Selasa, 22 Mei 2012

7. Tuccha Pothila — Bhikkhu Kitab Kosong





Ada dua cara untuk mendukung ajaran Buddha, salah satunya yaitu yang disebut amisapuja, mendukung melalui persembahan barang-barang materi. Persembahan tersebut dapat berupa makanan, pakaian, tempat tinggal, dan obat-obatan. Ini adalah cara mendukung ajaran Buddha dengan memberikan benda-benda materi kepada Bhikkhu Sangha dan Viharawati, sehingga mereka bisa hidup layak dalam pelayanan terhadap Dhamma. Hal ini akan mendasari realisasi nyata ajaran Sang Buddha, yang otomatis akan membawa kemakmuran bagi agama Buddha.

Ajaran Buddha dapat disamakan seperti pohon, sebatang pohon mempunyai akar, batang, cabang, dahan serta daun. Daun, cabang, ranting tergantung pada akar dalam menyerap nutrisi dari tanah dan menyebarkannya ke seluruh bagian. Seperti halnya pohon tergantung pada akarnya untuk bertahan, tindakan dan perkataan kita adalah 'cabang' dan 'daun', yang tergantung pada pikiran, si 'akar', yang menyerap nutrisi dan kemudian mengedarkannya ke seluruh bagian 'batang', 'dahan' dan 'daun'. Ini kemudian akan menghasilkan buah yaitu perkataan dan perbuatan, bagaimana tingkat pikiran, terampil atau tidak, diekspresikan oleh perkataan dan perbuatan kita.
Karena itu dukungan yang paling penting bagi ajaran Sang Buddha adalah melalui penerapan ajaran itu sendiri. Sebagai contoh, dalam upacara penetapan aturan-aturan pada hari-hari observasi, Sang Guru akan menggambarkan tindakan-tindakan yang harus dihindari, tetapi jika anda hanya sekedar mendengarkan dan mengikuti jalannya upacara tanpa merenungkan artinya, anda akan sulit maju dan berkembang. Anda tidak akan mampu menemukan latihan yang sesungguhnya. Karena itu dukungan bagi agama Buddha harus dilakukan melalui Patipattipüja, pemberian 'persembahan' berupa latihan, menanam kontrol diri, konsentrasi dan kebijaksanaan. Dengan begitu anda akan tahu ajaran agama Buddha yang sesungguhnya. Jika kita belum bisa mengerti lewat latihan maka meskipun kita mempelajari seluruh isi Tipitaka kita tetap tidak akan mengerti.

Pada jaman Sang Buddha ada seorang bhikkhu yang bernama Pothila, yang diberi gelar Tuccha yang artinya kosong, Tuccha Pothila adalah seorang bhikkhu yang sangat terpelajar. Ia sangat terkenal dan mempunyai 18 (delapan belas) cabang vihara. Ketika orang mendengar nama 'Pothila' mereka semua kagum dan tidak ada seorangpun yang berani mempertanyakan segala yang diajarkannya, mereka begitu memujanya. Tuccha Pothila adalah salah satu murid Sang Buddha.

Pada suatu hari ia datang untuk menghormat Sang Buddha, sewaktu ia melakukan penghormatan, Sang Buddha berkata, "Apa kabar Bhikkhu Kitab Kosong!.... Hanya begitu! Mereka bercakap-cakap sejenak. Dan kemudian sewaktu Tuccha Pothila berpamitan, Sang Buddha berkata: "Pergi sekarang, Bhikkhu Kitab Kosong?"

Sang buddha hanya berkata seperti itu. Pada saat datang, "Apa kabar Bhikkhu Kitab Kosong?" Dan waktu pulang "Pergi sekarang Bhikkhu Kitab Kosong?" Sang Buddha tidak menjelaskan lebih jauh, hanya itulah ajaran yang diberikan. Tuccha Pothila, guru yang terkenal itu bingung, "Mengapa Sang Buddha berkata demikian? Apa maksudnya?" Ia berpikir keras, mengeluarkan semua ajaran yang pernah dipelajari, sampai akhirnya ia menyadari... "Benar! 'Bhikkhu Kitab Kosong' - seorang bhikkhu yang belajar tetapi tidak mempraktekkan. .." Ketika ia melihat dalam hatinya, ia menyadari bahwa ia tidak berbeda dari kebanyakan orang awam. Apapun yang disukai mereka, ia juga suka, apapun yang dinikmati oleh orang-orang awam ia ikut menikmati. Tidak ada samana yang benar pada dirinya, tidak ada kualitas yang baik dalam diri untuk membawa menuju Jalan Mulia dan menemukan kedamaian.

Ia memutuskan untuk berlatih, tetapi ia tidak tahu harus pergi ke mana. Semua guru yang ada di sekitarnya adalah murid-muridnya, tidak ada yang berani menerimanya sebagai murid. Biasanya ketika seseorang bertemu dengan si guru, mereka menjadi penakut dan penghormat, jadi tidak ada seorangpun yang berani menjadi gurunya.

Akhirnya ia pergi untuk menemui seorang samanera muda yang telah mencapai tingkat kesucian untuk meminta petunjuk. Samanera itu berkata, "Baiklah, kamu bisa berlatih bersama saya, tetapi kamu harus tulus. Jika kamu tidak tulus saya tidak akan menerimamu."
Samanera itu kemudian menyuruh Tuccha Pothila untuk mengenakan jubahnya dengan lengkap. Ada tanah berlumpur di sekitar situ. Ketika Tuccha Pothila telah mengenakan jubahnya dengan lengkap, samanera itu berkata, "Baiklah, sekarang berjalanlah di tanah berlumpur itu, jika saya tidak menyuruh untuk berhenti, jangan berhenti. Jika saya tidak memintamu untuk meninggalkannya, jangan tinggalkan. Sekarang bersiaplah dan..... jalan!"

Tuccha Pothila yang berjubah rapi, masuk ke dalam tanah berlumpur itu. Samanera tidak menyuruh berhenti sampai ia betul-betul rata berlumuran lumpur. Akhirnya ia berkata, "Kamu dapat berhenti sekarang"... dan Tuccha Pothila berhenti. "Baklah, tinggalkan tempat itu!" Lalu ia pergi. Ini jelas menunjukkan bahwa Tuccha Pothila telah meninggalkan keangkuhannya. Ia siap menerima ajaran, jika ia tidak siap untuk belajar ia tidak akan mau berjalan dalam lumpur seperti itu. Tetapi walaupun dia seorang guru yang terkenal, ia mau melakukannya. Samanera muda itu melihat bahwa Tuccha pothila benar-benar tulus dan berniat kuat untuk berlatih.

Setelah Tuccha Pothila keluar dari lumpur itu dan membersihkan diri, samanera muda memberikan ajarannya. Ia mengajar Tuccha untuk mengamati obyek sensasi, mengetahui pikiran dan mengenali obyek-obyek sensasi. Digunakan perumpamaan seseorang yang akan menangkap kadal yang bersembunyi dalam lubang yang bercabang. Jika lubang itu mempunyai enam jalan keluar, bagaimana caranya menangkap kadal tersebut? Tentunya dengan menutup lima jalan keluar yang lain. Dengan demikian ia hanya perlu melihat dan menunggu satu lubang. Ketika kadal itu keluar dengan mudah ia bisa menangkapnya.

Begitu juga cara mengamati pikiran; menutup mata telinga, hidung, lidah dan tubuh, kita hanya menyisakan pikiran. Yang dimaksud dengan menutup indera adalah menahan serta menatanya, dan hanya mengamati pikiran.

Meditasi sama seperti menangkap kadal. Kita menggunakan sati untuk mengamati nafas. Sati adalah kualitas perenungan, sama halnya seperti bertanya pada diri sendiri, "Apa yang saya lakukan?" Sampajañña adalah kesadaran bahwa 'saat ini saya sedang melakukan ini dan itu'. Kita mengamati nafas yang masuk dan keluar dengan menggunakan sati dan sampajañña.

Kualitas perenungan semacam ini adalah sesuatu yang timbul dari latihan dan bukan sesuatu yang dapat dipelajari lewat buku-buku. Ketahuilah pikiran-pikiran yang timbul, pikiran dapat menjadi tidak aktif sebentar dan kemudian perasaan akan timbul. Sati bekerja sebagai penghubung bagi perasaan-perasaan ini, dan mengumpulkannya. Ada sati, yaitu kumpulan "Saya akan berbicara", "Saya akan pergi" dan sebagainya, kemudian ada sampajañña, kesadaran bahwa 'Sekarang saya sedang berjalan', 'Saya sedang berbaring', 'Saya sedang mengalami perasaan ini dan itu'. Dengan dua hal ini; sati dan sampajañña, kita dapat mengetahui pikiran kita saat ini. Kita akan mengetahui bagaimana pikiran bereaksi terhadap rangsangan. Sesuatu yang menyadari akan adanya obyek sensasi itulah yang disebut 'pikiran'. Obyek sensasi itu berkelana masuk ke dalam pikiran. Sebagai contoh ada suara, suara itu masuk melalui telinga dan berkelana ke dalam menuju pikiran, yang mengenali suara apakah itu. Yang mengenali suara itulah yang disebut 'pikiran'.

Pikiran yang mengenali suara itu masih termasuk pikiran dasar, pikiran rata-rata. Pikiran kejengkelan dapat timbul pada sesuatu yang mengenali. Kita harus melatih 'yang mengenali' ini lebih jauh lagi agar menjadi 'mengetahui' sesuai dengan kebenaran—yang disebut Buddho. Jika kita tidak mengetahui sesuai dengan kebenaran kita akan jadi jengkel dengan suara mobil, orang dan sebagainya. Ini hanyalah pikiran rata-rata yang mengenali suara dengan kejengkelan. Ia mengetahui menurut pilihan, bukan menurut kebenaran. Kita harus melatihnya lebih jauh untuk mengenali gambaran dan pandangan terang (insight) ñanadassana, kekuatan dari pikiran yang tersaring, sehingga mengenali suara hanya sebagai suara. Jika kita tidak melekat pada suara, tidak akan ada kejengkelan. Suara timbul dan kita hanya mengetahui saja. Inilah yang disebut benar-benar mengenali timbulnya suara, dengan begitu kita tidak akan jengkel. Suara itu timbul menurut kondisi, bukan makhluk (being), individu, diri, kita atau 'mereka'. Hanya suara, pikiran harus melepas.

Pengenalan semacam ini disebut Buddho, pengetahuan yang jelas dan menembus. Dengan pengetahuan seperti ini kita dapat membiarkan suara sebagai hanya suara. Ia tidak akan mengganggu kita kecuali jika kita mengganggunya dengan berpikir, 'Saya tidak ingin mendengar suara itu, itu menjengkelkan' . Penderitaan timbul karena pemikiran semacam itu. Inilah penyebab penderitaan: saat kita belum mengembangkan Buddho, kita belum jernih, belum terjaga (awake), belum waspada. Inilah pikiran yang mentah, belum terlatih. Pikiran semacam itu belum benar-benar berguna bagi kita.

Maka dari itu Sang Buddha mengajarkan bahwa pikiran harus dilatih dan dikembangkan. Kita harus mengembangkan pikiran seperti kita mengembangkan tubuh, hanya tentu saja lewat cara lain. Untuk mengembangkan tubuh; kita berlatih lari, jogging pada pagi hari dan sore atau olah raga lain. Itu semua adalah latihan fisik. Hasilnya: tubuh menjadi sehat, kuat, pernafasan dan sistem syaraf menjadi lebih efisien. Untuk melatih pikiran kita tidak perlu memindah-mindahkann ya, melainkan membawanya ke suatu perhentian, membawanya beristirahat.
Sebagai contoh, ketika berlatih meditasi, kita mengambil suatu obyek, misalnya pernafasan sebagai dasar. Pernafasan ini menjadi pusat perhatian dan perenungan kita. Kita mengamati pernafasan. Mengamati artinya mengikuti pernafasan dengan penuh kesadaran, mengetahui iramanya, keluar masuknya. Kita menempatkan kesadaran pada pernafasan, mengikuti jalannya pernafasan secara alami dan melepaskan segala yang lain. Sebagai hasil dari kesadaran mengamati hanya satu obyek, pikiran kita menjadi segar kembali. Jika kita membiarkan pikiran memikirkan ini dan itu, kesadaran kita mengamati banyak obyek, pikiran tidak menyatu, tidak beristirahat.

Mengatakan bahwa pikiran berhenti artinya seakan-akan rasanya pikiran itu berhenti, tidak berkelana ke sana ke mari. Sama halnya seperti memiliki pisau yang tajam. Jika kita menggunakan pisau itu untuk memotong-motong segala sesuatu tanpa membedakan, misalnya batu, rumput dan batu bata, pisau kita akan cepat menjadi tumpul. Kita harus menggunakannya untuk memotong hanya benda-benda yang sesuai dengan kegunaannya. Demikianlah juga dengan pikiran kita. Jika kita membiarkan pikiran berkelana dari satu pemikiran ke pemikiran lain yang tidak berguna, pikiran akan menjadi lemah dan lelah. Jika pikiran tidak lagi mempunyai kekuatan, kebijaksanaan tidak akan timbul, karena pikiran tanpa energi adalah pikiran tanpa samadhi.

Jika pikiran belum berhenti, kita belum mampu melihat obyek sensasi sebagaimana adanya. Pengetahuan bahwa pikiran adalah pikiran dan obyek sensasi adalah obyek sensasi, adalah akar dari pertumbuhan dan perkembangan ajaran Buddha.
Kita harus mengolah, mengembangkan dan melatih pikiran ini dalam ketenangan dan pandangan terang (insight). Kita melatih pikiran agar mempunyai kontrol dan kebijaksanaan dengan cara membiarkan pikiran tenang dan membiarkan kebijaksanaan timbul, dengan mengenali pikiran sebagaimana adanya.

Anda tahu, cara kita manusia hidup, bagaimana kita melakukan segala sesuatunya, sama seperti anak-anak. Seorang anak tidak mengetahui apapun. Bagi orang dewasa yang mengamati tingkah laku anak-anak, bagaimana ia bermain dan berlari serta melompat ke sana ke mari, tampaknya tindak-tanduk anak-anak itu tidak banyak tujuannya. Jika pikiran kita tidak terlatih, sama halnya seperti anak-anak. Kita berbicara tanpa kesadaran dan bertindak tanpa kebijaksanaan. Kita mungkin akan jatuh dan merusakkan sesuatu atau menyebabkan kerugian yang tidak terbayangkan, semuanya terjadi tanpa kita sadari. Seorang anak tidak pedulian, ia bermain sebagaimana anak-anak, demikian juga dengan pikiran kita yang tidak pedulian.

Jadi kita harus melatih pikiran ini. Sang Buddha melatih kita untuk melatih pikiran, mengajar pikiran. Biarpun kita mendukung ajaran Buddha dengan empat kebutuhan pokok, dukungan kita masihlah secara permukaan, dukungan itu hanya mencapai 'kulit keras' sang pohon. Dukungan yang sesungguhnya haruslah dilakukan lewat praktek, bukan yang lain, melatih tindakan, perkataan dan pikiran kita menurut ajaran. Ini lebih bermanfaat, jika kita jujur dan lurus, memiliki kontrol diri dan kebijaksanaan, latihan kita akan membawa kemakmuran. Kebencian dan keiri-hatian tidak punya sebab untuk timbul. Beginilah agama kita mengajarkan.

Jika kita menentukan berbagai aturan semata-mata berdasarkan tradisi, maka meskipun Guru Besar sendiri yang mengajar kita tentang kebenaran, latihan kita akan kurang baik. Kita mungkin akan bisa mempelajari ajaran-ajaran itu dan menghormatinya, tetapi jika kita ingin benar-benar mengerti kita harus melatih ajaran-ajaran tersebut. Jika kita tidak mengembangkan latihan, kita akan terhambat dalam menembus inti ajaran Buddha pada beribu kehidupan yang akan datang. Kita tidak akan mengerti inti ajaran Buddha. Karena itu latihan bagaikan kunci, kunci dari meditasi, jika kita mempunyai kunci yang tepat di tangan kita, bagaimanapun kuatnya gembok suatu peti, ketika kita mengambil kunci dan memutarnya, peti itu akan terbuka. Jika kita tidak mempunyai kunci kita tidak dapat membukanya. Kita tidak akan bisa melihat apa yang ada di dalam peti itu.

Sebenarnya ada dua jenis pengetahuan, seseorang yang mengetahui Dhamma tidak berbicara hanya melalui ingatan, ia mengatakan yang sebenarnya. Manusia biasanya berbicara melalui ingatan, dan seringnya mereka biasanya berbicara dengan kesombongan. Sebagai contoh, misalkan ada dua orang yang sudah lama tidak bertemu, mungkin karena hidup berjauhan, suatu hari bertemu di kereta api... di antara mereka berkata: "Oh, kebetulan. Saya sebenarnya berkeinginan untuk menjengukmu! "... padahal tidak demikian. Sebenarnya mereka tidak saling memikirkan, tetapi karena gembira mereka berkata seperti itu. Dan hal itu menjadi suatu kebohongan. Ya, berbohong karena kecerobohan, berbohong tanpa mengetahuinya. Ini adalah salah satu jenis kekotoran batin yang halus dan sering kali terjadi.
Jadi masih mengenai pikiran, Tuccha Pothila mengikuti petunjuk dari samanera: menarik nafas, menghembuskan. .. dengan kesadaran mengikuti tiap nafas... sampai ia melihat kebohongan dalam dirinya, kebohongan dari pikirannya, ia melihat kekotoran batin saat timbul, sama seperti kadal yang keluar dari lubang yang bercabang, ia melihatnya dan menerima sifat alaminya segera setelah muncul. Ia mengamati bagaimana pikiran berpindah dari hal yang satu ke hal yang lain tiap saat.

Berpikir adalah sankhata dhamma, sesuatu yang tercipta dari kondisi yang mendukung. Ini bukan asankhata dhamma, yang tidak terkondisi. Pikiran yang terlatih dengan baik, yang mempunyai kesadaran yang sempurna, tidak menciptakan tahapan mental. Pikiran semacam ini menembus Kesunyataan Mulia dan melampaui semua kebutuhan yang bergantung pada keadaan eksternal. Mengetahui Kesunyataan Mulia adalah mengetahui kebenaran. Pikiran yang bercabang mencoba menghindari kebenaran ini, dan mengatakan 'itu baik' atau 'ini indah', tetapi jika ada Buddho dalam pikiran, hal-hal semacam itu tidak akan bisa menipu kita lagi, karena kita mengenali pikiran seperti apa adanya. Pikiran tidak dapat lagi menciptakan keadaan mental yang tertutup khayalan, karena ada kesadaran yang jernih bahwa semua keadaan mental yang tertutup semacam itu tidak stabil, tidak sempurna dan merupakan sumber penderitaan bagi yang melekat padanya.

Kemanapun ia pergi, kesadaran selalu mengikuti pikiran Tuccha Pothila. Ia mengamati berbagai macam variasi ciptaan dan percabangan pikiran dengan pengertian. Ia melihat bagaimana pikiran menipu dengan berbagai cara. Ia menangkap inti dari latihan dengan melihat bahwa "Pikiran yang ada inilah yang mengamati—inilah yang membawa kita pada kebahagiaan dan penderitaan yang ekstrim dan menyebabkan kita terus berputar-putar pada lingkaran samsara tanpa henti, dengan segala kenikmatan dan penderitaannya. Baik dan jahat, semua karena pikiran ini". Tuccha Pothila menyadari kebenaran dan menangkap inti dari latihan seperti seseorang yang menangkap ekor kadal. Ia melihat cara kerja pikiran yang diselubungi khayalan.

Pada saat itu, ia melihat bayangan Sang Buddha sehingga Tuccha Pothila semakin bersemangat dan tekun. Dan pada akhirnya ia mencapai tingkat kesucian Arahat.Karena itu, penting untuk melatih pikiran. Sekarang jika pikiran adalah pikiran itu sendiri, dengan apa kita bisa melatihnya? Dengan terus menerus mempunyai sati dan sampajañña kita akan mampu terus-menerus mengenali pikiran. Sati dan sampajañña berada satu langkah di atas pikiran, inilah yang mengetahui tahapan pikiran. Pikiran adalah pikiran. Yang mengenali pikiran adalah sati dan sampajañña. Ia berada di atas pikiran. Karena sati dan sampajañña berada di atas pikiran, maka ia dapat menjaga pikiran, mengajar pikiran agar mengetahui mana yang salah dan benar. Pada akhirnya semua kembali pada percabangan pikiran. Jika pikiran terperangkap dalam percabangannya, maka tidak akan ada kesadaran. Akibatnya, latihan akan menjadi sia-sia.

Jadi kita harus melatih pikiran untuk mendengar Dhamma, untuk mengolah Buddho, kesadaran yang bersinar dan jernih, yang berada di atas dan melewati pikiran yang biasa dan mengenali apa yang terjadi dalam pikiran biasa tersebut, inilah sebabnya kita bermeditasi dengan mantra Buddho, sehingga kita bisa mengenali pikiran yang berada di atas pikiran. Amati saja pergerakan pikiran baik atau buruk, sampai menyadari bahwa pikiran hanyalah pikiran, bukan diri, bukan seseorang. Ini disebut cittanupassana, perenungan pikiran. Melihat dengan cara seperti ini kita akan mengerti bahwa pikiran tidak kekal (transient), tidak kekal dan tidak berkonsep diri. Pikiran in bukan milik kita.

Jadi dapat kita simpulkan demikian: Pikiranlah yang mengenali obyek sensasi; obyek sensasi adalah obyek sensasi, sesuatu yang berbeda dari pikiran; Yang Tahu adalah yang mengenal baik pikiran maupun obyek sensasi sebagaimana adanya. Kita harus terus menerus menggunakan sati untuk membersihkan pikiran. Semua orang mempunyai sati, bahkan kucingpun punya sati saat akan menangkap tikus. Anjing mempunyai sati saat ia menggonggong pada seseorang. Ini adalah bentuk sati, tetapi bukan sati menurut Dhamma. Semua mempunyai sati, hanya tingkatnya yang berbeda, sama halnya seperti perbedaan pendapat yang terjadi pada waktu mengamati sesuatu. Sama halnya seperti saat saya menyuruh merenungkan tubuh, beberapa orang akan berkata, "Apa yang harus direnungkan pada tubuh? Semua orang dapat melihatnya. Kesa, kita dapat melihatnya; loma, kita juga sudah dapat melihatnya.. . Rambut, kuku, gigi dan kulit kita telah melihatnya. Jadi apa?"

Begitulah manusia, mereka memang bisa melihat tubuh, tetapi melihat dengan cara yang salah. Mereka tidak melihat dengan menggunakan Buddho, Yang Tahu, Yang terjaga. Mereka hanya melihat tubuh dengan cara biasa, dengan cara visual. Melihat tubuh dengan cara seperti itu tidak cukup. Jika kita hanya melihat tubuh begitu saja akan timbul masalah. Kalian harus melihat tubuh di dalam tubuh, dengan begitu segala sesuatu akan tampak jelas. Kalau hanya melihat tubuh, kalian akan tertipu olehnya, terpesona oleh penampilan. Karena tidak melihat ketidak-kekalan, ketidak-sempurnaan, dan Tidak Adanya Diri, maka kamachanda (hawa nafsu) timbul. Kalian menjadi terpesona oleh bentuk, suara, aroma, rasa dan perasaan. Melihat dengan cara begitu adalah melihat dengan mata fisik. Akibatnya kalian mencinta, membenci dan membedakannya menjadi menyenangkan dan tidak menyenangkan.

Sang Buddha mengajarkan bahwa itu tidak cukup. Kalian harus melihat dengan menggunakan "mata batin": melihat tubuh dalam tubuh. Jika kalian benar-benar melihat tubuh... Ugh! Menjijikan, ada barang kemarin hari dan hari ini, semua tercampur baur, tidak dapat dibedakan satu sama lain. Melihat seperti ini lebih jelas dari pada melihat dengan mata fisik. Merenunglah, lihatlah dengan mata batin, dengan mata kebijaksanaan.

Beginilah perbedaan pengertian pada manusia. Beberapa orang tidak mengetahui apa yang harus direnungkan dalam Meditadi 5, rambut kepala, rambut, kuku, gigi dan kulit. Mereka berkata telah dapat melihat hal-hal tersebut, tetapi mereka hanya bisa melihatnya dengan mata fisik, dengan "mata gila" yang hanya melihat yang ingin dilihat. Untuk melihat tubuh dalam tubuh, kalian harus melihatnya dengan lebih jelas.

Inilah latihan yang dapat menghilangkan kemelekatan kata Pañca Khanda (bentuk, perasaan, persepsi, pikiran dan kesadaran). Menghilangkan kemelekatan adalah menghilangkan penderitaan, karena melekat pada Pañca Khanda adalah penyebab penderitaan. Jika penderitaan muncul di sinilah ia muncul: pada kemelekatan terhadap Pañca Khanda, bukan dalam Pañca Khanda. Bukan dalam Pañca Khanda itu sendiri terletak penderitaan, melainkan pada kemelekatan yang menganggap mereka merupakan milik pribadi... itulah penderitaan.

Jika kalian melihat dengan jelas kebenaran tentang segala sesuatu melalui latihan meditasi, penderitaan akan melepas, seperti baut. Ketika baut dibuka, ia mundur. Demikian juga pikiran, melepas, mundur dari obsesi terhadap kebaikan dan kejahatan, kepemilikan, pujian dan kedudukan, kebahagian dan penderitaan. Jika kita tidak tahu kebenaran akan segala sesuatu, sama halnya seperti kita mengencangkan baut dan terus mengencangkannya sampai baut tersebut menjadi rusak. Begitu pula bila kita tidak tahu akan kebenaran dan selamanya tidak tahu maka akan membuat kita menderita terhadap apapun dan dalam kondisi bagaimanapun. Jika kita tahu sebagaimana adanya, berarti kita melepaskan baut. Dalam bahasa Dhamma kita menyebutnya: timbulnya nibbida, ketidak-terpesonaan . Kalian akan menjadi bosan terhadap berbagai hal dan meletakkan keterpesonaan. Jika kita melepas dengan cara seperti ini, kita akan menemukan kedamaian.

Terkadang orang saling membunuh karena berbagai masalah. Semua masalah; baik pribadi, keluarga maupun masyarakat, timbul dari satu akar ini, tidak ada yang menang... mereka saling membunuh tetapi pada akhirnya tidak seorangpun mendapatkan manfaat. Saya tidak mengerti mengapa orang terus membunuh tanpa guna.

Kekuasaan, kepemilikan, kedudukan, pujian, kebahagiaan dan penderitaan. .. ini adalah dhamma duniawi, dan dhamma-dhama duniawi ini menelan makhluk duniawi. Makhluk duniawi diputar oleh dhamma duniawi: untung dan rugi, kepemilikan dan perampasan, kedudukan dan hilangnya kedudukan, kebahagiaan dan pendertitaan. Dhamma-dhamma semacam ini membuat masalah. Jika anda tidak merenung pada sifat alaminya, anda akan menderita. Orang bahkan bunuh diri demi kedudukan, kekayaan, kekuatan. Mengapa? Karena menanggapinya terlalu serius. Mereka mempunyai kedudukan tertentu dan itu masuk ke dalam kepala mereka, seperti misalnya menjadi kepala desa. Setelah pengangkatannya ia menjadi 'mabuk kekuasaan'. Jika ada teman lama yang datang berkunjung, ia akan berkata, "Jangan terlalu sering datang, segala sesuatunya sudah tidak sama lagi."

Sang Buddha mengajarkan agar kita mengerti sifat dari kepemilikan, kedudukan, pujian dan kebahagiaan. Terima mereka sewaktu hadir tetapi biarkan saja. Jangan biarkan mereka masuk ke kepala. Jika anda tidak benar-benar mengerti akan hal-hal seperti itu, anda akan tertipu oleh kekuasaanmu, anak-anakmu dan saudara-saudaramu. .. oleh segalanya! Jika anda mengerti dengan jelas, anda tahu bahwa mereka semua adalah kondisi yang tidak kekal. Jika anda melekat padanya, mereka menjadi ternoda. Semua itu akan timbul nantinya, ketika orang lahir, yang ada hanyalah nama dan rupa, hanya itu. Kemudian dalam bisnis kita menambahkan "Tuan Jones", "Nona Smith", atau apapun, ini dilakukan menurut konsesi (kesepakatan) . Kemudian ada lagi "Kolonel", "Jendral" dan lain sebagainya. Jika kita tidak benar-benar mamahami hal-hal seperti ini, kita akan berpikir bahwa semua itu nyata dan kita akan membawanya ke mana-mana. Kita membawa harta, status, nama dan pangkat ke mana-mana. Jika kalian mempunyai kekuasaan kalian dapat berkata... "Tangkap orang ini dan hukum mati, yang itu masukkan penjara"... pangkat memberikan kekuasaan. Kata 'pangkat' inilah pokok di mana kemelekatan mengikat. Segera bertindak hanya menurut perasaan hati. Kemungkinan mereka berbuat kesalahan lama, yang menyimpang jauh dan lebih jauh dari jalan benar.

Seseorang yang mengerti Dhamma tidak akan berlaku seperti itu. Baik dan jahat telah ada di dunia ini sejak entah kapan... jika kepemilikan dan kedudukan datang pada anda, biarkanlah mereka menjadi status dan kedudukan, jangan biarkan mereka menjadi identitas anda. Gunakan mereka untuk memenuhi tugas anda dan biarkan saja. Anda harus tetap sama, jika kita telah bermeditasi dalam hal-hal semacam ini, maka apapun yang datang tidak akan bisa memperdayai, kita tidak akan terganggu, terpengaruh, tetap sama, segala sesuatu pada dasarnya hanyalah sama saja.

Beginilah Sang Buddha meminta kita untuk mengerti tentang segala sesuatunya, apapun yang anda terima, pikiran jangan menambah. Mereka mengangkat anda menjadi penasehat kota... "Baik, saya jadi penasehat... tapi saya bukan itu!" Mereka menunjuk anda sebagai kepala kelompok.. "Tentu saja, tapi saya bukan itu!" Diangkat sebagai apapun anda... "Ya, tapi saya bukan itu!" Pada akhirnya siapakah kita? Kita semua hanya akan meninggal pada akhirnya. Tidak menjadi soal mereka mengangkat anda sebagai apa, pada akhirnya semua akan sama saja. Apa yang dapat anda katakan? Jika Anda dapat melihat segala sesuatu dengan cara semacam ini, Anda akan mempunyai ketentraman yang benar dan kekal. Tidak ada yang berubah.

Begitulah yang tidak tertipu. Apapun yang datang pada anda semuanya hanyalah kondisi. Tidak ada apapun yang dapat membuat pikiran semacam ini menjadi bercabang, membuatnya tamak, berlawanan atau berangan-angan.

Inilah pendukung ajaran Buddha yang benar, walaupun anda menjadi yang didukung (misalnya Sangha) ataupun yang mendukung (masyarakat awam), harap pertimbangkan hal ini dengan seksama. Olalah Sila-Dhamma di dalam diri anda, ini adalah cara yang paling tepat untuk mendukung ajaran Buddha. Mendukung ajaran Buddha dengan mempersembahkan makanan, tempat berlindung, jubah dan obat-obat juga baik, tetapi persembahan semacam itu hanya akan mencapai lapisan luar ajaran Buddha. Harap jangan lupakan hal ini. Sebatang pohon mempunyai lapisan luar, daging pohon, dan inti pohon, dan bagian-bagian ini saling berhubungan. Inti pohon itu harus bergantung pada daging dan kulit pohon. Kulit pohon tergantung pada inti dan dagingnya. Mereka semua saling bergantung sama seperti ajaran disiplin moral, konsentrasi dan kebijaksanaan. Disiplin moral untuk membetulkan pikiran dan perbuatan. Konsentrasi untuk memantapkan pikiran, kebijaksanaan adalah pengertian tentang sifat alami kondisi. Pelajari dan latihlah ini dan anda akan mengerti ajaran Buddha pada jalur yang paling penting.

Jika anda tidak mengerti hal-hal ini, anda akan tertipu oleh kepemilikan, kedudukan, dan pangkat. Tertipu oleh apapun yang anda temui. Mendukung hanya dengan cara eksternal saja, tidak akan menghentikan pertempuran dan pergulatan, dendam dan kebencian, penembakan dan pembunuhan. Jika kita ingin mengurangi hal-hal semacam itu, kita harus merenungkan sifat alami kepemilikan, pangkat, pujian, kebahagiaan dan penderitaan. Kita harus mempertimbangkan hidup kita dan menempatkannya pada jalur ajaran. Kita harus merenungkan bahwa semua makhluk di dunia ini adalah bagian dari satu kasatuan. Kita seperti mereka, mereka seperti kita. Mereka merasakan kebahagiaan dan penderitaan seperti kita juga, jika kita merenungkan dengan cara seperti ini, kedamaian dan pengertian akan muncul. Inilah dasar ajaran Buddha.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar