ia segera melihat masa lalunya... "Penahbisan saya, apakah sudah tepat (Ada aturan yang tepat dan rinci berkenaan dengan prosedur penahbisan yang jika tidak diikuti bisa menyebabkan penahbisan itu cacat.)? Apakah guru penahbis saya bersih? Tak seorang pun bhikkhu yang menghadiri penahbisanku mengetahui seluk-beluk vinaya, apakah mereka duduk pada jarak yang benar? Apakah pembacaan parittanya sudah betul?" Keraguan ini terus bergulir... "Tempat di mana saya ditahbiskan, apakah sudah tepat? Tempat itu begitu kecil..." Mereka meragukan segala sesuatu dan akhirnya jatuh ke dalam neraka.
Jadi sampai kalian mengetahui bagaimana cara menjangkarkan batin kalian, itu benar-benar sulit. Kalian harus sangat tenang, kalian tidak boleh hanya menyela. Tetapi menjadi sangat tenang sehingga kalian sama sekali tidak peduli, juga salah. Saya begitu bingung sehingga hampir lepas jubah karena saya melihat banyak kesalahan dalam praktek saya serta beberapa dari guru saya. Saya gelisah dan tak bisa tidur karena berbagai keraguan.
Semakin banyak saya ragu, semakin banyak saya bermeditasi, semakin banyak saya praktek. Dimana pun keraguan muncul, tepat di sana pula saya praktek. Kebijaksanaan timbul. Keadaan mulai berubah. Sungguh sulit untuk menjabarkan perubahan yang terjadi ini. Batin berubah sampai tidak terdapat keraguan lagi. Saya tidak tahu bagaimana ia berubah, seandainya saya harus mengatakannya kepada seseorang, mereka mungkin tidak bisa memahaminya.
Jadi saya merenungkan ajaran paccattam veditabbo viññuhi —yang bijaksana harus mengetahui untuk dirinya sendiri. Itu haruslah menjadi pengetahuan yang muncul melalui pengalaman langsung. Mempelajari Dhamma-Vinaya tentunya betul, tetapi jika hanya belajar, itu masih ada yang kurang. Jika kalian langsung praktek, kalian mulai meragukan segala sesuatu. Sebelum saya mulai praktek saya tidak tertarik pada pelanggaran kecil, tetapi ketika saya mulai praktek, bahkan berbagai pelanggaran dukkatamenjadi sepenting pelanggaran parajika. Pada awalnya, pelanggaran dukkata tampak sepele, hanya sesuatu yang tidak berarti.
Begitulah saya menilai mereka. Mungkin di petang hari kalian dapat mengakui kesalahan tersebut dan itu bisa dilakukan. Dan kemudian kalian bisa melanggar lagi. Pengakuan semacam ini tidaklah tulus, karena kalian tidak menghentikannya, kalian tidak memutuskan untuk berubah. Tidak ada pengendalian diri, kalian harus melakukannya lagi. Tidak ada pemahaman terhadap kebenaran, tidak ada pelepasan.
Sebenarnya, menurut kebenaran sejati, tidaklah perlu menjalankan kebiasaan rutin berupa pengakuan kesalahan/pelanggaran. Jika kita melihat batin kita bersih dan tidak ada tanda keraguan, maka pelanggaran itu gugur tepat di situ. Bahwa kita belum bersih adalah karena kita masih ragu, kita masih goyah. Kita belum sepenuhnya bersih sehingga kita tidak dapat melepaskannya. Kita tidak melihat diri kita sendiri, itulah permasalahannya. Vinaya kita bagaikan pagar untuk menjaga kita dari melakukan kesalahan, jadi itu merupakan sesuatu yang kita perlukan agar kita menjadi teliti dan hati-hati.
Jika kalian tidak melihat nilai sejati dari vinaya bagi diri sendiri, maka itu akan sangat sulit. Bertahun-tahun sebelum saya datang ke Wat Ba Pong saya memutuskan untuk tidak terikat pada uang. Saya sudah memikirkannya selama dalam pengasingan diri selama Masa Vassa. Akhirnya saya ambil dompet saya dan menemui seorang Maha yang saat itu berdiam bersama saya, meletakkan dompet itu di hadapannya.
