Selasa, 22 Mei 2012

Bab 9. Tidak Pasti Standar Para Suci



       Pada suatu ketika ada seorang bhikkhu Barat, seorang murid saya. Setiap kali ia melihat para bhikkhu dan samanera Thai lepas jubah ia akan berkata, "Oh, betapa memalukan! Mengapa mereka melakukan itu? Mengapa begitu banyak bhikkhu dan samanera Thai lepas jubah?" Ia terkejut. Ia bersedih atas lepas jubahnya para bhikkhu dan samanera Thai, karena ia baru saja mengenal agama Buddha. Ia tergugah, ia merasa mantap. Menjadi bhikkhu merupakan satu-satunya hal yang harus dilakukan, ia berpikir ia tak akan pernah lepas jubah. Siapa pun yang lepas jubah adalah orang bodoh. Ia akan melihat masyarakat Thai mengenakan jubah sebagai bhikkhu dan samanera pada awal Masa Vassa dan lepas jubah pada akhir masa itu… "Oh, betapa menyedihkan! Saya merasa amat prihatin kepada para bhikkhu dan samanera Thai itu. Bagaimana bisa mereka melakukan hal itu?"

        Nah, dengan berjalannya sang waktu beberapa di antara bhikkhu Barat mulai lepas jubah, akhirnya ia melihat hal itu sebagai sesuatu yang tidak begitu penting. Pada awalnya, ketika ia mulai berlatih, ia gelisah karenanya. Ia pikir menjadi seorang bhikkhu merupakan sesuatu yang sangat penting. Ia pikir akan mudah menjalaninya.

        Ketika orang tergugah, semua tampak begitu tepat dan baik. Tidak ada yang bisa mengukur perasaan mereka, jadi mereka terus melangkah dan memutuskannya untuk diri mereka sendiri. Tetapi mereka sebenarnya tidak mengerti bagaimana sesungguhnya praktek itu. Mereka yang mengerti akan mempunyai landasan yang benar-benar kuat di dalam hati mereka —meskipun begitu mereka tidak perlu memamerkannya.

        Untuk saya sendiri, ketika pertama kali saya ditahbiskan, sesungguhnya saya tidak melakukan banyak praktek, tetapi keyakinan saya begitu besar. Saya tak tahu mengapa, mungkin ia sudah ada sejak lahir. Para bhikkhu dan samanera yang ditahbiskan bersama saya, pada akhir Masa Vassa, semuanya lepas jubah. Saya berpikir sendiri, "Eh? Ada apakah gerangan dengan orang-orang ini?" Akan tetapi, saya tidak berani mengatakan apapun kepada mereka karena saya sendiri belum yakin terhadap perasaan saya, saya sangat bingung. Tetapi di dalam hati saya merasa bahwa mereka semua bodoh. "Adalah sulit untuk bisa ditahbiskan, tapi mudah untuk lepas jubah. Orang-orang ini tidak banyak memiliki kebajikan, mereka pikir jalan duniawi lebih bermanfaat daripada jalan Dhamma". Saya berpikir seperti itu tetapi saya tidak mengatakan apapun, saya hanya mengamati batin saya sendiri.

        Saya akan melihat para bhikkhu yang ditahbiskan bersama saya silih berganti lepas jubah. Kadangkala mereka berdandan serta kembali ke vihara untuk pamer. Saya akan melihat mereka dan berpikir bahwa mereka gila, tetapi mereka berpikir mereka tampak rapi. Saya katakan pada diri sendiri bahwa cara berpikir seperti itu salah. Meskipun begitu saya tidak mengatakannya, karena saya sendiri masih ragu-ragu. Saya masih tak yakin berapa lama keyakinan saya ini akan bertahan.

        Ketika semua teman saya sudah lepas jubah saya singkirkan semua keprihatinan, tak ada lagi yang tersisa untuk saya perhatikan. Saya mengambil Patimokkha (Pokok aturan keviharaan, yang dibaca dalam bahasa Pali setiap dua minggu sekali.) dan tekun mempelajarinya. Tidak ada lagi yang mengganggu dan membuang waktu saya, saya curahkan perhatian pada praktek. Saya tetap tidak mengatakan apapun karena saya merasa bahwa untuk berlatih sepanjang hidup, mungkin tujuh puluh, delapan puluh atau bahkan sembilan puluh tahun serta mempertahankan usaha yang gigih tanpa menjadi lamban atau kehilangan ketetapan hati, tampaknya sesuatu yang sangat sulit untuk dilakukan.

        Mereka yang telah pernah ditahbiskan akan ditahbiskan lagi, mereka yang telah pernah lepas jubah akan lepas jubah lagi. Saya hanya mengamati mereka semua. Saya tidak peduli apakah mereka tinggal atau pergi. Saya akan melihat teman-teman saya pergi, tetapi perasaan di dalam diri saya mengatakan bahwa orang-orang tersebut tidak melihat dengan jelas. Bhikkhu Barat itu mungkin berpikir begitu. Ia akan melihat orang menjadi bhikkhu hanya untuk satu Masa Vassa, dan ia menjadi sedih.

        Selanjutnya ia mencapai tingkatan yang kita sebut… jemu; jemu dengan Kehidupan Suci. Ia meninggalkan praktek dan akhirnya lepas jubah.

        "Mengapa kamu lepas jubah? Sebelumnya, ketika kamu melihat para bhikkhu Thai lepas jubah kamu akan berkata, "Oh, memalukan! Betapa menyedihkan, betapa memilukan! Sekarang, ketika kamu sendiri ingin lepas jubah, mengapa kamu tidak merasa menyesal?"

        Ia tidak menjawab. Ia hanya berjalan tersipu-sipu.

        Ketika sampai pada latihan batin, sangatlah sulit untuk menemukan ukuran yang baik jika kalian belum mengembangkan "kesaksian" di dalam diri kalian. Dalam banyak persoalan luar kita bisa mengandalkan umpan balik pihak lain, ada ukuran dan contohnya. Tetapi ketika semua menggunakan Dhamma sebagai patokan… Apakah kita telah memiliki Dhamma? Apakah kita berpikir dengan benar atau tidak? Dan seandainya itu benar, apakah kita tahu bagaimana melepaskan kebenaran atau apakah kita tetap melekat padanya?

        Kalian harus merenungkan sampai kalian mencapai titik di mana kalian melepaskan, inilah hal yang penting… sampai kalian mencapai titik di mana tak ada apapun yang tersisa, di mana di sana bukanlah baik bukan pula buruk. Kalian tinggalkan. Ini berarti kalian melepaskan segalanya. Jika semua sudah lenyap maka tak ada yang tersisa; jika masih ada yang tersisa maka itu belum lenyap semuanya.

        Jadi mengenai latihan batin ini, kadangkala kita mungkin mengatakan mudah. Memang mudah untuk mengatakan, tetapi sulit untuk melakukannya. Ia sulit karena ia tidak memuaskan keinginan-keinginan kita. Kadang-kadang tampaknya seolah-olah ada bidadari-bidadari (Devaputta mara —si Mara, atau Penggoda, yang muncul dalam bentuk yang tampaknya penuh kebaikan.) yang membantu kita. Semua berjalan baik, apapun yang kita pikirkan atau ucapkan tampaknya selalu benar. Selanjutnya kita pergi dan melekat pada kebenaran itu dan tak lama kemudian kita salah melangkah dan semua jadi buruk. Inilah kesulitannya. Kita tidak memiliki norma/standar untuk mengukurnya.

        Orang-orang yang memiliki keyakinan besar, diberkahi dengan keyakinan dan perasaan tetapi kurang di dalam kebijaksanaan, mereka bisa jadi sangat baik di dalam samadhi tetapi mereka kurang memiliki pengertian. Mereka hanya melihat satu sisi saja, serta sungguh-sungguh mengikutinya. Mereka tidak merenungkannya. Ini merupakan keyakinan yang membuta. Di dalam agama Buddha itu kita sebut Saddha adhimokkha, keyakinan yang membuta. Mereka sudah mempunyai keyakinan tetapi tidak timbul dari kebijaksanaan. Tetapi mereka tidak melihatnya pada saat itu, mereka percaya bahwa mereka mempunyai kebijaksanaan, sehingga mereka tidak melihat di mana kesalahan mereka.

        Oleh karena itu, mereka mengajar tentang Lima Kekuatan (Bala): Saddha, viriya, sati, samadhi, pañña. Saddha berarti keyakinan; viriya berarti usaha yang gigih; sati berarti kesadaran; samadhi berarti terpusatnya pikiran; pañña berarti pengetahuan yang mencakup semuanya. Jangan katakan pañña sebagai pengetahuan saja, tetapi pañña mencakup semuanya, pengetahuan yang sempurna.

        Sang Bijaksana telah memberi kita lima langkah ini sehingga kita bisa mempergunakannya, pertama sebagai bahan untuk dipelajari, selanjutnya sebagai norma pembanding pada keadaan praktek kita sendiri. Misalnya, saddha —keyakinan. Apakah kita memiliki keyakinan, apakah kita sudah mengembangkannya? Viriya: apakah kita memiliki usaha yang gigih atau tidak? Apakah usaha kita betul atau salah? Kita harus memperhatikan ini. Setiap orang mempunyai semacam usaha, tetapi apakah usaha kita mengandung kebijaksanaan atau tidak?

        Sati juga sama. Bahkan seekor kucing pun mempunyai sati. Ketika ia melihat seekor tikus, ada sati di sana. Mata si kucing menatap pasti pada si tikus. Inilah sati seekor kucing. Setiap orang memiliki sati, hewan mempunyainya, para penjahat mempunyainya, para bijaksana memilikinya.

        Samadhi, terpusatnya pikiran —setiap orang juga mempunyai ini. Seekor kucing mempunyainya ketika pikirannya terpusat untuk menangkap tikus dan memakannya. Ia mempunyai perhatian yang satu. Sati si kucing adalah sati yang semacam ini; samadhi, perhatian yang satu pada apa yang dikerjakan, juga ada di sana. Pañña, pengetahuan: seekor kucing juga mempunyainya, tetapi bukan suatu pengetahuan yang luas, seperti yang dimiliki oleh manusia. Ia tahu sebagaimana seekor hewan tahu, ia mempunyai cukup pengetahuan untuk menangkap tikus sebagai makanan.

        Kelima hal ini disebut "Kekuatan". Sudahkah kelima Kekuatan ini muncul dari Pandangan Benar, sammaditthi, atau tidak? Saddha, viriya, sati, samadhi, pañña —sudahkah mereka timbul dari Pandangan Benar? Apakah Pandangan Benar itu? Apakah norma kita untuk mengukur Pandangan Benar? Kita harus memahaminya secara jelas.

        Pandangan Benar adalah pengertian bahwa segala sesuatu tidaklah pasti. Oleh karena itu Sang Buddha dan semua Para Ariya tidak melekat kuat padanya. Mereka menggenggam, tetapi tidak melekat. Mereka tidak membiarkan penggenggaman itu menjadi sebagai diri/suatu identitas. Penggenggaman yang tidak membawa pada suatu perwujudan adalah keadaan yang tidak dicemari oleh hawa nafsu. Tanpa mencari untuk menjadi ini atau itu, yang ada hanyalah praktek itu sendiri. Ketika kalian melekat pada suatu keadaan tertentu adakah kalian melekat pada kesenangan itu? Jika ada ketidaksenangan, apakah kalian melekat pada ketidaksenangan itu?

        Sebagian pandangan dapat digunakan sebagai dasar untuk mengukur praktek kita secara lebih tepat. Misalnya mengetahui bahwa pandangan-pandangan seperti demikian: pandangan yang ini lebih baik daripada yang lainnya, atau sama dengan yang lainnya, atau lebih bodoh daripada yang lainnya; semua itu adalah pandangan yang salah. Kita bisa merasakan hal ini tetapi kita juga mengetahuinya dengan kebijaksanaa, bahwa mereka hanya timbul dan tenggelam. Mengira bahwa kita lebih baik daripada yang lain tidaklah benar; mengira bahwa kita sama dengan yang lain adalah tidak benar; mengira bahwa kita lebih rendah daripada yang lain adalah tidak benar.

        Pandangan yang benar adalah pandangan yang menembus semua ini. Jadi ke mana kita akan pergi? Jika kita berpikir bahwa kita lebih baik daripada yang lain, timbul kesombongan. Ia ada di sana tetapi kita tidak melihatnya. Jika kita pikir bahwa kita sama dengan yang lain, maka kita akan lalai mengungkapkan rasa hormat dan kerendahan hati pada saat-saat yang tepat. Jika kita berpikir bahwa kita lebih rendah daripada yang lain, kita akan merasa tertekan, dengan berpikir bahwa kita rendah, terlahir dengan kehidupan buruk dan sebagainya. Kita masih melekat pada Lima Khandha (Lima Khandha: Bentuk (rupa), perasaan (vedana), pencerapan (sañña), gagasan atau bentuk-bentuk pikiran (sankhara), dan kesadaran-indera (vññana). Ia membentuk pengalaman batin-jasmani yang dikenal sebagai "diri".), yang semuanya hanyalah proses perwujudan/dumadi dan kelahiran.

        Inilah satu patokan/standar untuk mengukur diri kita sendiri. Yang lainnya adalah: jika kita menemui pengalaman yang menyenangkan, kita merasa bahagia; jika kita menemui pengalaman buruk, kita tidak senang. Apakah kita mampu melihat pada hal-hal yang kita sukai dan yang tidak kita sukai sebagai memiliki nilai yang sama? Ukurlah diri kalian dengan patokan ini. Dalam kehidupan sehari-hari, dalam berbagai pengalaman yang kita jumpai, jika kita mendengar sesuatu yang kita sukai, apakah suasana hati kita berubah? Jika kita menjumpai suatu pengalaman yang tidak kita sukai, apakah suasana hati kita berubah? Ataukah batin kita tidak goyah? Melihat tepat di sini, kita mempunyai satu ukuran.

        Pahamilah diri kalian sendiri, inilah saksi kalian. Janganlah membuat keputusan ketika dipengaruhi oleh nafsu kalian. Nafsu bisa melambungkan kita ke dalam pemikiran bahwa kita adalah sesuatu, yang sebenarnya bukan. Kita harus sangat berhati-hati.

        Ada begitu banyak sudut dan aspek yang harus dipertimbangkan, tetapi jalan yang benar adalah tidak mengikuti nafsu kalian, melainkan Kebenaran. Kita harus mengetahui yang baik dan yang buruk, dan ketika kita mengetahuinya, lepaskanlah mereka. Jika kita tidak melepaskan, kita tetap berada di situ, kita tetap "ada" kita tetap "punya". Jika kita tetap "ada" maka di sana terdapat sisa, ada timbunan proses dumadi dan kelahiran.

        Oleh karena itu Sang Buddha mengatakan agar hanya menilai diri sendiri, jangan menilai orang lain, tidak peduli betapa baik atau jahatnya mereka. Sang Buddha hanya menunjukkan sang Jalan, dengan mengatakan "Seperti inilah Kesunyataan". Sekarang, apakah batin kita seperti itu atau tidak?

        Misalnya, seandainya seorang bhikkhu mengambil sesuatu milik bhikkhu lain, lalu bhikkhu yang lain itu menuduhnya, "Kamu mencuri barang-barang saya". "Saya tidak mencurinya saya hanya mengambilnya". Lalu kita meminta bhikkhu ketiga untuk memutuskan. Bagaimana ia harus memutuskannya? Beliau mungkin harus meminta bhikkhu yang bersalah untuk menghadap sidang Sangha. "Ya, saya mengambilnya, tapi saya tidak mencurinya". Atau berdasarkan aturan lain, seperti pelanggaran-pelanggaran parajika atau sanghadisesa: "Ya, saya melakukannya, tapi saya tidak mempunyai kehendak". Bagaimana kalian bisa mempercayai itu? Ini rumit. Jika kalian tidak bisa mempercayai, yang bisa kalian lakukan adalah menyerahkan tanggung-jawab kepada si pelaku, itu terserah padanya.

        Tetapi kalian harus mengetahui bahwa kita tidak dapat menyembunyikan hal-hal yang muncul di dalam batin kita. Kalian tidak bisa menutupinya, baik itu perbuatan salah maupun benar. Apakah perbuatan itu baik atau buruk, kalian tidak bisa meniadakannya hanya dengan mengabaikannya, karena hal-hal ini cenderung untuk mengungkapkan dirinya sendiri. Mereka menyembunyikan dirinya sendiri, mereka mengungkapkan dirinya sendiri, mereka muncul dan lenyap sendiri. Mereka semua otomatis. Beginilah cara kerja mereka.

        Janganlah mencoba untuk menebak atau berspekulasi terhadap hal-hal ini. Selama masih ada avija (ketidaktahuan), mereka belumlah tuntas. Pada suatu ketika seorang Kepala Dewan Kebersihan bertanya kepada saya, "Luang Por, apakah batin seorang anagami (Anagami (yang tidak kembali lagi): "Tingkat" kesucian yang ketiga, yang dicapai dengan membebaskan diri dari lima "belenggu yang lebih rendah" (semuanya berjumlah sepuluh), yang mengikat batin pada keberadaan duniawi. Dua "tingkat" yang pertama adalah sotapanna ("pemasuk arus") dan sakadagami (yang kembali satu kali lagi), dan yang terakhir adalah arahat ("Yang telah selesai atau yang sempurna").) sudah bersih?"

        "Ia sebagian bersih".

        "Eh? Seorang anagami sudah membuang keinginan-keinginan inderawinya, bagaimana bisa batinnya belum bersih?"

        "Ia mungkin telah melepaskan keinginan-keinginan inderawinya, tetapi di sana masih ada sesuatu yang tersisa, bukan? Masih ada avijja. Jika masih ada sesuatu yang tersisa maka tetap ada sesuatu yang tersisa. Itu bagaikan mangkuk makan para bhikkhu. Terdapat mangkuk-besar ukuran besar, mangkuk-besar ukuran sedang, mangkuk-besar ukuran kecil; lalu mangkuk-sedang ukuran besar, mangkuk-besar ukuran sedang, mangkuk-sedang ukuran kecil; selanjutnya ada mangkuk-kecil ukuran besar, mangkuk-kecil ukuran sedang, mangkuk-kecil ukuran kecil… Tidak peduli betapa kecilnya itu tetap ada mangkuk di sana, bukan? Demikianlah halnya dengan sotapanna, sakadagami, anagami. Mereka memang sudah melenyapkan kekotoran tertentu, tetapi hanya sebatas tingkatan mereka. Apapun yang tetap tertinggal, para suci itu tidak melihatnya. Jika mereka mampu, mereka semuanya telah menjadi Arahat. Mereka masih belum bisa melihat semuanya. Avijja merupakan yang tidak terlihat. Jika batin sang anagami sepenuhnya diluruskan maka ia bukan lagi seorang anagami, tetapi ia sudah sepenuhnya sempurna (Arahat). Jadi di sana masih ada sesuatu yang tersisa.

        "Apakah batin dia suci?" "Benar, agak suci, tetapi tidak 100%".

        Apalagi yang bisa saya jawab? Ia berkata kelak ia akan datang lagi dengan bertanya lebih lanjut tentang hal itu. Ia bisa memeriksa hal itu, standarnya ada di sana.

        Janganlah lengah, waspadalah. Sang Buddha menasihati agar kita waspada. Berkenaan dengan latihan batin ini, saya juga mengalami saat-saat tergoda, kalian tahu. Saya kerapkali tergoda untuk mencoba banyak hal. Tetapi mereka selalu seperti tidak sampai pada sang Jalan. Ini sungguh bagaikan berlaga di dalam batin seseorang, semacam keangkuhan. Ditthi —pandangan-pandangan, dan mana —kesombongan, ada di sana. Cukup sulit untuk hanya menyadari keberadaan kedua hal ini.

        Suatu ketika ada seseorang yang ingin menjadi bhikkhu di sini. Ia membawa jubahnya, memutuskan untuk menjadi seorang bhikkhu untuk mengenang almarhumah ibunya. Ia memasuki vihara, meletakkan jubahnya, dan, tanpa memberi hormat kepada bhikkhu-bhikkhu lainnya, ia memulai dengan meditasi jalan tepat di depan ruang utama… bolak-balik, bolak-balik, ia seperti akan menunjukkan kesanggupannya.

        Saya pikir, "Oh, jadi ada juga orang seperti ini!" Ini disebut saddha adhimokkha —keyakinan yang membuta. Ia pasti sudah memutuskan untuk mencapai pencerahan sebelum senja atau semacam itu, ia pikir hal itu sangat mudah. Ia tidak melihat siapapun, hanya menundukkan kepala dan berjalan bagaikan kehidupannya bergantung pada hal itu. Saya biarkan ia meneruskannya, tetapi saya pikir, "Oh, teman, kamu pikir sesederhana itukah?" Pada akhirnya saya tidak tahu untuk berapa lama ia bertahan, saya bahkan tidak berpikir ia telah ditahbiskan.

        Begitu batin memikirkan sesuatu kita mengeluarkannya, mengeluarkannya setiap saat. Kita tidak menyadari bahwa itu hanyalah kebiasaan perkembangbiakan batin. Ia menyamarkan dirinya sebagai kebijaksanaan dan tercetak keluar dalam bagian yang sangat rinci. Perkembangbiakan batin ini tampak sangat cerdik, jika kita tidak mengetahuinya kita akan mengartikannya sebagai kebijaksanaan. Tetapi jika ia tiba pada saat yang genting, ia bukanlah hal yang sebenarnya. Ketika muncul penderitaan, di manakah yang disebut kebijaksanaan itu? Apakah ia bermanfaat? Akhirnya ia hanyalah perkembangbiakan saja.

        Jadi tetaplah bersama Sang Buddha. Seperti yang sudah saya katakan berkali-kali, dalam praktek kita harus melihat ke dalam dan menemukan Sang Buddha. Di manakah Sang Buddha? Sang Buddha masih tetap hidup sampai dengan hari ini, periksalah dan temukan beliau. Di manakah beliau? Di anicca, periksa dan temukanlah beliau di sana, pergilah dan sembahlah beliau: anicca, ketidakpastiaan. Bagi para pemula, kalian bisa berhenti tepat di sana.

        Jika batin berusaha mengatakan padamu, "Saya seorang sotapanna sekarang", pergi dan menyembahlah pada sang Sotapanna. Ia akan mengatakan padamu, "Semuanya tidak pasti". Jika kalian bertemu seorang sakadagami, pergi dan hormatilah dia. Jika ia melihatmu ia hanya akan mengatakan, "Bukan satu hal yang pasti!" Jika ada seorang anagami, pergi dan sembahlah dia. Ia hanya akan mengatakan satu hal… "Tidak pasti". Bahkan jika kalian bertemu seorang arahat, pergi dan sembahlah dia, dia bahkan akan lebih tegas mengatakan, "Semuanya bahkan lebih tidak pasti!" Kalian akan mendengar kata-kata Para Suci… "Segala sesuatu tidak pasti, jangan melekat pada apapun".

        Jangan hanya memandangi Sang Buddha seperti seorang yang tolol. Jangan melekat pada segala sesuatu, mencengkeram kuat tanpa melepaskan. Lihatlah segala sesuatu sebagai fungsinya Yang Tertampak kini, kemudian alihkan mereka pada Yang Melebihinya. Itulah yang harus kalian lakukan. Harus ada Yang Tertampak dan harus ada Yang Melebihinya.

        Jadi saya katakan, "Pergilah kepada Sang Buddha". Di manakah Sang Buddha? Sang Buddha adalah Sang Dhamma. Semua Ajaran di dunia ini dapat dimuat dalam satu ajaran ini: anicca. Pikirkanlah itu. Sebagai bhikkhu saya sudah mencarinya lebih dari empat puluh tahun dan inilah semua yang saya temukan. Anicca dan ketahanan kesabaran. Inilah cara mendekati ajaran Sang Buddha… anicca: semuanya tidak pasti.

        Tidak peduli betapa yakinnya sang batin, katakan padanya: "Tidak pasti!" Bilamana si batin ingin menangkap sesuatu sebagai hal yang pasti, katakanlah, "Ia tidak pasti, ia bersifat sementara". Hadapkanlah dengan hal ini. Dengan menggunakan Dhamma Sang Buddha semua sampai pada hal ini. Ia bukanlah itu, ia hanyalah perwujudan/fenomena yang bersifat sementara. Apakah ketika berdiri, berjalan, duduk, atau berbaring, kalian melihat segala sesuatu seperti itu. Apakah timbul rasa suka atau tidak suka, kalian lihat semuanya dalam cara ini. Inilah yang mendekatkan pada Sang Buddha, dekat pada Sang Dhamma.

        Sekarang saya merasa bahwa inilah cara berlatih yang lebih berharga. Semua praktek saya sejak awal sampai sekarang adalah seperti ini. Saya sesungguhnya tidak bersandar pada kitab suci, tetapi saya juga tidak mengabaikan mereka. Saya tidak bersandar pada seorang guru tetapi saya juga tidak sepenuhnya "melakukannya sendiri". Praktek saya semuanya "bukanlah ini maupun itu."

        Sesungguhnya ia merupakan persoalan "menyelesaikan", yaitu, berlatih sampai selesai, dengan mulai melaksanakan praktek dan selanjutnya mengamatinya sampai selesai, melihat Yang Tertampak dan juga Yang Melebihinya.

        Saya sudah membicarakan hal ini, tetapi beberapa di antara kalian mungkin tertarik untuk mendengarkannya lagi: jika kalian berlatih terus-menerus dan mempertimbangkan semuanya dengan cermat, akhirnya kalian akan mencapai titik ini. Pada awalnya kalian bergegas maju, bergegas kembali, dan bergegas berhenti. Kalian meneruskan latihan seperti ini sampai kalian mencapai titik di mana tampaknya maju bukanlah seperti itu, kembali bukanlah seperti itu, dan berhenti pun bukanlah seperti itu! Selesai. Inilah akhirnya, jangan mengharapkan sesuatu yang lebih dari ini, ia selesai tepat di sini. Khinasavo —mereka yang sudah menyelesaikan. Ia tidak maju, tidak mundur, dan tidak berhenti. Tidak ada berhenti, tidak ada maju, dan tidak ada kembali. Ia sudah selesai. Pertimbangkan ini, sadarilah dengan benar dalam batin kalian. Di sana kalian akan menemukan bahwa sesungguhnya tidak ada apapun juga.

        Apakah ini sesuatu yang lama atau baru bagi kalian, itu tergantung pada kalian, pada kebijaksanaan dan ketajaman kalian. Orang yang tidak mempunyai kebijaksanaan atau ketajaman tak akan dapat memahaminya. Lihatlah pada pohon, seperti pohon mangga atau nangka. Jika mereka tumbuh di dalam satu rumpun, pohon yang satu pada awalnya bisa lebih besar dan selanjutnya yang lain akan melengkung, tumbuh keluar dari yang besar tadi. Mengapa hal ini terjadi? Siapa yang menyuruh mereka untuk melakukan itu? Inilah Alam. Alam mengandung baik dan buruk, benar dan salah. Ia dapat cenderung menjadi benar ataupun menjadi salah. Jika kita menanam suatu jenis pepohonan secara berdekatan, maka pohon tersebut akan besar dengan batangnya melengkung menjauh dari pohon yang lebih besar. Mengapa hal ini terjadi? Siapa yang menyuruhnya begitu? Inilah Alam, atau Dhamma.

        Demikian juga tanha, nafsu-keinginan, membawa kita pada penderitaan. Sekarang, jika kita merenungkannya, hal itu akan mengeluarkan kita dari keinginan, kita akan menguasai tanha. Dengan menyelidiki tanha kita akan menggoyahkannya, menjadikannya lebih ringan secara bertahap sampai semuanya lenyap. Sama halnya dengan pohon: adakah seseorang yang memerintahkan agar mereka tumbuh seperti itu? Mereka tak bisa bicara atau pindah tetapi mereka tahu bagaimana caranya untuk tumbuh menghindari rintangan. Bilamana terkekang dan berjejal serta sulit tumbuh, mereka akan membelok keluar.

        Tepat di sinilah Dhamma, kita tidak harus mencarinya ke mana pun. Orang yang cerdik akan melihat Dhamma seperti ini. Secara alam pohon tidak mengetahui apapun, mereka bergerak sesuai dengan hukum alam, tetapi mereka cukup mengerti untuk tumbuh menghindari bahaya, untuk condong ke tempat yang cocok.

        Seperti itulah orang yang waspada. Kita pergi meninggalkan kehidupan rumah tangga karena kita ingin mengatasi penderitaan. Apakah yang membuat kita menderita? Jika kita mengikuti jejaknya di dalam batin, kita akan menemukannya. Apa yang kita sukai dan apa yang tidak kita sukai adalah penderitaan. Jika mereka merupakan penderitaan maka janganlah terlalu dekat pada mereka. Apakah kalian ingin jatuh cinta dengan berbagai kondisi atau membenci mereka? …mereka semuanya tidak pasti. Jika kita dekat kepada Sang Buddha, semua ini akan berakhir. Jangan lupakan ini. Dan bersabarlah. Hanya dua saja sudah cukup. Jika kalian memiliki pemahaman seperti ini, sangatlah baik.

        Sesungguhnya di dalam praktek saya sendiri saya tidak mempunyai guru yang memberikan ajaran sebanyak yang kalian peroleh dari saya. Saya tidak mempunyai banyak guru. Saya ditahbiskan di sebuah vihara desa yang sederhana dan hidup di berbagai vihara desa selama beberapa tahun. Di dalam batin saya menaruh keinginan untuk praktek, saya ingin menjadi cakap/pandai, saya ingin terlatih. Tak ada seorang pun yang memberikan ajaran di vihara-vihara itu tetapi timbul inspirasi untuk berlatih. Saya pergi dan saya mencari. Saya mempunyai telinga jadi saya bisa mendengar, saya mempunyai mata jadi saya bisa melihat. Apa saja perkataan orang, akan saya katakan pada diri sendiri, "Tidak Pasti". Bahkan ketika saya mencium bau saya akan katakan pada diri sendiri, rasa yang menyenangkan, atau tidak menyenangkan, atau timbul perasaan senang atau sakit dalam badan, akan saya katakan pada diri sendiri, "Ini bukanlah hal yang pasti!" Dan dengan begitu saya hidup bersama Dhamma.

        Di dalam kesunyataan, semuanya tidaklah pasti, tetapi keinginan kita menghendaki segala sesuatu menjadi pasti. Apa yan bisa kita lakukan? Kita harus bersabar. Hal yang sangat penting adalah khanti —ketahanan kesabaran. Jangan lepaskan Sang Buddha, yaitu apa yang saya sebut "ketidak-pastian" —janganlah membuangnya.

        Suatu saat saya ingin mengunjungi tempat keagamaan kuno dengan berbagai bangunan biara kuno, yang dirancang oleh para arsitek, yang dibangun oleh para seniman. Di beberapa tempat ada yang retak. Mungkin satu di antara teman saya akan berujar, "Betapa memalukan, bukan? Ada yang retak". Saya akan menjawab, "Jika tidak ada kasus seperti itu maka tidak akan ada Sang Buddha, tidak akan ada Sang Dhamma. Ia retak seperti itu karena selaras dengan ajaran Sang Buddha". Walau dari hati yang paling dalam saya juga sedih melihat bangunan-bangunan itu retak tetapi saya akan menghilangkan keharuan saya dan berusaha mengatakan sesuatu yang akan bermanfaat bagi teman-teman dan saya sendiri. Meskipun begitu saya juga merasa prihatin, saya tetap condong pada Dhamma.

        "Jika tidak retak seperti itu tidak akan ada Sang Buddha!"

        Saya menilai perkataan saya ini cukup sulit untuk dimengerti oleh teman-teman saya… atau mungkin mereka tidak mendengarkan, tetapi saya tetap mendengarkan.

        Ini merupakan satu cara mempertimbangkan berbagai hal yang sangat bermanfaat. Misalnya, seseorang bergegas masuk dan berkata, "Luang Por! Apakah Anda mengetahui apa yang baru dikatakan si anu tentang Anda?" Atau "Ia mengatakan demikian-demikian tentang Anda…" Mungkin kalian akan marah. Begitu kalian mendengar kritikan, kalian segera siap untuk bertikai! Inilah timbulnya suasana-hati. Kita harus mengetahui setiap tahapan suasana-hati ini. Begitu kita mendengar perkataan semacam ini, kita mungkin segera siap membahas, tetapi ketika memeriksa kebenaran persoalan itu kita mungkin menemukan bahwa… "Ya ampun, mereka telah mengatakan tentang hal-hal yang lain setelah itu".

        Jadi ini merupakan kasus lain dari "ketidak-pastian". Oleh karena itu mengapa kita harus menyerbu dan mempercayainya? Mengapa kita begitu mempercayai apa yang dikatakan orang lain? Apapun yang kita dengar harus kita perhatikan, bersikap sabar, memeriksa persoalan dengan cermat… tetap tegak. Bukannya apapun yang singgah di dalam benak kita semuanya kita tuliskan sebagai semacam kebenaran. Pernyataan manapun yang mengabaikan ketidak-pastian, bukanlah pernyataan seorang bijaksana. Ingatlah hal ini. Untuk kita sendiri, bilamana kita menolak ketidak-pastian maka kita tidak lagi bijaksana, kita tidak lagi berlatih. Apapun yang kita lihat atau dengar, apakah menyenangkan ataupun menyedihkan, katakan saja "Ini tidak pasti!" Tekankan ini pada dirimu sendiri, letakkanlah semuanya seperti ini. Janganlah membangunnya menjadi persoalan pokok, letakkanlah hanya pada itu saja. Inilah titik yang penting. Inilah titik di mana kekotoran-kekotoran batin padam. Para praktisi Dhamma tidak boleh mengabaikannya.

        Jika kalian mengabaikan hal ini, kalian hanya akan mendapatkan penderitaan, hanya mendapatkan kesalahan. Jika kalian tidak jadikan hal ini sebagai landasan dalam praktek kalian, kalian akan salah jalan… tetapi kemudian kalian akan kembali pada jalur yang benar, karena dasar ini sangat baik.

        Sesungguhnya Dhamma sejati, intisari yang telah saya bicarakan pada hari ini, tidaklah begitu pelik. Apapun yang kalian alami hanyalah bentuk, hanyalah perasaan, hanyalah pencerapan, hanyalah kehendak, dan hanyalah kesadaran. Hanya ada sifat-sifat dasar ini, di manakah ada kepastian di dalam mereka?

        Jika kita memahami sifat sejati dari berbagai benda seperti ini, nafsu keinginan, kegilaan, dan kemelekatan akan berangsur hilang. Mengapa mereka berangsur hilang? Karena kita memahami, kita tahu. Kita beralih dari ketidak-tahuan menjadi pengertian. Pengertian lahir dari ketidak-tahuan, kepastian lahir dari ketidak-pastian, kesucian lahir dari kekotoran. Begitulah cara kerjanya.

        Tidak menyingkirkan anicca, Sang Buddha —Inilah yang dimaksudkan bahwa Sang Buddha tetap hidup. Untuk mengatakan bahwa Sang Buddha telah masuk Nibbana tidaklah perlu benar. Dalam pengertian yang lebih mendalam Sang Buddha tetaplah hidup. Itu mirip sekali bagaimana kita mendefinisikan kata "bhikkhu". Jika kita mengartikannya sebagai "orang yang meminta" (Yaitu orang yang hidup dengan bergantung pada kemurahan hati orang lain.), artinya sangat luas. Kita bisa mengartikannya seperti ini, tetapi terlalu banyak menggunakan arti ini tidaklah begitu baik —kita tidak tahu kapan harus berhenti meminta! Seandainya kita harus mendefinisikan kata ini secara lebih mendalam, kita akan mengatakan: "Bhikkhu —orang yang melihat bahayanya samsara". Bukankah hal ini lebih mendalam. Ia tidak berjalan searah dengan pengertian yang terdahulu, ia berjalan lebih dalam. Seperti itulah praktek Dhamma. Jika kalian tidak sepenuhnya memahami Dhamma ia tampak sebagai satu cara, tetapi ketika kalian sepenuhnya memahaminya, ia menjadi sesuatu yang lain lagi. Ia menjadi tak ternilai, ia menjadi sumber kedamaian.

        Ketika kita mempunya sati kita dekat dengan Dhamma. Jika kita mempunyai sati kita akan melihat anicca, ketidak-kekalan dari semua hal/benda. Kita akan melihat Sang Buddha dan mengatasi penderitaan samsara, jika tidak sekarang maka pada saat lain di masa yang akan datang.

        Jika kita membuang sifat-sifat dari Para Ariya, Sang Buddha atau Sang Dhamma, praktek kita akan mandul dan tak berbuah. Kita harus merawat praktek kita terus-menerus, apakah kita sedang bekerja, duduk, atau hanya berbaring. Ketika mata melihat bentuk, telinga mendengar suara, hidung mencium bau, lidah merasakan cita-rasa, atau badan mengalami sentuhan… dalam semua itu, jangan buang Sang Buddha, jangan menyimpang dari Sang Buddha.

        Ini adalah seorang yang sudah dekat pada Sang Buddha, yang setiap saat memuja Sang Buddha. Kita mengenal berbagai cara untuk memuja Sang Buddha, seperti di pagi hari mengalunkan "Araham Samma Sambuddho Bhagava" …Ini merupakan satu cara untuk memuja Sang Buddha tetapi bukan memuja Sang Buddha dalam cara yang mendalam seperti yang telah saya jelaskan di sini. Begitu pula denga kata "bhikkhu". Jika kita mendefinisikannya sebagai "orang yang meminta" maka mereka akan tetap meminta… karena ia diartikan seperti itu. Untuk mengartikannya dengan cara yang terbaik, kita seharusnya mengatakan "Bhikkhu adalah orang yang melihat bahayanya samsara".

        Begitu pula dengan memuja Sang Buddha. Memuja Sang Buddha hanya dengan mengucapkan ungkapan-ungkapan berbahasa Pali sebagai suatu upacara di pagi dan sore hari, dapat dibandingkan dengan mendefinisikan kata "Bhikkhu" sebagai "orang yang meminta". Jika kita condong pada anicca, dukkha, dan anatta (Ketidak-kekalan, Ketidak-sempurnaan, dan ketanpa-pemilikan.) maka kapan saja mata melihat bentuk, telinga mendengar suara, hidung mencium bau, lidah mengecap rasa, badan mengalami sentuhan, atau batin mengenali kesan-kesan mental, pada setiap saat, ini bisa dibandingkan dengan mendefinisikan kata "Bhikkhu" sebagai "orang yang melihat bahayanya samsara". Ini jauh lebih mendalam, menembus begitu banyak hal. Jika kita memahami ajaran ini kita akan tumbuh dalam kebijaksanaan dan pemahaman.

        Ini disebut patipada. Kembangkan sikap ini di dalam praktek, dan kalian akan berada di jalan yang benar. Jika kalian berpikir dan merenungkan dalam cara ini, meskipun kalian mungkin berada jauh dari guru kalian, kalian akan tetap dekat dengannya. Jika kalian hidup dekat dengan sang guru secara fisik tetapi batin kalian belum selaras dengan beliau maka kalian hanya akan menghabiskan waktu untuk mencari-cari kesalahannya atau memuji-muji beliau. Jika ia melakukan sesuatu yang kalian sukai, kalian akan mengatakan bahwa beliau baik, dan jika ia melakukan sesuatu yang tidak kalian sukai, kalian akan mengatakan ia tidak baik —dan sejauh itulah praktek kalian. Kalian tidak akan mencapai apapun dengan membuang-buang waktu mengamati orang lain. Tetapi jika kalian memahami ajaran ini kalian bisa menjadi seorang Ariya pada saat ini.

        Itulah mengapa pada tahun ini (tahun Buddhis 2522, atau tahun 1979 Masehi.) saya mengambil jarak dengan murid-murid saya, baik yang lama maupun yang baru, dan tidak memberikan banyak ajaran: sehingga kalian semua bisa sebanyak mungkin melihat berbagai hal untuk diri kalian sendiri. Untuk para bhikkhu baru, saya telah menetapkan jadwal dan aturan-aturan vihara, seperti: "jangan terlalu banyak bicara". Jangan melanggar aturan-aturan yang sudah ada, aturan-aturan yang membawa pada jalan kepada pemahaman, kepada hasil/pahala, dan Nibbana. Siapa pun yang melanggar aturan-aturan ini bukanlah seorang pelaksana sejati, bukanlah seseorang yang datang dengan tujuan murni untuk berlatih. Apakah yang bisa diharapkan oleh orang semacam itu untuk dilihat? Biarpun setiap hari ia tidur di dekat saya, ia tidak melihat saya. Biarpun ia tidur di dekat Sang Buddha, ia tak akan melihat Sang Buddha, jika ia tidak berlatih.

        Jadi mengenali Dhamma atau melihat Dhamma bergantung pada praktek. Punyailah keyakinan, murnikan batin kalian. Jika semua bhikkhu di vihara ini menempatkan kesadaran di dalam batin masing-masing, kita tidak perlu menegur atau memuji siapa pun. Jika kemarahan atau ketidaksukaan muncul, biarlah hal-hal itu pada batin saja, tetapi amatilah dengan cermat!

        Teruslah mengamati hal-hal itu. Selama masih ada sesuatu di sana berarti kita masih tetap harus bekerja keras dan menggerinda tepat di situ. Beberapa orang berkata, "Saya tak dapat memotongnya, saya tidak mampu melakukannya", jika kita mulai berkata seperti itu, di sini hanya akan ada segerombolan orang yang tidak berarti, karena tidak ada seorang pun yang berusaha memotong kekotorannya sendiri.

        Kalian harus berusaha. Jika kalian belum bisa memotongnya, galilah lebih dalam. Galilah kekotoran-kekotoran itu, ambillah mereka. Galilah mereka keluar walaupun mereka tampak keras dan bertahan. Dhamma bukanlah sesuatu yang bisa dicapai dengan mengikuti keinginan kalian. Batin kalian mungkin merupakan satu cara, sedangkan kebenaran adalah yang lainnya. Kalian harus melihatnya dari bagian muka dan meninjaunya dari bagian belakang. Itulah sebabnya saya katakan, "semua itu tidak pasti, semuanya berubah".

        Kebenaran dari ketidak-pastian ini, kebenaran yang singkat dan sederhana, yang secara bersamaan juga sangat mendalam dan tanpa cacat, cenderung diabaikan oleh orang-orang. Mereka cenderung melihat segala sesuatu secara berbeda. Janganlah melekat pada kebaikan, janganlah melekat pada keburukan. Mereka merupakan sifat dunia ini. Kita berlatih untuk bebas dari dunia ini, jadi bawalah keadaan-keadaan itu pada suatu akhir. Sang Buddha mengajarkan untuk meletakkan mereka, membuang mereka, karena mereka hanyalah menimbulkan penderitaan.



(www.kalyanadhammo.net)





Tidak ada komentar:

Posting Komentar