Senin, 28 Mei 2012

Tanya - Jawab dengan Ajahn CHAH



Para bhikkhu bertanya (seputar bhavana),
Acharn Jah menjawab :
diterjemahkan oleh : Hananto

1. Tanya:
Saya telah melaksanakan patipatti kammatthana (bhavana) dengan keras dan
bersungguh-sungguh. Tapi sampai sejauh ini tidak terlihat gejala-gejala kemajuan.

Jawab:
Hal ini penting diketahui. Jangan mengharap untuk mendapatkan sesuatu pun di saat melaksanakan patipatti Dhamma. Keinginan yang kuat untuk segera terbebas dari dukkha atau menembus kesunyataan, justru akan merupakan suatu hambatan yang menghalangi Anda dari pembebasan. Anda boleh saja berusaha sekeras apa pun. Anda boleh saja berusaha sepanjang hari dan sepanjang malam. Tapi, bila semua itu Anda dasari dengan suatu keinginan, tak ada jalan bagi Anda untuk mendapat ketenangan atau keheningan.

Kekuatan yang merugikan dari suatu keinginan, merupakan penyebab munculnya keraguan dan kegelisahan. Meskipun Anda melakukan patipatti Dhamma berapa pun lamanya dan bagaimanapun kerasnya, panna tidak akan muncul bila dilandasi dengan suatu keinginan. Maka dari itu, buanglah jauh-jauh perasaan keinginan itu. Lihat dan perhatikan batin dan badan jasmani dengan sati (penyadaran) yang baik tanpa suatu harapan untuk mencapai penembusan ataupun harapan-harapan lain. Dan jangan ada perasaan terikat pada pekerjaan (patipatti) yang sedang dilakukan.

2. Tanya:
Lalu tentang tidur. Seharusnya saya tidur seberapa banyak?

Jawab:
Jangan tanya Saya. Saya tak bisa menjawabnya. Ada orang yang merasa cukup tidur kira-kira empat jam semalam. Bagaimanapun, yang penting adalah Anda harus perhatikan dan tahu diri Anda sendiri. Bila Anda tidur terlalu sedikit, tubuh Anda akan merasa tidak nyaman. Sulit untuk mengendalikan sati. Bila Anda terlalu banyak tidur, pikiran akan bebal dan lamban. Atau mungkin Anda selalu merasa kurang tidur. Oleh karena itu, Anda harus mencari keadaan yang cukup dan layak bagi diri Anda.

Bila Anda telah tersadar dari tidur, lalu ingin tetap bergolek di tempat tidur dan ingin terlelap lagi, berarti Anda dikuasai oleh kilesa yang mengeruhkan batin. Segeralah bangkitkan kesadaran (sati) begitu mata terbuka dari tidur.

3. Tanya:
Lalu, tentang makan. Seharusnya Saya makan seberapa banyak?

Jawab:
Tentang makan ini pun sama dengan tentang tidur. Anda harus tahu tentang diri sendiri. Sebaiknya Anda mengambil makanan secukupnya, sesuai dengan kebutuhan tubuh Anda. Anda harus menganggap makanan sebagai obat penyembuh penyakit. Perhatikan, Anda makan terlalu banyak hingga merasa mengantuk sesudah makan atau tidak. Dan semakin lama, Anda bertambah gemuk atau tidak.
Kalau iya, berhentilah! Perhatikan dan periksa tubuh dan batin Anda. Adakan percobaan, hingga Anda tahu berapa banyak makanan yang sesuai dengan tubuh Anda. Masukkan makanan ke dalam pata sesuai dengan perilaku seorang samana.
Anda akan dengan mudah memperkirakan seberapa banyak makanan yang diperlukan. Perhatikan diri sendiri dengan seksama di saat makan. Sati harus tetap dikembangkan.

Itulah hal-hal penting yang perlu diperhatikan di dalam melakukan patipatti Dhamma. Tak ada sesuatu yang khusus. Hanya lihat dan perhatikan diri sendiri. Lihat batin Anda. Anda akan tahu, bagaimana keadaan yang sesuai bagi Anda dalam melaksanakan pañipatti Dhamma.

4. Tanya:
Batin orang Asia dan batin orang Barat, apakah berbeda, Acharn?

Jawab:
Pada dasarnya, keduanya tak berbeda. Kebudayaan dan tradisi secara eksternal, serta bahasa memang berbeda. Tapi perasaan (batin) setiap manusia mempunyai ciri dan sifat alamiah yang sama, orang Timur maupun orang Barat.
Kepadaman atau padamnya dukkha adalah sama.

5. Tanya:
Untuk melaksanakan patipatti Dhamma, kita perlu banyak membaca buku Dhamma dan kitab suci juga atau tidak?

Jawab:
Dhamma Sang Buddha (kesunyataan), tak mungkin ditemukan di dalam teori dan resep-resep. Bila Anda ingin mengetahui kesunyataan Dhamma yang diajarkan Sang Buddha, Anda tak perlu terlalu pusing dan bingung tentang teori dan resep-resep. Hanya perhatikan dan lihat batin Anda sendiri. Periksa dan renungkan hingga benar-benar tahu bagaimana perasaan (batin) muncul dan padam. Muncul dan padamnya perasaan, jangan perhatikan yang lain. Selalu kembangkan sati, tahu apa pun yang ditemui atau dilihat. Inilah cara untuk menembus sacca (kesunyataan) Dhamma Sang Buddha, sesuai dengan alamiahnya.
Segala sesuatu yang Anda kerjakan saat melakukan patipatti adalah dhamma yang alamiah.

Di saat Anda mengucapkan paritta, juga harus disertai dengan sati. Saat Anda
membuang sampah dan mencuci WC, janganlah berpikir bahwa Anda sedang berbuat kebajikan bagi seseorang yang Anda sukai atau Anda hormati. Dhamma harus selalu menyertai saat Anda membuang sampah atau mencuci WC. Janganlah berpikir bahwa Anda sedang melakukan kebajikan. Janganlah berpikir Anda sedang melaksanakan patipatti Dhamma hanya di saat duduk bhavana.

Di antara Anda, mungkin ada yang berpikir bahwa tak ada waktu untuk bhavana.
Lalu, waktu untuk bernapas apakah juga tidak cukup? Pelaksanaan bhavana adalah pengembangan sati itu sendiri. Pengembangan sati dan selalu waspada hingga menjadi kebiasaan alamiah pada diri Anda dalam segala posisi.

6. Tanya:
Kenapa kita tidak ada acara tanya jawab tentang bhavana setiap hari, Acharn?

Jawab:
Bila Anda mempunyai masalah, silakan bertanya setiap saat. Tapi acara tanya jawab bhavana setiap hari seperti yang Anda maksudkan memang tak diperlukan.
Bila Saya menjawab pertanyaan-pertanya an kecil atas setiap masalah Anda, Anda tak akan mempunyai kesempatan untuk tahu tentang muncul dan padamnya keraguan dalam batin Anda. Hal yang terpenting bagi Anda adalah belajar memeriksa dan mengetahui diri Anda sendiri. Tanyalah pada diri sendiri.

Bersungguh-sungguhlah mendengarkan Dhammadesana setiap kali. Lalu bandingkan dengan apa yang Anda latih pada diri Anda. Berbeda atau tidak. Sama atau tidak. Kenapa Anda mempunyai keraguan? Siapakah yang ragu itu? Hanya dengan memeriksa diri sendiri lah Anda baru akan mengerti.

7. Tanya:
Kadangkala Saya merasa ragu akan vinaya. Kalau Saya dengan tak sengaja membunuh serangga, salahkah Saya?

Jawab:
Sila sama dengan vinaya. Dan Sila-Dhamma merupakan sesuatu yang amat penting bagi pelaksanaan Dhamma kita. Tetapi Anda tidak harus terbebani dan terikat pada peraturan itu secara fanatik atau membabi buta. Dalam hal membunuh atau melanggar larangan-larangan itu, faktor terpenting adalah cetana (niat/kehendak) . Anda tentu tahu batin Anda saat melakukan sesuatu. Jangan terlalu gelisah memikirkan vinaya. Ada beberapa bhikkhu yang terlalu memikirkan vinaya hingga tidur pun tak bisa nyenyak. Vinaya bukanlah sesuatu beban yang harus dipikul. Ia hanya perlu dipatuhi.

Dalam pelaksanaan Dhamma, vinaya adalah dasarnya. Vinaya beserta dhutangavatta (pelaksanaan dhutanga) dan bhavana. Penggunaan sati dan kewaspadaan terhadap tata tertib dan kewajiban hingga 227 sila mempunyai manfaat yang amat luas. Membuat kita dengan mudah mencapai keberadaan yang tenang dan bahagia. Kita tak perlu lagi mencari atau mereka-reka cara bagi kehidupan kita.

Dengan mempunyai sati terhadap vinaya, kita bisa hidup bersama sebagai satu kesatuan, dan pergaulan pun bisa berlangsung dengan lancar. Pelaksanaan tugas dalam keseharian adalah sama. Tata tertib kita pun sama. Vinaya atau Sila-Dhamma merupakan sebuah tangga yang kuat untuk menuju samadhi yang lebih tinggi. Dan panna pun akan berkembang.

Pelaksanaan yang benar terhadap vinaya dan dhutanga membuat kita bisa tinggal bahagia di dalam kesederhanaan karena bisa membatasi jumlah barang atau keperluan yang kita gunakan. Itulah yang diajarkan dan dilaksanakan secara sempurna oleh Tathagata, yang mampu menghindari kejelekan dan mengembangkan kebajikan. Kesederhanaan merupakan dasar bagi membersihkan batin dengan melihat dan memperhatikan batin dan tubuh kita pada segala posisi. Saat duduk, berdiri, berjalan ataupun berbaring, haruslah penuh dengan penyadaran.

8. Tanya:
Apa yang harus Saya lakukan saat keraguan muncul di batin? Kadang kala Saya merasa gelisah karena muncul keraguan terhadap masa depan latihan Saya. Kadang muncul pula keraguan terhadap acariya (guru).

Jawab:
Keraguan adalah sesuatu yang biasa. Setiap orang memulai dengan suatu keraguan. Anda bisa belajar banyak dari keraguan yang muncul. Hal yang terpenting adalah jangan terikat dan terpengaruh perasaan ragu. Jangan mengikuti perasaan ragu yang hanya akan berputar-putar bagai lingkaran yang tiada akhir. Sebaliknya, perhatikan dan lihat kemunculan dan kepadaman dari perasaan ragu tersebut.

Bagaimana ia muncul dan bagaimana ia padam. Dengan begitu Anda tak akan menjadi korban dari perasaan ragu lagi. Anda bisa terbebas dari keraguan dan batin Anda akan tenang. Anda akan mengetahui bagaimana segala sesuatu muncul dan padam. Letakkan segala sesuatu yang mengikat dan mempengaruhi batin Anda. Buang semua keraguan dengan cara memperhatikan dan menganalisanya. Itulah cara mengakhiri perasaan ragu.

9. Tanya:
Bagaimana pandangan Acharn tentang teknik-teknik bhavana? Akhir-akhir ini muncul begitu banyak guru-guru bhavana. Juga muncul bermacam-macam teknik bhavana yang membuat kita bingung.

Jawab:
Persoalannya sama dengan jalan masuk ke sebuah kota. Bisa masuk dari arah
utara, arah tenggara atau arah lainnya. Melalui berbagai jalur jalan.
Kebanyakan dari teknik-teknik yang benar itu hanya berbeda bentuk luarnya, melalui jalur yang mana, lambat atau cepat. Bila Anda benar dalam mengembangkan sati, semua itu sama. Hal yang utama adalah Anda bisa mencapai hasil yang benar dengan cara tidak terikat dan melekat.

Kesimpulannya, teknik bhavana yang bermacam ragamnya itu haruslah bertujuan melepas keterikatan dan kemelekatan. PARA PRAKTISI TIDAK MELEKAT PADA GURU DAN SEBAGAINYA. Dengan kata lain, teknik yang bertujuan untuk melepaskan diri dari keterikatan dan kemelekatan adalah teknik yang benar.

Anda boleh saja mengadakan perjalanan untuk mencari guru yang lain dan mencoba teknik lain. Itu merupakan suatu keinginan yang wajar. Anda akan tahu sendiri. Walau Anda telah bertanya masalah-masalah kesulitan yang Anda hadapi dan Anda mempunyai banyak pengetahuan tentang teknik yang lain, Anda tentu akan merasa bosan karena dengan begitu Anda tak akan mendapatkan jalan untuk mengetahui sacca Dhamma. Akhirnya, Anda akan mengetahui dan menyadari bahwa Anda akan berhasil hanya dengan memperhatikan dan menganalisa batin Anda sendiri. Anda akan tahu bahwa untuk mengerti ajaran Sang Buddha, Anda tak perlu mencari-cari atau mengais-ngais sesuatu yang di luar diri Anda. Anda harus berpaling kembali untuk menghadapi sabhava Dhamma yang sesungguhnya di dalam diri Anda. Di sanalah Anda bisa mengerti tentang Dhamma.

10. Tanya:
Beberapa kali Saya melihat beberapa bhikkhu di sini tidak melaksanakan bhavana. Mereka kelihatan mempunyai sati yang lemah. Hal ini amat mengganggu pikiran Saya.

Jawab:
Adalah suatu kesalahan besar bila Anda memperhatikan dan terganggu oleh apa yang dilakukan orang lain. Hal ini sama sekali tidak membantu bagi kemajuan diri Anda. Bila Anda merasa terganggu, lihatlah perasaan (batin) Anda yang terganggu itu. Bila orang lain kurang baik atau ia bukanlah seorang bhikkhu yang baik, janganlah terganggu olehnya. Vinaya adalah sarana untuk memajukan bhavana Anda, bukanlah untuk mencari-cari kesalahan orang lain. Kembangkan sati pada diri sendiri. Inilah yang penting.

11. Tanya:
Saya berusaha bertindak dengan sangat waspada dan berhati-hati terhadap 6 indriya Saya. Pandangan mata Saya selalu tertuju ke bawah dan Saya selalu
mengembangkan sati. Misalnya pada saat makan, Saya membutuhkan waktu yang lama karena Saya makan perlahan-lahan. Saya selalu berusaha tahu apa yang sedang Saya lakukan. Mengunyah, tahu terhadap rasa dan menelan makanan. Semua Saya perhatikan dengan sungguh-sungguh dan berhati-hati. Apakah cara Saya tersebut sudah benar?

Jawab:
Mengembangkan kewaspadaan dengan 6 indriya adalah baik. Kita harus mengembangkan sati sepanjang hari. Tetapi jangan dilakukan secara kaku dan dibuat-buat. Berjalan, makan ataupun lain-lain pekerjaan harus dikerjakan secara normal [tidak dibuat-buat] . Dan sati pun harus bekerja secara alamiah pula. Jangan terlalu kaku dan dipaksa. Batin Anda tak bisa ditekan dan dipaksa. Itu merupakan salah satu jenis tanha (keinginan). Sabar dan telaten merupakan hal yang amat diperlukan. Bila Anda melakukan semua itu secara normal dan alamiah disertai dengan pengembangan sati yang benar, panna akan muncul secara alamiah pula.

12. Tanya:
Perlukah kita duduk bhavana berlama-lama?

Jawab:
Duduk bhavana berlama-lama hingga berjam-jam terus menerus kiranya tidaklah selalu diperlukan. Hal yang benar-benar diperlukan adalah kita harus  mempunyai sati di setiap posisi kehidupan sehari-hari. Bhavana harus Anda mulai sejak bangun tidur di pagi hari, lalu diteruskan secara berkesinambungan hingga terlelap di malam hari. Anda tak perlu memperhatikan   berapa lama Anda duduk bhavana. Tugas Anda hanyalah memperhatikan dan menyadari saat berjalan, duduk atau MASUK KE KAMAR MANDI/WC SEKALI PUN.

Hidup seseorang tergantung dari kammanya. Ada orang yang mati saat berumur 50 tahun, ada yang pada saat berumur 60 tahun, dan ada pula yang berumur 90 tahun. Begitu pula jalan hidup Anda. Jangan terlalu berpikir tentang hal ini. Kembangkan penyadaran dan biarkan semuanya berlangsung sesuai dengan alamiahnya. Dengan demikian batin Anda pun akan semakin tenang menghadapi suasana lingkungan hidup di sekitar Anda.

Ia akan hening dan bening, sehening dan sebening telaga di tengah hutan belantara di mana satwa-satwa yang perkasa dan molek meminum airnya. Anda akan melihat kesunyatan dari segala sesuatu [sankhara] dengan nyata dan jelas. Anda akan menyaksikan keajaiban yang menakjubkan dari segala sesuatu yang muncul dan padam kembali, tapi batin Anda tetap di dalam keadaan hening dan bening.

Walau persoalan-persoalan akan muncul dalam batin Anda, tapi Anda akan mengerti dengan jelas seketika. Itulah yang dinamakan Vihara Dhamma yang penuh kedamaian dan kebahagiaan seorang Buddha [orang yang mencapai pencerahan].

13. Tanya:
Saya masih suka mempunyai banyak pikiran. Batin Saya selalu gelisah, padahal Saya sudah berusaha selalu mempunyai sati.

Jawab:
Hal ini jangan membuat Anda gelisah dan berkecil hati. Berusahalah untuk mempertahankan pikiran pada saat kini [paccupana]. Perhatikan dan lihat apa pun yang sedang muncul dalam batin. Biarkan dan jangan terikat padanya, lepaskan ia. Lepaskan pula harapan untuk tidak berpikir sekali pun. Batin Anda akan mencapai keadaan alamiahnya yang bening dan hening. Tidak terbagi di antara kebaikan dan kejelekan, panas dan dingin, cepat dan lambat. Tak ada ‘kita’, tak ada ‘dia’, tak ada ‘diriku’, tak ada ‘milikku’. Segala sesuatu berada dan berlangsung sesuai dengan alamiahnya.

Bila Anda berjalan pindapata, tak perlu berbuat sesuatu yang khusus, misalnya harus pergi sendiri atau beramai-ramai. Di mana pun Anda berada, harap tahu diri. Dengan melakukan sesuatu secara normal, Anda akan mendapatkan kemudahan. Bila muncul keraguan, lihat saja kemunculan dan kepadamannya, dan lepaskan ia.

Sama dengan ketika Anda berjalan di jalanan. Kadang Anda menemui sesuatu yang merintangi jalan Anda. Bila saat itu muncul kilesa yang membuat Anda jengkel, segera sadari ia. Lihat sampai kilesa itu berlalu. Jangan berpikir lagi tentang sesuatu yang merintangi jalan Anda tadi. Juga jangan berpikir secara mereka-reka. Tetaplah berada dalam kekinian [paccupana]. Jangan berpikir tentang jauhnya jarak yang sedang atau akan ditempuh. Juga jangan berpikir tentang tujuan perjalanan Anda. Semua akan berubah seiring dengan berlangsungnya perjalanan Anda. Itu akan terjadi dengan sendirinya.

Jangan terikat pada semua itu. Pada akhirnya, batin akan mencapai keseimbangan yang alamiah. Dan proses pencapaian Dhamma akan berlangsung secara otomatis. Segala sesuatu [sankhara] yang muncul akan padam secara alamiah pula.

14. Tanya:
Than Acharn pernah mengajarkan bahwa samatha atau samadhi dan vipassana atau panna merupakan satu kesatuan. Harap Acharn menerangkan kembali.

Jawab:
Sebenarnya hal ini amat mudah dimengerti. Samatha atau samadhi dan vipassana atau panna haruslah saling berhubungan dan saling mendukung. Pada awalnya batin mencapai ketenangan dengan samatha bhavana. Dengan berdasarkan ketenangan ini batin melaksanakan penganalisaan yang menghasilkan panna. Panna (kebijaksanaan) inilah yang bisa membuat batin hening di saat menutup mata maupun berada dalam keramaian.

Kita ibaratkan, dulu Anda adalah seorang anak, tapi kini sebagai orang dewasa. Anak dan orang dewasa tersebut sebagai seorang yang sama atau tidak? Anda mungkin berpikir bahwa keduanya adalah orang yang sama. Di lain sisi, mungkin Anda akan berpikir bahwa keduanya adalah orang yang berbeda.

Satu ibarat lagi, seperti makanan dan kotoran [tahi]. Bisa dikatakan sesuatu yang sama. Namun di sisi lain bisa dikatakan sebagai sesuatu yang berbeda.

Persoalan ini sama dengan samatha dan vipassana.

Bisa dikatakan berbeda, bisa pula tidak, tapi tetap saling ada kaitannya. Merupakan suatu proses [arus] yang tak terelakkan. Bisakah orang dewasa muncul, bila tidak menjadi anak lebih dulu? Adakah kotoran [tahi] bila tak ada makanan yang dimakan?

Bagaimanapun, jangan hanya percaya pada apa yang Saya katakan. Laksanakanlah sendiri, Anda akan tahu kebenarannya. Bila Anda telah mengetahui dan mengerti bagaimana samadhi <melalui samatha> dan panna <melalui vipassana> muncul, Anda akan bisa mengetahui kesunyataan yang sebenarnya.

Masa kini, MASYARAKAT BUDDHIS SEDANG TERIKAT DAN MELEKAT PADA NAMA DAN SEBUTAN. Ada yang menyebut meditasi mereka dengan nama ‘Vipassana’, maka samatha pun terinjak-injak [baca: tidak dihargai]. Telah diterangkan, samatha dan vipassana bukanlah sesuatu yang bisa dipisah-pisahkan. Kita tak perlu pusing dengan pengkotak-kotakan semacam itu. Laksanakan ajaran dengan baik, maka Anda akan tahu sendiri.

Berusahalah untuk mencapai konsentrasi yang memusat [ekaggata]. Dengan landasan yang kokoh ini, periksa dan analisa diri sendiri. Jangan terikat pada konsentrasi yang memusat [jhana] yang akan bisa membuat Anda terlarut dan terbuai.

15. Tanya:
Kenapa kita harus melaksanakan dhutanga, misalnya hanya makan satu kali sehari dan hanya makan makanan yang ada di dalam pata [mangkuk kebhikkhuan] ?

Jawab:
Kedisiplinan dalam dhutanga adalah sarana bagi kita untuk menghancurkan kilesa. Misalnya, kebiasaan makan dengan pata, semua jenis makanan dicampur/diaduk di dalam pata, membuat sati kita semakin kokoh. Kita bisa mengingat dengan baik, bahwa makanan adalah sama dengan obat penyembuh penyakit, bukan sesuatu yang dinikmati menuruti kilesa. Bila seseorang telah mampu mengatasi kilesa, tentu tak berkeberatan untuk makan makanan yang telah dicampur aduk di dalam pata. Makan dengan cara apa pun tak nenjadi soal baginya. Kita melaksanakan cara-cara yang mudah dan sederhana.

Sang Buddha tidak mengharuskan pelaksanaan dhutanga ini bagi semua bhikkhu. Beliau mengajarkan dhutanga bagi bhikkhu-bhikkhu yang menginginkan hasil yang cepat dengan pelaksanaan praktek yang ketat dan keras. Itu semua guna membantu batin kita semakin kokoh dan mantap.

Semua tata tertib dhutanga itu untuk dilaksanakan, bukan untuk mencari kelemahan orang lain. Lihatlah diri sendiri, apa yang bermanfaat bagi diri Anda. Misalnya membiasakan diri tidak tinggal menetap terlalu lama di satu tempat [kuti], agar tak terikat dan melekat pada tempat tinggal.

16. Tanya:
Bagaimanakah caranya mengatasi kamaraga (nafsu seks) saat kita melaksanakan patipatti Dhamma? Kadang kala Saya merasa sebagai budak dari nafsu seks yang sedang muncul.

Jawab:
Kamaraga bisa diatasi dengan merenungkan tentang hal yang kotor dan menjijikkan. Terbuai pada bentuk badan jasmani yang indah merupakan salah satu sisi yang ekstrim. Harus dilawan dan diatasi dengan sesuatu yang berlawanan, yaitu ketidakindahan. Renungkan badan jasmani yang telah menjadi mayat serta perubahan-perubahan nya selajutnya. Membengkak, membusuk, mengeluarkan cairan dan seterusnya, hingga mengetahui dengan benar kondisi tubuh yang menjijikkan ini. Dengan begitu kamaraga akan segera teratasi.

17. Tanya:
Bagaimana pula bila muncul kemarahan?

Jawab:
Anda harus sering mengembangkan perasaan welas asih (metta Dhamma). Bila muncul dosa (kemarahan) di saat Anda melakukan bhavana, atasi dengan metta. Bila ada yang marah atau berbuat kejelekan pada Anda, jangan membalas dengan tindakan yang sama. Bila Anda membalasnya, berarti Anda lebih jelek daripadanya. Berbuatlah bijaksana. Maklumilah dia. Kasihanilah dia, sebab dia sedang mendapatkan dukkha. Kasihanilah dia seperti mengasihani adik Anda yang tercinta.

Pergunakan metta sebagai objek bhavana. Juga kembangkan metta pada semua makhluk di dunia. Hanya dengan begitu kebencian dan kemarahan bisa diatasi.

Terkadang Anda melihat kawan bhikkhu melakukan patipatti Dhamma yang kurang benar, membuat Anda gemas dan terganggu. Mungkin anda akan berpikir: “Dia tidak sehebat Saya. Dia bukanlah seorang bhikkhu dhutanga yang keras seperti Saya. Dia bukanlah bhikkhu yang baik.” Ini adalah kilesa yang membuat batin Anda menjadi kelam. Itu akan membuat berkembangnya kilesa yang membuat batin Anda menjadi suram dan kumal. Dalam hal ini Anda tak perlu membuat perbandingan antara Anda dan dia. Jangan membedakan antara dia dan kita. Buanglah pandangan salah itu, dan perhatikan diri sendiri. Inilah jalan Dhamma kita. Anda tak akan mampu memaksa semua orang berlaku seperti yang Anda kehendaki dan seperti yang Anda lakukan. Keinginan semacam ini hanya akan menimbulkan dukkha. Banyak praktisi bhavana yang terseret dan berpandangan salah seperti ini.

Mencari kesalahan orang lain tak akan menimbulkan panna (kebijaksanaan). Renungkan dan analisa yang ada pada diri Anda, perasaan Anda, maka Anda akan mengerti.

18. Tanya:
Suatu kali Saya merasa amat lesu dan amat mengantuk, membuat Saya merasa kesulitan dalam bhavana.

Jawab:
Banyak cara untuk mengatasi rasa mengantuk. Bila Anda duduk di tempat yang remang-remang atau gelap, pergilah ke tempat yang terang, atau buka mata lebar-lebar, bangun dan cuci muka. Boleh juga tepuk-tepuk muka sendiri, atau pergi mandi. Bila Anda masih merasa mengantuk, gantilah posisi dengan bhavana berjalan, atau berjalanlah mundur. Rasa takut terantuk sesuatu<pohon misalnya>, mungkin bisa menghilangkan rasa kantuk.

Bila masih juga mengantuk, cobalah berdiam diri. Buatlah pikiran jadi segar dan bersemangat dengan cara membayangkan saat itu adalah tengah hari yang terang dan cerah. Atau duduklah di tepian jurang yang curam dan dalam, boleh juga di tepian kolam yang dalam. Dengan begitu, Anda tak berani untuk terlelap. Bila berbagai cara telah Anda lakukan dan Anda tetap merasa mengantuk, ya pergi tidur saja, karena berarti Anda memang perlu tidur. Namun Anda sebaiknya tetap berusaha untuk membangkitkan semangat. Baringkan tubuh Anda dengan tetap berusaha mengembangkan sati, hingga Anda terlelap dengan sendirinya.

Begitu terbangun dan kesadaran muncul, segeralah bangkit dari tidur. Jangan
sekali-sekali menengok jam atau membalikkan tubuh ke kanan dan ke kiri. Bangkitlah, segera kembangkan sati.

Bila Anda mempunyai kebiasaan mengantuk di setiap harinya, cobalah kurangi jumlah makan yang Anda konsumsi. Perhatikan dengan seksama. Saat kira-kira lima suapan lagi akan merasa kenyang, berhentilah! Lalu, minumlah air hingga merasa ‘cukup’ kenyang. Selanjutnya, perhatikan diri Anda hingga tahu berapa banyak makanan yang harus Anda konsumsi agar kebiasaan mengantuk itu hilang.

Anda harus tahu perkiraan tentang makan bagi Anda sendiri. Bila Anda berhasil, tubuh dan pikiran Anda akan terasa ringan dan nyaman, walau hanya dengan sedikit makanan. Anda harus mampu mengubah diri sendiri.

19. Tanya:
Kenapa kita di sini harus sering melakukan namakkara?

Jawab:
Namakkara ini amat penting dilakukan. Merupakan salah satu perbuatan tubuh dalam pelaksanaan Dhamma. Namakkara ini harus dilakukan dengan cara yang benar. Berlutut, membungkukkan badan hingga kening menyentuh lantai. Bersamaan dengan itu letakkan siku di lantai pula dengan jarak kurang lebih tiga inci dari lutut. Namakkara dilakukan dengan pelan-pelan, tidak terlalu cepat dan selalu disertai dengan sati yang baik dan cermat. Namakkara amat membantu dalam mengikis kesombongan diri. Saat Anda melakukan namakkara sebanyak tiga kali, Anda harus mengenang keluhuran Sang Buddha, Dhamma dan Sangha sebagai ciri-ciri keluhuran batin yang suci, cemerlang dan hening. Perilaku tubuh ini bermanfaat untuk melatih diri. Tubuh dan batin berpadu dalam melatih kemuliaan. Dalam melatih diri menuju kemuliaan, tak perlu Anda menilai bagaimana orang lain melakukannya.

Bila ada samanera kecil tak bersungguh-sungguh melakukan namakkara atau ada seorang bhikkhu tua yang telah lemah satinya [penyadaran] , bukan hak Anda memvonisnya. Karena ada orang yang cepat mengerti dalam belajar, ada pula yang lambat. CEPAT MEMVONIS PERILAKU ORANG LAIN, HANYA AKAN MENAMBAH KEKOTORAN BATIN. Perhatikan diri sendiri terlebih dahulu.

Dengan seringnya kita namakkara, bisa membasmi kesombongan agar bisa memasuki Dhamma. Anda akan menjadi orang yang rendah hati, karena telah bebas dari perasaan sombong dan mementingkan diri sendiri.

20. Tanya:
Apakah yang biasanya menjadi halangan dan penghambat bagi murid-murid baru Acharn?

Jawab:
Ditthi, yaitu pandangan dan pemikiran yang berhubungan dengan segala sesuatu mengenai diri sendiri, mengenai patipatti dan mengenai ajaran Sang Buddha pada umumnya. Banyak dari mereka yang datang ke sini adalah orang-orang yang terhormat dalam masyarakat. Ada pula pedagang atau pengusaha yang berhasil, sarjana, guru atau pegawai negeri. Kepala mereka penuh dengan pandangan dan pemikiran yang hebat dan merasa telah pandai untuk mau mendengar kata-kata orang lain.

Ibarat sebuah mangkuk yang penuh dengan air kotor, maka mangkuk tersebut tak bisa dimanfaatkan dengan baik. Hanya dengan membuang air kotor dari dalam mangkuk, kita bisa memanfaatkan mangkuk tersebut. Anda harus mengosongkan pikiran dari pandangan dan pemikiran kotor bila Anda ingin belajar dan maju.

Latihan kita ini di luar dari kepandaian dan kebodohan. Bila Anda berpikir:”Saya adalah orang hebat. Saya adalah hartawan, Saya adalah orang besar, Saya telah mengerti ajaran Sang Buddha”, Anda tak akan mampu mengerti tentang kebenaran anatta atau tanpa inti. Anda hanya bisa melihat adanya ‘diri’. Diriku, milikku. Buddha sasana mengajarkan tanpa diri, hampa, tanpa dukkha sebagai suatu kepadaman [Nibbana].

21. Tanya:
Kilesa yang membuat batin berkabut dan suram, seperti lobha (keserakahan) atau kemarahan merupakan sesuatu yang maya ataukah sesuatu kebenaran?

Jawab:
Kedua-duanya. Kekotoran batin atau kilesa, yaitu lobha (keserakahan), dosa / kodha (kemarahan) dan moha (kebodohan/kesesata n) hanyalah merupakan sebutan atau nama yang telah disetujui bersama, seperti mangkuk besar, mangkuk kecil dan lain-lain. Ini merupakan sesuatu yang bukan sebenarnya.

Hanya merupakan suatu hasil pemikiran yang mengikuti suatu keinginan. Bila kita sedang mambutuhkan sebuah mangkuk besar, mangkuk yang ukurannya lebih kecil kita katakan ‘terlalu kecil’.

Tanha (keinginan) membuat kita membanding-bandingk annya dan memberi sebutan. Hal yang sebenarnya adalah: begitulah apa adanya benda-benda itu!

Cobalah Anda berpikir pada sisi ini. Anda seorang laki-lakikah? Anda menjawabnya: “Ya.” Ini hanyalah merupakan sebuah penampakan. Yang sebenarnya adalah, Anda hanyalah merupakan suatu susunan dari berbagai unsur yang berpadu. Bila batin telah terbebas, batin tak akan mengadakan pemisahan-pemisahan atau perbandingan- perbandingan. Tak ada besar, tak ada kecil, tak ada dia, tak ada kita. Tak ada apa-apa. Anatta, tak ada diri. Kebenaran akhir akan muncul, tak ada atta maupun anatta. Yang ada hanyalah sebutan.

22. Tanya:
Mohon Than Acharn menerangkan tentang kamma.

Jawab:
Kamma disebut juga perbuatan. Perbuatan ini muncul karena adanya keterikatan atau kemelekatan terhadap kaya (badan jasmani), vaci (ucapan) dan mano (pikiran). Perbuatan akan dilakukan bila masih ada kemelekatan atau keterikatan. Kita melakukan perbuatan hingga terbiasa, yang membentuk suatu karakter/sifat dan menyebabkan dukkha di kemudian hari. Ini sebagai akibat dari kemelekatan tersebut.

Kilesa yang membuat batin kotor dan suram telah muncul dan ada sejak kehidupan lampau. Kemelekatan membuat kita berbuat kamma. Contohnya, sebelum ditahbis menjadi bhikkhu, Anda adalah seorang pencuri. Perbuatan yang Anda lakukan membuat si pemilik barang menjadi tidak senang. Bukan itu saja. Ayah bunda Anda pun tidak merasa senang. Kini Anda sebagai seorang bhikkhu. Setiap kali Anda terkenang akan perbuatan Anda yang membuat orang lain berduka, Anda pun merasa tak nyaman, menyesal dan berduka.

Oleh karena itu harap dicamkan, kaya kamma (perbuatan yang dilakukan oleh tubuh), vaci kamma (ucapan) dan mano kamma (pikiran) merupakan suatu penyebab munculnya hasil di hari mendatang. Bila Anda pernah berbuat kebajikan di masa lalu dan Anda mengenangnya di masa ini, Anda akan merasa berbahagia. Kebahagiaan merupakan buah dari perbuatan masa lalu. Segala sesuatu tergantung dari sebab dan akibat, dalam jangka panjang maupun pendek. Bahkan di setiap saat.

Namun dalam melaksanakan bhavana, Anda tak perlu berpikir tentang masa lalu, sekarang maupun yang akan datang. Hanya perhatikan dan renungkan badan jasmani dan pikiran. Renungkan hingga melihat dan tahu kebenaran tentang kamma dengan jelas dan terang. Dan jangan lupa, jangan mencari kesalahan yang diperbuat orang lain. Jangan ikut berduka atas duka orang lain.

Renungkan dan terimalah ajaran yang baik dari guru Anda. Anda akan mampu mencapai ketenangan batin seperti sang guru. Walau saat ini belum begitu mengerti dan memahami, namun bila Anda laksanakan dengan baik, Anda akan mencapai penerangan setahap demi setahap.

Dulu ketika kita masih kanak-kanak, ibu dan ayah kita menerapkan peraturan-peraturan yang kadang kita anggap terlalu keras. Padahal, semua itu <sebenarnya> karena beliau sayang pada kita.

Memerlukan waktu yang cukup lama bagi kita untuk menyadari hal itu.
Begitupun dengan guru kita. Kadang mereka keras dan galak pada kita, membuat kita merasa tak senang dan jengkel. Namun lama kelamaan, di kemudian hari, baru kita tahu dan mengerti kenapa kita dimarahi. Dan itu perlu waktu yang cukup lama serta kesabaran untuk menyadarinya.

Namun bagi orang yang merasa cepat pandai dalam waktu singkat, justru tak akan ada kesempatan untuk menjadi pandai dan mengerti.

Anda harus segera membuang rasa ‘sok pintar’ dari diri Anda. BILA ANDA MERASA LEBIH PINTAR DARI ORANG LAIN, HANYA DUKKHA YANG AKAN ANDA TERIMA. Anda patut untuk dikasihani.

23. Tanya:
Saya berpikir, sejak ditahbis menjadi bhikkhu, saya hanya menemui kesedihan
dan kesulitan dibandingkan sebelumnya.

Jawab:
Saya pikir, di antara kalian mempunyai latar belakang yang menyenangkan, mempunyai harta berlimpah dan mempunyai kebebasan yang luas. Kalau dibandingkan dengan saat ini <sebagai seorang bhikkhu>, Anda harus berlatih mengendalikan diri dan hidup dalam kesederhanaan. Ditambah lagi, Saya mengharuskan Anda untuk duduk bhavana selama berjam-jam. Kondisi udara dan makanannya amat jauh berbeda dengn rumah dan kota Anda.

Namun semua orang haruslah melewati kesulitan dan derita, sedikit atau banyak. Kesulitan dan derita demi menuju padamnya dukkha. Merupakan sarana bagi Anda untuk belajar dan berlatih. Bila muncul kemarahan dan kejengkelan atau muncul perasaan kasihan pada diri sendiri, itu merupakan kesempatan yang amat baik untuk berlatih agar mengerti perihal batin. Sang Buddha pun mengatakan, kilesa bisa menjadi guru bagi kita.

Saya menganggap murid-murid Saya sebagai anak-anak Saya. Saya selalu sayang dan menaruh harapan baik [metta] pada Anda sekalian. Bila dirasa Saya menyebabkan Anda susah dan berduka, itu demi kepentingan dan kebaikan Anda.

Saya tahu, di antara kalian ada yang berpendidikan rendah, mempunyai pengetahuan dan pengalaman duniawi sedikit, tapi mampu berlatih Dhamma dengan mudah. Ada pula orang barat di antara kalian, yang biasanya mempunyai rumah besar dan mewah. Ia harus menyapu, menggosok dan mengepel ruang-ruang yang luas, misalnya dapur, perpustakaan dan lain-lain. Ia harus bekerja keras untuk itu. Dan itu harus Anda mengerti.

Ketika Saya masih sebagai bhikkhu muda, Saya tak menemui kesulitan yang berarti seperti Anda. Saya berbicara dengan bahasa daerah Saya. Saya makan makanan kampung Saya. Namun begitu, kadang-kadang muncul perasaan menyesal dan ingin lepas jubah. Pernah pula sampai ingin bunuh diri. Saya berduka. Duka ini muncul akibat dari pandangan yang salah. Bila Anda telah menembus kebenaran [sacca Dhamma], Anda akan bisa membuang pandangan salah tersebut dan menemui kebahagiaan.

24. Tanya:
Saya telah mencapai ketenangan yang dalam. Sesudah itu, apa yang harus Saya lakukan?

Jawab:
Bagus. Batin telah menjadi tenang dan mencapai samadhi. Dengan landasan samadhi ini, lakukan penganalisaan dan perenungan terhadap badan jasmani dan citta. Kalaupun batin kemudian keluar dari ketenangan, ketahui dan sadari dengan baik. Anda akan mampu masuk ke dalam samadhi dengan baik kembali. Apa sebab? Anda telah mengetahui tentang ketidaktetapan. Ketenangan pun mempunyai sifat yang tidak kekal. Bila Anda terikat dan terbuai dalam ketenangan, Anda akan merasa duka bila batin tak berhasil masuk ke dalam ketenangan. Maka dari itu, lepaskan semuanya, termasuk keterikatan pada ketenangan.

25. Tanya:
Saya dengar Than Acharn pernah merasa khawatir pada murid-murid yang terlalu bersemangat dalam latihan.

Jawab:
Benar. Saya mengkhawatirkan mereka yang terlalu bersemangat. Mereka terlalu berusaha, tapi kurang menggunakan panna. Mereka terlalu memaksakan diri hingga menderita tanpa guna. Ada pula yang mempuyai keinginan yang terlalu besar untuk mencapai penerangan hingga seolah selalu tegang, gelisah dan menggeretakkan gigi. Dengan begini, mereka tak akan mampu melihat kesunyataan dari segala sesuatu yang bersifat sankhara.

Citta (batin) dan rupa (badan jasmani) adalah sesuatu yang selalu berubah. Perhatikan dan teliti dengan cermat. Jangan melekat padanya.

26. Tanya:
Sudilah Than Acharn memberi kesimpulan atas tanya jawab kali ini.

Jawab:
Anda harus memperhatikan diri sendiri di dalam berlatih. Mengetahui siapakah Anda. Merenngkan badan jasmani (kaya) dan batin (citta) dalam duduk bhavana, berjalan, berbaring, makan, minum dan lain-lain. Anda harus mengetahui kebutuhan sederhana Anda. Gunakan kebijaksanaan dan buang harapan-harapan untuk mendapatkan hasil. Gunakan penyadaran jeli [sati] di dalam melakukan segala perbuatan dan pekerjaan. Latihan kita adalah langsung masuk ke dalam batin.

Anda akan melihat dukkha, penyebab dukkha dan padamnya dukkha. Namun Anda harus mempunyai ketahanan dan kesabaran yang tinggi. Jangan cepat marah, karena seorang pemarah tak akan mampu mencapai suatu ketenangan, apa lagi keluhuran. Dengan begitu akan muncul pengetahuan dan pengertian secara bertahap.

Sang Buddha mengharuskan setiap bhikkhu baru bertinggal bersama acariya minimal lima tahun. Anda akan tahu manfaatnya. Anda akan tahu manfaat kesabaran dan pengorbanan. Jangan terlalu tegang dalam melakukan bhavana. Jangan terikat dan terbuai pada keadaan dan bentuk-bentuk luar yang bersifat maya.

Vinaya kebhikkhuan dan tata tertib vihara yang baik merupakan hal yang sangat penting. Jangan menbanding-bandingk an dan membedakan orang lain
dengan diri kita. Kita tak akan berhasil mengubah orang lain agar seperti kita.

Bersabarlah dan berusahalah agar batin dipenuhi oleh Dhamma, bertinggal dalam kesederhanaan demi bebasnya dari pandangan yang mementingkan diri sendiri, menuju keheningan dan kedamaian.

Belajar dan Mengalami




Mari kita membahas tentang perbedaan antara belajar teori Dhamma dengan melaksanakan Dhamma. Belajar Dhamma yang benar hanya mempunyai satu tujuan yaitu untuk menemukan suatu jalan keluar dari ketidak-puasan kehidupan kita dan untuk mencapai kebahagiaan dan kedamaian untuk diri kita sendiri dan semua makhluk. Penderitaan kita mempunyai sebab untuk muncul dan berlanjut. Marilah kita menyadari proses ini. Apabila hati kita sedang tenang atau diam, ia disebut berada dalam keadaan normal; apabila pikiran bergerak, bentuk-bentuk pikiran lalu muncul. Kebahagiaan dan kesedihan merupakan bagian dari pergerakan sang pikiran, dari bentuk-bentuk pikiran yang tercipta. Begitu pula dengan ketidak-tenangan, nafsu keinginan pergi kesana-kemari. Jika engkau tidak mengerti pergerakan tersebut, engkau akan terperangkap di dalam bentuk-bentuk pikiran dan berada di dalam kekuasaannya.

Oleh karena itu, Sang Buddha mengajarkan kita untuk mengawasi pergerakan sang Pikiran. Dengan memperhatikan pergerakan pikiran, kita akan melihat sifat-sifat asalnya, yakni: selalu berubah-ubah, tidak memuaskan, dan kosong. Anda harus selalu waspada dan merenungkan fenomena-fenomena mental ini. Dengan cara ini, Anda dapat memahami proses Hukum Sebab Musabab Yang Saling Bergantungan. Sang Buddha mengajarkan bahwa kebodohan adalah penyebab timbulnya seluruh fenomena duniawi dan seluruh keinginan kita. Keinginan menyebabkan timbulnya kesadaran, dan kesadaran seterusnya melahirkan pikiran dan jasmani. Inilah proses daripada hukum sebab musabab yang saling bergantungan.

Ketika pertama kali kita mempelajari agama Buddha, ajaran tradisi ini mungkin sangat masuk di akal kita. Tapi ketika proses tersebut terjadi di dalam diri kita, kepada mereka yang hanya membaca teori ajaran Sang Buddha maka mereka tak akan cukup cepat dapat mengikuti proses tersebut. Bagaikan sebiji buah yang jatuh dari pohon, kecepatan jatuh buah tersebut begitu cepat, sehingga bagi orang-orang tertentu tidak dapat mengatakan cabang-cabang mana saja yang dilewati oleh buah tersebut. Ketika perasaan senang muncul karena adanya kontak dengan sesuatu yang menyenangkan misalnya, maka mereka langsung diseret oleh sensasi dan tak dapat mengetahui bagaimana hal tersebut terjadi.

Sudah tentu, penjelasan secara sistematis mengenai proses yang terjadi ditulis dengan sangat tepat, tetapi pengalaman yang terjadi adalah di luar pelajaran yang tertulis. Pelajaran tertulis (teori) tidak dapat mengatakan kepada Anda bahwa "inilah" perasaan/pengalaman dari pengalaman timbulnya kebodohan; beginilah rasanya keinginan; inilah perasaan dari unsur-unsur jasmani dan batin yang berbeda-beda. Ketika Anda jatuh ke tanah dari dahan sebuah pohon, Anda tidak mengetahui dengan persis/detail berapa meter Anda jatuh; Anda hanya sadar sudah menyentuh tanah dan merasakan sakitnya saja. Tidak ada sebuah buku pun yang dapat menjelaskan hal tersebut.

Belajar Dhamma secara formal adalah dengan cara bertahap dan makin tinggi; tapi dalam kehidupan yang nyata ia tidaklah mengikuti alur jalan cuma satu. Itulah sebabnya, kita harus membuktikan/mengalami sendiri pada apa yang timbul dari dalam batin kita, dari kebijaksanaan kita yang paling dalam. Ketika kebijakan kita yang paling dalam —ia yang mengetahui—, mengalami kebenaran dari jalan hati/pikiran, akan menjadi jelaslah bahwa sang pikiran ternyata bukanlah diri kita. Bukan bagian kita, bukan saya, bukan milik saya, sehingga semua itu harus dibuang.
Seperti halnya yang telah kita pelajari tentang nama-nama dari semua unsur pikiran dan kesadaran, Sang Buddha tidak ingin kita menjadi melekat kepada kata-kata. Beliau hanya ingin agar kita melihat bahwa semua hal tersebut adalah tidak kekal, tidak memuaskan, dan kosong dari aku. Beliau mengajarkan hanya untuk melepas. Ketika hal-hal ini muncul, sadarilah mereka semua, dan ketahui mereka apa adanya. Hanya pikiran yang telah terlatih dengan sempurna yang dapat melakukan hal ini.

Bila pikiran sedang kacau, berbagai bentuk pikiran, rencana-rencana pikiran, dan reaksi-reaksi mulai timbul dari padanya, tumbuh dan berkembang terus-menerus. Biarkan saja mereka apa adanya, yang baik maupun yang buruk. Sang Buddha berkata dengan sederhana, "Biarkanlah mereka berlalu". Tapi bagi kita, adalah sangat perlu untuk mempelajari pikiran kita sendiri untuk mengetahui bagaimana caranya agar kita dapat melepaskan mereka.

Jika kita perhatikan model dari unsur-unsur batin, kita akan melihat bahwa ia mengikuti suatu pola yang alamiah: faktor-faktor mental adalah demikian, kesadaran muncul dan lenyap seperti ini, dan seterusnya. Kita dapat melihat di dalam latihan kita sendiri bahwa apabila kita mempunyai pengertian dan kesadaran yang benar, maka pikiran benar, ucapan benar, perbuatan benar, dan kehidupan benar otomatis mengikutinya. Unsur-unsur mental yang berbeda-beda muncul dari sesuatu —sumber yang mengetahui tersebut. Sesuatu yang mengetahui tersebut adalah bagaikan sebuah lampu. Jika pengertiannya benar, pikiran dan faktor-faktor lainnya akan benar pula, bagaikan cahaya yang bersinar dari sebuah lampu. Apabila kita mengawasi dengan penuh kesadaran, pengertian benar akan tumbuh. Bila kita memeriksa segala sesuatu tentang hal yang kita sebut Batin, kita akan melihat bahwa ia hanya merupakan penggabungan dari elemen-elemen mental, bukan diri. Lalu di mana kita dapat berpegang? Perasaan, ingatan, semua dari 5 skandha batin dan jasmani, adalah berubah-ubah seperti daun yang melayang-layang ditiup angin. Kita dapat merealisasi hal ini melalui meditasi.

Meditasi adalah seperti sebatang pokok kayu. Insight dan pemeriksaan diri adalah ujung yang satu dari kayu tersebut; ketenangan dan konsentrasi adalah ujung yang lainnya. Jika anda mengangkat seluruh batang kayu tersebut, kedua ujungnya terangkat bersamaan. Yang mana konsentrasi dan yang mana Insight? Semuanya hanya sang batin itu sendiri.

Anda tak dapat benar-benar memisahkan antara konsentrasi, ketenangan di dalam, dan Insight. Mereka adalah seperti sebuah mangga yang pada awalnya hijau dan kecut, kemudian berubah menjadi kuning dan manis, tetapi bukan merupakan 2 buah yang berbeda. Satu mangga yang berubah menjadi lainnya. Dari yang satu berubah menjadi yang lainnya; tanpa awal, kita tak akan pernah mendapatkan yang kedua. Pelajaran atau teori seperti ini hanyalah kaidah-kaidah untuk mengajar. Kita tidak seharusnya melekat kepada kata-kata atau istilah-istilah. Satu-satunya sumber dari kebenaran yang sesungguhnya adalah dengan melihat langsung ke dalam diri sendiri. Hanya dengan cara belajar seperti ini yang memiliki akhir, dan merupakan cara belajar tentang nilai yang sesungguhnya.
Ketenangan dari pikiran pada tahap awal konsentrasi, muncul dari latihan yang sederhana dari pemusatan pada satu titik. Tetapi ketika ketenangan ini berlalu, kita menderita karena kita menjadi melekat terhadap ketenangan tersebut. Menurut Sang Buddha, pencapaian ketenangan bukanlah merupakan akhir dari latihan. Kelahiran dan penderitaan masih terus ada.

Oleh karena itu, Sang Buddha menggunakan konsentrasi ini, ketenangan ini, untuk perenungan yang lebih lanjut. Beliau menyelidiki kebenaran dari benda-benda/segala sesuatu sampai Beliau tidak lagi melekat kepada ketenangan. Ketenangan hanyalah salah satu kebenaran yang relatif, salah satu dari bentuk-bentuk mental yang sangat banyak, hanyalah merupakan suatu tahapan dari sang Jalan. Jika Anda melekat kepadanya, Anda akan menemukan bahwa diri Anda masih terikat pada kelahiran dan perwujudan, berlandaskan pada kesenangan di dalam ketenangan. Ketika ketenangan lenyap, ketidak-tentraman akan muncul, dan Anda akan semakin melekat kepada ketenangan tersebut.

Sang Buddha terus menyelidiki kelahiran dan perwujudan, untuk melihat dari mana asalnya. Ketika Beliau belum mengetahui kebenaran dari benda-benda, Beliau menggunakan pikirannya untuk menyelidiki lebih lanjut, untuk memeriksa semua unsur batin yang muncul. Apakah tenang atau tidak, Beliau terus menyelidiki, menembusi, sampai akhirnya Beliau menyadari bahwa semua yang Beliau lihat, kelima skandha dari jasmani dan batin, adalah bagaikan bola api yang panas. Apabila semua permukaan bola merah tersebut panas, di manakah akan Anda temukan tempat yang dingin untuk berpegang? Adalah sama dengan kelima skandha, memegang pada salah satu daripadanya hanya akan menyebabkan penderitaan. Itulah sebabnya, Anda tidak seharusnya melekat kepada apapun, bahkan terhadap ketenangan atau konsentrasi sekalipun. Anda tidak semestinya mengatakan bahwa kedamaian atau ketenangan itu adalah Anda atau milik Anda. Dengan melakukan hal tersebut, hanya menyebabkan munculnya kesakitan pada ilusi diri, dunia dari kemelekatan dan kekhayalan, merupakan bola api panas yang lainnya.

Di dalam melakukan latihan, kecenderungan kita adalah untuk meraih dan mengambil pengalaman sebagai Aku dan milikku. Jika Anda berpikir: "Saya tenang, saya gelisah, saya baik atau buruk, saya bahagia atau tidak bahagia", kemelekatan ini akan menyebabkan lebih banyak lagi perwujudan dan kelahiran. Bila kebahagiaan berakhir, penderitaan muncul; bila penderitaan berakhir, kebahagiaan muncul. Anda akan melihat diri Anda tak henti-hentinya terombang-ambing di antara surga dan neraka.

Sang Buddha melihat bahwa kondisi dari pikiran-Nya adalah seperti itu, dan Beliau tahu, karena adanya kelahiran dan perwujudan maka kebebasan-Nya belumlah komplit. Sehingga Beliau mengambil semua unsur pengalaman ini dan merenungkan intisari kebenaran. Disebabkan oleh keinginan, maka kelahiran dan kematian timbul. Menjadi senang adalah kelahiran; menjadi kesal/benci adalah kematian. Setelah mati, kita lalu lahir; karena lahir, kita lalu mati. Kelahiran dan kematian dari satu saat ke saat yang lain adalah bagaikan berputarnya sebuah roda yang tak ada akhirnya.
Sang Buddha melihat bahwa apapun yang timbul dari pikiran adalah bersifat sementara, keadaan yang berkondisi, yang sesungguhnya adalah kosong. Ketika ini jelas bagi Beliau, Beliau lalu melepaskan, membiarkan, dan menemukan akhir dari penderitaan. Anda juga harus mengerti kebenaran ini. Bila Anda memahami segala sesuatu sebagaimana adanya, Anda akan melihat bahwa unsur-unsur pikiran ini adalah penuh dengan tipuan; sesuai dengan ajaran Sang Buddha bahwa batin/pikiran ini adalah tidak memiliki apa-apa/kosong pada awalnya, tidak timbul, tidak lahir, dan tidak mati bersama siapapun. Ia bebas, bersinar, gemerlapan, dan tidak bergantung pada apapun. Sang Pikiran menjadi bergantung hanya karena ia salah dimengerti dan dibungkus oleh kondisi-kondisi fenomena ini, khayalan salah tentang sang Aku.

Oleh karena itu, Sang Buddha menasihati kita untuk melihat ke dalam batin kita. Apakah yang muncul pada awalnya? Sebenarnyalah, tak ada apapun. Kekosongan ini tidak muncul dan mati dengan fenomena-fenomena yang ada. Bila ia kontak dengan sesuatu yang baik, ia tidak menjadi baik; bila ia kontak dengan sesuatu yang buruk, ia tidak menjadi buruk. Batin yang murni mengetahui obyek-obyek ini dengan jelas, mengetahui bahwa mereka bukanlah sesuatu yang penting.

Apabila batin para meditator ada pada kondisi ini, tak ada keragu-raguan yang akan muncul. Apakah ada pewujudan? Apakah ada kelahiran? Kita tak perlu bertanya kepada siapapun. Setelah memeriksa unsur-unsur dari batin, Sang Buddha lalu melepaskannya dan menjadi orang yang semata-mata sadar tentangnya. Beliau hanya melihat dengan keseimbangan. Keadaan yang menyebabkan kelahiran tidak lagi timbul pada diri-Nya. Dengan pengetahuan-Nya yang komplit/sempurna, Beliau menyebut mereka semuanya tidak kekal, tidak memuaskan, kosong dari Aku/Diri. Itulah sebabnya, Beliau menjadi seorang yang tahu dengan sempurna/Maha Tahu. Seseorang yang mengetahui, akan melihat sesuai dengan kesunyataan dan tidak menjadi gembira atau sedih terhadap keadaan yang berubah-ubah. Ini adalah kedamaian yang sejati, bebas dari kelahiran, usia tua, kesakitan, dan kematian; tidak terpengaruh oleh Hukum Sebab Akibat, atau kondisi-kondisi, di luar kebahagiaan dan penderitaan, di atas baik dan jahat. Tak ada yang dapat diucapkan tentang hal tersebut. Tak ada kondisi yang mendorongnya lagi.

Oleh karena itu, kembangkan samadhi, ketenangan dan pandangan terang/Insight; belajarlah untuk membuat mereka muncul di dalam batin Anda dan benar-benar dapat memanfaatkan mereka. Bila tidak, Anda mungkin hanya tahu ajaran-ajaran teori agama Buddha dan tahu maksud-maksudnya dengan lengkap, kemudian pergi berkeliling menjelaskan sifat-sifat dari kehidupan. Anda mungkin menjadi pintar, namun ketika suatu hal timbul di dalam batin/pikiran Anda, apakah Anda akan mengikutinya? Ketika Anda kontak dengan sesuatu yang Anda senangi, apakah Anda seketika menjadi melekat? Dapatkah Anda melepaskannya? Ketika hal yang tidak Anda sukai timbul, apakah Anda (sesuatu yang mengetahui) memegangnya di dalam pikiran, atau apakah akan membiarkannya berlalu? Jika Anda melihat sesuatu yang tidak Anda sukai dan masih memegangnya atau membencinya, Anda harus sadar bahwa ini tidak benar, belum yang tertinggi. Jika Anda menyelidiki pikiran Anda dengan cara seperti ini, Anda pasti benar-benar akan memahaminya.

Saya tidak berlatih dengan menggunakan buku; saya hanya melihat kepada sesuatu yang mengetahui ini (batin). Jika ia membenci seseorang, tanyakan mengapa? Jika ia mencintai seseorang, tanyakan mengapa? Periksalah segala sesuatu yang timbul tersebut lalu kembalikan kepada asalnya, maka Anda akan dapat memecahkan masalah dari kemelekatan dan kebencian dan membiarkan mereka berlalu dari diri Anda. Segala sesuatu akan kembali dan muncul dari sesuatu yang mengetahui (batin). Dan mengulangi latihan adalah paling penting.

[Dikutip dari Mutiara Dhamma VI ] 

Jumat, 25 Mei 2012

7. Convention and Liberation





The things of this world are merely conventions of our own making. Having established them we get lost in them, and refuse to let go, giving rise to clinging to personal views and opinions. This clinging never ends, it is samsāra, flowing endlessly on. It has no completion. Now, if we know conventional reality then we'll know Liberation. If we clearly know Liberation, then we'll know convention. This is to know the Dhamma. Here there is completion.
Take people, for instance. In reality people don't have any names, we are born naked into the world. If we have names, they arise only through convention. I've contemplated this and seen that if you don't know the truth of this convention it can be really harmful. It's simply something we use for convenience. Without it we couldn't communicate, there would be nothing to say, no language.
I've seen the Westerners when they sit in meditation together in the West. When they get up after sitting, men and women together, sometimes they go and touch each other on the head2! When I saw this I thought, ''Ehh, if we cling to convention it gives rise to defilements right there. '' If we can let go of convention, give up our opinions, we are at peace.
Like the generals and colonels, men of rank and position, who come to see me. When they come they say, ''Oh, please touch my head3.'' If they ask like this there's nothing wrong with it, they're glad to have their heads touched. But if you tapped their heads in the middle of the street it'd be a different story! This is because of clinging. So I feel that letting go is really the way to peace. Touching a head is against our customs, but in reality it is nothing. When they agree to having it touched there's nothing wrong with it, just like touching a cabbage or a potato.
Accepting, giving up, letting go - this is the way of lightness. Wherever you're clinging there's becoming and birth right there. There's danger right there. The Buddha taught about convention and he taught to undo convention in the right way, and so reach Liberation.
This is freedom, not to cling to conventions. All things in this world have a conventional reality. Having established them we should not be fooled by them, because getting lost in them really leads to suffering. This point concerning rules and conventions is of utmost importance. One who can get beyond them is beyond suffering.
However, they are a characteristic of our world. Take Mr. Boonmah, for instance; he used to be just one of the crowd but now he's been appointed the District Commissioner. It's just a convention but it's a convention we should respect. It's part of the world of people. If you think, ''Oh, before we were friends, we used to work at the tailor's together,'' and then you go and pat him on the head in public, he'll get angry. It's not right, he'll resent it. So we should follow the conventions in order to avoid giving rise to resentment. It's useful to understand convention, living in the world is just about this. Know the right time and place, know the person.
Why is it wrong to go against conventions? It's wrong because of people! You should be clever, knowing both convention and Liberation. Know the right time for each. If we know how to use rules and conventions comfortably then we are skilled.
But if we try to behave according to the higher level of reality in the wrong situation, this is wrong. Where is it wrong? It's wrong with people's defilements, that's where! People all have defilements. In one situation we behave one way, in another situation we must behave in another way. We should know the ins and outs because we live within conventions. Problems occur because people cling to them. If we suppose something to be, then it is. It's there because we suppose it to be there. But if you look closely, in the absolute sense these things don't really exist.
As I have often said, before we were laymen and now we are monks. We lived within the convention of 'layman' and now we live within the convention of 'monk'. We are monks by convention, not monks through Liberation. In the beginning we establish conventions like this, but if a person merely ordains, this doesn't mean he overcomes defilements. If we take a handful of sand and agree to call it salt, does this make it salt? It is salt, but only in name, not in reality. You couldn't use it to cook with. It's only use is within the realm of that agreement, because there's really no salt there, only sand. It becomes salt only through our supposing it to be so.
This word 'Liberation' is itself just a convention, but it refers to that beyond conventions. Having achieved freedom, having reached Liberation, we still have to use convention in order to refer to it as Liberation. If we didn't have convention we couldn't communicate, so it does have its use.
For example, people have different names, but they are all people just the same. If we didn't have names to differentiate between them, and we wanted to call out to somebody standing in a crowd, saying. ''Hey, Person! Person!'', that would be useless. You couldn't say who would answer you because they're all 'person'. But if you called, ''Hey, John!,'' then John would come, the others wouldn't answer. Names fulfill just this need. Through them we can communicate, they provide the basis for social behaviour.
So you should know both convention and liberation. Conventions have a use, but in reality there really isn't anything there. Even people are non-existent. They are merely groups of elements, born of causal conditions, growing dependent on conditions, existing for a while, then disappearing in the natural way. No-one can oppose or control it. But without conventions we would have nothing to say, we'd have no names, no practice, no work. Rules and conventions are established to give us a language, to make things convenient, and that's all.
Take money, for example. In olden times there weren't any coins or notes, they had no value. People used to barter goods, but those things were difficult to keep, so they created money, using coins and notes. Perhaps in the future we'll have a new king decree that we don't have to use paper money, we should use wax, melting it down and pressing it into lumps. We say this is money and use it throughout the country. Let alone wax, they might even decide to make chicken dung the local currency - all the other things can't be money, just chicken dung! Then people would fight and kill each other over chicken dung!
This is the way it is. You could use many examples to illustrate convention. What we use for money is simply a convention that we have set up, it has its use within that convention. Having decreed it to be money, it becomes money. But in reality, what is money? Nobody can say. When there is a popular agreement about something, then a convention comes about to fulfill the need. The world is just this.
This is convention, but to get ordinary people to understand Liberation is really difficult. Our money, our house, our family, our children and relatives are simply conventions that we have invented, but really, seen in the light of Dhamma, they don't belong to us. Maybe if we hear this we don't feel so good, but reality is like that. These things have value only through the established conventions. If we establish that it doesn't have value, then it doesn't have value. If we establish that it has value, then it has value. This is the way it is, we bring convention into the world to fulfill a need.
Even this body is not really ours, we just suppose it to be so. It's truly just an assumption on our part. If you try to find a real, substantial self within it, you can't. There are merely elements which are born, continue for a while and then die. Everything is like this. There's no real, true substance to it, but it's proper that we use it. It's like a cup. At some time that cup must break, but while it's there you should use it and look after it well. It's a tool for your use. If it breaks there is trouble, so even though it must break, you should try your utmost to preserve it.
And so we have the four supports4 which the Buddha taught again and again to contemplate. They are the supports on which a monk depends to continue his practice. As long as you live you must depend on them, but you should understand them. Don't cling to them, giving rise to craving in your mind.
Convention and liberation are related like this continually. Even though we use convention, don't place your trust in it as being the truth. If you cling to it, suffering will arise. The case of right and wrong is a good example. Some people see wrong as being right and right as being wrong, but in the end who really knows what is right and what is wrong? We don't know. Different people establish different conventions about what's right and what's wrong, but the Buddha took suffering as his guide-line. If you want to argue about it there's no end to it. One says ''right,'' another says ''wrong''. One says ''wrong,'' another says ''right.'' In truth we don't really know right and wrong at all. But at a useful, practical level, we can say that right is not to harm oneself and not to harm others. This way fulfills a constructive purpose for us.
So, after all, both rules and conventions and liberation are simply dhammas. One is higher than the other, but they go hand in hand. There is no way that we can guarantee that anything is definitely like this or like that, so the Buddha said to just leave it be. Leave it be as uncertain. However much you like it or dislike it, you should understand it as uncertain.
Regardless of time and place, the whole practice of Dhamma comes to completion at the place where there is nothing. It's the place of surrender, of emptiness, of laying down the burden. This is the finish. It's not like the person who says, ''Why is the flag fluttering in the wind? I say it's because of the wind.'' Another person says it's because of the flag. The other retorts that it's because of the wind. There's no end to this! The same as the old riddle, ''Which came first, the chicken or the egg?'' There's no way to reach a conclusion, this is just nature.
All these things we say are merely conventions, we establish them ourselves. If you know these things with wisdom then you'll know impermanence, suffering and not-self. This is the outlook which leads to enlightenment.
You know, training and teaching people with varying levels of understanding is really difficult. Some people have certain ideas, you tell them something and they don't believe you. You tell them the truth and they say it's not true. ''I'm right, you're wrong...'' There's no end to this.
If you don't let go there will be suffering. I've told you before about the four men who go into the forest. They hear a chicken crowing, ''Kak-ka-dehhhh!'' One of them wonders, ''Is that a rooster or a hen?'' Three of them say together, ''It's a hen,'' but the other doesn't agree, he insists it's a rooster. ''How could a hen crow like that?'' he asks. They retort, ''Well, it has a mouth, hasn't it?'' They argue and argue till the tears fall, really getting upset over it, but in the end they're all wrong. Whether you say a hen or a rooster, they're only names. We establish these conventions, saying a rooster is like this, a hen is like that; a rooster cries like this, a hen cries like that... and this is how we get stuck in the world! Remember this! Actually, if you just say that really there's no hen and no rooster, then that's the end of it.
In the field of conventional reality one side is right and the other side it wrong, but there will never be complete agreement. Arguing till the tears fall has no use.
The Buddha taught not to cling. How do we practise non-clinging? We practise simply by giving up clinging, but this non-clinging is very difficult to understand. It takes keen wisdom to investigate and penetrate this, to really achieve non-clinging.
When you think about it, whether people are happy or sad, content or discontent, doesn't depend on their having little or having much - it depends on wisdom. All distress can be transcended only through wisdom, through seeing the truth of things.
So the Buddha exhorted us to investigate, to contemplate. This 'contemplation' means simply to try to solve these problems correctly. This is our practice. Like birth, old age, sickness and death - they are the most natural and common of occurrences. The Buddha taught to contemplate birth, old age, sickness and death, but some people don't understand this. ''What is there to contemplate?'' they say. They're born but they don't know birth, they will die but they don't know death.
A person who investigates these things repeatedly will see. Having seen he will gradually solve his problems. Even if he still has clinging, if he has wisdom and sees that old age, sickness and death are the way of nature, then he will be able to relieve suffering. We study the Dhamma simply for this - to cure suffering.
There isn't really much as the basis of Buddhism, there's just the birth and death of suffering, and this the Buddha called the truth. Birth is suffering, old age is suffering, sickness is suffering and death is suffering. People don't see this suffering as the truth. If we know truth, then we know suffering.
This pride in personal opinions, these arguments, they have no end. In order to put our minds at rest, to find peace, we should contemplate our past, the present, and the things which are in store for us. Like birth, old age, sickness and death. What can we do to avoid being plagued by these things? Even though we may still have a little worry, if we investigate till we know according to the truth, all suffering will abate, because we will no longer cling to them.



Footnotes
An informal talk given in the Northeastern dialect, from an unidentified tape
To touch a person's head in Thailand is usually considered an insult.
It is considered auspicious in Thailand to have one's head touched by a highly esteemed monk.
The four supports - robes, alms-food, lodgings and medicines

Contents: © Wat Nong Pah Pong, 2007