"Maha, ambillah uang ini. Mulai saat ini dan seterusnya, selama saya masih menjadi seorang bhikkhu, saya tak akan menerima atau menyimpan uang. Anda dapat menjadi saksi saya".
"Simpanlah Yang Mulia, mungkin Anda memerlukannya untuk keperluan belajar" ...Si Maha tidak tertarik untuk mengambil uang itu, ia merasa dipersulit... "Mengapa Anda ingin membuang semua uang ini?"
"Anda tidak perlu mencemaskan saya. saya sudah mengambil keputusan. Saya putuskan tadi malam".
Sejak saat ia menerima uang itu tampaknya terdapat jurang di antara kami, kami tak dapat saling memahami lagi. Ia tetap menjadi saksi saya sampai hari ini. Sejak hari itu saya tidak menggunakan uang atau terlibat dalam jual beli. Saya telah mengendalikan diri terhadap uang dalam berbagai segi. Saya selalu waspada terhadap perbuatan salah, walaupun saya tidak melakukan kesalahan apapun. Saya mempertahankan latihan meditasi di dalam batin. Saya sudah tidak memerlukan kekayaan, saya memandangnya sebagai racun. Apakah kalian memberikan racun pada manusia, anjing atau yang lainnya, tanpa kecuali itu menyebabkan kematian atau penderitaan. Jika kita melihat dengan jelas seperti ini kita akan selalu menjaga diri untuk tidak mengambil "racun" itu. Jika kita jelas melihat bahayanya, tidaklah sulit untuk melepaskannya.
Mengenai masakan dan makanan yang dibawa sebagai persembahan/dana, jika saya meragukannya saya tak akan menerimanya. Tidak peduli betapa lezat atau nikmatnya masakan itu, saya tak akan memakannya. Ambil contoh sederhana, seperti asinan ikan mentah. Seandainya kalian hidup di hutan dan kalian pergi berpindapata dan hanya mendapatkan nasi dan sedikit asinan ikan yang dibungkus daun. Ketika kalian kembali ke kuti, membuka bungkusan itu dan kalian dapati bahwa itu adalah asinan ikan mentah... maka buanglah itu (Vinaya melarang para bhikkhu untuk makan daging atau ikan mentah.)! Memakan nasi putih lebih baik daripada melanggar aturan. Semuanya haruslah seperti ini sebelum kalian dapat mengatakan bahwa kalian benar-benar telah paham, maka kemudian vinaya menjadi lebih sederhana.
Jika bhikkhu-bhikkhu lain ingin memberikan kebutuhan-kebutuhan kepada saya seperti mangkuk, alat pencukur atau yang lainnya, saya tak akan menerimanya, kecuali saya mengetahui bahwa mereka merupakan teman praktek dengan standar vinayayang sama. Mengapa tidak? bagaimana kalian bisa mempercayai seseorang yang tidak mengendalikan diri? Mereka bisa melakukan hal-hal apa saja. Para bhikkhu yang tiak mengendalikan diri tidak melihat nilai vinaya, jadi mungkin saja mereka mendapatkan barang-barang tersebut dengan cara yang tidak pantas. Saya benar-benar mencermati hal itu.
