Kamis, 14 Juni 2012

Bab 1. Perjuangan Dhamma



Kalahkan ketamakan, kalahkan kebencian, kalahkan kebodohan... mereka ini merupakan musuh-musuh. Dalam praktik Buddha Dhamma, jalan Sang Buddha, kita berjuang menggunakan Dhamma, menggunakan ketahanan kesabaran. Kita berjuang dengan melawan suasana hati kita yang tak terhitung banyaknya.

Dhamma dan dunia ini saling berhubungan. Di mana ada Dhamma di sana ada dunia, di mana ada dunia di sana ada Dhamma. Di mana ada kekotoran-batin di sana ada orang-orang yang menaklukkan kekotoran-batin, yang berjuang melawan kekotoran-kekotoran batin. Inilah yang disebut berjuang di dalam batin. Kalau berjuang secara fisik, orang-orang menggunakan bom dan senapan untuk melempar dan menembak; mereka menaklukkan dan ditaklukkan. Menaklukkan pihak lain adalah jalan duniawi. Di dalam pelaksanaan Dhamma, kita tidak perlu menaklukkan pihak lain, tapi sebaliknya menaklukkan pikiran kita sendiri, dengan sabar menahan serta melawan semua suasana-hati kita.

Ketika mempraktikkan Dhamma kita tidak menyimpan kemarahan dan kebencian, tetapi sebaliknya melepaskan semua bentuk itikad-jahat di dalam perbuatan dan pikiran kita, membebaskan diri kita dari keirihatian, ketidaksukaan dan kemarahan. Kebencian hanya dapat diatasi dengan tidak menyimpan kemarahan dan dendam.

Perbuatan-perbuatan yang menyakitkan dan pembalasan dendam adalah berbeda tetapi sangat berkaitan. Sekali perbuatan telah dilakukan, tidaklah perlu dibalas dengan dendam dan permusuhan. Itulah yang disebut 'perbuatan' (kamma). 'Pembalasan'(vera) berarti melanjutkan perbuatan itu dengan pikiran 'kamu melakukan hal ini terhadapku maka aku akan membalasnya padamu'. Jika begini tidak akan ada akhirnya. Ini menimbulkan pencarian kesempatan untuk selalu membalas dendam, sehingga kebencian tidak pernah dihapuskan. Selama kita bertindak rantai tetap tidak akan putus, tidak akan ada akhirnya. Ke manapun kita pergi, permusuhan tetap berlanjut.

Guru yang Maha Sempurna (Yaitu Sang Buddha) mengajar kepada dunia, beliau mengasihi semua makhluk. Meskipun demikian dunia tetap berjalan seperti itu. Yang bijaksana harus mempertimbangkan dan memilih hal-hal yang memiliki nilai yang benar. Sewaktu Sang Buddha sebagai pangeran, Beliau telah terlatih dalam berbagai seni berperang, tetapi Beliau menyadari bahwa hal-hal tersebut tidak benar-benar berguna, mereka terbatas hanya dunia dengan peperangan dan agresinya.

Oleh karena itu, dalam melatih diri seperti orang-orang yang telah meninggalkan kehidupan duniawi, kita harus belajar melepaskan semua bentuk kejahatan, melepaskan semua hal yang menyebabkan timbulnya permusuhan. Kita menaklukkan diri kita sendiri, kita tidak mencoba untuk menaklukkan pihak lain. Kita berperang, tetapi kita hanya memerangi kekotoran-batin: jika ada ketamakan, kita perangi dia; jika ada kebencian, kita perangi dia; jika ada kebodohan/khayalan, kita berjuang untuk melepaskannya. Inilah yang disebut 'Perjuangan Dhamma'. Peperangan batin ini sangatlah sulit, pada kenyataannya inilah yang tersulit di antara semuanya. Kita menjadi bhikkhu adalah untuk merenungkan hal ini, untuk mempelajari seni menaklukkan ketamakan, kebencian, dan kebodohan/khayalan. Inilah tanggung jawab utama kita.

Ini adalah peperangan di dalam diri, berperang dengan kekotoran-kekotoran batin. Tetapi sangat sedikit orang yang berperang seperti itu. Kebanyakan orang berperang dengan hal-hal lain, mereka jarang memerangi kekotoran-kekotoran-batin. Mereka bahkan jarang melihatnya.

Sang Buddha mengajarkan kita agar melepaskan semua bentuk kejahatan dan mengembangkan kebajikan. Inilah jalan yang benar. Mengajar dengan cara ini adalah bagaikan Sang Buddha mengambil kita dan meletakkan kita pada awal dari sang jalan. Setelah sampai pada sang jalan, terserah pada kita untuk menjalaninya atau tidak. Tugas Sang Buddha sudah berakhir di situ. Beliau menunjukkan sang Jalan, mana yang benar dan mana yang salah. Itu sudahlah cukup, selebihnya terserah pada kita.

Sekarang, setelah Menemui sang jalan, kita masih belum mengetahui apapun, kita masih belum melihat apapun, jadi kita harus belajar. Untuk belajar kita harus bersiap-siap mengalami berbagai kesulitan, sama seperti murid sekolah. Cukup susah untuk mendapatkan ilmu dan pengetahuan yang diperlukan untuk membangun karir mereka. Mereka harus bertahan. Jika mereka berpikir salah atau merasa enggan atau malas, mereka harus memaksa diri mereka sendiri agar bisa lulus dan mendapat pekerjaan. Begitu pula praktik bagi seorang bhikkhu. Jika kita memutuskan untuk praktik dan merenungkan, pastilah kita akan menemukan sang jalan.

Ditthimana merupakan hal yang membahayakan, Ditthi berarti 'pandangan' atau 'pendapat'. Semua bentuk pandangan disebut ditthi: melihat kebaikan sebagai kejahatan, melihat kejahatan sebagai kebaikan... bagaimanapun cara kita memandang sesuatu. Ini bukan persoalannya. Persoalannya adalah terletak pada kemelekatan terhadap pandangan-pandangan tersebut, yang disebut mana; berpegang pada pandangan-pandangan tersebut seolah-olah mereka merupakan kebenaran. Inilah yang menyebabkan kita berputar dari kelahiran menuju kematian, tidak pernah mencapai penyelesaian, hanya karena kemelekatan itu. Itulah sebabnya Sang Buddha mendorong kita untuk melepaskan berbagai pandangan.

Jika banyak orang hidup bersama, seperti kita di sini, mereka tetap dapat praktik dengan nyaman jika pandangan mereka selaras/harmoni. Tetapi walaupun hanya dua atau tiga orang bhikkhu, akan menghadapi kesulitan jika pandangan mereka tidak baik atau selaras. Bila kita merendah-hati dan melepaskan berbagai pandangan kita, biarpun kita berbanyak, kita datang bersama ke hadapan Sang Buddha, Dhamma, dan Sangha (Tiga Permata: Sang Buddha, Dhamma, Ajaran Beliau, serta Sangha, Golongan Viharawan, atau mereka yang telah memahami Dhamma.)

Adalah tidak tepat mengatakan bahwa akan ada perselisihan hanya karena ada banyak orang di antara kita. Lihatlah si kaki-seribu. Ia mempunyai banyak kaki, bukan? Dengan melihat padanya, kalian mungkin berpikir ia akan sulit berjalan, tetapi sesungguhnya tidak. Ia memiliki aturan dan iramanya sendiri. Begitu pula dalam praktik kita. Jika kita praktik sesuai dengan yang dipraktikkan oleh Sangha Mulia dari Sang Buddha, maka semuanya akan mudah. Mereka adalah, supatipanno —mereka yang praktik dengan baik; ujupatipanno —mereka yang praktik dengan lurus; ñayapatipanno —mereka yang praktik untuk mengatasi penderitaan, dan samicipatipanno —mereka yang praktik dengan semestinya. Empat sifat ini jika dikembangkan dalam diri kita akan menjadikan kita anggota Sangha yang sejati. Meskipun jumlah kita ratusan atau ribuan, tidak peduli berapapun jumlah kita, kita semua menempuh jalan yang sama. Kita berasal dari latar belakang yang berbeda-beda, tetapi kita adalah sama. Meskipun pandangan kita mungkin berbeda-beda, jika kita praktik dengan benar maka tak akan terjadi perselisihan. Sama seperti semua sungai besar dan kecil yang mengalir ke laut... begitu mereka sampai ke laut, mereka akan mempunyai rasa dan warna yang sama. Begitu pula halnya dengan orang-orang. Bilamana mereka masuk ke dalam arus Dhamma, hanya ada satu Dhamma. Walaupun mereka berasal dari tempat yang berbeda, mereka selaras dan menyatu.

Tetapi pemikiran yang menyebabkan semua perselisihan dan pertentangan disebut ditthi-mana. Oleh karena itulah Sang Buddha mengajarkan kita supaya melepaskan berbagai bentuk pandangan. Jangan biarkan mana melekat pada berbagai pandangan yang berbeda di luar relevansinya.

Sang Buddha mengajarkan manfaat dari adanya sati —ingatan (Sati: Biasanya diterjemahkan penuh perhatian, tetapi ingatan merupakan terjemahan yang lebih tepat untuk kata-kata 'ra-leuk dai' dalam bahasa Thai) yang terus-menerus. Apakah kita sedang berdiri, berjalan, duduk, atau berbaring, di manapun kita berada, kita harus memiliki kekuatan ingatan ini. Jika kita mempunyai satikita bisa melihat diri kita sendiri, kita melihat batin kita sendiri. Kita melihat 'tubuh yang ada di dalam tubuh', 'batin yang ada di dalam batin'. Jika kita tidak mempunyai sati kita tidak mengetahui apapun, kita tidak menyadari apa yang sedang terjadi.

Jati sati sangatlah penting. Dengan adanya sati yang terus-menerus kita akan mendengarkan Dhamma Sang Buddha pada setiap saat. Ini adalah karena 'mata melihat bentuk-bentuk' adalah Dhamma; 'telinga mendengar suara' adalah Dhamma; 'hidung mencium aroma' adalah Dhamma; 'lidah mencicipi rasa' adalah Dhamma; 'tubuh merasakan sentuhan' adalah Dhamma; ketika kesan muncul dalam batin, itupun Dhamma. Oleh karena itu orang yang memiliki sati yang terus-menerus selalu mendengar ajaran Sang Buddha. Dhamma selalu ada di sana. Mengapa? Karena adanya sati, karena kita selalu sadar.

Sati adalah ingatan, sampajañña adalah kesadaran-diri. Kesadaran inilah Buddho yang sesungguhnya, Sang Buddha. Jika ada sati-sampajañña maka pemahaman akan mengikutinya. Kita tahu apa yang sedang terjadi. Ketika mata melihat bentuk-bentuk: apakah ini pantas atau tidak pantas? Ketika telinga mendengar suara: apakah ini tepat atau tidak tepat? Apakah membahayakan? Apakah salah, apakah benar? Begitulah seterusnya terhadap segala sesuatu. Jika kita mengerti maka kita mendengar Dhamma setiap saat.

Oleh karena itu marilah kita memahami bahwa saat ini juga kita sedang belajar di tengah-tengah Dhamma. Apakah kita berjalan maju ataupun mundur, kita bertemu dengan Dhamma —semuanya merupakan Dhamma jika kita mempunyai sati. Bahkan ketika melihat hewan-hewan yang berlarian di hutan, kita dapat merenungkan, melihat bahwa semua hewan sama seperti kita. Mereka menjauh dari penderitaan dan mengejar kebahagiaan, sama seperti yang dilakukan orang. Apapun yang tidak mereka sukai mereka hindari; mereka takut mati, sama juga seperti orang. Jika kita merenungkan hal ini, kita melihat bahwa semua makhluk di dunia, begitu pula manusia, memiliki kesamaan dalam berbagai naluri mereka. Berpikir seperti ini disebut 'bhavana' (Bhavana berarti 'pertumbuhan' atau 'perkembangan'; tetapi biasanya digunakan untuk menunjuk cittabhavana, pertumbuhan-batin, atau panna-bhavana, pertumbuhan kebijaksanaan atau perenungan.), melihat sesuai dengan kebenaran, bahwa semua makhluk adalah teman dalam kelahiran, usia-tua, sakit, dan kematian. Hewan sama dengan manusia dan manusia sama dengan hewan. Jika kita benar-benar melihat segala sesuatu sebagaimana mereka adanya, batin kita akan melepaskan kemelekatan pada segala sesuatunya.

Itulah sebabnya kita harus memiliki sati. Jika kita memiliki sati kita akan melihat keadaan batin kita. Apapun yang kita pikirkan atau rasakan kita pasti mengetahuinya. Penguasaan ini disebut Buddho, Sang Buddha, ia yang mengetahui... yang mengetahui secara menyeluruh, yang mengerti dengan jelas dan lengkap. Ketika batin mengetahui secara lengkap, kita mendapati praktik yang benar.

Jadi cara langsung untuk melakukan praktik adalah memiliki kesadaran, sati. Jika kalian tidak memiliki sati selama lima menit, kalian gila selama lima menit, lengah selama lima menit. Kapan saja kalian kekurangan sati, kalian menjadi gila. Sati sangat diperlukan. Memiliki sati berarti mengetahui diri sendiri, mengetahui kondisi batin dan kehidupan sendiri. Ini adalah memiliki pengertian dan ketajaman, untuk mendengarkan Dhamma pada setiap saat. Setelah meninggalkan ceramah sang guru, kalian tetap mendengar Dhamma, karena Dhamma berada di mana-mana.

Oleh karena itu, kalian semua, pastikan untuk praktik setiap hari. Apakah sedang malas ataupun rajin, praktiklah yang sama. Praktik Dhamma tidak dikerjakan dengan mengikuti selera atau suasana-hati kalian. Jika kalian praktik mengikuti selera, maka itu bukanlah Dhamma. Jangan bedakan antara siang dan malam, batin sedang tenang atau tidak... tapi praktiklah.

Semuanya seperti seorang anak yang sedang belajar menulis. Pertama tulisannya tidak bagus —besar, panjang dan bengkok-bengkok —ia menulis seperti layaknya anak-anak. Tak lama kemudian dengan latihan yang terus-menerus, tulisannya menjadi lebih baik. Praktik Dhamma juga seperti itu. Pada awalnya kalian canggung... kadang tenang, kadang tidak, kalian tidak mengerti apanya apa. Sebagian orang menjadi kecil hati. Jangan patah semangat! Kalian harus tetap praktik. Hiduplah dengan usaha, seperti anak sekolah: dengan bertambahnya usia ia menulis lebih baik. Dari menulis jelek ia belajar menulis rapi, semuanya karena latihan sejak masa kanak-kanak.

Praktik kita pun seperti ini. Usahakan untuk memiliki kesadaran setiap saat: saat berdiri, berjalan, duduk, atau berbaring. Jika kita melakukan semua kewajiban kita dengan lancar dan baik, kita merasa damai. Jika ada kedamaian dalam pekerjaan kita, kita akan mudah untuk mendapatkan kedamaian dalam meditasi, karena mereka berjalan beriringan. Karena itu kerahkanlah usaha. Anda semua harus berjuang untuk mengikuti praktik. Inilah yang disebut dengan latihan.

(www.Kalyanadhammo.net)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar