Selasa, 05 Juni 2012

Miscellaneous [ Serba-serbi ]







154
One of Ajahn Chah’s disciples had a knee problem that could only be corrected by surgery. Although the doctors assured him that his knee would be well in a couple of weeks, months went by and it still hadn’t healed properly. When he saw Ajahn Chah again, he complained saying, "They said it wouldn’t take this long. It shouldn’t be this way." Ajahn Chah laughed and said, "If it shouldn’t be this way, it wouldn’t be this way."
Salah seorang murid Ajahn Chah punya masalah pada lututnya yang hanya dapat
disembuhkan melalui operasi. Biarpun para dokter telah menjamin bahwa lututnya akan
sembuh dalam beberapa minggu, berbulan-bulan telah lewat dan tetap saja belum
sembuh benar. Ketika ia bertemu Ajahn Chah lagi, ia mengeluh, ”Mereka bilang
penyembuhannya tidak akan lama. Ini tidak berjalan semestinya.” Ajahn Chah tertawa
dan berkata, “Bila hal ini tidak seharusnya begini, maka hal ini tidak akan menjadi
begini.”

155
If someone gives you a nice fat, yellow banana that’s sweet and fragrant but poisonous, will you eat it? Of course not! Yet though we know that desire is poisonous, we go ahead and "eat" it anyway!
Bila seseorang memberimu sebuah pisang yang besar, berwarna kuning, manis dan
harum tetapi beracun, akankah Anda memakannya? Tidak, kan! Walaupun kita
mengetahui bahwa kesenangan nafsu indera itu “beracun”, kita tetap saja maju dan
“memakannya”!

156
See your defilements; know them like you know a cobra’s poison. You won’t grab the cobra because you know it can kill you. See the harm in things harmful and the use in things useful.
Lihatlah kekotoran batin Anda, kenalilah seperti Anda mengenal racun seekor kobra.
Anda tidak akan menangkap ular kobra karena Anda mengetahui bahwa ular kobra itu
dapat membunuh Anda. Lihatlah bahaya pada sesuatu yang berbahaya dan manfaatkan
sesuatu yang berguna.

157
We are always dissatisfied. In a sweet fruit, we miss the sour; in a sour fruit, we miss the sweet.
Kita selalu merasa tidak puas. Dalam buah yang manis, kita merasa kurang asam; 
dalam buah asam, kita merasa kurang manis.

158
If you have something bad smelling in your pocket, wherever you go it will smell bad. Don’t blame it on the place.
Bila Anda memiliki sesuatu berbau busuk dalam saku Anda, kemanapun Anda pergi
tetap saja akan berbau busuk. Jangan salahkan tempatnya.

159
Buddhism in the East today is like a big tree, which may look majestic, but can only give small and tasteless fruit. Buddhism in the West is like a sapling, not yet able to bear fruit, but having the potential to give large sweet ones.
Agama Buddha di Timur, sekarang, seperti sebuah pohon besar terlihat penuh
keagungan, tetapi hanya dapat memberi buah yang hambar dan kecil. Agama Buddha di
Barat seperti pohon muda, belum mampu memberikan buah, tetapi memiliki potensi
untuk memberikan buah yang besar dan manis.

160
People nowadays think too much. There are too many things for them to get interested in, but none of them lead to any true fulfillment.
Orang zaman sekarang terlalu banyak berpikir. Terlalu banyak hal yang diminati, tetapi
tidak ada satu pun yang membimbing mereka menuju penyelesaian yang benar.

161
Just because you go and call alcohol "perfume" doesn’t make it become perfume, you know. But, you people, when you want to drink alcohol, you say it’s perfume, then go ahead and drink it. You must be crazy!
Hanya karena Anda mencoba dan menyebut alkohol sebagai “parfum” tidak berarti
dapat membuatnya menjadi parfum, Anda tahu. Tetapi, Anda sekalian, ketika ingin
minum alkohol, Anda berkata ini parfum, lalu Anda tetap meminumnya. Anda sudah
gila!

162
People are always looking outwards, at people and things around them. They look at this hall, for example, and say, "Oh, it’s so big!" Actually it’s not big at all. Whether or not it seems big, depends on your perception of it. In fact this hall is just the size it is, neither big nor small. But people run after their feelings all the time. They are so busy looking around and having opinions about what they see that they have no time to look at themselves.
Orang selalu melihat ke luar, pada seseorang dan benda. Mereka melihat sebuah
ruangan besar, sebagai contoh, lalu berkata, “Oh, ruangan ini sangat besar!” Sebenarnya
tidak terlalu besar. Bagaimanapun terlihat besar, tergantung pada cara pandang Anda
terhadapnya. Kenyataannya ruang besar ini memiliki ukuran semestinya, tidak besar
maupun kecil. Orang, bagaimanapun juga, mengikuti perasaannya tiap saat. Mereka
sangat sibuk mencari dan berpendapat tentang apa yang dilihat dan tidak memiliki
waktu untuk melihat dirinya sendiri.

163
Some people get bored, fed up, tired of the practice, and lazy. They can’t seem to keep the Dhamma in mind. Yet, if you go and scold them, they’ll never forget that. Some may remember it for the rest of their lives and never forgive you for it. But when it comes to the Buddha’s teaching, telling us to be moderate, to be restrained, to practice conscientiously, why do they keep forgetting these things? Why don’t people take these things to heart?
Beberapa orang merasa bosan, muak, letih berlatih dan malas. Kelihatannya mereka
tidak dapat mempertahankan Dhamma dalam pikiran. Namun, jika Anda pergi dan
memakinya, mereka tidak akan pernah lupa. Beberapa orang mungkin mengingatnya
seumur hidup dan tidak pernah memaafkan Anda untuk itu. Tetapi ketika hal itu
berkenaan pada ajaran Buddha, mengajarkan kepada kita untuk bersikap tenang, tetap
terkendali, berlatih sungguh-sungguh, mengapa mereka tetap melupakan akan hal ini?
Mengapa orang tidak menyimpannya di dalam hati?

164
Seeing that we are better than others is not right. Seeing that we are equal to others is not right. Seeing that we are inferior to others is not right. If we think that we’re better than others, pride arises. If we think that we are equal to others, we fail to show respect and humility at the proper times. If we think that we are inferior to others, we get depressed thinking about it and try to blame our inferiority on having been born under a bad sign, and so on. Just let all of that go!
Menganggap diri kita lebih baik daripada orang lain adalah tidak benar. Menganggap
bahwa diri kita sejajar dengan lainnya adalah tidak benar. Menganggap bahwa diri kita
lebih rendah dari orang lain adalah tidak benar. Bila kita menganggap bahwa kita lebih
baik daripada yang lainnya, kesombongan akan muncul. Bila kita berpikir bahwa diri
kita sederajat dengan yang lainnya, kita gagal untuk menunjukkan hormat dan rendah
hati pada waktu yang tepat. Bila kita berpikir lebih rendah dari orang lain, kita menjadi
tertekan memikirkan kita lebih rendah, terlahir di bawah naungan bintang yang buruk
dan sebagainya. Lepaskanlah semuanya!

165
We must learn to let go of conditions and not try to oppose or resist them. And yet we plead with them to comply with our wishes. We look for all sorts of means to organize them or make a deal with them. If the body gets sick and is in pain, we don’t want it to be so, so we look for various suttas to chant. We don’t want to control it. These suttas become some form of mystical ceremony, getting us even more entangled in clinging. This is because we chant them in order to ward off illness, to prolong life and so on. Actually The Buddha gave us these teachings in order to help us know the truth of the body, so that we can let go and give up our longings, but we end up chanting them to increase our delusion.
Kita harus belajar untuk membiarkan suatu keadaan dan tidak mencoba untuk melawan
atau menahannya. Kita berharap agar kondisi sesuai dengan keinginan kita. Kita
mencari segala cara untuk menghadapinya. Jika tubuh jatuh sakit dan menderita , kita
tidak ingin seperti ini, lalu kita mencari berbagai sutta untuk dibaca. Kita ingin
mengontrolnya. Pembacaan sutta ini menjadi semacam upacara mistik, membuat kita
semakin terjerat dalam kemelekatan. Hal ini karena kita membaca paritta untuk
mengusir penderitaan, memperpanjang umur dan sebagainya. Sebenarnya Sang Buddha
memberi kita ajaran ini untuk membantu kita mengenal kebenaran dari tubuh, sehingga
kita dapat membiarkan seperti apa adanya dan melepaskan keinginan kita, tetapi kita
justru membacakan paritta untuk meningkatkan kekotoran batin.


166
Know your own body, heart, and mind. Be content with little. Don’t be attached to the teachings. Don’t go and hold on top emotions.
Kenalilah tubuh Anda sendiri, hati, dan pikiran. Puaslah terhadap hal yang kecil. Jangan
melekat pada ajaran. Jangan terpaku dan terikat pada emosi.


167
Some people are afraid of generosity. They feel that they will be exploited or oppressed. In cultivating generosity, we are only oppressing our greed and attachment. This allows our true nature to express itself and become lighter and freer.
Beberapa orang takut berdana. Mereka merasa bahwa mereka akan diperas atau ditekan.
Selain mengembangkan dana, kita hanya menekan keserakahan dan kemelekatan. Hal
ini membiarkan sifat alami kita menunjukkan dirinya dan menjadi lebih ringan dan
bebas.

168
If you reach out and grab a fire in your neighbor’s house, the fire will be hot. If you grab a fire in your own house, that, too, will be hot. So don’t grab at anything that can burn you, no matter what or where it is.
Bila Anda keluar dan menaruh api di rumah tetangga, api itu akan membakar. Bila
Anda menaruh api di rumah Anda sendiri, seperti hal sebelumnya, api itu akan
membakar. Jadi jangan menaruh api yang dapat membakar Anda, tidak peduli apa dan dimana.

169
People outside may call us mad to live in the fore4st like this, sitting like statues. But how do they live? They laugh, they cry, and are so caught up in greed and hatred that at times they kill themselves or one another. Now, who are the mad ones?
Orang luar mungkin menyebut kami gila, hidup di hutan seperti ini, duduk seperti
patung. Tetapi bagaimana mereka hidup? Mereka tertawa, menangis, mereka telah
terperangkap pada ketamakan dan kebencian sampai-sampai mereka membunuh dirinya
sendiri atau satu dengan lainnya. Siapa yang sebenarnya gila?

170
More than merely teaching people, Ajahn Chah trained them by creating a general environment and specific situations where they could learn about themselves. He would say things like, "Of what I teach you, you understand maybe 15%," or "He’s been a monk for five years, so he understands 5%." A junior monk said in response to the latter. "So I must have 1% since I’ve been here one year." "No," was Ajahn Chah’s reply. "The first four years you have no percent, then the fifth year, you have 5%."

Tidak hanya mengajar umat, Ajahn Chah juga melatih mereka dengan menciptakan
suatu lingkungan umum dan situasi tertentu dimana mereka dapat belajar tentang diri
sendiri. Ia akan berkata, “Terhadap apa yang telah saya ajarkan, mungkin Anda
mengerti 15%.” Atau “Ia telah menjadi bhikkhu selama lima tahun, jadi ia mengerti
5%.” Seorang bhikkhu yang lebih muda menanggapi kata-kata terakhirnya, “Jadi saya
memiliki 1%, saya sudah di sini selama setahun.” “Tidak.” jawab Ajahn Chah. “Empat
tahun pertama Anda tidak memiliki apapun, lalu pada tahun kelima, Anda memiliki
5%.”

171
One of Ajahn Chah’s disciples was once asked if he was ever going to disrobe, if he was going to die in the yellow robes. The disciple said that it was hard to think about, and that although he had no plans to disrobe, he couldn’t really decide that he never would. When he looked into it, he said, his thoughts seemed meaningless. Ajahn Chah then replied by saying, "That they are meaningless is the real Dhamma."

Suatu ketika salah satu murid Ajahn Chah ditanya apakah ia berencana melepas jubah,
apakah ia akan meninggal dengan jubah kuningnya. Murid itu berkata bahwa hal itu
sangat sulit untuk dipikirkan, walaupun ia tidak berencana lepas jubah, ia benar-benar
tidak dapat memutuskan bahwa ia tidak akan melakukannya. Ketika ia melihat lebih
dalam, katanya, pikirannya serasa tidak berarti. Ajahn Chah menjawab dengan berkata,
“Segala yang tidak berarti adalah Dhamma yang sebenarnya.”

172
When someone asked Ajahn Chah why there was so much crime in Thailand, a Buddhist country, or why Indochina was such a mess, he said, "Those aren’t Buddhists who are doing those unwholesome things. That isn’t Buddhism. Buddha never taught anything like that. People are doing those things!"

Ketika seseorang bertanya pada Ajahn Chah mengapa begitu banyak kejahatan di
Thailand, sebuah negara Buddhist, atau mengapa Indochina begitu berantakan.
Katanya, “Bukan umat Buddha yang melakukan segala hal tersebut. Bukan pula ajaran
agama Buddha yang melakukan. Orang-orang itulah yang melakukan. Sang Buddha
tidak pernah mengajarkan begitu.”

173
Once a visitor asked Ajahn Chah if he was an arahant. He said, "I am like a tree in a forest. Birds come to the tree; they sit on its branches and eat its fruit. To the birds the tree may be sweet or sour or whatever. But the tree doesn’t know anything about it. The birds say sweet or they say sour, but from the tree’s point of view, this is just the chattering of birds."
Suatu ketika seorang pengunjung bertanya pada Ajahn Chah apakah ia seorang Arahat.
Ajahn Chah menjawab, “Saya seperti pohon di hutan. Burung datang ke pohon, hinggap
di dahan, dan makan buah. Bagi burung, buahnya mungkin manis atau asam atau
lainnya. Tetapi pohon itu tidak mengetahui apapun. Burung itu berkata manis atau
berkata asam, tetapi dari sudut pandang pohon itu, hal ini hanyalah celoteh burung.”


174
Someone commented, "I can observe desire and aversion in my mind, but it’s hard to observe delusion." "You’re riding on a horse and asking where the horse is?" was Ajahn Chah’s reply.
Seseorang berkomentar, “Saya dapat memperhatikan keinginan dan kemalasan dalam
pikiran saya, tetapi sulit untuk meneliti khayalan.” “Anda menunggang kuda dan
bertanya kemana kuda itu?” jawab Ajahn Chah.

175
Some people become monks out of faith but then trample on the teachings of the Buddha. They don’t know themselves better. Those who really practice are few these days for there are too many obstacles to overcome. But if it isn’t good, let it die; if it doesn’t die, then make it good.
Beberapa orang menjadi bhikkhu tanpa keyakinan namun kemudian menjelek-jelekkan
ajaran Sang Buddha. Mereka tidak mengetahui dirinya lebih baik. Orang yang benarbenar
berlatih sedikit saat ini karena mereka harus mengatasi banyak rintangan. Tetapi
bila hal itu tidak baik, biarkan mati; bila tidak mati, buatlah menjadi baik.

176
You say you love your girlfriend one hundred percent. Well, turn her inside out and see how many percent of her you still love. Or if you miss your lover so much when she’s not with you, then why not ask her to send you a vial of her feces in it. In that way, whenever you think of her with longing, you can open the vial and smell it. Disgusting? What is it, then, that you love? What is it that makes your heart pound like a rice pounder every time a girl with a really attractive figure comes walking along or you smell her perfume in the air? What is it? What are these forces? They pull and suck you in, but you don’t put up a real fight, do you? There’s a price to pay for it in the end, you know!
Anda berkata Anda mencintai kekasih Anda seratus persen. Baik, buatlah terbalik dan
lihat berapa persen dari dia yang tetap Anda cintai. Atau bila Anda merindukan kekasih
Anda saat tidak bersama, mengapa tidak meminta padanya untuk mengirimkan sebotol
kecil kotorannya. Dengan cara ini, ketika Anda memikirkan keberadaannya, Anda dapat
membuka botol itu dan menciumnya. Menjijikan? Apakah itu yang Anda cintai?
Apakah yang membuat hati Anda tertumbuk seperti penumbuk padi, setiap seorang
wanita bergaya menarik datang menghampiri atau Anda mencium parfumnya di udara?
Apakah itu? Apakah dorongan itu? Mereka menarik dan menghisap Anda kedalamnya,
tetapi Anda tidak berusaha berjuang, betulkah? Ada harga yang harus dibayar akhirnya,
kenalilah!

177
One day Ajahn Chah came upon a large, heavy branch that was lying in his path and which he wanted to move out of the way. He motioned to a disciple to get hold of one end while he lifted the other. Then when they held it ready to throw, he looked up and asked, "Is it heavy?" And after they had flung it into the forest, he asked again, "Now, is it heavy?" It was like this that Ajahn Chah taught his disciples to see Dhamma in everything they said or did. In this case, he demonstrated the benefit of "letting go".

Suatu hari Ajahn Chah terhadang sebuah dahan besar dan berat yang merintangi jalan
dan ia mau menyingkirkannya. Ia menyuruh muridnya untuk memegang salah satu sisi
sedang ia mengangkat sisi lainnya. Ketika mereka memegang dahan tersebut dan siap
untuk melemparkannya, ia memandang (muridnya) dan bertanya, “Apakah berat?” Dan
setelah mereka melemparnya ke hutan, ia bertanya kembali, “Sekarang, apakah berat?”
Seperti inilah yang diajarkan Ajahn Chah pada muridnya untuk melihat Dhamma pada
setiap hal yang mereka katakan dan lakukan. Dalam kasus ini, ia menunjukkan
keuntungan “melepaskan.”


178
One of Ajahn Chah’s disciples was unplugging a tape recorder when he accidentally touched the metal prongs of the plug while it was still connected. He got a shock and dropped it immediately. Ajahn Chah noticed and said, "Oh! How come you could let go of that so easily? Who told you to?"
Seorang murid Ajahn Chah sedang melepas kabel radio tape ketika tiba-tiba secara
tanpa sengaja menyentuh bagian logam dari kabel itu ketika sedang tercolok. Ia terkejut
dan menjatuhkannya seketika. Ajahn Chah memperhatian dan berkata, “Oh! Bagaimana
kau dapat melepaskannya dengan mudah? Siapa yang menyuruh?”

179
It was Christmas and the foreign monks had decided to celebrate it. They invited some laypeople as well as Ajahn Chah to join them. The laypeople were generally upset and skeptical. Why, they asked, were Buddhists celebrating Christmas? Ajahn Chah then gave a talk on religion in which he said, "As far as I understand, Christianity teaches people to do good and avoid evil, just as Buddhism does, so what is the problem? However, if people are upset by the idea of celebrating Christmas, that can be easily remedied. We won’t call it Christmas. Let’s call it ‘Christ-Buddhamas’. Anything that inspires us to see what is true and do what is good is proper practice. You may call it any name you like."
Saat Natal, para bhikkhu asing memutuskan untuk merayakannya. Mereka mengundang
beberapa umat awam dan juga Ajahn Chah untuk bergabung bersama. Umat awam
umumnya kecewa dan tidak menyetujui hal tersebut. Mengapa, mereka bertanya, umat
Buddha merayakan Natal? Ajahn Chah memberikan komentar mengenai agama dengan
berkata, “Selama yang saya mengerti, umat Kristen mengajarkan orang untuk
melakukan kebaikan dan menjauhi kejahatan, seperti ajaran Buddha, lalu apa
masalahnya? Namun, bila orang kecewa dengan ide merayakan Natal, hal ini dapat
dengan mudah diatasi. Kita tidak akan menyebutnya Natal. Katakanlah saja “Natal-
Buddha.” Apa saja yang dapat menginspirasikan kita untuk melihat apa yang benar dan
melakukan apa yang baik adalah latihan yang pantas. Anda dapat menyebutnya dengan
sebutan apa saja yang Anda suka.”


180
During the time refugees were pouring into Thailand from Laos and Cambodia, the charitable organizations that came out to help were many. This made some ordained Westerners think it was not right that Buddhist monks and nuns should just sit in the forest while other religious organizations were so actively participating in alleviating the plight of the refugees. So they approached Ajahn Chah to express their concern, and this is what he said, "Helping in refugee camps is good. It is indeed our natural human duty to each other. But going through our own madness so that we can lead others through, that’s the only cure. Anyone can go out and distribute clothes and pitch tents, but how many can come into the forest and sit to know their minds? As long as we don’t know how to ‘clothe’ and ‘feed’ people’s minds, there will always be a refugee problem somewhere in the world."
Selama pengungsi membanjiri Thailand dari Laos dan Kamboja, organisasi
kemanusiaan yang datang menolong begitu banyak. Hal ini membuat para bhikkhu dari
Barat berpikir adalah tidak benar para bhikkhu dan bhikkhuni hanya duduk di hutan
sedangkan organisasi beragama lainnya dengan aktif berpartisipasi meringankan
penderitaan para pengungsi. Lalu mereka menghampiri Ajahn Chah untuk
mengungkapkan keperduliannya dan inilah yang dikatakan, “Membantu di tenda
pengungsian adalah baik. Adalah seharusnya tugas kita sebagai manusia untuk saling
membantu. Tetapi melewati kegila an sendiri agar kita dapat membawa orang lain
melewatinya, itulah satu-satunya penyembuhan. Setiap orang bisa pergi dan
membagikan pakaian dan membangun tenda, tetapi berapa yang dapat datang ke hutan
dan duduk untuk mengenali pikirannya? Selama kita tidak tahu bagaimana cara
“memberi pakaian” dan “memberi makan” pikiran orang, selalu akan ada masalah
pengungsi dimana saja di dunia ini.”

181
Ajahn Chah listened to one of his disciples recite the Heart Sutra. When he had finished, Ajahn Chah said, "No emptiness either… no bodhisatta." He then asked, "Where did the sutra come from?" "It’s reputed to have been spoken by the Buddha," the follower replied. "No Buddha," retorted Ajahn Chah. Then he said, "This is talking about deep wisdom beyond all conventions. How could we teach without them? We have to have names for things, isn’t that so?"
Ajahn Chah mendengar salah seorang muridnya mengumandangkan Sutra Hati. Ketika
telah selesai, Ajahn Chah berkata, “Tidak ada kekosongan juga... tidak ada Bodhisatta.”
Lalu Beliau bertanya, “Darimana sutra itu berasal?” “Hal ini telah dianggap sebagai
sabda Sang Buddha.” jawab pengikutnya. “Tidak ada Buddha.” tegas Ajahn Chah. Lalu
ia berkata, “Ini adalah pembicaraan mengenai kebijaksanaan yang dalam, melampaui
semua kebiasaan. Bagaimana kita mengajar tanpa mereka? Kita harus memberikan
nama untuk semua hal, bukankah begitu?”

182
To become a Noble One, we have to continuously undergo changes until only the body remains. The mind changes completely but the body still exists. There is hot, cold, pain, and sickness as usual. But the mind has changed and now sees birth, old age, sickness and death in the light of truth.

Untuk menjadi orang suci, kita harus mengalami perubahan sampai hanya tubuh saja
yang tertinggal. Pikiran berubah seluruhnya tetapi tubuh masih ada. Masih terdapat
panas, dingin, sakit, dan penderitaan seperti biasanya. Tetapi pikiran telah berubah dan
sekarang melihat kelahiran, usia tua, penyakit, dan kematian dalam cahaya kebenaran.

183
Someone once asked Ajahn Chah to talk about enlightenment; could he describe his own enlightenment? With everyone eagerly waiting to hear his answer, he said, "Enlightenment isn’t hatd to understand. Just take a banana and put it into your mouth, then you will know what it tastes like. You have to practice to experience realization, and you have to persevere. If it were so easy to become enlightened, everyone would be doing it. I started going to the temple when I was eight years old, and I have been a monk for over forty years. But you want to meditate for a night or two and go straight to Nibbana. You don’t just sit down and - zip! - there you are, you know. You can’t get someone to blow on your head and make you enlightened either.

Seseorang pernah bertanya pada Ajahn Chah untuk membicarakan tentang Penerangan;
dapatkah ia menjelaskan Penerangannya? Saat semua orang dengan antusias mendengar
jawabannya, Ajahn Chah menjawab, “Penerangan tidak sulit untuk dimengerti.
Ambillah pisang dan letakkan di mulut Anda, lalu Anda akan mengetahui seperti apa
rasanya. Anda harus berlatih untuk merealisasi, dan Anda harus tekun. Bila sangat
mudah untuk mengalami Penerangan, setiap orang telah melakukannya. Saya mulai
mendatangi vihara ketika saya berumur delapan tahun, dan saya telah menjadi bhikkhu
selama lebih dari empatpuluh tahun. Tetapi Anda mau bermeditasi dalam semalam atau
dua malam dan langsung mencapai Nibbana. Anda tidak hanya duduk dan –sim
salabim- jadilah Anda. Anda tahu, Anda tidak dapat meminta seseorang untuk meniup
kepala Anda dan juga membuat Anda mencapai Penerangan.

184
The worldly way is to do things for a reason to get something in return, but in Buddhism we do things without any idea of gain. But if we don’t want anything at all, what will we get? We don’t get anything! Whatever we get is just a cause for suffering, so we practice not getting anything. Just make the mind peaceful and have done with it.
Cara duniawi adalah melakukan sesuatu dengan alasan untuk mendapatkan sesuatu
sebagai balasan. Tetapi dalam agama Buddha kita melakukan sesuatu tanpa
menginginkan keuntungan. Tetapi jika kita tidak menginginkan apapun, apa yang akan
kita peroleh? Kita tidak mendapatkan apa-apa! Apa pun yang kita peroleh hanyalah
sebab dari penderitaan, jadi kita berlatih untuk tidak mendapatkan apa-apa. Buatlah
pikiran damai dan lakukan dengan pikiran damai.

185
The Buddha taught to lay down those things that lack a real abiding essence. If you lay everything down you will see the truth. If you don’t, you won’t. That’s the way it is. And when wisdom awakens within you, you will see Truth wherever you look. Truth is all you’ll see.
Sang Buddha mengajarkan untuk meletakkan segala sesuatu tanpa inti yang kekal. Bila
Anda meletakkan segala sesuatu, Anda akan melihat kebenaran. Jika tidak, Anda tidak
akan melihatnya. Dan ketika kebijaksanaan muncul bersama Anda, Anda akan melihat
Kebenaran kemanapun anda melihat. Kebenaran adalah semua yang Anda lihat.


186
An "empty" heart doesn’t mean it’s empty as if there were nothing in it. It’s empty of evil, but it’s full of wisdom.

Batin yang ‘kosong’ tidak berarti batin kosong seperti tidak ada apa-apanya di dalam.
Batin tersebut kosong dari keburukan tetapi dipenuhi dengan kebijaksanaan.

187
People don’t reflect on old age, sickness and death. They only like to talk about non-aging, non-sickness, and non-death, so they never develop the right feeling for Dhamma practice.

Orang-orang tidak merenungkan usia tua, penyakit, dan kematian. Mereka hanya suka
berbicara tentang anti-penuaan, tanpa penyakit, dan tanpa-kematian. Mereka tidak
pernah mengembangkan perasaan yang benar untuk berlatih Dhamma.


188
Most people’s happiness depends on having things go to their liking. They have to have everybody in the world say only pleasant things. Is that how you find happiness? Is it possible to have everybody in the world say only pleasant things? If that’s how it is when will you ever find happiness?

Kebahagiaan sebagian besar orang tergantung pada hal-hal yang sejalan dengan
kehendak mereka. Mereka harus dikelilingi orang yang hanya mengatakan hal-hal yang
menyenangkan. Begitukah cara Anda untuk menemukan kebahagiaan? Apakah
mungkin dikelilingi orang dalam dunia ini yang hanya berbicara hal-hal yang
menyenangkan? Jika demikian, kapan Anda akan menemukan kebahagiaan?

189
Trees, mountains, and vines all live according to their own truth. They appear and die following their nature. They remain impassive. But not we people. We make a fuss over everything. Yet the body just follows its own nature: it’s born, grows old and eventually dies. If follows nature in this way. Whoever wishes it to be otherwise will just suffer.

Pohon, gunung, dan tanaman; semuanya hidup menurut kebenarannya sendiri. Mereka
lahir dan mati mengikuti sifat alaminya; mereka tetap tenang. Tetapi manusia tidak.
Mereka mengeluh terhadap semua hal. Tetapi tubuh hanya mengikuti sifat alaminya:
lahir, tumbuh menjadi tua, dan akhirnya mati. Jika mengikuti sifat alami, dengan cara
ini. Barang siapa berharap sebaliknya, maka orang tersebut hanya akan menderita.


190
Don’t go thinking that by learning a lot and knowing a lot you’ll know the Dhamma. That’s like saying you’ve seen everything there is to see just because you have eyes, or that you’ve heard everything there is to hear just because you have ears. You may see but you don’t fully see. You see only with the "outer eye", not with the "inner eye". You hear with the "outer ear", but not with the "inner ear".

Janganlah berpikir bahwa dengan banyak belajar dan banyak mengetahui, Anda akan
mengetahui Dhamma. Ini seperti mengatakan Anda telah melihat segala sesuatu yang
dapat dilihat hanya karena Anda punya mata. Atau Anda telah mendengar segala
sesuatu yang dapat didengar karena Anda punya telinga. Anda mungkin melihat namun
Anda tidak benar-benar melihat. Anda hanya melihat dengan ‘mata luar’, tidak dengan
‘mata dalam’. Anda mendengar dengan ‘telinga luar’, tidak dengan ‘telinga dalam’.



191
The Buddha taught us to give up all forms of evil and cultivate virtue. This is the right path. Teaching in this way is like the Buddha picking us up and placing us at the beginning of the path. Having reached the path, whether we walk along it or not is up to us. The Buddha’s job is finished right there. He shows us the way, that which is right and that which is not right. This much is enough; the rest is up to us.

Sang Buddha mengajarkan kita untuk menghentikan segala bentuk kejahatan dan
meningkatkan kebajikan. Inilah jalan yang benar. Mengajar dengan cara ini adalah
seperti Sang Buddha memungut kita dan meletakkan kita di awal jalan. Setelah
mencapai jalan, apakah kita berjalan di sepanjang jalan atau tidak, tergantung pada kita.
Tugas Sang Buddha telah selesai di sana. Beliau menunjukkan jalan, inilah yang benar
dan inilah yang salah. Ini sudah cukup, sisanya tergantung pada diri kita.

192
You must know the Dhamma for yourself. To know for yourself means to practice for yourself. You can depend on a teacher only fifty percent of the way. Even the teaching I have given you is completely useless in itself, even if it is worth hearing. But if you were to believe it all just because I said so, you wouldn’t be using the teaching properly. If you believed me completely, then you’d be foolish. To hear the teaching, see its benefits, put it into practice for yourself, see it within yourself … this is much more useful.
Anda harus tahu Dhamma untuk diri sendiri. Mengetahui untuk diri sendiri artinya
berlatih untuk diri sendiri. Anda dapat tergantung pada seorang guru hanya limapuluh
persen dari seluruhnya. Bahkan ajaran yang saya berikan kepada anda tidak berguna
sepenuhnya, walaupun itu berharga untuk didengar. Tetapi jika Anda mempercayainya
hanya karena saya yang mengatakan maka Anda tidak akan menjalankan ajaran tersebut
secara baik. Jika Anda percaya pada saya sepenuhnya maka Anda bodoh. Dengarkan
ajaran, lihat manfaatnya, praktekan ajaran tersebut untuk dirimu sendiri, lihatlah di
dalam dirimu … maka hal itu lebih berguna.


193
Sometimes when doing walking meditation, a soft rain would start to fall and I’d want to quit and go inside, but then I’d think of the times I used to work in the rice paddies. My pants would be wet from the day before but I’d have to get up before dawn and put them on again. Then I’d have to go down below the house to get the buffalo out of its pen. It was so muddy in there. I’d grab its rope and it would be covered in buffalo dung. Then the buffalo’s tail would swish around and spatter me with dung on top of that. My feet would be sore with athlete’s foot and I’d walk along thinking, "Why is life so miserable?" And now here I wanted to stop my walking meditation…what was a little bit of rain to me? Thinking like that I encouraged myself in the practice.

Kadang-kadang ketika melakukan meditasi berjalan, gerimis mulai turun. Saya ingin
segera mengakhiri dan pergi ke dalam, tetapi kemudian saya berpikir ketika saya
bekerja di sawah. Celana saya menjadi basah sejak hari sebelumnya tetapi saya harus
bangkit sebelum subuh dan memakainya kembali. Kemudian, saya harus turun ke
bawah rumah untuk membawa kerbau ke luar kandang. Banyak Lumpur di sana. Saya
meraih talinya yang tertutup kotoran kerbau. Kemudian, kerbau mengibaskan ekornya
dan menebarkan kotorannya kearah saya. Kaki saya akan terkena kutu air dan saya
berjalan sambil berpikir, “Mengapa hidup sangat tidak menyenangkan?” Dan sekarang,
di sini saya ingin menghentikan meditasi berjalan … apa artinya sedikit gerimis untuk
saya? Dengan berpikir seperti itu, saya membesarkan hati saya untuk latihan.

194
I don’t know how to talk about it. We talk about things to be developed and things to give up, but there’s really nothing to develop, nothing to give up.

Saya tidak tahu bagaimana cara mengatakannya. Kita membicarakan mengenai sesuatu
yang dikembangkan dan dilepaskan, tetapi sebenarnya tidak ada yang dikembangkan
dan tidak ada yang dilepaskan.

Undangan
All that I have said up to now has merely been words. When people come to see me, I have to say something. But it is best not to speak about these matters too much. Better to begin practice without delay. I am like a good friend inviting you to go somewhere. Do not hesitate, just get going. You won’t regret it.

Apa yang telah saya katakan hingga sekarang hampir seluruhnya hanya berupa 
kata-kata yang biasa.
Ketika orang datang bertemu dengan saya, saya harus mengatakan sesuatu. 
Tetapi lebih baik tidak membicarakan mengenai hal ini terlalu banyak. 
Lebih baik mulai berlatih tanpa menunda. Saya seperti teman baik mengundang Anda untuk pergi ke suatu tempat. Jangan ragu, lakukanlah. Anda tidak akan menyesalinya.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar