Sabtu, 02 Juni 2012

7. Mengikuti Jalan Tengah



Saya telah menjalankan demikian ini sejak saya mengasingkan diri ke hutan untuk berpraktik meditasi. Saya melatih murid-murid saya dengan cara seperti itu pula. Karena saya ingin mereka melihat kebenaran, daripada hanya cuma membacanya di dalam kitab suci; saya ingin mereka menyaksikan sendiri bathin yang terbebas dari pemikiran-pemikiran konseptual.
Saat kebebasan terjadi, anda mengetahuinya;
dan kala hal tersebut belum terjadi, anda bisa mengkontemplasikan proses bagaimana satu hal mengakibatkan serta membawa ke hal yang lain. Renungi hingga anda mengerti dengan mendalam dan semakin mendalam. Suatu waktu begitu ia tertembus dengan insight, segalanya terbuka dengan sendirinya.
Ketika sesuatu muncul merintangi dan macet, selidiki. Jangan menyerah hingga ia melepaskan cengkeramannya.
Berulang-ulang selidikilah disini ini. Secara pribadi, inilah cara saya berlatih, karena Sang Buddha mengajarkan bahwa anda harus mengetahuinya sendiri. Para bijaksana mengalami dan menyaksikan sendiri kebenaran. Anda harus menemukannya di kedalaman bathin anda. Ketahuilah sendiri.
Jika anda yakin dengan diri anda dan apa yang anda ketahui, anda tetap tenang saat menerima pujian ataupun teguran.
Apapun yang dikatakan orang, anda merasa santai. Mengapa?
Karena anda mengenal diri anda sendiri. Bila seseorang menyiram
anda dengan pujian, namun sebenarnya anda tak layak menerimanya, apakah anda akan mempercayai mereka?
Tentu saja tidak. Anda sekedar melanjutkan praktik anda.
Ketika seseorang yang tidak yakin dengan pengetahuannya sendiri mendapat pujian dari orang, ia akan terperangkap untuk mempercayai dan menyesatkan pandangannya. Demikian juga jika orang yang mengkritik anda, lihat dan periksa diri anda. “ Tidak, apa yang mereka katakan tidak benar. Mereka menuduh saya salah tetapi sebenarnya tidak. Tuduhan mereka tak benar.
” Kalau kejadiannya seperti ini, mengapa kita harus marah? Perkataan mereka tidak benar. Sebaliknya, jika tuduhan mereka benar atas kesalahan kita, jika kejadiannya seperti ini, mengapa kita harus menjadi marah? Kalau anda mampu berpikir seperti ini, kehidupan itu sebenarnya nyaman dan tanpa masalah. Tidak ada kejadian yang salah. Kemudian segalanya adalah Dhamma. Inilah cara saya berlatih. Ini merupakan jalan yang tersingkat dan langsung. Anda dapat datang ke sini dan memperdebatkan Dhamma dengan saya, tetapi saya tak mau meladeni. Daripada mendebat balik, saya akan memberi anda beberapa hal untuk direfleksikan. Pahamilah bahwa apa yang diajarkan oleh Sang Buddha adalah: lepaskan segalanya. — Lepaskan dengan mengetahui-dan kesadaran.
Tanpa sadar-dan-mengetahui, maka pelepasan ini tak beda dengan sapi-sapi dan kerbau-kerbau itu. Tanpa melibatkan hati anda di dalamnya, pelepasan ini tidak benar.— Anda melepas karena mengerti realitas konvensional.
Ini adalah ketidak-melekatan.
Sang Buddha mengajarkan bahwa perlu usaha yang sangat keras di permulaan praktik Dhamma anda; mengembangkan hal-hal dengan teliti dan banyak melekat.
Melekat kepada Sang Buddha. Melekat kepada Dhamma. Melekat kepada Sangha. Melekat ketat dan mendalam. Inilah yang diajarkan Sang Buddha.
Melekat dengan tulus, tanpa henti dan memegangnya erat-erat.
Dalam proses pencarian ini, saya telah mencoba hampir semua kemungkinan cara ber-kontemplasi.
Saya menyerahkan hidup ini untuk Dhamma, karena saya mempunyai keyakinan akan realitas-pencerahan serta jalan menuju kepadanya.
Pencerahan itu memang sungguh ada, sebagaimana yang dikatakan Sang Buddha. Tetapi butuh praktik untuk mewujudkannya,praktik yang benar.
Perlu mendorong diri sendiri hingga limit. — Ini dibutuhkan keteguhan-hati untuk berlatih, untuk bercermin ke dalam diri, dan untuk perubahan yang mendasar. Dibutuhkan keberanian untuk menempuh apa yang musti ditempuh. Dan bagaimana melakukannya? Latihlah bathin ini. — Pemikiran-pemikiran di dalam benak kita meminta kita pergi ke satu arah, tetapi Sang Buddha menyuruh kita ke arah yang lain. Mengapa berlatih itu penting? Karena bathin ini masih sepenuhnya tertutup oleh kekotoran-kekotoran. Seperti itulah bathin yang belum ter-tranformasi melalui praktik. Ia tak dapat diandalkan, jadi jangan mempercayainya. Ia belum mulia. Bagaimana kita dapat mempercayai bathin yang tidak murni dan tidak jernih.
Oleh sebab itu Sang Buddha mengingatkan agar: jangan mempercayai bathin yang kotor itu.
Mulanya bathin ini hanyalah kaki-tangan dari kekotoran, tetapi apabila mereka lama bergaul, bathin ini akan berubah menjadi kekotoran itu sendiri. Itulah sebabnya mengapa Sang Buddha mengajar kita: untuk tidak mempercayai bathin (pikiran) kita sendiri.
Jika kita perhatikan latihan disipilin di vihara ini, anda akan melihat bahwa semuanya adalah tentang melatih bathin. Dan kapanpun saat kita melatih bathin ini, kita akan merasa: panas dan terganggu (!). — Begitu merasa gerah dan resah, kita akanmulai mengeluh,
“Aduh, latihan ini sulit sekali! Mustahil.” Tetapi Sang Buddha tidak berpikir seperti itu. Dia berpikir bahwa saat praktik menyebabkan panas dan penolakan, itu berarti [justru] kita telah berada di jalur yang benar. Namun biasanya kita tidak berpikir begitu. — Kita [malah] berpikir itu tanda ada sesuatu yang salah. Kesalah-pahaman ini membuat latihan jadi nampak sangat berat. Pada mulanya kita merasa panas dan risih, sehingga kita mengira bahwa kita keluar dari jalur. Setiap orang maunya senang, tetapi mereka kurang perduli apa itu benar atau tidak. — Ketika kita pergi melawan arus kilesa ini dan menghadang nafsu kita, ya tentu saja kita bakal menderita.
Kita panas, jengkel, gerah — [biasanya] lalu menyerah. Kita mengira berada di jalan yang salah. Tetapi Sang Buddha justru mengatakan bahwa: kita telah berada di jalan yang benar.
Kita menempuri kekotoran-kekotoran kita, dan mereka-lah yang jadi terbakar dan gerah. Kekotoran-kekotoranlah yang memberontak dan menjadi tidak bahagia. Hal ini sama pada tiap orang.
Itulah sebabnya mengapa praktik Dhamma dikatakan begitu berat. Orang tidak memeriksa segalanya dengan jelas. Umumnya mereka kehilangan Jalan dan terjebak pada sisi ekstrim, yaitu: memanjakan diri atau menyiksa diri. — Pada satu sisi mereka suka memuaskan, memperturuti keinginan-keinginan bathinnya. Melakukan apa saja yang disukai. Maunya duduk nyaman. Mereka suka rebahan, berbaring di tempat yang lembut. Apapun yang mereka lakukan, maunya mencari nyaman.
Inilah yang saya maksud dengan memanjakan diri:
Keterikatan pada perasaan yang menyenangkan.
Dengan bermanja-manja begitu bagaimana praktik Dhamma bisa maju?
Kemudian kalau kita tak lagi bisa berasyik-asyik dalam kenikmatan, sensualitas dan kesenangan, kita lalu gelisah. Kita jadi sedih, marah, dan menderita karenanya. Ini tergelincir dari Jalan, jatuh ke sisi penyiksaan-diri. Ini bukan Jalan para bijak yang damai; bukan jalan seseorang yang tenang. Sang Buddha memperingatkan agar jangan jatuh pada dua sisi jalur dari memanjakan-diri atau menyiksa-diri. Ketika mengalami kesenangan,sekedar ketahuilah dengan kesadaran. Ketika mengalami kemarahan, kebencian, dan kejengkelan — ketahuilah bahwa kita sedang tidak mengikuti jejak-langkah Sang Buddha. Itu bukanlah jalan orang yang mencari kedamaian, tetapi jalan orang-kampung biasa. Seorang bhikkhu yang tenang tidak berjalan di jalur itu. Dia berjalan lempang di tengah-tengah diantara manja di sebelah kiri dan penyiksaan-diri di kanan.
Inilah praktik Dhamma yang benar.
Bila anda tertarik dengan latihan kebiaraan, anda harus berjalan di Jalan Tengah, tidak diributkan oleh kesenangan maupun ketidaksenangan. Letakkan mereka. Tetapi rasanya mereka menendangi terus. Pertama mereka menendang kita ke sisi yang satu, “Aduh!”, kemudian menendang lagi ke tempat lain, “Aduh!”. Rasanya seperti bandul di lonceng kayu, membentur dari sisi yang satu ke sisi yang lain. — Jalan Tengah adalah melepaskan (letting go) kesenangan dan ketidaksenangan, dan praktik yang benar adalah berlatih di tengah.
Ketika haus-kesenangan datang dan kita tidak menurutinya, kita menderita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar