Jumat, 12 Oktober 2012

Konvensi dan Pembebasan


Segala sesuatu yg ada dunia ini hanyalah berupa konvensi (ketentuan, kesepakatan) yg kita buat sendiri. Setelah membuat dan merumuskan konvensi tsb, kita malah tersesat di dalamnya, dan menolak untuk melepaskannya, sehingga menimbulkan kemelekatan pada pandangan dan pendapat-pendapat pribadi. Kemelekatan ini tidak pernah berakhir, ia adalah samsāra, mengalir secara terus-menerus. Ia tidak memiliki penyelesaian. Sekarang, jika kita mengenali dan mengetahui realita konvensional ini, maka kita akan mengetahui Pembebasan. Jika kita mengetahui Pembebasan secara jelas, maka kita pun akan memahami apa itu konvensi. Ini adalah mengetahui Dhamma. Di sinilah letak penyelesaiannya. 

Ambillah contoh orang-orang. Sebenarnya, orang tidak memiliki nama, kita lahir telanjang di dunia. Jika kita memiliki nama, ia muncul karena konvensi. Saya sudah merenungkan hal ini dan melihat bahwa jika anda tidak memahami kebenaran dari konvensi ini, ia bisa menjadi benar-benar berbahaya. Ia hanyalah sesuatu yg kita gunakan untuk mempermudah kita saja. Tanpa konvensi, kita tidak mungkin bisa berkomunikasi, tidak ada yg bisa diucapkan, tidak ada bahasa apa pun. 

Saya mengamati orang-orang Barat ketika mereka duduk bermeditasi bersama-sama di negara-negara Barat. Ketika mereka berdiri setelah duduk bermeditasi, laki-laki dan perempuan secara bersamaan, kadang-kadang mereka mendekat dan saling menyentuh kepala (note: menyentuh kepala orang di Thailand biasanya dianggap sebagai penghinaan). Ketika saya melihat hal ini saya berpikir, "Ehh, jika kita terikat pada konvensi, ia menimbulkan kegelapan bathin di sana." Jika kita bisa melepaskan konvensi, melepaskan opini-opini kita, maka kita pun bisa damai. 

Seperti halnya para jenderal dan kolonel, orang-orang dari berbagai jabatan dan pangkat, yg datang mengunjungi saya. Ketika mereka datang mereka bilang, "Oh, tolong sentuh kepala saya." (note: di Thailand, dgn kepala disentuh oleh bhikkhu yg sangat dihormati, dipercaya dapat membawa keberuntungan). Jika mereka meminta hal-hal seperti ini, memang tidak ada yg salah, mereka senang jika kepala mereka disentuh. Tetapi jika anda menepuk kepala mereka di tengah jalan, itu lain lagi ceritanya! Ini adalah akibat dari kemelekatan. Jadi, saya merasa bahwa melepaskan adalah jalan yg benar-benar menuntun kepada kedamaian. Menyentuh kepala tidaklah sesuai dengan adat istiadat kita, tetapi sebenarnya itu tidak ada apa-apanya. Bila mereka memperbolehkan kepala mereka disentuh, maka tidak ada yg salah di sana, tidak ada bedanya dgn memegang kubis atau kentang. 

Menerima, melepaskan, merelakan - ini adalah jalan menuju penerangan. Di mana anda melekat, maka di sana pula ada kemunculan dan kelahiran. Ada bahaya di sana. Sang Buddha mengajarkan ttg konvensi dan beliau mengajarkan kita untuk melepaskan konvensi dgn cara yg benar, supaya kita bisa mencapai Pembebasan. 

Inilah kebebasan, tidak melekat pada konvensi. Segala sesuatu di dunia ini merupakan realita konvensional. Setelah membuat dan menetapkan konvensi-konvensi, seharusnya kita tidak tertipu oleh mereka, karena dgn terjebak di dalamnya akan benar-benar menuntun pada penderitaan. Peraturan-peraturan dan konvensi adalah poin yg sangat penting. Seseorang yg dapat melampaui mereka, akan melampaui penderitaan. 

Namun demikian, mereka adalah karakteristik dari dunia kita. Ambil contoh Pak Boonmah misalnya; dia dulunya hanya seorang masyarakat biasa saja, tetapi sekarang dia telah diangkat menjadi Komisioner Wilayah. Hal ini hanyalah sebuah konvensi saja, tetapi ini adalah konvensi yg seharusnya kita hormati. Ia adalah bagian dari dunia umat manusia. Jika anda berpikir, "Oh, sebelumnya kami adalah sahabat, kami dulu sama-sama bekerja di toko baju," dan kemudian anda pergi dan menepuk kepalanya di depan umum, dia akan marah. Itu tidak benar, dia akan merasa tersinggung. Jadi, kita seharusnya mengikuti konvensi-konvensi agar tidak menyinggung perasaan orang. Adalah bermanfaat untuk memahami konvensi, hidup di dunia memang seperti ini. Mengetahui tempat dan waktu yg tepat, mengetahui orangnya.
Mengapa adalah hal yg salah untuk melawan konvensi? Ia salah karena orang-orang! Anda harus pintar-pintar, memahami baik konvensi maupun Pembebasan. Mengetahui waktu yg tepat utk masing-masing. Jika kita tahu bagaimana menggunakan peraturan-peraturan dan konvensi-konvensi dgn tepat, maka kita pun menjadi telaten. 

Tetapi jika kita mencoba utk berprilaku menurut realita tingkat yg lebih tinggi namun pada situasi yg salah, maka ini menjadi keliru. Di mananya yg keliru? Ia keliru karena berbenturan dgn kegelapan bathin orang-orang, itulah dia! Semua orang memiliki kegelapan bathin. Di dalam situasi yg satu, kita berprilaku dgn cara yg ini, di dalam situasi yg lain, kita harus berprilaku dgn cara yg lain pula. Kita harus mengetahui plus minusnya, karena kita hidup di dalam konvensi-konvensi. Masalah-masalah muncul karena orang melekat kepadanya. Jika menganggap sesuatu menjadi seperti itu, maka jadilah ia seperti itu. Ia disana karena kita menganggapnya ada di sana. Tetapi jika anda memperhatikan lebih cermat, secara absolut sebenarnya hal-hal ini tidak ada.

Seperti yg sudah sering saya katakan, sebelumnya kita adalah umat awam dan kini kita adalah bhikkhu. Kita hidup di dalam konvensi "umat awam" dan kini kita hidup di dalam konvensi "bhikkhu". Kita adalah bhikkhu secara konvensi, bukan bhikkhu di dalam Pembebasan. Pada awalnya kita merumuskan konvensi-konvensi seperti ini, tetapi jika seseorang cuma ditahbiskan saja, ini tidak berarti dia sudah menaklukkan kegelapan bathinnya. Jika kita mengambil segenggam pasir dan sepakat utk menyebutnya garam, apakah ini menjadikannya garam? Ia memang garam, tetapi hanya sebutannya saja, bukan kenyataannya. Anda tidak bisa memakainya utk masak. Satu-satunya fungsinya hanya ada di dalam lingkup kesepakatan itu saja, karena pada kenyataannya tidak ada garam apa pun di sana, hanya pasir. Ia menjadi garam hanya karena kita menganggapnya begitu. 

Kata "Pembebasan" ini sendiri juga hanyalah sebuah konvensi saja, tetapi ia merujuk kepada hal-hal yg melampaui konvensi. Setelah mencapai kebebasan, setelah mencapai Pembebasan, kita tetap harus menggunakan konvensi utk merujuk kepadanya sebagai Pembebasan. Jika kita tidak memiliki konvensi, kita tidak bisa berkomunikasi. Jadi, ia memiliki kegunaan. 

Sebagai contoh, orang-orang memiliki nama yg berbeda-beda, tetapi mereka semua adalah sama-sama manusia. Jika kita tidak mempunyai nama utk membedakan yg satu dgn yg lain, dan kita mau memanggil seseorang yg berdiri di kerumunan orang, dan berteriak, "Hei, Orang! Orang!", itu tidak ada gunanya. Anda tidak bisa menandai siapa yg akan menyahut anda karena mereka semua adalah "orang". Tetapi jika anda memanggil, "Hei, John!", maka John akan muncul, yg lain tidak akan menjawab. Fungsi nama adalah untuk ini. Melalui nama, kita bisa berkomunikasi, ia menyediakan dasar bagi prilaku sosial. 

Jadi, anda seharusnya mengetahui baik konvensi maupun pembebasan. Konvensi memiliki kegunaan, tetapi sebenarnya tidak ada apa pun di sana. Bahkan orang pun tidak nyata. Mereka hanyalah sekumpulan unsur-unsur, yg lahir dari kondisi-kondisi penyebab, tumbuh berkembang sesuai kondisi, muncul utk sementara, dan selanjutnya hilang secara alamiah. Tidak ada seorang pun yg bisa melawan atau mengendalikannya. Tetapi tanpa konvensi, kita tidak punya apa pun untuk diucapkan, kita tidak akan punya nama, tidak berlatih, tidak bekerja. Aturan-aturan dan konvensi-konvensi itu dibuat agar kita punya bahasa, utk membuat segala sesuatunya jadi mudah, itu saja. 
Ambil contoh uang misalnya. Di zaman dahulu, tidak ada uang logam atau uang kertas, mereka tidak berharga. Orang biasanya tukar-menukar barang-barang, tetapi barang-barang itu sulit disimpan, jadi mereka pun menciptakan uang, dgn memakai koin dan kertas. Mungkin di masa depan akan muncul dekrit raja yg baru bahwa kita tidak perlu lagi menggunakan uang kertas, kita akan menggunakan lilin, yg dicairkan dan kemudian dibentuk menjadi gumpalan-gumpalan. Kita menyebutnya uang dan memakainya di seluruh negeri. Jangankan lilin, mereka bahkan mungkin akan menggunakan tahi ayam sebagai mata uang lokal - semua yg lain tidak bisa menjadi uang, hanya tahi ayam saja! Lalu orang-orang akan berkelahi dan saling membunuh demi memperebutkan tahi ayam!

Begitulah adanya. Anda bisa memakai banyak contoh utk menggambarkan konvensi. Apa yg kita gunakan sebagai uang hanyalah sebuah konvensi yg kita buat, ia memiliki kegunaannya di dalam lingkup konvensi itu. Setelah dideklarasikan menjadi uang, jadilah ia uang. Tetapi sebenarnya, apakah uang itu? Tidak ada seorang pun yg bisa menjawab. Ketika di sana ada sebuah persetujuan dan kesepakatan yg populer tentang sesuatu, maka konvensi akan muncul utk mememenuhi kebutuhannya. Dunia adalah seperti ini.

Ini adalah konvensi, tetapi utk membuat orang-orang paham tentang Pembebasan, benar-benar sulit. Uang kita, rumah kita, keluarga kita, anak-anak kita dan sanak famili kita hanyalah konvensi-konvensi yg kita ciptakan, tetapi sebenarnya, bila dilihat dgn sinar Dhamma, mereka bukanlah milik kita. Mungkin setelah mendengar ini, kita merasa tidak begitu nyaman, tetapi kenyataannya adalah seperti itu. Hal-hal ini menjadi bernilai hanya melalui konvensi yg telah dibuat. Jika kita sepakat bahwa ia tidak bernilai apa pun, maka ia menjadi tidak ada nilainya. Jika kita memutuskan bahwa ia punya nilai, maka ia pun bernilai. Begitulah adanya, kita membawa konvensi ke dunia ini utk memenuhi kebutuhannya.

Bahkan tubuh kita ini bukan benar-benar milik kita, kita cuma menganggapnya seperti itu. Ia sebenarnya cuma anggapan kita saja. Jika anda mencoba mencari suatu jati diri yg nyata dan substansial di dalamnya, anda tidak akan bisa. Mereka hanyalah unsur-unsur yg muncul, berlanjut untuk sementara dan kemudian mati. Segala sesuatunya adalah seperti ini. Tidak ada yg nyata, tidak ada substansi yg nyata di dalamnya, tetapi tidak ada salahnya jika kita memakainya. Seperti sebuah cangkir. Pada suatu saat cangkir itu akan pecah, tetapi selama ia masih ada, anda seharusnya memakainya dan merawatnya baik-baik. Ia adalah alat untuk anda pakai. Jika ia pecah, maka timbul kesulitan. Jadi, walaupun ia pasti akan pecah, anda seharusnya merawatnya sebisa mungkin supaya tidak cepat pecah.

Jadi, kita mempunyai empat kebutuhan pokok (note: empat kebutuhan Sangha - makanan, jubah, obat-obatan, tempat tinggal) yg berulang kali diajarkan Sang Buddha utk direnungkan. Mereka adalah kebutuhan yg diperlukan oleh bhikkhu utk bisa melanjutkan latihannya. Selama anda masih hidup, anda harus bergantung padanya, tetapi anda seharusnya memahami mereka. Jangan melekat padanya, yg bisa memunculkan nafsu keinginan di dalam pikiran anda. 

Konvensi dan Pembebasan memiliki hubungan satu sama lain seperti ini secara terus-menerus. Walaupun kita memakai konvensi, jangan menganggapnya sebagai suatu kebenaran. Jika anda melekat padanya, penderitaan akan muncul. Seperti tentang benar dan salah, adalah sebuah contoh yg bagus. Beberapa orang menganggap salah menjadi benar dan benar menjadi salah, tetapi pada akhirnya siapa yg benar-benar mengetahui mana yg benar dan mana yg salah? Kita tidak tahu. Orang-orang yg berbeda-beda membuat konvensi yg berbeda-beda tentang mana yg benar dan mana yg salah, tetapi Sang Buddha mengambil penderitaan sebagai dasar acuannya. Jika anda ingin berdebat tentang hal ini, ia tidak akan berakhir. Yg satu bilang "benar", yg lain bilang "salah". Yg satu bilang "salah", yg lain bilang "benar". Sebetulnya kita sama sekali tidak tahu yg benar dan yg salah. Tetapi secara praktis, kita bisa mengatakan bahwa hal yg benar adalah tidak melukai diri sendiri dan pihak lain. Dengan cara ini, ia akan menjadi tujuan yg membangun bagi diri kita.
Jadi, pada akhirnya, aturan-aturan dan konvensi dan pembebasan, semuanya hanyalah dhamma-dhamma. Yg satu lebih tinggi dari yg lain, tetapi mereka berjalan beriringan. Tidak mungkin kita bisa memastikan bahwa segala sesuatunya seperti ini atau seperti itu, jadi Sang Buddha menyuruh kita utk membiarkannya saja. Biarkan saja ia sebagai hal yg tidak pasti. Betapapun anda menyukai atau membencinya, anda seharusnya memahaminya sebagai hal yg tidak pasti. 

Terlepas dari tempat dan waktu, keseleruhan praktek Dhamma akan mencapai penyelesaian di suatu tempat di mana tidak ada apa pun di sana. Ia adalah suatu tempat pelepasan, tempat kekosongan, tempat utk meletakkan segala beban. Inilah akhirnya. Ia bukan seperti orang yg berkata, "Mengapa bendera itu berkibar-kibar? Saya bilang itu karena angin." Orang yg lain berkata itu karena benderanya sendiri. Yg lain membantah dgn berkata itu karena angin. Tidak ada akhirnya! Sama seperti teka-teki kuno, "Yg mana yg muncul terlebih dahulu, ayam atau telur?" Tidak ada yg bisa menemukan jawabannya, ini adalah sifat alam. 

Semua yg kita bicarakan ini hanyalah konvensi saja, buatan kita sendiri. Jika anda memahami hal-hal ini dgn kebijaksanaan, maka anda akan memahami ketidakkekalan, penderitaan dan tanpa diri. Ini adalah pandangan yg menuntun kepada pencerahan. 

Anda tahu, melatih dan mengajari orang-orang dgn tingkat pemahaman yg berbeda-beda sangatlah sulit. Beberapa orang punya pemikiran tertentu, anda memberitahukan mereka sesuatu dan mereka tidak percaya kepada anda. Anda memberitahukan mereka kebenaran dan mereka bilang itu tidak benar. "Saya benar, anda yg salah...." Tidak ada akhirnya.

Jika anda tidak melepaskan, maka akan muncul penderitaan. Saya sudah pernah menceritakan tentang empat orang yg pergi ke hutan. Mereka mendengar seekor ayam berkokok, "Kukuruyukkkk!" Salah seorang di antara mereka bertanya-tanya, "Itu ayam jantan atau betina?" Tiga orang di antara mereka serentak berkata, "Itu ayam betina." Tapi seorang lagi tidak setuju, dia bersikeras itu adalah ayam jantan."Bagaimana bisa ayam betina berkokok seperti itu?" tanyanya. Teman-temannya pun membantah, "Ia punya mulut, bukan?" Mereka berempat pun berdebat dan terus berdebat sampai air mata mereka menetes, benar-benar marah, tetapi pada akhirnya mereka semua salah. Apakah anda menyebutnya ayam betina atau ayam jantan, itu hanyalah sebutan-sebutannya saja. Kita menciptakan konvensi-konvensi ini, menyatakan bahwa ayam jantan adalah seperti ini, ayam betina seperti itu; ayam jantan menangis seperti ini, ayam betina menangis seperti itu ..... dan beginilah kita terjebak di dunia ini! Ingatlah ini! Sebenarnya, jika anda bilang di sana tidak ada ayam betina dan tidak ada ayam jantan, maka itulah akhir dari semuanya. 

Di dalam realita konvensional, satu sisi adalah benar dan sisi yg lain salah, tetapi tidak akan pernah ada kesepakatan yg komplit. Berdebat sampai air mata menetes, tidak ada gunanya.

Sang Buddha mengajarkan untuk tidak melekat. Bagaimana kita melatih ketidakmelekatan? Kita berlatih hanya dgn melepaskan kemelekatan, tetapi ketidakmelekatan ini sangat sulit utk dipahami. Perlu kebijaksanaan yg kuat utk menyelidiki dan menembusnya, utk benar-benar mencapai ketidakmelekatan.

Apakah orang-orang bahagia atau sedih, puas atau tidak puas, tidak tergantung kepada apakah mereka punya banyak atau punya sedikit - tetapi ia tergantung pada kebijaksanaan. Segala kesulitan bisa dilampaui hanya melalui kebijaksanaan, dgn melihat kebenaran dari segala sesuatunya. 
Jadi, Sang Buddha menasehati kita utk menyelidiki, utk merenungkan. "Perenungan" ini artinya mencoba utk menyelesaikan masalah-masalah ini dgn benar. Ini adalah latihan kita. Seperti kelahiran, usia tua, sakit dan kematian - ini adalah peristiwa-peristiwa yg paling alamiah dan umum. Sang Buddha mengajarkan utk merenungkan kelahiran, usia tua, sakit dan kematian, tetapi beberapa orang tidak memahami hal ini. "Apanya yg perlu direnungkan?" mereka bilang. Mereka dilahirkan tetapi mereka tidak tahu apa itu kelahiran, mereka akan mati tetapi mereka tidak memahami kematian. 

Seseorang yg menyelidiki hal-hal ini secara terus-menerus, akan memahami. Setelah memahami, secara bertahap dia akan menyelesaikan masalah-masalahnya. Walaupun jika dia masih memiliki kemelekatan, jika dia punya kebijaksanaan dan memahami bahwa usia tua, sakit dan kematian adalah sifat-sifat dari alam, maka dia akan bisa meringankan penderitaan. Kita mempelajari Dhamma hanya utk ini saja - untuk mengobati penderitaan. 

Tidak banyak yg menjadi dasar dari agama Buddha, hanya ada kelahiran dan kematian dari penderitaan, dan hal inilah yg Sang Buddha katakan sebagai kebenaran. Kelahiran adalah penderitaan, usia tua adalah penderitaan, sakit adalah penderitaan dan kematian adalah penderitaan. Orang tidak melihat penderitaan ini sebagai kebenaran. Jika kita mengetahui kebenaran, maka kita pun mengetahui penderitaan. 

Rasa bangga akan pendapat-pendapat pribadi, perdebatan-perdebatan ini, tidak akan berakhir. Supaya pikiran kita bisa beristirahat, utk menemukan kedamaian, kita seharusnya merenungkan masa lalu kita, saat ini, dan hal-hal yg sedang menunggu kita kelak. Seperti kelahiran, usia tua, sakit dan kematian. Apa yg bisa kita lakukan utk terhindar dari hal-hal ini? Walaupun kita mungkin masih punya sedikit kekhawatiran, jika kita menyelidikinya hingga kita mengetahui sesuai dgn kebenaran, maka segala penderitaan akan mereda, karena kita tidak lagi melekat padanya.

( Ven.AJAHN CHAH )

Belajar dan Mengalami




Mari kita membahas tentang perbedaan antara belajar teori Dhamma dengan melaksanakan Dhamma. Belajar Dhamma yang benar hanya mempunyai satu tujuan yaitu untuk menemukan suatu jalan keluar dari ketidak-puasan kehidupan kita dan untuk mencapai kebahagiaan dan kedamaian untuk diri kita sendiri dan semua makhluk. Penderitaan kita mempunyai sebab untuk muncul dan berlanjut. Marilah kita menyadari proses ini. Apabila hati kita sedang tenang atau diam, ia disebut berada dalam keadaan normal; apabila pikiran bergerak, bentuk-bentuk pikiran lalu muncul. Kebahagiaan dan kesedihan merupakan bagian dari pergerakan sang pikiran, dari bentuk-bentuk pikiran yang tercipta. Begitu pula dengan ketidak-tenangan, nafsu keinginan pergi kesana-kemari. Jika engkau tidak mengerti pergerakan tersebut, engkau akan terperangkap di dalam bentuk-bentuk pikiran dan berada di dalam kekuasaannya.

Oleh karena itu, Sang Buddha mengajarkan kita untuk mengawasi pergerakan sang Pikiran. Dengan memperhatikan pergerakan pikiran, kita akan melihat sifat-sifat asalnya, yakni: selalu berubah-ubah, tidak memuaskan, dan kosong. Anda harus selalu waspada dan merenungkan fenomena-fenomena mental ini. Dengan cara ini, Anda dapat memahami proses Hukum Sebab Musabab Yang Saling Bergantungan. Sang Buddha mengajarkan bahwa kebodohan adalah penyebab timbulnya seluruh fenomena duniawi dan seluruh keinginan kita. Keinginan menyebabkan timbulnya kesadaran, dan kesadaran seterusnya melahirkan pikiran dan jasmani. Inilah proses daripada hukum sebab musabab yang saling bergantungan.

Ketika pertama kali kita mempelajari agama Buddha, ajaran tradisi ini mungkin sangat masuk di akal kita. Tapi ketika proses tersebut terjadi di dalam diri kita, kepada mereka yang hanya membaca teori ajaran Sang Buddha maka mereka tak akan cukup cepat dapat mengikuti proses tersebut. Bagaikan sebiji buah yang jatuh dari pohon, kecepatan jatuh buah tersebut begitu cepat, sehingga bagi orang-orang tertentu tidak dapat mengatakan cabang-cabang mana saja yang dilewati oleh buah tersebut. Ketika perasaan senang muncul karena adanya kontak dengan sesuatu yang menyenangkan misalnya, maka mereka langsung diseret oleh sensasi dan tak dapat mengetahui bagaimana hal tersebut terjadi.

Sudah tentu, penjelasan secara sistematis mengenai proses yang terjadi ditulis dengan sangat tepat, tetapi pengalaman yang terjadi adalah di luar pelajaran yang tertulis. Pelajaran tertulis (teori) tidak dapat mengatakan kepada Anda bahwa "inilah" perasaan/pengalaman dari pengalaman timbulnya kebodohan; beginilah rasanya keinginan; inilah perasaan dari unsur-unsur jasmani dan batin yang berbeda-beda. Ketika Anda jatuh ke tanah dari dahan sebuah pohon, Anda tidak mengetahui dengan persis/detail berapa meter Anda jatuh; Anda hanya sadar sudah menyentuh tanah dan merasakan sakitnya saja. Tidak ada sebuah buku pun yang dapat menjelaskan hal tersebut.

Belajar Dhamma secara formal adalah dengan cara bertahap dan makin tinggi; tapi dalam kehidupan yang nyata ia tidaklah mengikuti alur jalan cuma satu. Itulah sebabnya, kita harus membuktikan/mengalami sendiri pada apa yang timbul dari dalam batin kita, dari kebijaksanaan kita yang paling dalam. Ketika kebijakan kita yang paling dalam —ia yang mengetahui—, mengalami kebenaran dari jalan hati/pikiran, akan menjadi jelaslah bahwa sang pikiran ternyata bukanlah diri kita. Bukan bagian kita, bukan saya, bukan milik saya, sehingga semua itu harus dibuang.
Seperti halnya yang telah kita pelajari tentang nama-nama dari semua unsur pikiran dan kesadaran, Sang Buddha tidak ingin kita menjadi melekat kepada kata-kata. Beliau hanya ingin agar kita melihat bahwa semua hal tersebut adalah tidak kekal, tidak memuaskan, dan kosong dari aku. Beliau mengajarkan hanya untuk melepas. Ketika hal-hal ini muncul, sadarilah mereka semua, dan ketahui mereka apa adanya. Hanya pikiran yang telah terlatih dengan sempurna yang dapat melakukan hal ini.

Bila pikiran sedang kacau, berbagai bentuk pikiran, rencana-rencana pikiran, dan reaksi-reaksi mulai timbul dari padanya, tumbuh dan berkembang terus-menerus. Biarkan saja mereka apa adanya, yang baik maupun yang buruk. Sang Buddha berkata dengan sederhana, "Biarkanlah mereka berlalu". Tapi bagi kita, adalah sangat perlu untuk mempelajari pikiran kita sendiri untuk mengetahui bagaimana caranya agar kita dapat melepaskan mereka.

Jika kita perhatikan model dari unsur-unsur batin, kita akan melihat bahwa ia mengikuti suatu pola yang alamiah: faktor-faktor mental adalah demikian, kesadaran muncul dan lenyap seperti ini, dan seterusnya. Kita dapat melihat di dalam latihan kita sendiri bahwa apabila kita mempunyai pengertian dan kesadaran yang benar, maka pikiran benar, ucapan benar, perbuatan benar, dan kehidupan benar otomatis mengikutinya. Unsur-unsur mental yang berbeda-beda muncul dari sesuatu —sumber yang mengetahui tersebut. Sesuatu yang mengetahui tersebut adalah bagaikan sebuah lampu. Jika pengertiannya benar, pikiran dan faktor-faktor lainnya akan benar pula, bagaikan cahaya yang bersinar dari sebuah lampu. Apabila kita mengawasi dengan penuh kesadaran, pengertian benar akan tumbuh. Bila kita memeriksa segala sesuatu tentang hal yang kita sebut Batin, kita akan melihat bahwa ia hanya merupakan penggabungan dari elemen-elemen mental, bukan diri. Lalu di mana kita dapat berpegang? Perasaan, ingatan, semua dari 5 skandha batin dan jasmani, adalah berubah-ubah seperti daun yang melayang-layang ditiup angin. Kita dapat merealisasi hal ini melalui meditasi.

Meditasi adalah seperti sebatang pokok kayu. Insight dan pemeriksaan diri adalah ujung yang satu dari kayu tersebut; ketenangan dan konsentrasi adalah ujung yang lainnya. Jika anda mengangkat seluruh batang kayu tersebut, kedua ujungnya terangkat bersamaan. Yang mana konsentrasi dan yang mana Insight? Semuanya hanya sang batin itu sendiri.

Anda tak dapat benar-benar memisahkan antara konsentrasi, ketenangan di dalam, dan Insight. Mereka adalah seperti sebuah mangga yang pada awalnya hijau dan kecut, kemudian berubah menjadi kuning dan manis, tetapi bukan merupakan 2 buah yang berbeda. Satu mangga yang berubah menjadi lainnya. Dari yang satu berubah menjadi yang lainnya; tanpa awal, kita tak akan pernah mendapatkan yang kedua. Pelajaran atau teori seperti ini hanyalah kaidah-kaidah untuk mengajar. Kita tidak seharusnya melekat kepada kata-kata atau istilah-istilah. Satu-satunya sumber dari kebenaran yang sesungguhnya adalah dengan melihat langsung ke dalam diri sendiri. Hanya dengan cara belajar seperti ini yang memiliki akhir, dan merupakan cara belajar tentang nilai yang sesungguhnya.
Ketenangan dari pikiran pada tahap awal konsentrasi, muncul dari latihan yang sederhana dari pemusatan pada satu titik. Tetapi ketika ketenangan ini berlalu, kita menderita karena kita menjadi melekat terhadap ketenangan tersebut. Menurut Sang Buddha, pencapaian ketenangan bukanlah merupakan akhir dari latihan. Kelahiran dan penderitaan masih terus ada.

Oleh karena itu, Sang Buddha menggunakan konsentrasi ini, ketenangan ini, untuk perenungan yang lebih lanjut. Beliau menyelidiki kebenaran dari benda-benda/segala sesuatu sampai Beliau tidak lagi melekat kepada ketenangan. Ketenangan hanyalah salah satu kebenaran yang relatif, salah satu dari bentuk-bentuk mental yang sangat banyak, hanyalah merupakan suatu tahapan dari sang Jalan. Jika Anda melekat kepadanya, Anda akan menemukan bahwa diri Anda masih terikat pada kelahiran dan perwujudan, berlandaskan pada kesenangan di dalam ketenangan. Ketika ketenangan lenyap, ketidak-tentraman akan muncul, dan Anda akan semakin melekat kepada ketenangan tersebut.

Sang Buddha terus menyelidiki kelahiran dan perwujudan, untuk melihat dari mana asalnya. Ketika Beliau belum mengetahui kebenaran dari benda-benda, Beliau menggunakan pikirannya untuk menyelidiki lebih lanjut, untuk memeriksa semua unsur batin yang muncul. Apakah tenang atau tidak, Beliau terus menyelidiki, menembusi, sampai akhirnya Beliau menyadari bahwa semua yang Beliau lihat, kelima skandha dari jasmani dan batin, adalah bagaikan bola api yang panas. Apabila semua permukaan bola merah tersebut panas, di manakah akan Anda temukan tempat yang dingin untuk berpegang? Adalah sama dengan kelima skandha, memegang pada salah satu daripadanya hanya akan menyebabkan penderitaan. Itulah sebabnya, Anda tidak seharusnya melekat kepada apapun, bahkan terhadap ketenangan atau konsentrasi sekalipun. Anda tidak semestinya mengatakan bahwa kedamaian atau ketenangan itu adalah Anda atau milik Anda. Dengan melakukan hal tersebut, hanya menyebabkan munculnya kesakitan pada ilusi diri, dunia dari kemelekatan dan kekhayalan, merupakan bola api panas yang lainnya.

Di dalam melakukan latihan, kecenderungan kita adalah untuk meraih dan mengambil pengalaman sebagai Aku dan milikku. Jika Anda berpikir: "Saya tenang, saya gelisah, saya baik atau buruk, saya bahagia atau tidak bahagia", kemelekatan ini akan menyebabkan lebih banyak lagi perwujudan dan kelahiran. Bila kebahagiaan berakhir, penderitaan muncul; bila penderitaan berakhir, kebahagiaan muncul. Anda akan melihat diri Anda tak henti-hentinya terombang-ambing di antara surga dan neraka.

Sang Buddha melihat bahwa kondisi dari pikiran-Nya adalah seperti itu, dan Beliau tahu, karena adanya kelahiran dan perwujudan maka kebebasan-Nya belumlah komplit. Sehingga Beliau mengambil semua unsur pengalaman ini dan merenungkan intisari kebenaran. Disebabkan oleh keinginan, maka kelahiran dan kematian timbul. Menjadi senang adalah kelahiran; menjadi kesal/benci adalah kematian. Setelah mati, kita lalu lahir; karena lahir, kita lalu mati. Kelahiran dan kematian dari satu saat ke saat yang lain adalah bagaikan berputarnya sebuah roda yang tak ada akhirnya.
Sang Buddha melihat bahwa apapun yang timbul dari pikiran adalah bersifat sementara, keadaan yang berkondisi, yang sesungguhnya adalah kosong. Ketika ini jelas bagi Beliau, Beliau lalu melepaskan, membiarkan, dan menemukan akhir dari penderitaan. Anda juga harus mengerti kebenaran ini. Bila Anda memahami segala sesuatu sebagaimana adanya, Anda akan melihat bahwa unsur-unsur pikiran ini adalah penuh dengan tipuan; sesuai dengan ajaran Sang Buddha bahwa batin/pikiran ini adalah tidak memiliki apa-apa/kosong pada awalnya, tidak timbul, tidak lahir, dan tidak mati bersama siapapun. Ia bebas, bersinar, gemerlapan, dan tidak bergantung pada apapun. Sang Pikiran menjadi bergantung hanya karena ia salah dimengerti dan dibungkus oleh kondisi-kondisi fenomena ini, khayalan salah tentang sang Aku.

Oleh karena itu, Sang Buddha menasihati kita untuk melihat ke dalam batin kita. Apakah yang muncul pada awalnya? Sebenarnyalah, tak ada apapun. Kekosongan ini tidak muncul dan mati dengan fenomena-fenomena yang ada. Bila ia kontak dengan sesuatu yang baik, ia tidak menjadi baik; bila ia kontak dengan sesuatu yang buruk, ia tidak menjadi buruk. Batin yang murni mengetahui obyek-obyek ini dengan jelas, mengetahui bahwa mereka bukanlah sesuatu yang penting.

Apabila batin para meditator ada pada kondisi ini, tak ada keragu-raguan yang akan muncul. Apakah ada pewujudan? Apakah ada kelahiran? Kita tak perlu bertanya kepada siapapun. Setelah memeriksa unsur-unsur dari batin, Sang Buddha lalu melepaskannya dan menjadi orang yang semata-mata sadar tentangnya. Beliau hanya melihat dengan keseimbangan. Keadaan yang menyebabkan kelahiran tidak lagi timbul pada diri-Nya. Dengan pengetahuan-Nya yang komplit/sempurna, Beliau menyebut mereka semuanya tidak kekal, tidak memuaskan, kosong dari Aku/Diri. Itulah sebabnya, Beliau menjadi seorang yang tahu dengan sempurna/Maha Tahu. Seseorang yang mengetahui, akan melihat sesuai dengan kesunyataan dan tidak menjadi gembira atau sedih terhadap keadaan yang berubah-ubah. Ini adalah kedamaian yang sejati, bebas dari kelahiran, usia tua, kesakitan, dan kematian; tidak terpengaruh oleh Hukum Sebab Akibat, atau kondisi-kondisi, di luar kebahagiaan dan penderitaan, di atas baik dan jahat. Tak ada yang dapat diucapkan tentang hal tersebut. Tak ada kondisi yang mendorongnya lagi.

Oleh karena itu, kembangkan samadhi, ketenangan dan pandangan terang/Insight; belajarlah untuk membuat mereka muncul di dalam batin Anda dan benar-benar dapat memanfaatkan mereka. Bila tidak, Anda mungkin hanya tahu ajaran-ajaran teori agama Buddha dan tahu maksud-maksudnya dengan lengkap, kemudian pergi berkeliling menjelaskan sifat-sifat dari kehidupan. Anda mungkin menjadi pintar, namun ketika suatu hal timbul di dalam batin/pikiran Anda, apakah Anda akan mengikutinya? Ketika Anda kontak dengan sesuatu yang Anda senangi, apakah Anda seketika menjadi melekat? Dapatkah Anda melepaskannya? Ketika hal yang tidak Anda sukai timbul, apakah Anda (sesuatu yang mengetahui) memegangnya di dalam pikiran, atau apakah akan membiarkannya berlalu? Jika Anda melihat sesuatu yang tidak Anda sukai dan masih memegangnya atau membencinya, Anda harus sadar bahwa ini tidak benar, belum yang tertinggi. Jika Anda menyelidiki pikiran Anda dengan cara seperti ini, Anda pasti benar-benar akan memahaminya.

Saya tidak berlatih dengan menggunakan buku; saya hanya melihat kepada sesuatu yang mengetahui ini (batin). Jika ia membenci seseorang, tanyakan mengapa? Jika ia mencintai seseorang, tanyakan mengapa? Periksalah segala sesuatu yang timbul tersebut lalu kembalikan kepada asalnya, maka Anda akan dapat memecahkan masalah dari kemelekatan dan kebencian dan membiarkan mereka berlalu dari diri Anda. Segala sesuatu akan kembali dan muncul dari sesuatu yang mengetahui (batin). Dan mengulangi latihan adalah paling penting.

Oleh: Yang Mulia Ajahn Chah 
[Dikutip dari Mutiara Dhamma VI ] 

Kamis, 11 Oktober 2012

8. Still, Flowing Water


  
Sekarang, harap perhatikan, jangan biarkan pikiran anda berkeliaran mengejar hal-hal lain. Timbulkan suatu perasaan bahwa seakan-akan anda sekarang sedang duduk di pegunungan atau di tengah hutan, hanya anda seorang diri. Apa yang sedang duduk di sini sekarang? Ada tubuh dan pikiran, itu saja, hanya kedua hal ini saja. Semua yang ditampung di dalam bingkai yang sedang duduk di sini sekarang disebut “tubuh”. “Pikiran” adalah yang menyadari dan berpikir pada saat ini. Kedua hal ini disebut “nama” dan “rupa”. Nama merujuk kepada sesuatu yang tidak memiliki ”rupa”, atau bentuk. Semua bentuk-bentuk pikiran dan perasaan, atau keempat khanda batin dari perasaan, persepsi, kehendak dan kesadaran, adalah nama, mereka semua tidak berbentuk. Ketika mata melihat bentuk, bentuk tersebut disebut rupa, sedangkan kesadaran disebut nama. Bersama-sama mereka disebut nama dan rupa, atau secara sederhana disebut tubuh dan pikiran.


Memahami bahwa yang sedang duduk di sini pada saat ini adalah hanya tubuh dan pikiran saja. Tetapi kita dibingungkan oleh kedua hal ini. Jika anda menginginkan kedamaian, anda harus mengetahui kebenaran tentang mereka. Pikiran dalam kondisi saat ini masih tidak terlatih; ia kotor, tidak jernih. Ia masih belum murni. Kita harus melatih pikiran ini lebih jauh lagi melalui praktek meditasi.

Beberapa orang berpikir bahwa meditasi artinya duduk dengan suatu metode khusus, tetapi pada kenyatannya berdiri, duduk, berjalan dan berbaring, semuanya adalah kendaraan untuk berlatih meditasi. Anda dapat berlatih pada setiap saat. Samadhi secara harfiah berarti “pikiran yang kokoh”. Untuk mengembangkan samadhi, anda tidak perlu memaksa dan mengurung pikiran anda. Beberapa orang mencoba untuk mendapatkan kedamaian dengan cara duduk diam dan tidak membiarkan apa pun menganggu mereka, tetapi itu sama saja dengan menjadi orang mati. Latihan samadhi adalah untuk mengembangkan kebijaksanaan dan pemahaman.

Samadhi adalah pikiran yang kokoh, pikiran yang terpusat. Pada titik yang mana ia terpusat? Ia terpusat pada titik keseimbangan. Itulah titiknya. Tetapi orang berlatih meditasi dengan mencoba untuk mendiamkan pikiran mereka. Mereka bilang,”Saya mencoba duduk bermeditasi tetapi pikiran saya tidak mau diam bahkan untuk semenit saja. Pada suatu saat ia akan berkeliaran ke tempat yang satu, di saat yang lain ia pergi ke tempat lain… Bagaimana saya bisa membuatnya berhenti?” Anda tidak perlu menghentikannya, bukan itu intinya. Di mana ada gerakan, di situ pula pemahaman akan muncul. Orang-orang mengeluh, ”Ia melarikan diri dan saya menariknya kembali; lalu ia pergi lagi dan saya menariknya kembali sekali lagi..” Jadi, mereka hanya duduk di sana sambil menarik-lepas menarik-lepas berulang-ulang seperti ini.

Mereka mengira pikiran mereka berlarian ke segala tempat, tetapi sebenarnya ia hanya kelihatan seolah-olah berlarian ke sana ke mari. Sebagai contoh, perhatikanlah ruangan ini… “Oh, ia begitu besar!” kata anda… sebenarnya ia tidaklah besar sama sekali. Apakah ia terlihat besar atau tidak, itu tergantung dari persepsi anda terhadapnya. Pada kenyataannya, ruangan ini memiliki ukuran yang seperti apa adanya, tidak besar ataupun kecil, tetapi orang-orang selalu berkutat pada perasaan mereka di setiap saat.

Bermeditasi untuk menemukan kedamaian… Anda harus memahami apa kedamaian itu. Jika anda tidak memahaminya, anda tak akan bisa menemukannya. Sebagai contoh, misalkan hari ini anda membawa sebuah pulpen yang sangat mahal ke vihara. Sekarang misalkan, dalam perjalanan anda ke mari, anda meletakkan pulpen tersebut di kantong depan anda, tetapi selanjutnya anda mengeluarkannya dan meletakkannya di tempat lain, seperti di kantong belakang. Sekarang, bila anda mencari di kantong depan anda… Ia tidak ada di sana! Anda pun menjadi takut. Anda takut karena kesalahpahaman anda, anda tidak melihat kebenaran dari hal tersebut. Penderitaan adalah hasilnya. Apakah sedang berdiri, berjalan, datang dan pergi, anda tidak dapat berhenti mencemaskan pulpen anda yang hilang tersebut. Pemahaman anda yang salah menyebabkan anda menderita. Memahami secara salah menyebabkan penderitaan… “Memalukan! Saya baru saja membeli pulpen tersebut beberapa hari yang lalu dan sekarang ia hilang!”
amun kemudian anda pun ingat, ”Oh, tentu saja! Ketika saya mandi, saya meletakkan pulpen tersebut di kantong belakang saya.” Segera setelah anda ingat, anda telah merasa lebih lega terlebih dahulu, tanpa perlu melihat pulpen itu. Anda lihat itu? Anda sudah bahagia terlebih dahulu, anda bisa berhenti mengkhawatirkan pulpen anda. Anda merasa yakin tentang pulpen anda sekarang. Sembari anda berjalan, anda mengarahkan tangan anda ke kantong belakang, dan itu dia. Pikiran anda telah menipu anda selama itu. Kekhawatiran muncul dari kebodohan anda. Kini, setelah melihat pulpen itu, anda telah melampaui keragu-raguan, kekhawatiran anda telah ditenangkan. Kedamaian jenis ini muncul dari penglihatan akan penyebab masalah, samudaya, penyebab dari penderitaan. Segera setelah anda ingat bahwa pulpen tersebut ada di kantong belakang anda, di sana ada nirodha, akhir dari penderitaan.

Jadi, anda harus merenungkan untuk menemukan kedamaian. Apa yang biasanya orang-orang maksudkan tentang kedamaian hanyalah menenangkan pikiran, bukan menenangkan kekotoran batin. Kekotoran batin hanya ditaklukkan untuk sementara, seperti rumput yang ditutupi dengan sebongkah batu. Dalam tiga atau empat hari, anda mengangkat batu tersebut dari rumput dan dalam waktu yang tidak lama, ia tumbuh lagi. Rumput itu tidak benar-benar mati, ia hanya ditekan saja. Sama halnya ketika sedang duduk bermeditasi: pikiran tenang tetapi kekotoran tidak benar-benar tenang. Oleh karena itu, samadhi bukanlah sesuatu yang pasti. Untuk menemukan kedamaian sejati, anda harus mengembangkan kebijaksanaan. Samadhi adalah salah satu jenis kedamaian, seperti batu yang menutupi rumput… dalam beberapa hari, anda membuang batu itu dan rumput pun tumbuh kembali. Ini hanyalah kedamaian yang sementara saja. Kedamaian dari kebijaksanaan adalah seperti meletakkan batu dan tidak mengangkatnya lagi, hanya membiarkannya seperti itu. Rumput tidak akan mungkin tumbuh kembali. Inilah kedamaian yang sejati, menenangkan kekotoran batin, kedamaian yang pasti yang muncul dari kebijaksanaan.

Kita berbicara tentang kebijaksanaan (panna) dan samadhi sebagai hal-hal yang terpisah, tetapi pada intinya mereka adalah satu dan sama. Kebijaksanaan adalah fungsi dinamis dari samadhi; samadhi adalah aspek pasif dari kebijaksanaan. Mereka muncul dari tempat yang sama tetapi menuju arah yang berbeda, fungsi yang berbeda, seperti buah mangga ini. Sebuah mangga hijau yang kecil akan tumbuh semakin besar dan semakin besar sampai ia masak. Ini semua adalah mangga yang sama, yang besar dan yang masak, semuanya mangga yang sama, tetapi kondisinya yang berubah. Di dalam praktek Dhamma, kondisi yang satu disebut samadhi, kondisi yang selanjutnya disebut panna, tetapi dalam kenyataannya sila, samadhi, dan panna adalah sama, seperti mangga.

Di dalam latihan kita, tidak perduli aspek apa yang anda tuju, anda harus selalu memulai dari pikiran. Tahukah anda apa pikiran itu? Seperti apa pikiran itu? Apakah pikiran itu? Di manakah ia?... Tidak ada yang tahu. Yang kita tahu adalah bahwa kita ingin pergi ke sana atau ke mari, kita ingin yang ini dan kita ingin yang itu, kita merasa baik atau kita merasa buruk… tetapi pikiran sendiri kelihatannya mustahil untuk diketahui. Apakah pikiran itu? Pikiran tidak memiliki bentuk. Yang menerima kesan-kesan, apakah baik dan buruk, kita menyebutnya “pikiran”. Ia seperti pemilik rumah. Pemilik tersebut tinggal menetap di rumah ketika tamu-tamu datang mengunjunginya. Dialah yang menerima tamu-tamu. Siapa yang menerima kesan-kesan indera? Apa yang ia amati? Siapa yang melepaskan kesan-kesan indera? Itulah yang kita sebut “pikiran”. Tetapi orang tidak bisa melihatnya, mereka memikirkan diri mereka sendiri di dalam lingkaran… “Apakah pikiran itu, apakah otak itu?” … Jangan menjadi bingung akan hal-hal ini. Apa yang menerima kesan-kesan? Beberapa kesan yang ia suka dan beberapa yang ia tidak suka… Siapakah itu? Adakah seseorang yang menyukai dan tidak menyukai? Tentu saja ada, tetapi anda tidak bisa melihatnya. Itulah yang kita sebut “pikiran”.
Di dalam latihan kita, tidaklah perlu untuk berbicara tentang samatha (konsentrasi) atau vipassana (pandangan terang), sebut saja dia latihan Dhamma, itu sudah cukup. Dan lakukanlah latihan ini dari pikiran anda sendiri. Apakah pikiran itu? Pikiran adalah yang menerima, atau yang sadar akan, kesan-kesan indera. Dengan beberapa kesan indera ada reaksi menyukai, dengan yang lain ada reaksi tidak menyukai. Penerima kesan-kesan tersebut menuntun kita menuju kebahagiaan dan penderitaan, benar dan salah. Tetapi ia tidak memiliki bentuk apa pun. Kita menganggapnya adalah sesuatu, tetapi sebenarnya ia hanyalah namadhamma. Apakah “kebaikan” memiliki bentuk? Bagaimana dengan kejahatan? Apakah kebahagiaan dan penderitaan memiliki bentuk? Anda tidak bisa menemukan mereka…. Apakah mereka bulat atau persegi, pendek atau panjang? Bisakah anda melihat mereka? Ini adalah namadhamma, mereka tidak bisa dibandingkan dengan benda-benda bermateri, mereka tak berbentuk… tetapi kita tahu bahwa mereka itu ada.

Oleh sebab itu dikatakan agar mulai berlatih dengan menenangkan pikiran. Tempatkan kesadaran di dalam pikiran. Jika pikiran sadar, ia akan damai. Beberapa orang tidak mengembangkan kesadaran, mereka hanya menginginkan kedamaian, sejenis keadaan yang kosong melompong. Jadi mereka tak pernah mempelajari apa pun. Jika kita tidak memiliki “yang mengetahui” ini, apa lagi yang bisa dijadikan dasar latihan kita?

Jika tidak ada yang panjang, maka tidak ada yang pendek, jika tidak ada yang benar maka tidak akan ada yang salah. Orang-orang di zaman sekarang belajar, mencari yang baik dan yang jahat. Tetapi yang melampaui baik dan jahat, sama sekali tidak mereka ketahui. Semua yang mereka ketahui hanyalah benar dan salah. “Saya hanya akan mengambil yang benar saja. Saya tidak ingin mengetahui yang salah. Kenapa harus?” Jika anda mencoba untuk mengambil hanya yang benar saja, dalam waktu singkat ia akan menjadi salah lagi. Yang benar menuntun kepada yang salah. Orang terus mencari-cari di antara yang benar dan yang salah, mereka tidak mencoba menemukan yang tidak benar maupun yang tidak salah. Mereka mempelajari tentang kebaikan dan kejahatan, mereka mencari keluhuran, tetapi mereka sama sekali tidak mengetahui yang melampaui baik dan jahat. Mereka belajar tentang panjang dan pendek, tetapi yang tidak panjang maupun tidak pendek, sama sekali tidak mereka ketahui.

Pisau ini memiliki mata pisau yang tajam, bagian yang tidak tajam, dan gagang. Bisakah anda mengangkat hanya mata pisau yang tajam saja? Bisakah anda mengangkat hanya bagian yang tidak tajam saja dari mata pisau itu, atau gagangnya saja? Gagang, bagian yang tak tajam dan mata pisau yang tajam, semuanya adalah bagian dari pisau yang sama: ketika anda mengambil pisau tersebut, anda mendapatkan ketiga bagian itu sekaligus.

Dengan cara yang sama, jika anda mengambil yang bagus, maka yang buruk pasti mengikuti. Orang mencari kebaikan dan mencoba membuang yang jahat, tetapi mereka tidak mempelajari yang tidak baik maupun yang tidak jahat. Jika anda tidak mempelajari hal ini, maka tidak akan ada penyelesaian. Jika anda mengambil kebaikan, maka kejahatan akan mengikuti. Jika anda mengambil kebahagiaan, penderitaan pun mengikuti. Praktek kemelekatan terhadap kebaikan dan penolakan terhadap kejahatan adalah Dhamma anak-anak, seperti sebuah mainan. Tentu saja, itu tidak apa-apa, anda bisa mengambil hanya yang ini saja, tetapi jika anda menggenggam kebaikan, kejahatan pun akan mengikuti. Akhir dari jalan ini adalah kebingungan, ia tidaklah begitu bagus.

Ambil sebuah contoh sederhana. Anda memiliki anak – sekarang, anggap saja anda menginginkan untuk hanya menyayangi mereka saja dan tak pernah membenci mereka. Ini adalah pemikiran dari seseorang yang tidak mengetahui sifat alamiah manusia. Jika anda memegang erat pada cinta, kebencian akan mengikuti. Dengan cara yang sama, orang-orang memutuskan untuk belajar Dhamma guna mengembangkan kebijaksanaan, mempelajari yang baik dan yang jahat sedetil-detilnya. Sekarang, setelah mengetahui yang baik dan yang jahat, apa yang akan mereka lakukan? Mereka mencoba melekat pada kebaikan, dan kejahatan pun mengikuti. Mereka tidak mempelajari yang melampaui kebaikan dan kejahatan. Inilah yang seharusnya anda pelajari.
“Saya akan menjadi seperti ini,” “Saya akan menjadi seperti itu”… tetapi mereka tak pernah berkata “Saya tidak akan menjadi apa pun, karena tidak ada yang benar-benar merupakan “saya” di sana.” Yang ini tidak mereka pelajari. Semua yang mereka inginkan adalah kebaikan. Jika mereka mendapatkan kebaikan, mereka kehilangan kontrol diri di dalamnya. Jika hal-hal menjadi terlalu bagus, mereka akan mulai berkelakuan buruk, jadi orang-orang hanya mengayun ke kiri dan ke kanan seperti itu berulang-ulang.

Untuk menenangkan pikiran dan menjadi sadar terhadap yang mengamati kesan-kesan indera, kita harus memperhatikannya. Ikutilah “yang mengetahui.” Latihlah pikiran hingga ia menjadi murni. Sampai sejauh manakah kemurnian pikiran yang seharusnya anda latih ? Jika ia benar-benar murni, pikiran seharusnya melampaui kebaikan dan kejahatan, bahkan melampaui kemurnian. Ia telah selesai. Itulah saat di mana latihan telah selesai.

Apa yang orang-orang sebut sebagai duduk bermeditasi hanyalah jenis kedamaian yang sementara saja. Tetapi bahkan di dalam kedamaian seperti itu, terdapat pengalaman-pengalaman. Jika suatu pengalaman muncul, maka harus ada seseorang yang mengetahuinya, yang melihat ke dalamnya, mempertanyakan dan menyelidikinya. Jika pikiran hanya berada dalam keadaan kosong saja, maka itu tidaklah begitu berguna. Anda mungkin memperhatikan beberapa orang yang terlihat begitu tenang, dan berpikir mereka itu damai, tetapi kedamaian sejati bukan hanya pikiran yang damai saja. Ia bukan kedamaian yang berkata, “Semoga saya berbahagia dan tidak akan pernah mengalami penderitaan apa pun.” Dengan jenis kedamaian seperti ini, pada akhirnya bahkan pencapaian kebahagiaan pun akan menjadi tidak memuaskan. Penderitaan pun muncul. Hanya ketika anda bisa membuat pikiran anda melampaui kebahagiaan dan penderitaan sajalah maka anda akan menemukan kedamaian sejati. Itulah kedamaian sejati. Ini adalah topik yang tidak dipelajari kebanyakan orang, mereka tak pernah benar-benar memperhatikan hal yang satu ini.

Cara yang benar untuk melatih pikiran adalah dengan menjadikannya terang, untuk mengembangkan kebijaksanaan. Jangan berpikir bahwa melatih pikiran adalah hanya dengan duduk diam. Itu adalah batu yang menutupi rumput. Orang-orang dimabukkan olehnya. Mereka berpikir bahwa samadhi adalah duduk. Itu hanyalah salah satu kata untuk samadhi. Tetapi sebenarnya, jika pikiran memiliki samadhi, maka berjalan adalah samadhi, duduk adalah samadhi… samadhi di dalam posisi duduk, di dalam posisi berjalan, berdiri dan berbaring. Itu semua adalah latihan.

Beberapa orang mengeluh, “Saya tidak bisa bermeditasi, saya terlalu gelisah. Bilamana saya duduk, saya memikirkan ini dan itu… saya tak dapat melakukannya. Saya memiliki terlalu banyak kamma buruk. Saya seharusnya menghabiskan kamma buruk saya terlebih dahulu dan kemudian baru datang kembali dan mencoba bermeditasi.” Tentu, coba saja. Coba saja menghabiskan kamma buruk anda…

Beginilah caranya orang berpikir. Mengapa mereka berpikir seperti ini? Penghalang-penghalang ini adalah hal-hal yang harus kita pelajari. Bilamana kita duduk, pikiran segera pergi mengembara ke mana-mana. Kita mengikutinya dan mencoba membawanya kembali dan memperhatikannya sekali lagi… lalu ia akan pergi lagi. Inilah yang seharusnya anda pelajari. Kebanyakan orang tidak mau belajar dari alam… seperti murid sekolah yang bandel yang tidak mau mengerjakan pekerjaan rumahnya. Mereka tidak ingin melihat perubahan pikirannya. Bagaimana anda akan mengembangkan kebijaksanaan? Kita harus hidup dengan perubahan seperti ini. Ketika kita tahu bahwa pikiran adalah seperti ini, terus berubah… ketika kita tahu bahwa ini adalah sifat alaminya, kita akan memahaminya. Kita harus tahu ketika pikiran sedang memikirkan yang baik dan yang buruk, berubah terus setiap saat, kita harus mengetahui hal-hal ini. Jika kita memahami hal ini, maka bahkan ketika kita sedang berpikir, kita bisa menjadi damai.

Sebagai contoh, misalnya di rumah anda memiliki seekor monyet peliharaan. Monyet tidak akan diam untuk waktu yang lama, mereka suka melompat ke sana ke mari dan memegang benda-benda. Begitulah monyet adanya. Sekarang, anda datang ke vihara dan melihat monyet di sini. Monyet ini juga tidak bisa diam, ia juga melompat ke sana ke mari. Tetapi ia tidak menganggu anda, bukan? Mengapa ia tidak mengganggu anda? Karena anda telah memelihara monyet sebelumnya, anda tahu sifat-sifat mereka. Jika anda mengetahui sifat-sifat seekor monyet saja, tidak perduli berapa banyak propinsi yang anda kunjungi, tidak perduli berapa banyak monyet yang anda lihat, anda tidak akan terganggu oleh mereka, bukan? Ini adalah seseorang yang memahami monyet.


Jika kita memahami monyet, maka kita tak akan menjadi monyet. Jika anda tidak memahami monyet, mungkin anda sendiri akan menjadi monyet! Mengertikah anda? Ketika anda melihatnya memegang ini dan itu, anda berteriak, “Hey!” Anda marah… “Monyet sialan itu!” Ini adalah seseorang yang tidak memahami monyet. Seseorang yang memahami monyet melihat bahwa monyet yang ada di rumah dan monyet yang ada di vihara adalah sama. Mengapa anda harus terganggu oleh mereka? Ketika anda melihat sifat-sifat monyet adalah seperti itu, itu sudah cukup, anda bisa menjadi damai.

Kedamaian adalah seperti ini. Kita harus mengetahui kesan-kesan indera. Beberapa kesan indera menyenangkan, beberapa lagi tidak menyenangkan, tetapi itu tidak penting. Itu urusan mereka. Seperti monyet, semua monyet adalah sama. Kita memahami kesan-kesan tersebut, pada saat-saat tertentu bisa disetujui, di saat-saat yang lain tidak – itu hanyalah sifat-sifat alami mereka. Kita seharusnya memahami mereka dan mengetahui cara untuk melepaskan mereka. Kesan-kesan indera itu tidak pasti. Mereka tidak kekal, tidak sempurna dan tidak ada pemiliknya. Segala sesuatu yang kita amati adalah seperti ini. Ketika mata, telinga, hidung, lidah, tubuh dan pikiran menerima kesan-kesan, kita mengetahui mereka, seperti memahami monyet. Lalu kita bisa menjadi damai.

Ketika kesan-kesan indera muncul, ketahui mereka. Mengapa anda mengejar mereka? Kesan-kesan indera itu tidak pasti. Di menit ini mereka berada pada jalur yang satu, di menit yang lain sudah berganti jalur. Keberadaan mereka tergantung pada perubahan. Dan kita semua di sini, juga ada karena tergantung pada perubahan. Nafas keluar, lalu ia harus masuk kembali. Ia harus mengalami perubahan ini. Cobalah untuk hanya menarik nafas saja, bisakah anda melakukan itu? Atau coba untuk hanya menghembuskan nafas saja tanpa menarik nafas… dapatkah anda melakukannya? Jika tidak ada perubahan seperti ini, berapa lama anda bisa hidup? Harus ada kedua-duanya, nafas masuk dan nafas keluar.

Kesan-kesan indera juga sama. Harus ada hal-hal seperti ini. Jika tidak ada kesan-kesan indera, maka anda tidak dapat mengembangkan kebijaksanaan. Jika tidak ada yang salah, maka tidak akan ada yang benar. Anda harus benar terlebih dahulu sebelum anda bisa melihat yang salah, dan anda harus memahami yang salah terlebih dahulu untuk menjadi benar. Beginilah segala sesuatu itu adanya.

Bagi murid yang benar-benar tekun, semakin banyak kesan-kesan indera, semakin bagus. Tetapi kebanyakan meditator melarikan diri dari kesan-kesan indera, mereka tidak mau berurusan dengannya. Ini seperti murid sekolah yang bandel yang tidak mau pergi ke sekolah, tidak mau mendengarkan gurunya. Kesan-kesan indera ini mengajari kita. Ketika kita mengetahui kesan-kesan indera, maka kita mempraktekkan Dhamma. Kedamaian di dalam kesan-kesan indera adalah seperti memahami monyet-monyet di sini. Ketika anda memahami monyet-monyet itu sehingga anda tidak lagi merasa terganggu oleh mereka.
Mempraktekkan Dhamma adalah seperti ini. Dhamma tidak berada jauh di sana, ia ada bersama kita. Dhamma bukanlah tentang malaikat-malaikat di langit atau apa pun yang menyerupai itu. Ia hanyalah tentang kita, tentang apa yang sedang kita kerjakan sekarang. Perhatikan diri anda sendiri. Kadang-kadang ada kebahagiaan, kadang-kadang penderitaan, kadang-kadang nyaman, kadang-kadang sakit, kadang-kadang cinta, kadang-kadang benci… ini adalah Dhamma. Anda melihatnya? Anda seharusnya mengetahui Dhamma ini, anda harus membaca pengalaman-pengalaman anda.

Anda harus mengetahui kesan-kesan indera sebelum anda dapat melepaskan mereka pergi. Ketika anda melihat bahwa kesan-kesan indera itu tidak kekal, maka anda tidak akan direpotkan oleh mereka. Begitu suatu kesan indera muncul, cukup katakan kepada diri anda sendiri, “Hmmm… ini bukan hal yang pasti.” Ketika suasana hati anda berubah… “Hmmm, tidak pasti.” Anda bisa berdamai dengan hal-hal ini, sama seperti melihat monyet dan tidak merasa terganggu olehnya. Jika anda mengetahui kebenaran dari kesan-kesan indera, itu artinya mengetahui Dhamma. Anda melepaskan kesan-kesan indera, menyadari bahwa mereka semua tidak pasti.

Apa yang kita sebut ketidakpastian di sini adalah Sang Buddha. Sang Buddha adalah Dhamma. Dhamma adalah karakteristik dari ketidakpastian. Siapa pun yang melihat ketidakpastian dari segala sesuatu, akan melihat realita yang tidak berubah dari mereka. Seperti itulah Dhamma adanya. Dan itu adalah Sang Buddha. Jika anda melihat Dhamma, anda melihat Sang Buddha, melihat Sang Buddha, anda melihat Dhamma. Jika anda mengetahui aniccam, ketidakpastian, anda akan melepaskan segala sesuatu dan tidak melekat pada mereka.

Anda bilang, “Jangan pecahkan gelas saya!” Bisakah anda mencegah sesuatu yang bisa pecah agar tidak pecah? Jika ia tidak pecah sekarang, ia akan pecah di masa mendatang. Jika anda tidak memecahkannya, orang lain akan melakukannya. Jika orang lain tidak memecahkannya, salah satu dari ayam-ayam itu akan melakukannya! Sang Buddha berkata agar kita menerima hal ini. Beliau menembus kebenaran dari hal-hal ini, dengan melihat bahwa gelas sudah pecah terlebih dahulu. Bilamana anda memakai gelas ini, anda seharusnya merenungkan bahwa ia sudah pecah terlebih dahulu. Dapatkah anda memahami ini? Pemahaman Sang Buddha adalah seperti ini. Beliau melihat gelas yang sudah pecah di dalam gelas yang masih utuh. Bilamana waktunya tiba, ia akan pecah. Kembangkanlah pemahaman seperti ini. Pergunakan gelas tersebut, jagalah ia, sampai pada suatu hari, ia lepas dari pegangan anda… “Jatuh!” … tak ada masalah. Mengapa tidak ada masalah? Karena anda telah melihatnya pecah sebelum ia pecah!

Tetapi biasanya orang-orang berkata, “Saya sangat menyukai gelas ini, semoga saja ia tak akan pernah pecah.” Selanjutnya, seekor anjing memecahkannya… “Saya akan membunuh anjing sialan itu!” Anda membenci anjing itu karena memecahkan gelas anda. Jika salah seorang dari anak-anak anda memecahkannya, anda akan membenci mereka juga. Mengapa demikian? Karena anda telah menyumbat diri anda sendiri, air tidak dapat mengalir. Anda telah membuat bendungan tanpa pintu air. Satu-satunya yang bisa dilakukan bendungan itu adalah jebol, benar kan ? Bila anda membuat bendungan, anda harus membuat pintu air juga. Ketika air naik terlalu tinggi, air bisa mengalir dengan aman. Bila sudah penuh, anda membuka pintu air. Anda harus membuat katup pengaman seperti ini. Ketidakkekalan adalah katup pengaman bagi Para Suci. Jika anda memiliki ”katup pengaman” ini, anda akan damai.

Berdiri, berjalan, duduk, berbaring, berlatihlah terus-menerus, pergunakan sati untuk mengawasi dan melindungi pikiran. Ini adalah samadhi dan kebijaksanaan. Keduanya adalah sama, tetapi mereka memiliki aspek yang berbeda.
Jika kita benar-benar melihat ketidakpastian dengan jelas, kita akan melihat kepastian. Kepastian tersebut adalah bahwa segala sesuatunya, mau tidak mau harus menempuh jalan ini, tidak ada jalan lain. Pahamkah anda? Dengan hanya mengetahui hal ini saja, anda bisa mengenal Sang Buddha, anda bisa memberi penghormatan yang layak kepada beliau.

Selama anda tidak membuang Sang Buddha, anda tidak akan menderita. Begitu anda membuang Sang Buddha, anda akan mengalami penderitaan. Begitu anda membuang perenungan terhadap ketidakkekalan, ketidaksempurnaan dan ketanpapemilikan, anda akan mendapatkan penderitaan. Jika anda bisa mempraktekkan yang ini saja, itu sudah cukup; penderitaan tidak akan muncul, atau jika ia muncul anda dapat dengan mudah mengatasinya, dan ia akan menjadi faktor yang mencegah munculnya penderitaan di kemudian hari. Inilah akhir dari latihan kita, pada titik di mana penderitaan tak lagi muncul. Dan mengapa penderitaan tak lagi muncul? Karena kita telah mengatasi penyebab dari penderitaan, samudaya.

Sebagai contoh, jika gelas ini pecah, biasanya anda akan mengalami penderitaan. Kita tahu bahwa gelas ini akan menjadi penyebab penderitaan, jadi kita melenyapkan penyebabnya. Semua dhamma muncul dari suatu sebab. Mereka juga harus berakhir karena suatu sebab. Sekarang, jika ada penderitaan dikarenakan gelas ini, kita seharusnya melepaskan penyebabnya. Jika merenungkan sebelumnya bahwa gelas ini telah pecah terlebih dahulu, walaupun ketika ia tidak pecah, sebab-sebab tersebut telah berakhir. Ketika tidak ada sebab-sebab apa pun lagi, ketika penderitaan tidak lagi bisa muncul, ia telah berakhir. Inilah pengakhiran.

Anda tidak perlu melampaui titik ini, hanya ini saja sudah cukup. Renungkan ini di dalam pikiran anda. Pada dasarnya, anda seharusnya mengambil kelima aturan (note: Peraturan dasar moral untuk umat Buddha : menahan diri dari melakukan pembunuhan yang disengaja, pencurian, perzinahan, pendustaan dan memakai zat-zat yang menghilangkan kesadaran) sebagai acuan untuk bertingkah laku. Tidak perlu pergi mempelajari tipitaka, cukup pusatkan perhatian saja pada kelima aturan terlebih dahulu. Mula-mula anda akan melakukan kesalahan-kesalahan. Ketika anda menyadarinya, berhenti, kembali dan bangun serta jalankan lagi aturan-aturan anda. Mungkin anda akan tersesat dan melakukan kesalahan yang lain lagi. Ketika anda menyadarinya, bangunkan kembali diri anda.

Berlatih seperti ini, sati anda akan meningkat dan menjadi lebih konsisten, seperti air yang menetes dari ketel. Jika kita memiringkan ketel tersebut sedikit, tetesannya jatuh perlahan-lahan… plop!... plop!... plop!... Jika kita memiringkan sedikit lagi ketel tersebut, tetesannya menjadi semakin cepat… plop, plop, plop!!... Jika kita memiringkan ketel tersebut lebih jauh lagi, “plop” nya akan hilang dan air mengalir dengan teratur. Ke mana “plop-plop” tersebut pergi? Mereka tidak pergi ke mana-mana, mereka berubah menjadi aliran air yang teratur.

Kita harus membicarakan Dhamma seperti ini, dengan mempergunakan perumpamaan, karena Dhamma tidak memiliki bentuk. Apakah ia persegi atau berbentuk lingkaran? Anda tidak bisa menyebutnya. Satu-satunya cara untuk membicarakannya adalah dengan melalui perumpamaan seperti ini. Jangan berpikir bahwa Dhamma berada jauh dari anda. Ia berada tepat bersama anda, di sekeliling anda. Lihatlah… satu menit bahagia, kemudian sedih, lalu marah… semuanya adalah Dhamma. Lihat dan pahamilah. Apa pun yang menyebabkan penderitaan, anda seharusnya mengatasinya. Jika penderitaan masih ada di sana, lihat sekali lagi, anda masih belum melihatnya dengan jelas.

Jika anda bisa melihat dengan jelas, anda tak akan menderita, karena penyebabnya tidak akan berada di sana lagi. Jika penderitaan masih ada di sana, jika anda masih menahan penderitaan, itu artinya anda belum berada pada jalur yang benar. Di mana pun anda terjebak,
bilamana anda terlalu menderita, maka tepat di sanalah letak kesalahan anda. Bilamana anda begitu berbahagia, anda melayang-layang di awan… itu dia… salah lagi!

Jika anda berlatih seperti ini, anda akan memiliki sati di setiap saat, di setiap posisi tubuh. Dengan sati, perhatian penuh, dan sampajanna, kesadaran diri, anda akan mengetahui yang benar dan yang salah, kebahagiaan dan penderitaan. Dengan mengetahui hal-hal ini, anda akan tahu bagaimana cara menghadapi mereka.
Saya mengajar meditasi seperti ini. Bila tiba waktunya untuk duduk bermeditasi, maka duduklah, itu tidak salah. Anda seharusnya melatih ini juga. Tetapi meditasi bukan hanya duduk saja. Anda harus membiarkan pikiran anda untuk sepenuhnya mengalami berbagai hal, membiarkan mereka mengalir dan pelajari sifat alami mereka. Bagaimana seharusnya anda mempelajari mereka? Lihatlah mereka sebagai hal yang fana, tidak sempurna dan tidak ada pemiliknya. Semuanya tidak pasti. “Yang ini begitu indah, saya benar-benar harus memilikinya.” Itu bukan hal yang pasti. “Saya sama sekali tidak menyukai yang ini”… katakan pada diri anda sendiri, “Tidak pasti!” Benarkah ini? Tentu saja, tidak salah lagi. Tetapi mencoba menganggap segala sesuatu itu nyata… “Saya pasti akan mendapatkan benda ini”… Anda sudah keluar dari jalur. Jangan lakukan ini. Betapa pun besarnya rasa suka anda terhadap sesuatu, anda seharusnya merenungkan bahwa ia tidaklah pasti.

Beberapa jenis makanan kelihatannya begitu lezat, tetapi tetap saja anda seharusnya merenungkan bahwa ia bukanlah hal yang pasti. Ia mungkin kelihatannya begitu pasti, ia begitu lezat, tetapi tetap saja anda harus berkata pada diri anda sendiri, “Tidak pasti!” Jika anda ingin menguji apakah ia pasti atau tidak, cobalah menyantap makanan kesukaan anda setiap hari. Ya, setiap hari. Pada akhirnya anda akan mengeluh, “Ini tidak begitu lezat lagi.” Pada akhirnya anda akan berpikir, “Sebenarnya, saya lebih menyukai makanan yang itu.” Itu juga bukan hal yang pasti! Anda harus membiarkan segala sesuatu mengalir, sama seperti nafas masuk dan nafas keluar. Di sana harus ada kedua-duanya, nafas masuk dan nafas keluar, pernafasan bergantung pada perubahan. Segala sesuatu bergantung pada perubahan seperti ini.

Hal-hal ini ada bersama kita, bukan di tempat lain. Jika kita tidak lagi ragu-ragu, apakah sedang duduk, berdiri, berjalan, atau berbaring, kita akan senantiasa damai. Samadhi bukan hanya duduk saja. Beberapa orang duduk sampai mereka terbius. Mereka mungkin hampir sama seperti orang mati, mereka tidak bisa membedakan utara dan selatan. Jangan melakukannya dengan ekstrim. Jika anda merasa ngantuk maka berjalanlah, ganti posisi tubuh anda. Kembangkan kebijaksanaan. Jika anda benar-benar lelah, istirahatlah. Begitu anda bangun, segera lanjutkan latihan anda, jangan biarkan diri anda terbius. Anda harus berlatih seperti ini. Miliki pertimbangan, kebijaksanaan, kehati-hatian.

Mulailah berlatih untuk tubuh dan pikiran anda sendiri, melihat mereka sebagai hal yang tidak permanen. Segala sesuatu yang lain juga sama. Tanamkan hal ini di dalam pikiran ketika anda berpikir bahwa makanan itu begitu lezat… anda harus berkata pada diri anda sendiri, “Bukan hal yang pasti!” Anda harus menginjak-injaknya lebih dulu. Tetapi biasanya ia yang menginjak-injak anda setiap saat, bukan? Jika anda tidak menyukai sesuatu, anda akan menderita karenanya. Beginilah caranya mereka menginjak-injak kita. “Jika dia menyukai saya, saya pun menyukainya,” mereka menginjak-injak kita lagi. Anda tidak pernah memukulnya! Anda harus melihatnya seperti ini. Bilamana anda menyukai sesuatu, katakan saja pada diri anda sendiri, “Ini bukanlah hal yang pasti!” Anda harus melawan arus untuk melihat Dhamma.
Berlatihlah di dalam segala posisi tubuh. Berdiri, berjalan, duduk, berbaring… anda dapat mengalami kemarahan di dalam posisi apa pun, benar kan? Anda bisa marah ketika berjalan, ketika duduk, ketika berbaring. Anda bisa punya nafsu keinginan di dalam segala posisi tubuh. Jadi latihan kita harus mencakup seluruh posisi tubuh; berdiri, berjalan, duduk dan berbaring. Ia harus konsisten. Jangan hanya memamerkannya saja, lakukanlah dengan sungguh-sungguh.

Ketika duduk bermeditasi, beberapa kejadian mungkin muncul. Sebelum yang satu itu diatasi, yang lainnya berlomba-lomba untuk muncul. Bilamana hal-hal ini terjadi, katakan saja pada diri sendiri, “Tidak pasti, tidak pasti.” Injak saja ia sebelum ia memiliki kesempatan untuk menginjak anda.

Sekarang, ini adalah poin yang penting. Jika anda tahu bahwa segala sesuatu itu tidak kekal, semua pemikiran anda akan setahap demi setahap menjadi terbuka. Ketika anda merenungkan ketidakpastian dari segala sesuatu yang lewat, anda akan melihat bahwa segala sesuatunya menuju arah yang sama. Bilamana sesuatu muncul, satu-satunya yang perlu anda katakan adalah, “Oh, ada lagi!”

Pernahkah anda melihat air yang mengalir?... Pernahkah anda melihat air yang tenang?... Jika pikiran anda damai, ia akan menjadi seperti air tenang yang mengalir. Pernahkah anda melihat air tenang yang mengalir? Itu dia! Anda hanya pernah melihat air yang mengalir dan air yang tenang, bukan? Tetapi anda tidak pernah melihat air tenang yang mengalir. Tepat di sana, tepat di mana pikiran anda tidak bisa membawa anda, walaupun ia damai, anda bisa mengembangkan kebijaksanaan. Pikiran anda akan menjadi seperti air yang mengalir, namun ia juga tenang. Ia hampir seolah-olah tenang, namun ia mengalir. Jadi, saya menyebutnya “air tenang yang mengalir.” Kebijaksanaan bisa muncul di sini.


* Note : Ceramah ini diberikan di Wat Tham Saeng Phet, selama Masa Vassa tahun 1981.

* Dikutip dan diterjemahkan dari buku : “The Teachings Of Ajahn Chah”, sub judul : “Living Dhamma – Still, Flowing Water”

6. Hidup Di Dunia Dengan Dhamma


Kebanyakan orang masih saja tidak mengetahui inti dari latihan meditasi. Mereka mengira meditasi berjalan, meditasi duduk dan mendengarkan khotbah Dhamma itulah yang disebut berlatih. Itu ada benarnya juga, tetapi hal-hal ini hanyalah penampilan luar saja dari latihan. Latihan yang sebenarnya akan terjadi pada saat pikiran bertemu dengan objek-objek indera. Itulah tempat untuk berlatih, di mana kontak dengan indera terjadi. Bila orang-orang mengatakan hal-hal yang tidak kita sukai, maka akan ada kebencian, jika mereka mengucapkan kata-kata yang kita sukai, maka kita pun senang. Sekarang, di sinilah tempat untuk berlatih. Bagaimana kita akan berlatih dengan hal-hal semacam ini? Ini adalah titik yang sangat penting. Jika kita hanya berlari ke sana ke mari sambil mengejar kebahagiaan dan menghindar dari penderitaan di setiap saat, kita bisa saja berlatih hingga hari kematian kita, namun kita takkan pernah melihat Dhamma. Tidak ada gunanya. Ketika kesenangan dan kesengsaraan muncul, bagaimana kita akan menggunakan Dhamma untuk membebaskan diri dari mereka? Inilah tujuan dari latihan.

Biasanya, ketika orang berhadapan dengan sesuatu yang tidak sejalan dengan mereka, mereka tidak akan membuka diri terhadapnya. Seperti ketika orang dikritik: Jangan ganggu saya! Mengapa menyalahkan saya? Ini adalah seseorang yang telah menutup dirinya sendiri. Tepat di sanalah tempat untuk berlatih. Ketika orang mengkritik kita, kita seharusnya mendengarkannya. Apakah mereka berkata benar? Kita seharusnya terbuka dan mempertimbangkan apa yang mereka katakan. Mungkin ada tujuan di balik kata-kata mereka, barangkali memang ada sesuatu yang salah pada diri kita. Mereka mungkin saja benar namun kita dengan cepat menjadi tersinggung. Jika orang menunjukkan kesalahan kita, kita seharusnya berusaha untuk menghilangkan kesalahan tersebut dan memperbaiki diri kita sendiri. Beginilah caranya orang-orang yang cerdas akan berlatih.

Di mana ada kebingungan, maka di sana pula kedamaian bisa muncul. Bila kebingungan ditembus dengan pengertian, yang tersisa adalah kedamaian. Beberapa orang tidak bisa menerima kritik, mereka arogan. Mereka malah berbalik dan berdebat. Hal ini terjadi khususnya ketika orang-orang dewasa berhadapan dengan anak-anak. Sebenarnya, kadangkala anak-anak mungkin mengatakan beberapa hal yang cerdas, tetapi jika, katakanlah, kalian menjadi ibu mereka, kalian tak ingin menyerah begitu saja kepada mereka. Jika kalian adalah seorang guru, kadang-kadang murid-murid kalian mungkin mengatakan sesuatu yang tidak kalian ketahui, tetapi karena kalian adalah sang guru, maka kalian tidak mau mendengar. Ini bukanlah pemikiran yang benar.

Pada zaman Sang Buddha dulu, ada seorang murid yang sangat cerdas. Pada suatu waktu, ketika Sang Buddha sedang membabarkan Dhamma, beliau berpaling kepada bhikkhu ini dan bertanya, Sariputta, apakah kamu mempercayai ini? Yang Mulia Sariputta menjawab, Belum, saya belum mempercayainya. Sang Buddha memuji jawabannya. Bagus sekali, Sariputta, engkau adalah orang yang diberkahi dengan kebijaksanaan. Seseorang yang bijaksana, tidak langsung percaya, dia mendengarkan dengan pikiran yang terbuka dan kemudian mempertimbangkan kebenarannya sebelum mempercayai atau tidak mempercayainya.

Sekarang, di sini Sang Buddha telah memberikan contoh yang baik sebagai seorang guru. Apa yang dikatakan Yang Mulia Sariputta adalah benar, beliau hanya mengutarakan perasaannya yang sebenarnya. Beberapa orang akan berpikir bahwa untuk mengatakan kalian tidak percaya pada ajaran itu berarti sama seperti tidak menghormati guru tersebut, mereka takut mengatakan hal-hal semacam ini. Mereka hanya setuju dan menerima begitu saja. Beginilah jalan duniawi itu adanya. Tetapi Sang Buddha tidak tersinggung. Beliau mengatakan bahwa kalian tidak perlu merasa malu terhadap hal-hal yang tidak salah atau buruk. Tidak ada salahnya jika kalian berkata bahwa kalian tidak percaya kalau memang kalian tidak mempercayainya. Itulah sebabnya mengapa Yang Mulia Sariputta berkata, Saya belum mempercayainya. Sang Buddha memuji beliau. Bhikkhu ini memiliki kebijaksanaan yang tinggi. Dia mempertimbangkan dengan teliti sebelum mempercayai apa pun. Tindakan Sang Buddha di sini merupakan suatu contoh yang baik untuk mereka yang menjadi guru bagi yang lain. Kadangkala kalian bisa belajar sesuatu bahkan dari seorang anak kecil; jangan secara membuta melekat begitu saja pada posisi-posisi dalam hirarki kekuasaan.
Apakah kalian sedang berdiri, duduk, atau berjalan di berbagai tempat, kalian selalu dapat mempelajari hal-hal di sekitar kalian. Kita belajar dengan cara yang alamiah, bersifat terbuka pada segala sesuatunya, apakah mereka berupa penglihatan-penglihatan, suara-suara, bau-bauan, rasa-rasa kecapan, perasaan ataupun pikiran-pikiran. Orang yang bijaksana mempertimbangkan mereka semua. Di dalam latihan yang sebenarnya, kita menuju pada suatu titik di mana tiada lagi kekhawatiran apa pun di dalam batin.

Jika kita masih tetap tidak mengetahui rasa suka dan tidak suka begitu mereka muncul, itu artinya masih ada kekhawatiran di dalam batin kita. Jika kita tahu kebenaran dari semua ini, kita merenungkan, Oh, perasaan suka ini tidak ada apa-apanya. Ia hanyalah perasaan yang muncul dan pergi begitu saja. Ketidaksukaan itu tidak lebih dari suatu perasaan yang muncul dan pergi. Mengapa menganggap seolah-olah mereka itu ada? Jika kita mengira bahwa kesenangan dan kesengsaraan adalah milik pribadi, maka kita akan menghadapi masalah, kita takkan pernah keluar dari titik di mana kita mengalami kekhawatiran atau yang lainnya, di dalam suatu mata rantai yang tidak terputus. Beginilah keadaannya bagi kebanyakan orang.


Tetapi pada zaman sekarang, orang-orang tidak begitu sering membicarakan tentang batin ketika sedang mengajarkan Dhamma, mereka tidak membicarakan tentang kebenaran. Jika kalian berbicara tentang kebenaran, orang bahkan akan menyangkalnya. Mereka mengatakan hal-hal seperti, Dia tidak tahu waktu dan tempat, dia tidak tahu bagaimana cara berbicara yang sopan.Tetapi orang-orang seharusnya mendengarkan kebenaran. Guru yang sejati tidak hanya berbicara dari ingatannya saja, tetapi dia juga mengatakan kebenaran. Orang-orang di dalam masyarakat umum biasanya berbicara dari ingatan mereka saja, tetapi sebaliknya guru yang sejati berbicara tentang kebenaran. Orang-orang di dalam masyarakat umum biasanya berbicara dari ingatan mereka, dan yang lebih parah lagi mereka biasanya berbicara untuk memuja-muji diri mereka sendiri. Bhikkhu yang sejati tidaklah berbicara seperti itu, dia mengatakan kebenaran, tentang sifat-sifat sejati dari segala sesuatunya.

Tidak peduli sekeras apa pun usahanya untuk menjelaskan tentang kebenaran, sungguh sulit bagi orang-orang untuk memahaminya. Sungguh sulit untuk memahami Dhamma. Jika kalian memahami Dhamma, kalian seharusnya mempraktekkannya. Mungkin tidak perlu menjadi bhikkhu, walaupun kehidupan seorang bhikkhu adalah bentuk yang ideal untuk berlatih. Untuk benar-benar berlatih, kalian harus meninggalkan segala kebingungan di dunia ini, melepaskan keluarga dan harta milik, dan pergi ke hutan-hutan. Inilah tempat yang ideal untuk berlatih.

Tetapi jika kita masih memiliki keluarga dan tanggung jawab, bagaimana kita bisa berlatih? Beberapa orang bilang tidak mungkin mempraktekkan Dhamma selagi masih menjadi umat awam. Pertimbangkan hal ini, kelompok mana yang lebih besar, bhikkhu atau umat awam? Umat awam jauh lebih banyak. Sekarang, jika hanya bhikkhu-bhikkhu saja yang berlatih dan umat awam tidak, lalu itu artinya akan ada begitu banyak kebingungan. Ini adalah pemahaman yang salah. Saya tak bisa menjadi bhikkhu. Menjadi seorang bhikkhu bukanlah tujuan sebenarnya! Menjadi bhikkhu tidak mempunyai arti sama sekali jika kalian tidak berlatih. Jika kalian benar-benar memahami praktek Dhamma, maka tak peduli apa pun jabatan atau pekerjaan kalian sehari-hari, apakah itu guru, dokter, pegawai sipil atau apa pun itu, kalian dapat mempraktekkan Dhamma di setiap saat.

Untuk berpikir bahwa sebagai umat awam, kalian tidak bisa berlatih, itu artinya kalian telah kehilangan arah sama sekali. Mengapa orang-orang bisa punya motivasi untuk melakukan hal-hal yang lain? Jika mereka merasa kekurangan sesuatu, mereka berusaha untuk mendapatkannya. Jika ada keinginan yang cukup, orang dapat melakukan apa pun. Beberapa orang bilang, Saya belum ada waktu untuk mempraktekkan Dhamma.Saya katakan, Lalu bagaimana kalian bisa mempunyai waktu untuk bernafas? Bernafas itu sangat penting bagi kehidupan manusia. Jika mereka memandang praktek Dhamma sama pentingnya dengan hidup mereka, maka mereka juga akan memandang Dhamma sama pentingnya dengan nafas mereka.

Praktek Dhamma bukanlah sesuatu yang harus kalian kelilingi sambil berlari-lari atau sesuatu yang akan menghabiskan seluruh tenaga kalian. Perhatikan saja perasaan-perasaan yang muncul di dalam pikiran kalian. Bila mata melihat bentuk-bentuk, telinga mendengar suara-suara, hidung mencium aroma-aroma dan seterusnya, mereka semua bergerak menuju pikiran yang menyatu ini, yang mengetahui. Sekarang, ketika pikiran mengamati hal-hal ini, apa yang terjadi? Jika kita menyukai objek tersebut, kita akan merasa senang, jika kita tidak menyukainya, kita merasa tidak senang. Itu saja mereka adanya.

Jadi, di manakah kalian akan menemukan kebahagiaan di dunia ini? Apakah kalian mengharapkan agar setiap orang mengucapkan hanya kata-kata yang menyenangkan kalian saja sepanjang hidup kalian? Mungkinkah itu? Tidak, itu tidak mungkin. Jika tidak mungkin, lalu apa yang akan kalian lakukan? Dunia memang seperti ini, kita harus mengetahui dunia lokavidu mengetahui kenyataan dari dunia ini. Dunia adalah sesuatu yang seharusnya kita pahami dengan jelas. Sang Buddha hidup di dunia ini, beliau tidak hidup di tempat lain. Beliau menjalani kehidupan berkeluarga, tetapi beliau melihat keterbatasannya dan melepaskan diriNya dari mereka. Sekarang, bagaimana kalian sebagai umat awam, akan berlatih? Jika kalian ingin berlatih, kalian harus berusaha untuk mengikuti sang jalan. Jika kalian berusaha dengan tekun untuk berlatih, kalian juga akan melihat keterbatasan dunia ini dan akan mampu untuk melepaskannya.

Orang yang minum alkohol kadang-kadang berkata, Saya tidak bisa melepaskannya. Mengapa mereka tidak bisa melepaskannya? Karena mereka belum melihat kerugian yang ada di dalamnya. Jika mereka melihat dengan jelas kerugiannya, mereka tak akan menunggu hingga disuruh untuk melepaskannya. Jika kalian tidak melihat kerugian dari sesuatu, itu berarti kalian juga tidak dapat melihat manfaat dari melepaskannya. Latihan kalian menjadi sia-sia, kalian hanya bermain-main dengan latihan. Jika kalian melihat dengan jelas kerugian dan manfaat dari sesuatu, kalian tidak perlu lagi menunggu orang lain untuk memberitahukan kalian tentangnya. Coba renungkan cerita mengenai nelayan yang menemukan sesuatu pada jaring penangkap ikannya. Dia tahu ada sesuatu di sana, dia bisa mendengarnya menggelepar di dalam. Menyangka bahwa ia adalah ikan, dia menjulurkan tangannya ke dalam jaring, tetapi hanya menemukan jenis hewan yang lain. Dia belum bisa melihatnya, jadi dia menjadi ragu-ragu. Di tangan yang satu mungkin ikan belut (note: ikan belut dianggap sebagai makanan yang lezat di beberapa daerah di Thailand), tetapi lagi-lagi ia bisa saja seekor ular. Jika dia membuangnya, dia mungkin akan menyesalinya, ia bisa saja seekor ikan belut. Di pihak lain, jika dia terus memegangnya dan jika ternyata ia adalah seekor ular, ia bisa menggigit dirinya. Dia terjebak di dalam keragu-raguan. Nafsu keinginannya begitu kuat sehingga ia terus memegangnya, kalau-kalau saja ia adalah ikan belut, tetapi begitu dia mengangkatnya dan melihat kulit yang bercorak loreng-loreng, dia langsung melemparkannya ke bawah. Dia tidak perlu menunggu seseorang untuk berteriak, Itu seekor ular, itu seekor ular, lepaskan! Penglihatan akan ular, memberitahukan apa yang harus dilakukannya secara jauh lebih jelas daripada yang bisa dilakukan dengan kata-kata saja. Mengapa? Karena dia melihat bahaya, ular bisa menggigit! Siapa yang perlu memberitahukannya tentang hal ini? Dengan cara yang sama, jika kita berlatih hingga kita mampu melihat segala sesuatu sebagaimana adanya, kita tidak akan terlibat dengan hal-hal yang membahayakan.

Orang-orang tidak terbiasa berlatih seperti ini, mereka biasanya berlatih untuk hal-hal lain. Mereka tidak mempertimbangkan segala sesuatunya, mereka tidak merenungkan usia tua, sakit dan kematian. Mereka hanya berbicara tentang hal-hal yang tak berhubungan dengan usia tua dan kematian, jadi mereka tidak pernah mengembangkan perasaan yang benar terhadap praktek Dhamma. Mereka pergi dan mendengarkan khotbah Dhamma, tetapi mereka tidak sungguh-sungguh menyimaknya. Kadang-kadang saya diundang untuk memberikan ceramah pada acara-acara yang penting, tetapi hal itu hanya akan menjadi gangguan bagi saya saja untuk pergi ke sana. Mengapa demikian? Karena ketika saya memperhatikan orang-orang yang berkumpul di sana, saya bisa melihat bahwa mereka datang bukan untuk mendengarkan Dhamma. Beberapa orang ada yang mulutnya bau alkohol, ada yang merokok, ada yang sedang ngobrol. mereka sama sekali tidak terlihat seperti orang-orang yang telah meyakini Dhamma. Memberikan ceramah di tempat-tempat seperti itu sungguh kecil manfaatnya. Orang yang tenggelam dalam ketidakpedulian cenderung untuk berpikir hal-hal seperti, Kapan sih dia akan berhenti berbicara?... Tak bisa melakukan ini, tak bisa melakukan itu dan pikiran mereka pun berkeliaran ke mana-mana.

Kadang-kadang, mereka bahkan mengundang saya untuk memberikan ceramah hanya untuk sekedar formalitas belaka: Tolong berikanlah kami sedikit ceramah Dhamma saja, Yang Mulia.Mereka tidak ingin saya berbicara terlalu banyak, itu akan mengganggu mereka! Begitu saya mendengar orang-orang berbicara seperti ini, saya sudah tahu apa maksud mereka. Orang-orang ini tidak suka mendengarkan Dhamma. Itu akan mengganggu mereka. Jika saya hanya memberikan ceramah yang sedikit saja, mereka tak akan mengerti. Jika kalian mengambil sedikit saja makanan, apakah cukup? Tentu saja tidak.

Kadang-kadang, ketika saya sedang memberikan ceramah, dan baru saja memulai topik pembicaraan, beberapa orang pemabuk akan berteriak, Oke, berikan jalan, berikan jalan kepada Yang Mulia, dia akan keluar sekarang! mencoba untuk mengalihkan perhatian saya! Jika saya bertemu dengan orang seperti ini, saya mendapat banyak bahan-bahan untuk direnungkan, saya memperoleh suatu pencerahan akan sifat alami manusia. Seperti seseorang yang mendapat sebotol penuh air dan kemudian meminta lebih banyak lagi. Tidak ada tempat lagi untuk menampungnya. Itu semua tidak sepadan dengan waktu dan tenaga yang dihabiskan untuk mengajari mereka, karena pikiran mereka sudah penuh terlebih dahulu. Tuang lebih banyak lagi dan ia hanya akan meluap dengan sia-sia. Jika botol mereka kosong, akan ada tempat untuk menampung air, dan kedua-duanya, baik yang memberi maupun yang menerima, akan memperoleh manfaatnya.

Dengan cara ini, ketika orang-orang benar-benar tertarik pada Dhamma dan duduk dengan tenang, mendengarkan dengan seksama, saya merasa lebih terinspirasi untuk mengajar. Jika orang tidak memperhatikan, ia sama seperti orang dengan botol yang penuh dengan air, tidak ada ruang kosong lagi untuk menampungnya. Sungguh tidak setimpal dengan waktu yang dihabiskan untuk berbicara dengan mereka. Dalam situasi seperti ini, saya tidak punya tenaga sama sekali untuk mengajar. Kalian tidak bisa berusaha keras untuk memberi, bila tidak ada yang berusaha keras untuk menerima pula.

Pada zaman sekarang, memberikan ceramah cenderung menjadi seperti ini, dan ia menjadi semakin memburuk setiap saat. Orang-orang tidak mencari kebenaran, mereka belajar hanya untuk mendapatkan pengetahuan yang diperlukan untuk meniti karir, membangun keluarga dan menjaga diri mereka sendiri. Mereka belajar untuk sebuah mata pencaharian. Mungkin ada beberapa pelajaran Dhamma, tetapi tidak banyak. Para pelajar di zaman sekarang memiliki pengetahuan yang lebih luas dibandingkan pelajar-pelajar di masa lalu. Semua keperluan mereka dipenuhi, segala sesuatunya menjadi lebih menyenangkan. Tetapi mereka juga menjadi semakin bingung dan menderita dibandingkan sebelumnya. Mengapa demikian? Karena mereka hanya mencari jenis pengetahuan yang dipergunakan untuk meniti karir saja.

Bahkan para bhikkhu juga seperti ini. Kadang-kadang saya mendengar mereka berkata, Saya menjadi bhikkhu bukan untuk mempraktekkan Dhamma, saya ditahbiskan hanya untuk belajar. Ini adalah kata-kata dari seseorang yang telah menghentikan latihannya secara total. Tidak ada jalan lagi di depan sana, jalan buntu. Bila bhikkhu-bhikkhu ini mengajar, ia bersumber hanya dari ingatannya saja. Mereka mungkin mengajarkan sesuatu, tetapi pikiran mereka sepenuhnya berada di tempat lain. Cara mengajar seperti ini tidaklah benar.

Beginilah dunia ini. Jika kalian mencoba hidup sederhana, mempraktekkan Dhamma dan hidup dengan damai, mereka bilang kalian itu aneh dan tidak mau bermasyarakat. Mereka bilang kalian menghambat kemajuan di masyarakat. Mereka bahkan menakut-nakuti kalian. Pada akhirnya kalian bahkan mungkin mulai mempercayai mereka dan kembali kepada jalan duniawi, tenggelam lebih dalam dan lebih dalam lagi ke dalam dunia hingga tidak mungkin lagi untuk keluar. Beberapa orang berkata, Saya tidak bisa keluar sekarang, saya sudah masuk terlalu dalam. Inilah kecenderungan masyarakat. Mereka tidak menghargai nilai dari Dhamma.

Nilai dari Dhamma tidaklah untuk ditemukan di buku-buku. Itu hanyalah penampilan luar saja dari Dhamma, mereka bukanlah pemahaman Dhamma sebagai suatu pengalaman pribadi. Jika kalian memahami Dhamma, kalian memahami batin kalian sendiri, kalian melihat kebenaran di sana. Ketika kebenaran menjadi semakin jelas, ia akan menghentikan arus khayalan dan kebodohan.

Ajaran Sang Buddha adalah kebenaran yang tidak berubah, apakah di saat ini ataupun di waktu yang lain. Sang Buddha membabarkan kebenaran ini 2.500 tahun yang lalu dan sejak saat itu, ia menjadi kebenaran yang sejati. Ajaran ini seharusnya tidak ditambah atau dikurangi. Sang Buddha berkata, “Apa yang telah Tathagata paparkan seharusnya tidak dibuang, apa yang tidak dipaparkan oleh Tathagata seharusnya tidak ditambahkan ke dalam ajaran-ajaran ini”. Beliau menutup rapat-rapat ajaran-ajaran ini. Mengapa Sang Buddha menutup mereka rapat-rapat? Karena ajaran-ajaran ini adalah kata-kata yang berasal dari seseorang yang sudah tidak memiliki kekotoran batin. Tidak peduli bagaimana pun dunia ini berubah, ajaran-ajaran ini tidak akan terpengaruh, mereka tak akan berubah dengannya. Jika ada sesuatu yang salah, meskipun jika orang-orang mengatakan ia benar, tidak membuatnya menjadi berkurang salahnya. Jika sesuatu benar, itu tidak akan berubah hanya karena orang-orang mengatakan yang sebaliknya. Generasi demi generasi akan datang dan pergi, tetapi hal-hal ini tidak akan berubah, karena ajaran-ajaran ini adalah kebenaran.


Sekarang, siapakah yang menciptakan kebenaran ini? Kebenaran sendirilah yang menciptakan kebenaran! Apakah Sang Buddha menciptakannya! Tidak, beliau tidak menciptakannya. Sang Buddha hanya menemukan kebenaran, sifat-sifat sejati dari segala sesuatunya, dan kemudian membabarkannya. Kebenaran ini tetaplah benar, terlepas dari apakah seorang Buddha muncul di dunia atau tidak. Sang Buddha hanya memiliki Dhamma di dalam konteks ini, beliau tidak benar-benar menciptakannya. Ia telah ada di sini sepanjang masa, namun sebelumnya tidak ada seorang pun yang mencari dan menemukan Yang Tidak Mati tersebut, dan kemudian mengajarkannya sebagai Dhamma. Beliau tidak menciptakannya, ia telah ada di sana terlebih dahulu.


Pada beberapa masa, kebenaran ini bersinar terang dan praktek Dhamma pun berkembang. Seiring dengan berjalannya waktu dan berakhirnya generasi demi generasi, praktek ini menjadi menurun dan berkurang hingga ajaran tersebut sirna sama sekali. Setelah beberapa waktu, ajaran ini ditemukan kembali dan berkembang lagi. Waktu pun terus berlanjut, pengikut-pengikut Dhamma menjadi berlipat ganda, kesejahteraan pun tiba, dan sekali lagi ajaran ini mulai mengikuti kegelapan dunia. Jadi, untuk kesekian kalinya, ia merosot dan menurun, hingga pada suatu saat ia tidak mampu lagi bertahan. Kebingungan pun berkuasa kembali. Lalu kemudian tiba saatnya untuk membangun kembali sang kebenaran. Sebenarnya, kebenaran ini tidak pergi ke mana-mana. Ketika para Buddha wafat, Dhamma tidak ikut hilang bersama mereka.

Dunia berputar seperti ini. Mirip seperti pohon mangga. Pohonnya tumbuh besar, berbunga, dan buah-buah pun muncul dan berkembang hingga masak. Mereka membusuk dan benihnya kembali ke dalam tanah untuk menjadi pohon mangga yang baru. Perputarannya dimulai lagi. Pada akhirnya, terdapat lebih banyak buah-buah masak yang terus jatuh, busuk, terbenam di dalam tanah sebagai benih-benih dan tumbuh kembali menjadi pohon-pohon. Beginilah dunia. Ia tidak pergi terlalu jauh, ia hanya berputar di sekitar hal-hal yang sama.

Kehidupan kita di saat ini juga sama. Hari ini kita hanya melakukan hal-hal yang sama yang selalu kita lakukan pada hari-hari sebelumnya. Orang-orang berpikir terlalu banyak. Ada begitu banyak hal yang membuat mereka tertarik, tetapi tidak satu pun dari mereka yang menuntun kepada penyelesaian. Ada ilmu pengetahuan seperti matematika, fisika, psikologi dan seterusnya. Kalian bisa menggali mereka secara lebih mendalam, tetapi kalian bisa mengakhiri segala sesuatunya hanya dengan kebenaran.

Anggaplah ada sebuah pedati yang sedang ditarik oleh seekor keledai. Roda-rodanya tidak panjang, tetapi jejak rodanya lah yang panjang. Selama keledai itu menarik pedati tersebut, jejak rodanya akan mengikuti. Roda-rodanya bulat, namun jejaknya panjang; jejak rodanya panjang namun roda-rodanya hanya berupa bulatan saja. Hanya memperhatikan pedati yang tidak bergerak itu saja, kalian takkan dapat melihat apa pun yang panjang darinya, tetapi begitu keledai itu mulai bergerak, kalian melihat jejaknya yang membentang di belakang kalian. Selama keledai itu terus menarik, roda-rodanya pun terus berputar tetapi akan tiba saatnya ketika keledai itu lelah dan melepaskan tali penariknya. Si keledai angkat kaki dan meninggalkan pedati yang kosong itu di sana. Roda-rodanya tidak lagi berputar. Bila saatnya tiba, pedati tersebut akan tercerai berai, bagian-bagiannya akan terurai kembali menjadi keempat unsur-unsur tanah, air, angin dan api.

Mencari kedamaian di dunia adalah seperti kalian membentangkan jejak roda pedati secara terus-menerus tanpa akhir di belakang kalian. Selama kalian masih mengikuti dunia, tak akan ada penghentian, takkan ada istirahat. Jika kalian berhenti mengikutinya, pedati akan beristirahat, roda-rodanya tidak lagi berputar. Mengikuti dunia akan memutar roda-roda tersebut tanpa henti. Membuat kamma buruk adalah seperti ini. Selama kalian masih mengikuti cara yang lama, maka tidak akan ada penghentian. Jika kalian berhenti, maka akan ada penghentian. Beginilah cara kita mempraktekkan Dhamma.


Oleh : Venerable Ajahn Chah