Selasa, 22 Mei 2012

Bab 10. Transcendence






  Ketika kelompok lima pertapa ( Pancavaggiya Bhikkhu, atau "kelompok lima pertapa", yang mengikuti Sang Calon Buddha (Bodhisatta) ketika Beliau mengembangkan berbagai praktek pertapaan, serta yang meninggalkan Beliau ketika Beliau meninggalkan praktek tersebut menuju praktek Jalan Tengah, dan segera setelah itu Sang Bodhisatta mencapai Pencerahan Sempurna.) meninggalkan Sang Buddha, Beliau memandang hal itu sebagai pukulan yang menguntungkan, karena Beliau bisa melanjutkan praktek Beliau tanpa rintangan. Dengan lima orang pertapa yang hidup bersama Beliau, suasana mejadi tidak begitu tenang, Beliau menanggung berbagai tanggung-jawab. Kini kelima pertapa telah meninggalkan Beliau karena mereka merasa bahwa Beliau telah mengendurkan latihan dan kembali pada kesenangan. Sebelumnya Beliau sangat tekun pada praktek pertapaan dan penyiksaan diri. Dalam hal makan, tidur, dan sebagainya, Beliau telah menyiksa dirinya secara hebat, tetapi hal itu sampai pada satu titik di mana setelah diperiksa secara jujur, Beliau menyadari bahwa praktek-praktek seperti itu tidaklah bermanfaat. Ia hanyalah suatu pandangan, yang diptaktekkan atas dasar kesombongan dan kemelekatan. Beliau telah salah memandang nilai-nilai duniawi dan menduganya sebagai kebenaran.

Misalnya, jika seseorang memutuskan untuk menerjunkan dirinya dalam praktek pertapaan dengan tujuan untuk memperoleh pujian —praktek semacam ini semuanya merupakan "semangat duniawi", praktek untuk mendapatkan pujian dan kemasyhuran. Praktek dengan tujuan semacam ini disebut "menilai jalan duniawi sebagai kebenaran".

Cara lain yang salah dalam praktek adalah "menilai pandangan sendiri sebagai kebenaran". Kalian hanya mempercayai diri sendiri, mempercayai praktek kalian sendiri. Tidak peduli apa yang dikatakan orang lain, kalian melekat pada pilihan sendiri. Kalian tidak mempertimbangkan praktek dengan cermat. Ini disebut "menilai diri sendiri sebagai kebenaran".

Apakah kalian memandang dunia atau diri sendiri sebagai kebenaran, —semuanya hanyalah kemelekatan membuta. Sang Buddha melihat hal ini, dan melihat bahwa tidak ada "menyatu dalam Dhamma", praktek demi kebenaran. Sehingga prakteknya tidak memberikan hasil, ia tetap belum melepaskan kekotoran-kekotoran.

Selanjutnya Beliau berbalik dan mempertimbangkan kembali semua hal yang sudah Beliau praktekkan sejak awal ditinjau dari segi hasilnya. Apakah hasil dari semua praktek itu? Setelah memeriksa dengan seksama, Beliau menyadari bahwa hal itu salah. Hal itu penuh kesombongan, dan penuh dengan hal-hal duniawi. Di sana tak ada Dhamma, tak ada pandangan-terang tentang anatta (tanpa-pribadi), tak ada kekosongan atau pelepasan. Mungkin di sana ada sejenis pelepasan, tetapi ia adalah dari jenis yang masih belum melepas.

Setelah mempertimbangkan keadaan dengan berhati-hati, Sang Buddha melihat bahwa seandainya pun Beliau menjelaskan hal-hal ini pada kelima pertapa, mereka tak akan mampu untuk mengerti. Hal itu bukanlah sesuatu yang bisa secara mudah Beliau sampaikan kepada mereka, karena para pertapa itu masih sangat berakar pada cara lama dalam prakteknya dan dalam melihat segala sesuatunya.
Setelah mempertimbangkan dengan dalam, Beliau melihat praktek yang benar, samma patipada: batin adalah batin, jasmani adalah jasmani. Jasmani bukanlah nafsu-keinginan atau kekotoran-batin. Meskipun seandainya kalian melenyapkan si jasmani, kalian tidak akan melenyapkan kekotoran-kekotoran batin. Ia bukanlah sumbernya. Bahkan berpuasa dan tidak tidur sama sekali sampai jasmani memjadi layu mengerikan, tak akan melenyapkan kekotoran-kekotoran batin. Tetapi kepercayaan bahwa kekotoran bisa disingkirkan dengan cara itu, ajaran penyiksaan diri, sudah sangat mendarah daging pada kelima pertapa itu. 

Sang Buddha selanjutnya mulai makan lebih banyak, makan seperti biasa, praktek secara lebih wajar. Ketika kelima petapa melihat perubahan cara praktek Sang Buddha, mereka mengira bahwa Beliau sudah menyerah dan kembali pada kesenangan inderawi. Pemahaman seseorang telah bergeser ke arah yang lebih tinggi, yang melampaui penampilan, sedangkan orang lain melihat bahwa pandangan orang itu tergelincir ke bawah, kembali pada kenikmatan. Penyiksaan diri sangat melekat dalam batin kelima pertapa itu karena pada awalnya Sang Buddha telah mengajarkan dan berlatih seperti itu. Sekarang Beliau melihat kesalahan itu. Dengan melihat kesalahan tersebut secara jelas, Beliau mampu melepaskan hal itu. 

Ketika kelima pertapa melihat Sang Buddha melakukan ini mereka meninggalkan Beliau, karena merasa bahwa Beliau berlatih dengan salah dan mereka tak ingin mengikuti Beliau lagi. Tepat seperti burung yang meninggalkan pohon yang tidak bisa menyediakan tempat berteduh lagi, atau ikan yang meninggalkan kolam yang terlalu kecil, kotor atau dingin, demikianlah kelima pertapa meninggalkan Sang Buddha. 

Jadi sekarang Sang Buddha memusatkan pada perenungan terhadap Dhamma. Beliau makan lebih baik dan hidup secara lebih wajar. Beliau membiarkan batin sebagai batin, jasmani sebagai jasmani. Beliau tidak memaksakan praktek secara berlebihan, hanya sepantasnya untuk melepaskan cengkraman keserakahan, keengganan dan khayalan. Selanjutnya Beliau telah menjalani dua ekstrim: kamasukhallikanuyogo —jika timbul kebahagiaan atau cinta beliau akan terpikat dan melekat padanya. Beliau akan memihak padanya dan tak akan membiarkannya pergi. Jika Beliau menjumpai penderitaan Beliau akan melekat padanya juga. Kedua ekstrim ini Beliau sebut "kamasukhallikanuyogo" dan "attakilamathanuyogo". 

Sang Buddha telah memahami berbagai keadaan. Dengan jelas Beliau melihat bahwa kedua jalan ini bukanlah jalan bagi seorang samana. Melekat pada kebahagiaan, melekat pada penderitaan: seorang samana tidaklah seperti itu. Melekat pada hal-hal itu bukanlah Sang Jalan. Karena melekat pada hal-hal itu Beliau terikat pada pandangan tentang pribadi dan dunia. Seandainya Beliau terus menggeluti kedua jalan ini, Beliau tak akan pernah menjadi seorang yang memahami dunia dengan terang dan jelas. Beliau akan tetap berlari dari satu kelahiran ke kelahiran yang lain. Sekarang Sang Buddha memutuskan perhatian pada batin itu sendiri dan mencermati latihan itu. 

Semua segi dari alam berjalan sesuai dengan berbagai kondisi pendukungnya, mereka bukanlah merupakan persoalan di dalam dirinya sendiri. Misalnya penyakit dalam tubuh. Jasmani merasakan nyeri, sakit, demam, selesma dan sebagainya. Mereka semua muncul begitu saja. Sesungguhnya orang terlalu mencemaskan jasmaninya. Mereka begitu cemas dan melekat pada jasmaninya karena pandangan salah, mereka tak bisa melepaskannya. 

Lihatlah ruangan ini. Kita membangun ruangan ini dan mengatakan ini milik kita, tetapi cicak datang dan hidup di sini, tikus dan tokek datang dan hidup di sini, dan kita selalu mengusir mereka, karena kita menganggap bahwa ruangan ini milik kita, bukan milik tikus dan cicak. 

Begitu pula dengan penyakit di dalam tubuh. Kita menganggap tubuh ini sebagai rumah kita, sesuatu yang benar-benar milik kita. Jika kita terkena sakit kepala atau perut, kita terganggu, kita tidak menginginkan rasa nyeri dan penderitaan. Kaki ini "kaki kita", kita tidak menginginkan mereka terluka, tangan ini "tangan kita", kita tidak menginginkan mereka terluka. Kita melihat kepala sebagai "kepala kita", kita tak menginginkan ada yang salah padanya. Kita membelanjakan berapa pun untuk menyembuhkan semua rasa nyeri dan penyakit. 
Di sinilah kita dikelabui dan menyimpang dari kebenaran. Kita hanyalah pengunjung pada jasmani ini. Tepat seperti ruangan ini, sesungguhnya ia bukan milik kita. Kita hanyalah penyewa sementara, seperti para tikus, cicak, dan tokek... tetapi kita tidak mengetahuinya. Begitulah jasmani ini. Sang Buddha mengajarkan bahwa sesungguhnya tidak ada tempat pribadi di dalam jasmani ini, tetapi kita mengejar dan menangkapnya sebagai diri kita. Sebagai betul-betul "kita" dan "mereka". Ketika jasmani berubah, kita tidak menginginkannya seperti itu. Tak peduli sudah berapa kali kita diberitahu, kita tetap tidak memahaminya. Jika saya katakan secara langsung kalian bahkan akan lebih bingung. "Ini bukanlah dirimu sendiri", saya katakan demikian, dan kalian akan lebih tersesat, kalian akan lebih keliru dan praktek kalian hanya akan memperkuat sang diri/pribadi. 

Jadi pada umumnya orang-orang tidak benar-benar melihat sang diri ini. Ia yang melihat sang diri adalah ia yang melihat bahwa "ini bukanlah sang diri maupun menjadi milik pribadi". Ia melihat diri/pribadi sebagai apa adanya di semesta. Melihat pribadi melalui kekuatan kemelekatan bukanlah melihat yang sesungguhnya. Kemelekatan mengganggu seluruh pekerjaan. Tidaklah mudah untuk menyadari jasmani ini sebagai apa adanya karena upadana melekat kuat pada semuanya. 

Oleh karena itu dikatakan bahwa kita harus menyelidiki untuk mengetahui secara jelas dengan kebijaksanaan. Ini berarti menyelidiki sankhara (Sankhara: fenomena yang terkondisi. Penggunaan istilah ini dalam bahasa Thai biasanya secara khusus menunjuk pada jasmani, walaupun sankhara juga menunjuk pada perwujudan mental.) sesuai dengan sifat alamiah mereka. Gunakan kebijaksanaan. Mengetahui sifat alamiah sankhara adalah kebijaksanaan. Jika kalian tidak mengetahui sifat alamiah sankhara kalian selalu berselisih dengan mereka, selalu menolak mereka. Jadi, apakah lebih baik melepaskan sankhara ataukah berusaha menentang atau menolak mereka? Sekalipun demikian kita minta mereka dengan sangat untuk menuruti pengharapan-pengharapan kita. Kita mencari berbagai cara untuk mengatur mereka atau "membuat janji" dengan mereka. Jika jasmani sakit dan sedang merasa nyeri, kita tidak menginginkannya begitu, maka kita mencari berbagai Sutta untuk dialunkan, seperti Bojjhango, Dhammacakkap pavattanasutta, Anattalakkhanasutta, dan sebagainya. Kita tidak menginginkan jasmani dalam keadaan sakit, kita ingin melindunginya, mengendalikannya. Sutta-sutta ini menjadi suatu bentuk upacara mistik, yang menjadikan kita lebih terjerat di dalam kemelekatan. Ini karena mereka mengalunkan sutta/paritta untuk menangkal penyakit, untuk memperpanjang kehidupan dan sebagainya. Sesungguhnya Sang Buddha memberi kita ajaran-ajaran ini untuk melihat secara jelas tetapi kita akhirnya mengalunkan mereka untuk menambah khayalan kita. 

Rupam aniccam, vedana aniccam, sañña aniccam, sankhara aniccam, viññanam aniccam (Bentuk/jasmani adalah tidak kekal,perasaan tidaklah kekal, pencerapan tidaklah kekal, kehendak tidaklah kekal, kesadaran tidaklah kekal.)... Seharusnya kita tidak mengalunkan kata-kata ini untuk menambah khayalan kita. mereka merupakan renungan untuk membantu kita mengetahui kebenaran dari jasmani ini, sehingga kita bisa melepaskannya dan membuang kerinduan/keinginan kita. 

Ini disebut mengalunkan sesuatu untuk memotong, tetapi kita cenderung mengalunkan sesuatu untuk memperluasnya, atau bila kita merasa mereka terlalu panjang kita berusaha menyingkatnya, untuk memaksa semesta memenuhi pengharapan kita. Ini semua merupakan khayalan. Semua orang yang duduk di ruangan itu diperdaya, setiap orang dari mereka. Mereka yang mengalunkan diperdaya, mereka yang mendengarkan diperdaya, mereka semua diperdaya! Semua yang bisa mereka pikirkan adalah "Bagaimana kita bisa menghindari penderitaan?" Lalu di manakah mereka pernah berlatih? 
Ketika penyakit datang, mereka yang telah mengetahui tidak melihat adanya keanehan di sana. Dengan terlahirkan di dunia ini tentulah membawa pengalaman diserang peyakit. Bagaimanapun, bahkan Sang Buddha dan para Siswa Mulia, dalam perjalanan hidupnya terkena penyakit, dan juga, dalam perjalanan hidupnya mereka merawatnya dengan obat. Bagi mereka, hal itu hanyalah persoalan memperbaiki unsur-unsur. Mereka tidak melekat pada jasmani secara membuta atau terikat pada upacara-upacara mistik dan semacamnya. Mereka memperlakukan penyakit dengan Pandangan Benar, mereka tidak memperlakukannya dengan khayalan. "Jika ia sembuh, ya sembuh, jika tidak, ya tidak" —begitulah mereka melihatnya. 

Mereka mengatakan bahwa sekarang ini agama Buddha di Thailand sedang berkembang, tetapi bagi saya tampaknya agama Buddha merosot sangat jauh. Ruangan Dhamma penuh dengan telinga yang memperhatikan, tetapi mereka memperhatikan secara salah. Bahkan anggota masyarakat yang senior pun seperti itu, jadi setiap orang hanya menuntun yang lainnya ke dalam khayalan yang lebih besar. 

Orang yang memahami hal ini akan mengetahui bahwa praktek yang sejati hampir berlawanan dengan yang dikerjakan orang pada umumnya, kedua kelompok ini hampir tidak bisa saling memahami. Bagaimana orang-orang seperti itu akan mengatasi penderitaan? Mereka memiliki sutta/paritta untuk dapat menyadari kebenaran tetapi mereka berputar dan menggunakannya untuk memperbesar khayalan mereka. Mereka membelakangi jalan yang benar. Yang satu ke Timur, yang lainnya ke Barat —bagaimana mereka bisa bertemu? Mereka bahkan tidak menjadi lebih dekat satu dengan yang lainnya. 

Jika kalian telah memeriksanya kalian akan mengetahui begitulah persoalannya. Kebanyakan orang tersesat. Tetapi bagaimana kalian bisa memberitahu mereka? Segala sesuatu telah menjadi tatacara, upacara, dan upacara mistik. Mereka ber-chanting (mengalunkan sutta/paritta) tetapi mereka mengalunkan dengan kebodohan, mereka tidak mengalunkan dengan kebijaksanaan. Mereka belajar, tetapi mereka belajar dengan kebodohan, tidak dengan kebijaksanaan. Mereka mengetahui, tetapi mereka mengetahui dengan kebodohan, tidak dengan kebijaksanaan. Jadi mereka berakhir dengan kebodohan, hidup dengan kebodohan, mengetahui dengan kebodohan. Begitulah adanya. Dan mengajar... semua yang mereka kerjakan sekarang ini adalah mengajar orang-orang agar pandai, memberi mereka pengetahuan, tetapi jika kalian meninjau dari segi kebenaran, kalian melihat bahwa mereka benar-benar mengajar orang-orang untuk tersesat dan terikat pada muslihat. 

Dasar dari ajaran yang sebenarnya adalah untuk melihat atta sang diri/pribadi, sebagai kosong, tidak mempunyai identitas yang pasti. Ia tidak berisi sesuatu yang hakiki. Tetapi orang belajar Dhamma untuk memperkuat pandangan pribadi mereka, jadi mereka tidak ingin merasakan penderitaan atau kesulitan. Mereka ingin agar semuanya menyenangkan. Mereka mungkin ingin mengatasi penderitaan, tetapi jika masih tetap ada pribadi bagaimana mereka bisa melakukannya? 
Coba pikirkan... seandainya kita mempunyai satu benda yang sangat mahal. Tepat pada saat benda itu telah kita miliki pikiran kita berubah... "Sekarang, di mana saya bisa menyimpannya? Jika saya biarkan di sana seseorang mungkin mencurinya" ...Kita menyusahkan diri sendiri dalam suatu keadaan, berusaha menemukan tempat untuk menyimpannya. Dan kapankah pikiran itu berubah? Ia berubah pada saat kita mempunyai benda tadi —penderitaan segera timbul. Tidak peduli di mana kita meninggalkan benda tadi kita tidak bisa santai, jadi kita mewarisi persoalan. Apakah ketika sedang duduk, berjalan, atau berbaring, kita tenggelam di dalam kecemasan.

Inilah penderitaan. Dan kapankah ia timbul? Ia timbul segera setelah kita mengerti bahwa kita telah mendapatkan sesuatu, di sanalah letak penderitaan. Sebelum kita memiliki benda itu tidak ada penderitaan. Ia belum muncul karena belum ada benda baginya untuk dilekati.

Atta, sang diri, juga begitu. Jika kita berpikir dengan pola "diriku", maka segala sesuatu di sekeliling kita menjadi "milikku". Kebingungan mengikutinya. Mengapa demikian? Penyebab semua itu adalah adanya sang diri, kita tidak melepaskan apa Yang Tertampak untuk melihat Yang Transenden (yang melampauinya). Kalian tahu, sang diri ini hanyalah yang tertampak. Kalian harus mengelupas yang tertampak ini untuk melihat intinya, yaitu Yang Transenden. Balikkan Yang Tertampak untuk menemukan Yang Transenden.

Kalian bisa membandingkannya dengan padi yang belum diirik. Dapatkah padi yang belum diirik itu dimakan? Tentunya bisa, tetapi kalian harus mengiriknya dahulu. Pisahkan dari sekamnya dan kalian akan mendapatkan beras di dalamnya.

Sekarang jika kita tidak mengirik sekamnya, kita tak mendapatkan berasnya. Bagaikan seekor anjing tidur di atas tumpukan padi yang belum diirik. Perutnya keroncongan "grok-grok-grok", tetapi yang bisa dilakukannya hanya berbaring di sana, dengan pikiran "Di manakah dapat kuperoleh sesuatu untuk dimakan?" Ketika dia lapar, dia meloncat meninggalkan tumpukan padi dan berlari mencari sisa-sisa makanan. Walaupun dia tidur tepat di atas timbunan makanan tetapi dia tidak menyadarinya. Mengapa? Dia tidak bisa melihat beras. Anjing tidak bisa memakan butiran padi yang belum diirik. Makanan ada di sana tetapi si anjing tidak bisa memakannya. 
Kita mungkin sudah belajar tetapi jika kita tidak praktek sesuai dengan itu kita tetap tidak memahaminya, terlena seperti si anjing yang tidur di atas tumpukan padi. Dia tidur pada setumpuk makanan tetapi dia tidak mengetahuinya. Ketika dia lapar dia meloncat dan pergi mencari makanan di tempat lain. Memalukan, bukan? 

Sekarang ini juga sama: ada butir padi tetapi apa yang menghalanginya? Sekam yang menyembunyikan butir padi, sehingga si anjing tidak bisa memakannya. Dan ada Yang Transenden. Apa yang menyembunyikannya? Yang Tertampak menyembunyikan Yang Transenden, membuat orang hanya "duduk di atas tumpukan padi, tak bisa memakannya", tidak bisa berlatih, tidak bisa melihat Yang Transenden. Dengan demikian mereka hanya melekat pada penampilan dari waktu ke waktu. Jika kalian melekat pada penampilan/yang tertampak maka penderitaan yang akan terjadi, kalian akan dikepung oleh proses dumadi, kelahiran, usia tua, penyakit dan kematian. 

Janganlah berpikir bahwa dengan belajar dan tahu banyak, kalian akan mengerti Buddha Dhamma. Hal itu bagaikan mengatakan kalian telah melihat segala sesuatu yang bisa dilihat hanya karena kalian memiliki mata, atau bahwa kalian telah mendengar segala sesuatu yang bisa didengar hanya karena kalian memiliki telinga. Kalian mungkin melihat tetapi kalian tidak melihat sepenuhnya. Kalian hanya melihat dengan "mata luar", tidak dengan "mata dalam"; kalian mendengar dengan "telinga luar", tidak dengan "telinga dalam". 

Jika kalian membalik Yang Tertampak dan membuka Yang Transenden, kalian akan menggapai kebenaran dan melihat dengan jelas. Kalian akan merobohkan Yang Tertampak dan merobohkan kemelekatan. 

Ini seperti buah yang manis: biarpun buahnya manis tetapi kita harus mencobanya dulu sebelum kita bisa mengetahui bagaimana rasanya. Sekarang buah itu, walaupun tidak seorangpun mencobanya, tetaplah selalu manis. Tetapi tidak seorangpun mengetahuinya. Begitulah Dhamma Sang Buddha. meskipun merupakan kebenaran, tetapi ia tidaklah benar bagi mereka yang tidak sungguh-sungguh mengetahuinya. Tidak peduli betapa unggul dan bagus keadaannya, ia tetap tidak berharga untuk mereka. 

Sekarang mengapa orang merebut penderitaan? Siapakah di dunia ini yang ingin memberi penderitaan pada dirinya? Tidak seorangpun tentunya. Tidak seorangpun menginginkan penderitaan tetapi orangtetap membuat sebab-sebab penderitaan, tepat bagaikan mereka berkelana untuk mencari penderitaan. Di dalam batinnya orang mencari kebahagiaan, mereka tidak menginginkan penderitaan. Lalu mengapa batin kita menciptakan begitu banyak penderitaan? Kita tidak menyukai penderitaan tetapi mengapa kita menciptakan penderitaan bagi diri kita sendiri? Sangatlah mudah... itu semua karena kita tidak mengetahui penderitaan. Kita tidak mengetahui penderitaan, tidak mengetahui sebab penderitaan, tidak mengetahui akhir penderitaan, dan tidak mengetahui jalan yang membawa pada akhir penderitaan. Itulah sebabnya orang berkelakuan seperti yang mereka lakukan. Bagaimana mereka tidak menderita jika mereka tetap berkelakuan seperti itu? 

Orang-orang ini mempunyai micchaditthi ( Micchaditthi —Pandangan salah.) tetapi mereka tidak menyadari bahwa itulah micchaditthi. Apapun yang kita ucapkan, percayai, atau kerjakan, yang mengakibatkan penderitaan itu semuanya merupakan pendangan salah. Jika ia bukan pandangan salah ia tak akan mengakibatkan penderitaan. Kita tidak mau melekat pada penderitaan, tidak pula pada kebahagiaan atau pada keadaan apapun. Kita akan membiarkan segala sesuatu pada keadaan alamiahnya, seperti aliran arus air. Kita tidak perlu membendungnya, biarlah ia mengalir terus secara alamiah.

Seperti itulah aliran Dhamma, tetapi aliran pikiran yang bodoh berusaha untuk melawan Dhamma dalam bentuk pandangan salah. Sekarang ia melayang ke mana-mana, melihat pandangan salah di sana, pada orang lain. Tetapi, kita sendiri mempunyai pandangan salah, yaitu penderitaan masih ada di sana karena pandangan salah —ini orang-orang tidak melihatnya. Ini berharga untuk diamati. Apabila kita mempunyai pandangan salah kita akan mengalami penderitaan. Jika tidak mengalaminya sekarang, ia akan muncul kelak.

Orang akan tersesat di sini. Apakah yang menutupi mereka? Yang Tertampak menutupi Yang Transenden, menghalangi orang-orang untuk melihat segala sesuatu dengan jelas. Orang-orang memikirkan, mereka belajar, mereka berlatih, tetapi mereka berlatih dengan kebodohan, seperti orang yang telah kehilangan jati dirinya. Ia berjalan ke barat tetapi berpikir bahwa ia berjalan ke timur, atau berjalan ke utara tapi berpikir bahwa ia berjalan ke selatan. Sejauh itulah orang telah tersesat. Praktek semacam ini hanyalah ampas dari suatu praktek yang benar, kenyataannya ini merupakan malapetaka. Ini merupakan malapetaka karena mereka berbalik dan pergi ke arah yang berlawanan, mereka terjatuh dari sasaran praktek Dhamma yang benar/sejati.

Keadaan ini menyebabkan penderitaan dan orang berpikir bahwa melakukan ini, mengingat itu, memikirkan ini, akan menjadi sebab berhentinya penderitaan. Sama seperti seorang menginginkan banyak hal. Ia berusaha mengumpulkan sebanyak mungkin, dengan berpikir jika ia memperoleh cukup maka penderitaannya akan berkurang. Beginilah cara orang-orang berpikir, tetapi pemikiran mereka menyimpang dari jalan yang benar, seperti orang pergi ke utara, yang lain pergi ke selatan, dan percaya bahwa mereka pergi dalam jalan yang sama.

Berlatih untuk menyadari Dhamma adalah sesuatu yang paling baik dari semuanya. Mengapa Sang Buddha mengembangkan semua Kesempurnaan (Sepuluh paramita (kesempurnaan): kemurahan hati, kemoralan/sila, pelepasan agung, kebijaksanaan, usaha, kesabaran, kejujuran, ketetapan hati, kemauan baik, dan keseimbangan.)? Sehingga Beliau bisa menyadari hal ini dan memungkinkan orang lain untuk melihat Dhamma, mengerti Dhamma, berlatih Dhamma dan menjadi Dhamma —sehingga mereka bisa melepaskan dan tidak dibebani. 
"Jangan melekat pada sesuatu". Atau dengan cara lain: "Pegang, tetapi jangan melekat". Ini juga benar. Jika kita melihat sesuatu yang lain, ambillah... peganglah, tetapi jangan terlalu kuat. Peganglah cukup lama untuk memikirkannya, untuk mengetahuinya, lalu lepaskanlah. Jika kalian memegang tanpa membiarkannya berlalu, membawa tanpa meletakkan beban, maka kalian akan berat. Jika kalian memungut sesuatu dan membawanya sesaat, maka ketika ia menjadi berat kalian harus meletakkannya, membuangnya. Janganlah membuat penderitaan untuk dirimu sendiri. 

Ini haruslah kita ketahui sebagai penyebab penderitaan. Jika kita mengetahui penyebab penderitaan, penderitaan tidak bisa muncul. Karena baik kebahagiaan ataupun penderitaan bisa muncul jika ada atta, sang diri. Pasti ada "aku" dan "milikku", pasti ada penampilan ini. Jika semua hal ini muncul, batin langsung menuju ke keadaan Yang Melampaui/Transenden, ia menyingkirkan penampilan. Ia menyingkirkan kesenangan, kebencian, dan kemelekatan terhadap hal-hal itu. Seperti ketika suatu benda yang kita hargai hilang... ketika kita menemukannya lagi, kecemasan kita lenyap. 

Bahkan sebelum kita melihat benda/obyeknya, kecemasan kita bisa berkurang. Mulanya kita berpikir ia hilang dan menderita karenanya, tetapi ketika tiba-tiba kita ingat, "Oh, ya! Aku menaruhnya di sana, sekarang aku ingat!" Segera setelah kita ingat ini, segera setelah kita melihat kebenaran, bahkan sebelum kita melihat obyeknya, kita telah merasa bahagia. Ini disebut "melihat di dalam", melihat dengan mata batin, bukan melihat dengan mata luar. Jika kita melihat dengan mata batin, meskipun kita belum melihat obyeknya kita sudah merasa ringan. 

Begitu pula sama halnya dengan ini. Ketika kita mengembangkan praktek Dhamma dan mencapai Dhamma, melihat Dhamma, maka bilamana kita menemui persoalan kita segera memecahkan persoalan itu tepat di sana dan pada saat itu. Ia sepenuhnya lenyap, diletakkan dan dilepas. 

Sang Buddha menghendaki kita untuk kontak/berhubungan dengan Dhamma, tetapi orang hanya berhubungan dengan kata-kata, buku, dan kitab suci. Ini berhubungan dengan sesuatu tentang Dhamma, tetapi tidak berhubungan dengan Dhamma yang sebenarnya seperti yang diajarkan oleh Guru Agung kita. Bagaimana orang bisa berkata bahwa mereka berlatih dengan baik dan benar? Mereka telah menyimpang jauh. 
Sang Buddha dikenal sebagai Lokavidu, telah memahami dunia dengan jelas. Saat ini kita melihat dunia secara baik, tetapi tidak dengan jelas. Semakin banyak yang kita tahu, semakin gelap jadinya dunia ini, karena pengetahuan kita suram, itu bukan pengetahuan yang jelas. Itu cacad. Ini disebut "mengetahui melalui kegelapan", kurang cahaya dan sinar. 

Orang-orang hanya melekat di sini dan ini bukan persoalan sepele. Ini persoalan penting. Orang kebanyakan menginginkan kebaikan dan kebahagiaan tetapi mereka tidak mengetahui apakah sebab-sebab bagi kebaikan dan kebahagiaan. Apapun dia, jika kita belum melihat kerugiannya, kita tidak bisa melepaskannya. Tidak peduli betapa buruknya dia, kita tetap tidak bisa melepaskannya jika kita belum sungguh-sungguh melihat kerugiannya. Akan tetapi, bila kita benar-benar melihat kerugian dari sesuatu dengan tanpa ragu lagi maka kita bisa melepaskannya. 

Ketika telinga kalian mendengar suara, maka biarkan mereka melakukan pekerjaannya. Ketika mata kalian melihat bentuk-bentuk, maka biarkan mereka melakukan fungsinya itu. Ketika hidung kalian mencium bau, biarlah ia melakukan pekerjaannya itu. Ketika jasmani kalian merasakan sentuhan, maka biarkan ia melakukan fungsi alamiahnya. Jika kita membiarkan indera kita melakukan fungsi alamiah mereka, di mana lagi persoalan akan muncul? Tak ada persoalan. 

Begitu pula dengan semua hal yang termasuk di dalam Yang Tertampak, biarlah mereka sebagai Yang Tertampak. Dan kenalilah apa Yang Transenden. Jadilah "Orang Yang Mengetahui", mengetahui tanpa menjadi melekat, mengetahui dan membiarkan segala sesuatu berjalan pada jalan alamiah mereka. Mereka hanyalah sebagaimana apa adanya. 

Semua dari milik kita, adakah seseorang yang benar-benar memiliki mereka? Apakah ayah kita memilikinya, atau ibu kita, atau kerabat kita? Tidak ada seorangpun yang benar-benar mendapatkan sesuatu. Itulah sebabnya Sang Buddha mengatakan agar membiarkan mereka, melepaskan mereka. Ketahui mereka secara jelas. Ketahui mereka dengan memegangnya, tetapi tidak melekat. Gunakan sesuatu dalam cara yang bermanfaat, tidak dengan cara merugikan dengan memegangnya erat-erat sampai timbul penderitaan. 
Untuk memahami Dhamma kalian harus memahaminya dengan cara ini. Yaitu memahami dalam suatu cara untuk mengatasi penderitaan. Pengetahuan semacam ini sangatlah penting. Mengetahui bagaimana caranya membuat suatu barang, menggunakan peralatan, mengetahui berbagai macam ilmu di dunia dan sebagainya, semua itu mempunyai caranya sendiri, tetapi mereka bukanlah pengetahuan yang tertinggi. Dhamma harus dipahami seperti apa yang telah saya terangkan di sini. Kalian tidak harus mengetahui semuanya, hanya sebegini cukuplah untuk pelaksana Dhamma —mengetahui lalu melepaskan. 

Tahukah kalian, tidaklah benar bahwa kalian harus mati dulu sebelum kalian bisa mengatasi penderitaan. Kalian dapat mengatasi penderitaan dalam kehidupan ini juga karena kalian tahu bagaimana caranya memecahkan persoalan. Kalian mengetahui Yang Tertampak, kalian tahu Yang Transenden. Kerjakanlah pada kehidupan ini, ketika kalian berada di sini untuk berlatih. Kalian tak akan menemukannya di tempat lain. Jangan melekat pada segala sesuatu. Boleh memegangnya, tetapi janganlah melekat. 

Kalian mungkin heran, "Mengapa Achan selalu mengatakan hal ini?" Bagaimana mungkin saya mengajarkan yang lain, bagaimana mungkin saya mengatakan yang lain, bila kebenaran memang seperti apa yang telah saya katakan ini? Meskipun ini adalah kebenaran, janganlah melekat padanya! Jika melekat padanya secara membuta ia menjadi suatu kebohongan. Seperti seekor anjing... berusaha untuk menangkap kakinya. Jika kalian tidak membiarkannya, si anjing akan berputar dan menggigit kalian. Coba sajalah. Semua hewan bertingkah seperti itu. Jika kalian tidak membiarkannya maka dia tidak mempunyai pilihan lain kecuali menggigit. Begitu pula dengan Yang tertampak. Kita hidup sesuai dengan kebiasaan, mereka ada untuk kemudahan kita dalam kehidupan ini, tetapi mereka bukanlah sesuatu untuk dilekati sedemikian keras sehingga mereka menyebabkan penderitaan. Biarkan segala sesuatunya berlalu. 
Jika kita merasa kita pasti benar, sehingga kita menolak untuk membuka diri pada sesuatu atau orang lain, di sanalah kita salah. Ia menjadi pandangan salah. Ketika penderitaan muncul, dari manakah ia muncul? Penyebabnya adalah pandangan salah, buahnya adalah penderitaan. Jika ia merupakan pandangan benar, ia tak akan menyebabkan penderitaan. 

Jadi saya katakan, "Beri ruang, jangan melekat pada segala sesuatu". "Benar" adalah merupakan suatu anggapan orang lain, biarkan ia berlalu. "Salah" juga merupakan suatu keadaan lain yang nyata, dan biarlah ia di sana. Jika kalian merasa kalian benar dan yang lain menentang persoalan itu, janganlah berdebat, biarkanlah ia berlalu. Segera setelah kalian tahu, lepaskan. Inilah cara yang langsung. 

Pada umumnya orang tidak seperti ini. Orang jarang mengalah satu sama lain. Itulah sebabnya sebagian orang, bahkan pelaksana Dhamma, yang tetap tidak mengenali diri mereka sendiri, bisa mengatakan sesuatu yang sangat bodoh dan berpikir bahwa mereka bijaksana. Mereka bisa mengatakan sesuatu yang begitu bodoh yang menyebabkan orang lain tidak tahan untuk mendengarnya, tapi sekalipun demikian mereka berpikir bahwa mereka lebih pandai daripada yang lain. Orang lain bahkan tidak bisa mendengarkan itu tapi sekalipun demikian mereka berpikir bahwa mereka bijak, bahwa mereka benar. Mereka hanya mempertontonkan kebodohan mereka sendiri. 

Itulah sebabnya orang bijaksana berkata, "Ucapan apapun yang mengabaikan anicca, bukanlah ucapan seorang bijaksana, itu merupakan ucapan si dungu. Itu merupakan ucapan yang menipu. Itu merupakan ucapan seorang yang tidak mengetahui bahwa penderitaan akan muncul tepat di sana". Misalnya, seandainya kalian telah memutuskan untuk pergi ke Bangkok besok dan seseorang bertanya, "Apakah kalian akan ke Bangkok besok?" 

"Saya berharap untuk pergi ke Bangkok. Jika tidak ada rintangan saya mungkin akan pergi". Ini disebut berkata dengan Dhamma di dalam batin, berkata dengan anicca di dalam batin, mempertimbangkan kebenaran, kesementaraan sifat dunia. Kalian tidak hanya berkata, "Ya, saya pasti pergi besok". Jika ternyata kalian tidak pergi apa yang akan kalian lakukan, memberitahu semua orang yang telah kalian beritahu bahwa kalian akan pergi? Kalian hanya omong-kosong. 

Masih ada yang lebih daripada itu, praktek Dhamma menjadi semakin halus. Tetapi jika kalian tidak melihatnya kalian mungkin akan berpikir bahwa kalian berbicara benar pada saat kalian berbicara salah dan menyimpang dari sifat alamiah dari segala sesuatunya di dalam setiap perkataan kalian. Sekalipun demikian kalian berpikir bahwa kalian berbicara kebenaran. Dengan sederhana: apapun yang kita katakan atau lakukan yang menyebabkan timbulnya penderitaan, haruslah dipahami sebagai micchaditthi. Ia merupakan khayalan dan kebodohan. 

Kebanyakan para pelaksana tidak merenung dalam cara ini. Apapun yang mereka sukai, mereka pikir itu benar dan mereka terus percaya pada diri sendiri. Misalnya, mereka mungkin menerima hadiah atau gelar, apakah dalam bentuk barang, pangkat, atau kata-kata pujian, mereka pikir itu baik. Mereka menjadikannya sebagai semacam keadaan yang tetap. Jadi mereka membengkak dengan kesombongan dan kecongkakan. Mereka tidak mempertimbangkan, "Siapakah aku? Di manakah apa yang disebut dengan "kebaikan" itu? Dari manakah ia datang? Apakah pihak lain juga memilikinya?" 

Sang Buddha mengajarkan agar kita berprilaku yang wajar. Jika kita tidak menggali di dalam, menganalisanya, dan mengamati pokok ini, berarti ia masih terbenam di dalam diri kita. Berarti berbagai keadaan ini masih terkubur di dalam batin kita —kita masih terbenam dalam kekayaan, pangkat dan pujian. Karena mereka, kita menjadi seseorang yang lain. Kita pikir kita lebih baik daripada sebelumnya, bahwa kita ini sesuatu yang istimewa, dan berbagai kebingungan lalu muncul. 

Sesungguhnya, dalam kebenaran tidak ada apapun dalam diri manusia. Jadi apapun kita ini, ia hanyalah dalam penampilan luarnya. Jika kita singkirkan Yang Tertampak dan melihat Yang Transenden, kita melihat tak ada apapun di sana. Hanya ada sifat-sifat universal —kelahiran di awalnya, perubahan di tengahnya, dan penghentian di akhirnya. Inilah semua yang ada di sana. Jika kita melihat bahwa segala sesuatu adalah seperti ini maka tidak timbul persoalan. Jika kita memahami ini, kita akan mempunyai kepuasan dan kedamaian. 

Jadi saya mengatakan untuk praktek dan juga melihat pada hasil praktek kalian. Terutama di mana kalian menolak untuk mengikuti, di mana ada pergesekan. Jika tak ada gesekan, tidak ada persoalan, semuanya mengalir. Jika ada gesekan, mereka tidak mengalir, kalian membangun suatu pribadi dan semua menjadi kokoh, seperti kumpulan kemelekatan. Tidak ada proses memberi dan menerima.

Kebanyakan para bhikkhu dan pelaksana lainnya cenderung seperti ini. Apa yang sudah mereka pikirkan di masa lalu, itu mereka lanjutkan. Mereka menolak untuk mengubah, mereka tidak merenungkan. Mereka pikir mereka benar sehingga mereka tidak mungkin salah; tetapi sesungguhnya "kesalahan" terpendam di dalam "kebenaran", meskipun kebanyakan orang tidak mengetahuinya. Mengapa demikian? "Ini benar" ...tetapi jika seseorang berkata "itu tidak benar" kalian tidak akan menyerah, kalian akan berdebat. Apakah ini? Ditthi mana... Ditthi berarti pandangan, mana berarti kemelekatan pada pandangan itu. Jika kita melekat, bahkan pada apa yang benar, menolak untuk mengakui siapapun juga, maka ia menjadi salah. Melekat kuat pada kebenaran hanyalah merupakan kemunculan dari sang diri, tidak ada melepaskan di sana.

Ini merupakan hal yang memberikan banyak persoalan bagi manusia, kecuali untuk para pelaksana Dhamma yang mengetahui bahwa persoalan/pokok ini sangatlah penting. Mereka akan memperhatikannya. Jika hal itu muncul ketika mereka berbicara, kemelekatan berpacu datang dalam pandangan. Mungkin ia bertahan untuk beberapa saat, mungkin satu atau dua hari, tiga atau empat bulan, satu atau dua tahun, ini untuk mereka yag lamban. Bagi yang cepat, terjadi tanggapan langsung... mereka hanya melepaskan, mereka memaksa batin untuk melepaskan tepat di sana dan pada saat itu.

Kalian harus melihat kedua fungsi ini beroperasi. Di sini ada kemelekatan. Sekarang siapakah yang menahan kemelekatan itu? Kapan saja kalian merasakan suatu kesan mental, kalian harus mengamati kedua fungsi ini beroperasi. Ada kemelekatan, dan ada orang yang menghalangi kemelekatan tersebut. Sekarang perhatikan kedua hal ini. Mungkin kalian akan melekat untuk waktu lama sebelum kalian melepaskannya.

Renungkan dan tetaplah berlatih seperti ini, kemelekatan menjadi lebih ringan, menjadi semakin kurang dan makin berkurang. Pandangan benar bertambah karena pandangan salah menyusut. Kemelekatan berkurang, ketidakmelekatan muncul. Inilah jalannya, ini untuk setiap orang. Itulah sebabnya saya katakan agar mempertimbangkan pokok ini. Belajarlah untuk memecahkan persoalan pada saat ini juga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar