Sabtu, 29 September 2012

Membawa Sebuah Batu

“Melepas” sesungguhnya berarti demikian: Seperti ketika kita membawa sebuah batu yang berat. Selama kita membawanya, kita merasa berat. Tetapi kita tidak tahu apa yang harus kita lakukan terhadap batu tersebut,jadi kita terus membawanya. 

Ketika ada seseorang yang memberitahukan kita untuk membuang batu tersebut, kita berpikir, “Eh? Jika aku membuangnya,aku tidak akan mempunyai apa-apa lagi.” Jadi kita terus membawa batu tersebut. Kita tidak berniat untuk membuangnya.

Bahkan jika ada seseorang yang memberitahu kita, “Ayo.Buang batu itu. Kamu akan merasa lebih baik dan kamu akan mendapatkan keuntungan-keuntungan,” kita tetap tidak berniat membuang batu tersebut karena kita takut kita tidak akan mempunyai apa-apa lagi. 
Jadi kita terus membawa batu itu hingga kita merasa sangat lelah dan capek sehingga kita tidak mampu membawanya lagi.


Baru pada saat itulah kita membuangnya.Hanya pada saat kita melepaskannya baru kita akan
memahami melepas. Kita akan merasa tenang. Dan kita dapat merasakannya di dalam diri kita betapa berat rasanya membawa batu itu. Tetapi ketika kita sedang membawa batu itu, kita tidak memahami semua manfaat yang dapat kita peroleh dari melepaskannya.


(Insight Vidyâsenâ Production)

Sebuah Duri


Segala sesuatu adalah sesederhana sebagaimananya mereka. Mereka tidak memberikan kita penderitaan.Layaknya sebuah duri: Apakah sebuah duri yang tajam memberikan penderitaan bagi kita? Tidak. Ia hanyalah sebuah duri. Ia tidak akan memberikan penderitaan bagi siapapun. Tetapi jika kita menginjaknya, kita pasti akan merasa menderita.
Mengapa kita merasa menderita? Karena kita menginjak duri tersebut. Jadi penderitaan berasal dari diri kita sendiri.


(Insight Vidyâsenâ Production)

Jalan yang Sepi


Apapun yang ada di dalam pikiran: Jika kemampuan berpikir kita belum cukup bagus, kita tidak akan bisa melepaskannya. Dengan kata lain, terdapat dua sisi: sisi sebelah sini dan sisi sebelah sana. 
Orang-orang cenderung untuk berjalan di salah satu sisi ini. Akan sangat sulit menemukan orang yang berjalan di tengah kedua sisi tersebut. Jalan tengah ini adalah sebuah jalan yang sepi. Ketika ada cinta, kita berjalan di sisi cinta.Ketika ada rasa benci, kita berjalan di sisi benci. Jika kita coba berjalan dengan cara melepaskan rasa cinta dan benci, maka kita akan berada di sebuah jalan yang sepi. Kita tidak ingin mengikuti jalan sepi tersebut.


(Insight Vidyâsenâ Production)

Garam yang Tak Asin



Seorang bhikkhu yang menyatakan dirinya adalah sebagai seorang meditator suatu waktu datang ke sini dan memohon untuk tinggal di sini bersama saya. Dia bertanya mengenai cara kita berpraktek, dan saya memberitahu dia, “Jika kamu tinggal dengan saya,kamu tidak dapat menyimpan uang atau benda-benda berharga lainnya. Saya mengikuti Vinaya.”


Dia berkata bahwa dia mempraktekkan ketidakmelekatan.Saya berkata, “Saya tidak paham apa maksudmu.” Jadi dia bertanya, “Jika saya menggunakan uang tanpa kemelekatan, bisakah saya tinggal di sini?” Jadi saya berkata, “Tentu. Jika kamu dapat makan garam tanpa merasa bahwa garam tersebut asin, maka kamu bisa tinggal di sini. Jika kamu semata-mata menyatakan dirimu tidak melekat padahal kamu tidak merasa suka mematuhi peraturan-peraturan yang menjengkelkan kamu ini, maka akan sulit untuk tinggal di sini. Tetapi jika kamu dapat makan garam tanpa merasa garam tersebut asin, maka saya akan percaya padamu. Dapatkah kamu benar-benar memakan setengah potongan garam tanpa merasa asin?
Permasalahan ketidak-melekatan ini bukanlah sesuatu yang hanya bisa kamu katakan atau kamu duga. Jika kamu tetap berkata demikian, kamu tidak dapat tinggal bersama saya.”
Dan dia pun pergi.


(Insight Vidyâsenâ Production)

Jumat, 28 September 2012

Ayam dan Bebek



Dua orang manusia melihat seekor ayam dan seekor bebek. Orang pertama ingin ayam tersebut berubah menjadi seekor bebek, dan bebek tersebut berubah menjadi seekor ayam, tentu saja hal ini tidak bisa terjadi. Sepanjang hidup mereka, hal ini tidak akan dapat terjadi. Jika orang pertama tidak berhenti memikirkan hal ini, maka ia akan mengalami penderitaan. Orang kedua melihat ayam tersebut sebagai seekor ayam, dan bebek tersebut sebagai seekor bebek.Maka tidak akan ada masalah. Ketika pandangan-pandanganmu benar, maka tidak akan ada penderitaan.
Hal yang sama berlaku di sini. Anicca –segala sesuatu yang berbentuk adalah tidak kekal – kita ingin membuatnya menjadi kekal. Sepanjang mereka tidak kekal, kita merasa sedih. Seseorang yang melihat secara sederhana bahwa segala sesuatu yang tidak kekal adalah tidak kekal akan dapat memperoleh ketenangan.
Tidak akan ada masalah yang muncul.
Sejak hari kita dilahirkan kita telah lari menjauh dari kebenaran. Kita tidak ingin hal-hal berlangsung sebagaimana adanya, tetapi kita tidak bisa menghentikan mereka dari kebiasaan mereka. Itu adalah kebiasaan sebagaimananya mereka. Mereka tidak bisa
bergerak dengan cara lain. Hal ini seperti mencoba membuat seekor bebek menjadi seekor ayam. Bebek tersebut tidak akan pernah bisa sama seperti ayam. Ia adalah seekor bebek. Atau mencoba membuat seekor ayam sama seperti seekor bebek. Ayam tersebut tidak
akan pernah bisa sama seperti bebek. Ia adalah seekor ayam. Siapa saja yang berpikir dia ingin mengubah keadaan-keadaan seperti ini akan menderita. Tetapi jika kamu berpikir, “Oh, itu adalah demikian adanya,” kamu akan memperoleh kekuatan –bahwa bagaimanapun
kamu mencoba, kamu tidak akan bisa membuat tubuh ini kekal atau abadi.

Sungai



Seperti sungai yang mengalir turun ke daratan yang lebih rendah. Sudah menjadi sifat alami sungai untuk mengalir ke bawah. Sungai Ayutthaya, Sungai Muun–sungai apapun juga: 
mereka semua mengalir ke bawah bukit. Tidak ada satupun dari sungai tersebut yang
mengalir ke atas bukit. Itu adalah cara normal sungai mengalir.


Bayangkan apabila ada seorang laki-laki berdiri di tepi sebuah sungai, mengamati sungai tersebut mengalir dengan cepat ke bawah bukit, tetapi ia memiliki pikiran yang tidak benar. Dia ingin sungai tersebut mengalir ke atas bukit. Tentu ia akan menderita. Dia tidak akan
menemukan kedamaian. Ketika duduk, berdiri, berjalan,berbaring, dia tidak akan menemukan kedamaian.Mengapa hal ini terjadi? Karena pikirannya tidak benar.


(Insight Vidyâsenâ Production)

Belatung



Ketika kita mengembangkan pandangan benar dalam pikiran, kita akan tenang dimanapun kita berada.Dikarenakan kita masih memiliki pandangan salah,masih melekat pada buah-buah pikiran yang beracun,maka kita akan tidak tenang. Melekat pada pandangan yang salah adalah seperti menjadi seekor belatung.Dimana belatung tersebut tinggal adalah tempat yang
sangat kotor; makanannya sangat kotor. Itu adalah makanan yang tidak cocok untuk menjadi makanan–tetapi terlihat bahwa makanan tersebut sesuai dengan selera si belatung. 
Cobalah ambil sebatang tongkat dan sentil belatung tersebut menjauh dari kotoran dimana
dia makan, dan lihat apa yang terjadi. Belatung tersebut akan bergerak dan menggeliat, mencoba untuk kembali kepada tumpukan kotoran awalnya ia berada. Hanya ketika sudah sampai maka belatung itu akan merasa puas.


Sama halnya juga dengan kamu, para bhikkhu dan samanera. Kamu masih memiliki pandangan-pandangan yang salah. Para guru datang dan menasehati kamu bagaimana caranya untuk memiliki pandangan benar, tetapi hal itu terasa tidak benar bagi dirimu. Kamu terus berlari kembali ke tumpukan kotoranmu. Pandangan benar tidak terasa cocok karena kamu telah terbiasa dengan tumpukan kotoran lamamu. Selama si belatung tidak menyadari keadaan menjijikkan tempat dimana dia tinggal, ia tidak akan bisa keluar. 
Sama halnya dengan kita. Selama kita tidak melihat kekurangan dari pandangan-pandangan salah tersebut, kita tidak akan bisa lepas dari mereka. Mereka membuat kita menjadi sulit untuk mempraktekkan Dhamma.


(Insight Vidyâsenâ Production)

Kamis, 27 September 2012

Kudis


Sang Buddha berkata, “ Para Bhikkhu, apakah kamu
melihat sang serigala yang berlari di sekitar sini tadi
malam? Apakah kalian melihatnya? Berdiri tetap ia
menderita. Berlari tetap ia menderita. Duduk tetap ia
menderita. Berbaring tetap ia menderita. Masuk ke
dalam lubang sebuah pohon, tetap ia merasa menderita.
Pergi ke sebuah gua pun tetap ia merasa menderita.
Ia menderita karena ia berpikir, ‘Berdiri di sini tidak
nyaman. Duduk di sini tidak nyaman. Berbaring di sini
tidak nyaman. Semak-semak ini tidak nyaman. Lubang
pohon ini tidak nyaman. Gua ini tidak nyaman.’ Jadi ia
terus berlari sepanjang waktu. Sesungguhnya, serigala
tersebut memiliki kudis. Ketidaknyamanan tersebut
tidak berasal dari semak-semak atau lubang pohon
atau gua, dari duduk, berdiri, ataupun berbaring.
Ketidaknyamanan tersebut berasal dari penyakit kudisnya.
Anda, para Bhikkhu sekalian juga sama.Ketidaknyamanan anda datang dari pandangan-pandangan yang salah. Anda memegang buah-buah pikiran yang beracun sehingga anda pun menderita karenanya. 
Anda tidak berusaha sekuat tenaga untuk membatasi indera-indera, sehingga anda pun menyalahkan hal-hal lain. Anda tidak mengetahui apa yang sedang terjadi di dalam diri anda. Ketika anda menetap di sini di Wat Nong Pah Pong, anda menderita.Anda pergi ke Amerika dan menderita. Anda pergi ke London dan menderita. Anda pergi ke Wat Bung Wai dan menderita. Anda pergi ke setiap cabang vihara dan menderita. Kemanapun anda pergi, anda menderita.
Penderitaan ini datang dari pandangan-pandangan salah yang masih berada dalam diri anda. Pandangan-pandangan anda adalah salah dan anda memegang buah-buah pikiran yang meracuni hati anda. Kemanapun anda pergi anda menderita. Anda seperti serigala tersebut.
Ketika anda telah sembuh dari penyakit kudis anda, dengan demikian, anda akan merasa tenang kemanapun anda pergi: tenang berada di tempat terbuka, tenang ketika berada di dalam hutan belantara. Saya sering memikirkan hal ini dan terus mengajarkannya kepada anda karena poin Dhamma ini sangatlah berguna.


(Insight Vidyâsenâ Production)

Anjing yang Berada di Atas Setumpuk Beras Bersekam


...Ibarat seekor anjing yang sedang berbaring di atas
setumpuk beras bersekam. Perutnya sedang berdeguk –
kriuk, kriuk- dan anjing tersebut berpikir, “Kemana saya
bisa memperoleh sesuatu untuk dimakan?” Perutnya
sangat lapar, jadi dia meloncat turun dari tumpukan
beras bersekam tersebut dan pergi mencari beberapa
sampah untuk dimakan.
Makanan tersebut telah tepat ada di tumpukan
tempatnya berbaring, tetapi anjing itu tidak
menyadarinya. Dia tidak melihat nasi. Dia tidak dapat
memakan beras bersekam.Meskipun kita memiliki pengetahuan, tapi bila tidak mempraktekkannya, kita tidak akan bisa memahaminya.
Kita sama bodohnya dengan anjing yang berada di atas tumpukan beras bersekam. 
Sungguh sangat menyedihkan. Beras yang dapat dimakan ada disana, tetapi tersembunyi oleh sekam –dalam bentuk yang sama, pembebasan itu ada di sini, tetapi tersembunyi oleh praduga-praduga kita.



(Insight Vidyâsenâ Production)

Guk ! Guk ! Guk !


Saya pernah melihat seekor anjing yang tidak mampu
memakan habis nasi yang telah saya berikan kepadanya,
jadi dia berbaring dan tetap menjaga nasinya di sana.
Anjing tersebut sangat kenyang sehingga ia tidak bisa
makan lagi, tetapi dia tetap berbaring sambil berjaga
di sana. Dia akan menunggu dan ngantuk, dan kadang-kadang dengan tiba-tiba memandang sekilas kepada
makanan yang tersisa tersebut. Jika ada anjing lain yang datang untuk makan, tidak peduli berapa besar ataupun kecil anjing tersebut, dia akan menggeram. 
Jika ayam-ayam datang untuk makan nasi tersebut, dia akan menggonggong: Guk! Guk! Guk! Perutnya sudah terasa akan pecah, tetapi dia tidak dapat membiarkan seekor hewan pun datang untuk makan. Anjing tersebut kikir dan hanya mementingkan diri sendiri.
Manusia juga bisa bersifat seperti itu. 
Jika mereka tidak mengetahui Dhamma, jika mereka tidak mempunyai kesadaran akan tugas-tugas mereka terhadap orang-orang yang di atas maupun di bawah mereka, jika pikiran-pikiran mereka dikuasai oleh kekotoran-kekotoran akan rasa tamak, marah, dan ketidaktahuan,maka bahkan ketika mereka sangat kaya mereka akan kikir dan hanya mementingkan diri sendiri. Mereka tidak tahu bagaimana cara berbagi. Mereka merasa sulit bahkan untuk memberikan dana kepada anak-anak miskin dan orang-orang tua yang tidak punya apapun untuk dimakan. Saya telah memikirkan tentang hal ini dan ia membuat saya berpikir bagaimana manusia-manusia tersebut begitu mirip dengan hewan pada umumnya. Mereka tidak mempunyai kebajikan sebagai seorang manusia sama sekali. Sang Buddha menamakan mereka manussa-tiracchano: manusia yang seperti binatang. Seperti itulah mereka karena mereka kurang akan niat bajik, rasa kasih, rasa turut berempati, dan ketenang-seimbangan.


(Insight Vidyâsenâ Production)

Perasaan bahwa Lenganmu Pendek

Ajaran-ajaran Buddha adalah tepat, mudah dimengerti,
dan sederhana, tetapi sulit bagi seseorang yang mulai
mempraktekkannya karena pengetahuannya tidak
mampu mencapai ajaran-ajaran tersebut. Sama halnya
seperti sebuah lubang: Ratusan dan ribuan orang akan
mengeluh bahwa lubang tersebut terlalu dalam karena
mereka tidak dapat mencapai dasarnya. Hampir tidak
mungkin akan ada seseorang yang berkata bahwa
masalahnya adalah lengannya yang terlalu pendek.
Sang Buddha mengajarkan kita untuk meninggalkan
segala bentuk kejahatan. Kita melewati bagian ini
dan langsung menuju pada membuat kebajikan tanpa
meninggalkan kejahatan. Ini sama halnya dengan
mengatakan bahwa lubangnya terlalu dalam. Sangat
sedikit orang yang mengatakan bahwa lengannyalah
yang terlalu pendek.


(Insight Vidyâsenâ Production)

Seekor Katak yang Tersangkut



Hewan-hewan tersangkut dalam jebakan dan perangkap
mengalami penderitaan. Mereka terikat, terperangkap
dengan kuat. Yang bisa mereka lakukan hanyalah
menunggu si pemburu datang dan menangkap mereka.
Seperti seekor burung yang terjebak dalam sebuah
perangkap: Perangkap tersebut menjerat lehernya,
dan sebesar apapun ia berjuang ia tidak dapat bebas.
Burung tersebut terus berjuang, memukul ke depan
dan ke belakang, tetapi ia tetap terperangkap. Yang
bisa ia lakukan hanyalah menunggu si pemburu. Ketika
pemburu datang, itulah dia. Itu adalah Mara. Burungburung
takut kepadanya; semua hewan takut kepadanya
karena mereka tidak dapat melarikan diri.Perangkap kita adalah pandangan, suara, bebauan,rasa, sensasi sentuhan, dan buah-buah pikiran. Mereka mengikat kita dengan kuat. Ketika kita melekat pada pandangan, suara, bebauan, rasa, sensasi sentuhan,dan buah-buah pikiran, kita seperti seekor ikan yang tersangkut pada sebuah kail. Pada kenyataannya, kita jauh lebih buruk daripada seekor ikan yang tersangkut pada kail. Kita lebih seperti seekor katak yang
tersangkut pada sebuah kail –karena ketika seekor katak menelan sebuah kail, maka kail tersebut akan masuk ke dalam ususnya. Sedangkan ketika seekor ikan menelan sebuah kail, maka kail tersebut hanya akan masuk ke dalam mulutnya.


(Insight Vidyâsenâ Production)

Menusuk Sarang Semut Merah



Hawa nafsu adalah seperti mengambil sebatang tongkat
dan menggunakannya untuk menusuk sebuah sarang
besar semut merah. Semakin sering kita menusuknya,
semakin banyak semut merah yang akan jatuh ke badan
kita, ke muka kita, ke mata kita, menyengat telinga kita,
dan mata. Tetapi kita tidak melihat kekurangan dari
apa yang kita sedang lakukan. Semuanya baik-baik saja
sepanjang kita dapat melihat. Pahami bahwa jika kamu
tidak dapat melihat kekurangan-kekurangan dari hal-hal
ini maka kamu tidak akan pernah bisa membebaskan
diri darinya.



(Insight Vidyâsenâ Production)