Sebagai akibatnya, beberapa teman bhikkhu saya tidak setuju pada saya... "Ia tak mau bergaul, ia tidak mau membaur..." Saya tidak goyah, saya pikir: "Pasti, kita akan berbaur ketika kita telah mati". Saya berpikir, "bilamana telah mati, kita semua berada dalam kapal yang sama". Saya hidup dengan kesabaran. Saya adalah orang yang sedikit bicara. Jika pihak lain mengkritik praktek saya, saya tidak goyah. Mengapa? Karena biarpun saya menjelaskannya kepada mereka, mereka tak akan mengerti. Mereka tak mengerti apa-apa tentang praktek. Seperti waktu itu ketika saya akan diundang untuk upacara pemakaman dan seseorang berkata, "...jangan dengarkan dia! Masukkan saja uang itu ke dalam tasnya dan jangan katakan apapun tentang hal itu.. jangan biarkan ia tahu (Walaupun merupakan pelanggaran bagi para bhikkhu untuk menerima uang, banyak juga yang melakukannya. Beberapa bhikkhu mau menerimanya walaupun tampaknya tidak, inilah mungkin yang menyebabkan umat awam menilai penolakan yang Mulia Achan untuk menerima uang, dengan berpikir bahwa beliau sesungguhnya mau menerima jika mereka tidak terang-terangan menyerahkan pada beliau, tetapi menyelipkannya dalam tas beliau.)". Saya katakan, "Hei, kamu pikir saya ini mati atau sejenisnya? Tahukah kalian, hanya karena orang menyebut alkohol sebagai wewangian, tidak akan menjadikannya sebagai wewangian. Tetapi, ketika kalian ingin minum alkohol kalian menyebutnya wewangian, maju terus dan meminumnya. Kalian pasti sudah gila!"
Karena itu vinaya bisa menjadi sulit. Kalian harus puas dengan yang sedikit, menyendiri. Kalian harus melihat, dan melihat dengan benar. Suatu kali, ketika saya pergi melewati Saraburi, kelompok saya tinggal di vihara desa beberapa saat. Ketua vihara di sana kira-kira setua saya. Di pagi hari, kami semua pergi berpindapata bersama, kemudian kembali ke vihara dan meletakkan mangkuk kami. Kemudian umat-umat akan membawa berpiring-piring masakan ke dalam ruang makan dan meletakkannya. Selanjutnya para bhikkhu akan pergi dan mengambilnya, membuka dan meletakkannya dalam satu garis untuk diserahkan secara resmi. Satu bhikkhu akan meletakkan jarinya di atas piring pada satu sisi, dan seorang umat memegang piring di sisi yang lain. begitulah! Dengan demikian cara itu para bhikkhu akan membawa makanan-makanan itu dan membagikannya untuk dimakan.
Kira-kira lima orang bhikkhu yang ikut pergi bersama saya saat itu, tetapi tidak seorang pun dari kami yang mau menyentuh masakan itu. pada pindapata, semua yang kami terima adalah nasi putih, jadi kita duduk bersama mereka dan memakan nasi putih, tidak seorang pun dari kami yang berani makan masakan dari piring-piring itu.
Ini terjadi selama beberapa hari, sampai saya menyadari bahwa sang ketua vihara merasa terganggu dengan perilaku kami. Mungkin salah seorang bhikkhu di sana melaporkan, "Bhikkhu-bhikkhu tamu ini tidak mau memakan masakan manapun. Saya tidak tahu apa maunya mereka".
Saya harus tinggal di sana untuk beberapa hari lagi, maka saya menemui sang ketua vihara untuk menjelaskan. Saya berkata, "Yang Mulia, bisakah saya mengganggu sebentar? Saat ini saya ada sedikit urusan yang mana saya harus meminta kesediaan Anda untuk menerima kami beberapa hari lagi, tetapi saya kuatir ada satu atau dua hal yang membuat Anda dan murid-murid Anda bingung, yaitu berkenaan dengan kami tidak memakan masakan yang diberikan oleh umat. Saya ingin menjelaskan hal ini kepada Anda. Sungguh tidak ada apa-apa, hanya saja saya sudah belajar untuk praktek seperti ini... yaitu, cara menerima dana/pemberian makanan. Ketika umat meletakkan masakan dan seterusnya para bhikkhu pergi dan membuka piring-piring itu, memilih mereka dan kemudian diserahkan secara resmi... ini salah. Ini pelanggaran dukkata. Terutama mengurus dan memegang masakan yang secara resmi belum diserahkan ke dalam tangan para bhikkhu, "merusak" masakan tadi. Menurut vinaya, bhikkhu yang makan masakan itu melakukan suatu pelanggaran.
"Hanya karena itu, kawan. Saya tidak mengkritik siapapun, atau saya berusaha memaksa Anda dan para bhikkhu untuk berhenti berbuat begitu... sama sekali tidak. Saya hanya ingin mengutarakan maksud baik saya, karena saya perlu tinggal di sini untuk beberapa hari lagi".
Ia merangkapkan tangannya ber-anjali (Anjali —cara tradisional untuk memberi salam atau menunjukkan rasa hormat, seperti salam bahasa India "Namaste" atau "Wai" dalam bahasa Thai. Sadhu —"Itu baik" —adalah cara untuk menunjukkan penghargaan, atau persetujuan.), "Sadhu! Hebat! Saya belum pernah menjumpai seorang bhikkhu yang memegang peraturan-peraturan kecil di Saraburi. Sulit menemukan yang seperti ini di masa ini. Jika ada yang seperti itu, mereka pasti hidup di luar Saraburi. Saya menghargai Anda. Saya sama sekali tidak berkeberatan, itu sangat baik".
Keesokan paginya ketika kami kembali pada pindapata, tak seorang bhikkhu pun mendekati piring-piring itu. Umat sendiri yang memilih dan menyerahkan makanan-makanan tersebut, karena mereka takut para bhikkhu tak mau memakannya. Sejak saat itu para bhikkhu dan samanera di sana tampak sangat cemas, maka saya berusaha untuk menjelaskannya pada mereka, untuk menentramkan batin mereka. Saya pikir mereka takut pada kami, mereka masuk ke dalam kamar dan mengunci diri dalam bebisuan.
Saya mengambil Sang Buddha sebagai teladan saya. Ke mana pun saya pergi, apapun yang dilakukan orang lain, saya tak akan melibatkan diri. Saya hanya tekun melaksanakan praktek, karena saya peduli pada diri saya sendiri, saya peduli pada praktek.
Mereka yang tidak menjalankan vinaya atau berlatih meditasi, tidak dapat hidup bersama dengan mereka yang berlatih, mereka pasti mengambil jalan yang terpisah.
Oleh karena itu, kalian yang ingin pergi dan membangun pusat-pusat meditasi di hutan... jangan lakukan itu. Jika kalian belum benar-benar mengerti, jangan bersusah-susah mencoba, kalian hanya akan membuatnya menjadi kacau. Sebagian bhikkhu mengira bahwa dengan hidup di hutan mereka akan menemukan kedamaian, tetapi mereka tetap belum memahami hal-hal pokok tentang meditasi. Mereka memotong rumput sendiri (Pelanggaran lainnya pada peraturan tata-tertib, pelanggaran pacittiya.), melakukan semuanya sendiri... Mereka yang sudah memahami praktek tidak berminat pada tempat-tempat seperti itu, mereka tak akan sejahtera. Bertindak seperti itu tidak akan membawa kemajuan. Tidak peduli betapa damainya hutan itu kalian tidak akan mendapat kemajuan jika kalian mengerjakannya secara salah.
Mereka melihat para bhikkhu-hutan hidup di hutan dan mereka pergi ke hutan untuk hidup seperti mereka, tetapi itu tidaklah sama. Jubah-jubah tidak sama, kebiasaan-kebiasaan makan tidak sama, semua berbeda. Yakni, mereka tidak mengendalikan diri mereka, mereka tidak praktek/berlatih. Tempat menjadi sia-sia, ia tidak mengenai sasaran. Jika ia memenuhi sasaran, hanyalah sebatas satu tempat untuk pamer atau publikasi, sama seperti pertunjukan penjual obat. Tidak lebih dari itu. Mereka yang berlatih hanya sejenak dan selanjutnya pergi mengajar orang lain sesungguhnya belum matang, mereka belum sepenuhnya mengerti. Mereka segera akan menyerah dan semuanya berantakan. Hal itu hanya menimbulkan persoalan.
Jadi agaknya kita harus belajar, lihat Navakovada (Vavakovada —sebuah ringkasan sederhana tentang dasar-dasar Dhamma-Vinaya.), apa yang dikatakannya? Pelajari, ingat, sampai kalian memahaminya. Setiap waktu tanyakanlah kepada guru kalian berkenaan dengan pokok-pokok yang lebih dalam, beliau akan menjelaskannya. Belajarlah seperti itu sampai kalian benar-benar memahami vinaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar