Prinsip
esensial ajaran Buddha Dharma adalah: kosong dari segala fenomena; bukan untuk
mempertontonkan kesaktian, kemampuan paranormal, atau apapun yang mistik dan
gaib.
Sang
Buddha tidak menekankan pentingnya hal itu. Bagaimanapun, kekuatan seperti itu
memang ada dan mungkin saja dikembangkan. Namun Dhamma jenis ini menyilapkan,
sehingga Sang Buddha tidak menganjurkannya. Orang yang dipuji Sang Buddha
adalah mereka yang mampu membebaskan
diri
dari penderitaan.
Alat
dan perlengkapan yang harus dimiliki untuk menyelesaikan latihan ini adalah:
kemurahan-hati, kebajikan,samadhi dan kebijaksanaan. Kita harus mengambilnya
dan berlatih dengannya.
Bersamaan
mereka membangun jalan ke-dalam bathin dan kebijaksanaan adalah awalnya.
Jalan
tersebut tidak dapat matang bila pikiran terbalut dengan kekotoran. Tapi bila
kita cukup kuat, Jalan ini akan menyisihkan ketidakmurnian itu. Bagaimanapun
kalau kekotorannya yang lebih kuat maka mereka akan menghancurkan Jalan.
Praktik Dhamma itu ya cuma menyangkut: kedua kekuatan itu yang saling bertempur
tanpa hentinya hingga mencapai ujung jalan.
Mareka
berperang terus sampai tamat.Menggunakan peralatan latihan mengandung tantangan
yang keras dan melelahkan.
Kita
mengandalkan pada kesabaran,ketabahan dan kemandirian.
Kita
harus melakukannya sendiri, mengalaminya sendiri dan merealisasikannya sendiri
pula.
Namun
demikian, para cendekiawan sering kebingungan. Contohnya, saat mereka duduk
bermeditasi, sesaat pikiran mereka mengalami setitik ketenangan; mereka mulai
perpikir, “Hei, ini pasti jhana pertama.” Beginilah cara kerja pikiran
mereka.Dan begitu pemikiran-pemikiran seperti itu muncul, maka ketenangan yang
baru dialaminya hancur-berantakan. — Tak lama kemudian mereka mulai berpikir
lagi, itu pasti jhana kedua. – Janganlah memikirkan dan berspekulasi tentang
itu.
Tidak
ada papan yang mengumumkan tingkat samadhi yang kita alami. Di kenyataannya
sungguh sama sekali berbeda.Tidak ada petunjuk apapun seperti petunjuk jalan
yang memberitahu anda, “Jalan ini menuju Wat Nong Pah Pong”. Tidak seperti itu
saya memahami pikiran. Tidak ada pengumuman.
Walaupun
banyak cendekiawan papan-atas telah menulis penjelasan-rinci tentang jhana
pertama, kedua, ketiga dan keempat, apa yang tertulis hanyalah informasi
eksternal.
Apabila
pikiran benar-benar memasuki kedamaian mendalam seperti itu, pikiran tidak tahu
menahu mengenai apa yang tertulis. Pikiran memang mengetahui, tetapi apa yang
diketahuinya tidaklah sama dengan teori yang kita pelajari. Jika para akademisi
mencoba untuk menggenggam teorinya dan memeriksanya ke dalam meditasi, mereka
duduk dan berpikir,“Hmmm…Apa ya ini? Apakah ini sudah jhana pertama?” Nah!
Kedamaiannyapun buyar, dan mereka tidak mengalami apapun yang sungguh
bermanfaat. Dan apa sebabnya? Karena terdapat nafsu, dan begitu ada nafsu
kemelekatan maka apa
yang
terjadi? Pikiran segera keluar dari meditasi. Jadi penting bagi kita semua
untuk menyingkirkan segala pemikiran dan spekulasi. Tinggalkanlah mereka
seluruhnya. Cukup gunakan tubuh, ucapan dan pikiran dan ceburkan diri
seluruhnya ke dalam praktik. Amati langsung cara kerja pikiran ini, tetapi
janganlah menyeret serta buku-buku Dhamma saat anda mengamati pikiran. Kalau
tidak, maka segalanya bakal berantakan, karena tidak ada isi buku yang cocok
persis dengan kenyataan yang sebenarnya.
Orang
yang belajar terlalu banyak, yang penuh dengan pengetahuan teoritis, biasanya
kesulitan dalam praktikmeditatif. Mereka cuma mandeg pada tingkat informasi.
Kenyataannya adalah, pikiran dan bathin ini tidak bisa diukur dengan standar
eksternal. Jika pikiran ini damai, sekedar biarkanlah ia menjadi damai.
Pelbagai level kedamaian yang amat mendalam memang sungguh ada. – Secara
pribadi, saya tidak tahu banyak teori tentang latihan.
Waktu
itu saya telah menjadi bhikkhu selama tiga tahun dan masih banyak pertanyaan
tentang bagaimana sebenarnya samadhi itu. Saya terus memikirkannya dan
membayangkannya saat bermeditasi, tetapi pikiran saya malah menjadi kian
gelisah dan bingung.
Jumlah
pemikiran-pemikiran kian bertambah. Dan ketika saya tidak bermeditasi kok malah
lebih tenang. Aduh, sulitkah,sangat menjengkelkan! Tapi sekalipun saya
menjumpai banyak hambatan, saya tak pernah menyerah. Saya teruskan saja. Kala
saya tidak berusaha berbuat sesuatu yang khusus, pikiran saya relatif tenteram.
Tapi manakala saya bertekad membuat pikiran menyatu dalam samadhi, ia malah
kehilangan kontrol.
“Apa
yang sesungguhnya terjadi di sini,” pikir saya.
“Mengapa ini terjadi?”
Belakangan
saya mulai menyadari bahwa meditasi itu sama halnya dengan bernapas. Bila kita
memaksa napas untuk menjadi dangkal, dalam atau membetulkannya — itu sangatlah
sulit. Namun demikian, kalau kita berjalan-jalan, dan tidak menyadari napas
masuk, napas keluar, itu sangatlah santai.
Jadi
saya berpikir, “Aha? Mungkin begitulah caranya.” Ketika seseorang berjalan
biasa di sepanjang hari, tanpa memfokuskan perhatian pada napasnya, apakah
napas tersebut membuatnya menderita? Tidak, mereka hanya merasa relax. Tetapi
ketika saya duduk dan bertekad-bulat hendak membuat pikiran tenang, maka
kemelekatan pun timbul. Ketika saya berusaha mengendalikan napas menjadi
dangkal atau dalam, hal itu justru membuat saya lebih tertekan. Mengapa? Karena
tekad saya ternoda oleh kemelekatan. Saya justru jadi tidak tahu apa yang
terjadi. Semua frustasi dan penderitaan muncul karena saya membawa kemelekatan
ke dalam meditasi.
Suatu
waktu saya tinggal di vihara hutan sekitar setengah mil dari desa. Pada satu
malam penduduk desa merayakan pesta meriah saat saya sedang meditasi-jalan.
Ketika itu pukul 11.00 lebih dan saya merasa sedikit ganjil. Saya merasakannya
sejak tengah hari. Pikiran (mind) saya hening. Hampir tidak ada pemikiran
(thought) apapun. Saya merasa sangat santai dan enteng. Saya melakukan meditasi-jalan
sampai lelah dan kemudian duduk [meditasi] di dalam gubuk. Demikian saya duduk,
belum lagi menyilangkan kaki, menakjubkan, pikiran ini ingin memasuki kedamaian
yang mendalam. Itu semua
terjadi
dengan sendirinya. Begitu saya duduk, pikiran langsung jadi sungguh tenteram.
Seperti batu karang tak tergoyahkan. Bagaikan saya tidak lagi mendengar riuh
nyanyi serta tarian penduduk desa — sebenarnya saya masih bisa mendengar —
tetapi saya juga bisa membungkam seluruhnya sama sekali.
Aneh.
Saat saya tidak memberi perhatian pada suara itu, ia hening sempurna — tidak
mendengar apapun. Tapi kalau saya mau mendengar, saya bisa, tanpa menjadi
terganggu.
Saat
itu seperti ada dua obyek dalam pikiran saya yang saling berdampingan namun
tanpa saling sentuh. Saya dapat melihat pikiran itu dan obyek kesadaran-nya
terpisah dan berbeda.
Seperti
tempolong dan ceret air ini. Kemudian saya mengerti: ketika pikiran menyatu
dalam ketenangan samadhi, bila kita mengarahkan perhatian keluar kita dapat
mendengarkan suara
—
tetapi jika anda tinggal di kekosongannya maka akan hening sempurna. Saat suara
ditangkap, saya dapat melihatnya bahwa “yang-mengetahui” dan suara itu adalah
hal yang jelas berbeda. Saya lalu merenung, “Kalau bukan demikianlah ini
adanya, ya mau bagaimana lagi?” Ya begitulah adanya.
Kedua
hal tersebut terpisah sama sekali. Saya melanjutkan penyelidikan demikian ini
sampai pengertian yang lebih mendalam lagi: “Ah, ini penting. Ketika pencerapan
fenomena telah terpotong, hasilnya adalah kedamaian.” Ilusi yang berlangsung
selama ini (santati) tertransformasi menjadi kedamaian pikiran (santi).
Saya
lalu terus duduk, berusaha tetap bermeditasi. Pikiran saat itu hanya terpusat
pada meditasi, yang lain diabaikan. Kalaupun saya berhenti bermeditasi pada
titik ini, itu hanya oleh karena praktik telah benar-benar sempurna. Saya bisa
saja memandangnya enteng, tapi itu bukan karena malas, lelah ataupun kesal.
Bukan semuanya.
Hal
tersebut tidak ada dalam bathin. Yang ada hanya keseimbangan bathin yang
sempurna— pokoknya: pas.
Akhirnya
saya istirahat sejenak, tapi itu hanya posisi duduk yang berubah. Bathin saya
tetap tenang, tak bergeming, dan tidak lelah. Saya mengambil bantal, bermaksud
untuk istirahat.
Sembari
hendak berbaring, pikiran tetap damai seperti sebelumnya.
Kemudian
sesaat sebelum kepala saya menyentuh bantal, kesadaran (the mind’s awareness)
mulai mengalir ke dalam. Saya tidak tahu ini akan menuju kemana, tetapi ia
terus mengalir lebih dalam dan lebih dalam lagi. Bagai arus listrik dalam kabel
yang mengalir ke saklar. Begitu sampai di saklar, tubuh saya meledak dengan
dentum memekakkan. Selama itu “yang-mengetahui” sangatlah luar biasa terang dan
jernih. Begitu titik ini lewat, pikiran lepas menembus semakin ke dalam.
Ia
meluncur ke dalam lagi hingga mencapai titik dimana tidak ada sesuatu apapun.
Sama sekali tidak ada hal dari dunia luar yang bisa sampai ke tempat ini. Tiada
apapun yang mampu mencapainya.
Berdiam
di dalam untuk beberapa saat, pikiran ini lalu mundur mengalir balik keluar.
Namun demikian, ketika saya mengatakan mundur tidak berarti saya yang
membuatnya mengalir keluar. Saya hanya seperti seorang pengamat, hanya
mengetahui dan menyaksikan saja. Pikiran keluar dan terus
keluar
hingga akhirnya kembali “normal”. Begitu kesadaran kembali normal, timbul
pertanyaan, “Eh, apakah itu?!” Sesegera itu muncul jawaban, “Semua ini terjadi
sendiri sesuai dengan sifat-alaminya. Engkau tidak perlu mencari penjelasan
lagi.” Jawaban ini sudah cukup memuaskan pikiran saya.
Sesaat
kemudian, pikiran ini mulai mengalir ke dalam lagi. Saya tidak mengarahkannya
dengan sengaja. Itu terjadi dengan sendirinya. Bergerak makin mendalam dan
mendalam lagi hingga menabrak saklar yang sama. Kali ini tubuh saya pecah
berantakan dalam fragmen dan partikel-partikel sangat kecil.
—
Lagi, pikiran pun lalu lepas menembus ke dalam dengan sendirinya. Sunyi… —
bahkan jauh lebih sunyi dari sebelumnya.
Sama
sekali tiada apapun di luar yang dapat menjangkaunya.Pikiran tinggal disini
beberapa saat, selama dia mau,kemudian mundur mengalir keluar. Saat itu,
semuanya terjadi sesuai dengan momentumnya dan terjadi dengan sendirinya. Saya
tidak mempengaruhi atau mengarahkan pikiran saya secara khusus, untuk mengalir
ke dalam ataupun ke luar. Saya hanya pihak yang mengetahui dan mengamatinya
saja.
Pikiran
saya kembali pada kesadaran normalnya lagi, dan saya pun tidak bertanya-tanya
atau berspekulasi tentang apa yang baru saja terjadi. Demikian saya
bermeditasi, pikiran sekali lagi meluncur ke dalam. Kali ini seluruh jagad-raya
hancur berantakan, terburai menjadi partikel-partikel kecil. Bumi, tanah,
gunung-gunung, ladang-ladang dan hutan-hutan — seluruh dunia — cerai-berai
menjadi elemen-elemen di udara. Orang orang lenyap. Semuanya hilang. Pada kali
ketiga ini, sama sekali tiada yang tersisa.
Pikiran
ini, setelah meluncur ke dalam, berdiam disana selama ia mau. Saya tidak bisa
mengatakan saya mengerti persis bagaimana ia tinggal disana. Sulit untuk
menggambarkannya.
Tiada
yang dapat saya gunakan untuk membandingkannya. Tidak ada perumpamaan yang
cocok. Kali ini pikiran tinggal di dalam jauh lebih lama dari yang sebelumnya,
dan hanya setelah beberapa waktu ia kembali keluar. Ketika saya mengatakan “ia
keluar”, saya tidak bermaksud mengatakan bahwa saya telah membuatnya keluar
ataupun mengendalikan segala yang terjadi. Pikiran keluar dengan sendirinya.
Saya hanya seorang pengamat. Akhirnya pikiran pun kembali pada keadaan
kesadaran normalnya. — Bagaimana anda bisa memberi nama apa yang terjadi
barusan sebanyak tiga kali? Siapa tahu? Istilah apa yang dapat digunakan untuk
menamainya?
Semua
yang saya ceritakan pada anda mengenai pikiran mengikuti hukumnya sendiri,
terjadi secara alami. Tidak ada penjelasan teoritis dari pikiran atau keadaan
keadaaan mental. Semua ini tidak perlu. Dengan keyakinan atau kepercayaan yang
anda miliki, praktikkan ini dengan sungguh-sungguh.
Jangan
berputar-putar terus, masuklah ke dalam Dhamma. Dan bila praktik anda sudah
mencapai tingkatan seperti yang baru saja saya jelaskan, seluruh dunia ini akan
jungkir-balik. Pemahaman anda akan realitas akan berbeda sama sekali. Pandangan
hidup anda berubah total.
Bahkan
kalau ada orang melihat anda pada saat itu, mungkin mereka berpikir anda
sinting. Dan jika anda tidak mempunyai keyakinan diri yang sungguh kuat, anda
memang bisa jadi benar-benar gila, karena tiada lagi apapun yang sama dengan
sebelumnya. Orang-orang tampak berbeda dari yang biasanya dulu. Tetapi cuma
anda satu-satunya yang melihat kenyataan ini. Semuanya berubah total.
Pemikiran-pemikiran anda juga berubah: Orang lain kini berpikir begini,
sementara saya berpikir begitu. Mereka berbicara tentang pelbagai hal begini,
sementara anda ngomong dengan cara lain. Mereka mengikuti satu jalan, sedangkan
anda mendaki jalan yang lain. Anda tak lagi sama dengan manusia lumrah lainnya.
Pengalaman akan hal-hal di atas tidaklah luntur. Ini berlangung terus. Cobalah.
—Jika benar-benar mengalami seperti yang saya ceritakan, anda takkan perlu
mencari terlalu jauh-jauh. Cukup tengok saja ke dalam bathinmu sendiri. Bathin
ini sesungguhnya teguh, kokoh tak tergoyahkan. Inilah kekuatan dari bathin,
sumber kekuatan dan energi. Bathin ini mengandung kekuatan yang potensial.
Inilah
kekuatan dari samadhi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar