Sabtu, 02 Juni 2012

4. Bahaya Kemelekatan



Prinsip esensial ajaran Buddha Dharma adalah: kosong dari segala fenomena; bukan untuk mempertontonkan kesaktian, kemampuan paranormal, atau apapun yang mistik dan gaib.
Sang Buddha tidak menekankan pentingnya hal itu. Bagaimanapun, kekuatan seperti itu memang ada dan mungkin saja dikembangkan. Namun Dhamma jenis ini menyilapkan, sehingga Sang Buddha tidak menganjurkannya. Orang yang dipuji Sang Buddha adalah mereka yang mampu membebaskan
diri dari penderitaan.
Alat dan perlengkapan yang harus dimiliki untuk menyelesaikan latihan ini adalah: kemurahan-hati, kebajikan,samadhi dan kebijaksanaan. Kita harus mengambilnya dan berlatih dengannya.
Bersamaan mereka membangun jalan ke-dalam bathin dan kebijaksanaan adalah awalnya.
Jalan tersebut tidak dapat matang bila pikiran terbalut dengan kekotoran. Tapi bila kita cukup kuat, Jalan ini akan menyisihkan ketidakmurnian itu. Bagaimanapun kalau kekotorannya yang lebih kuat maka mereka akan menghancurkan Jalan. Praktik Dhamma itu ya cuma menyangkut: kedua kekuatan itu yang saling bertempur tanpa hentinya hingga mencapai ujung jalan.
Mareka berperang terus sampai tamat.Menggunakan peralatan latihan mengandung tantangan yang keras dan melelahkan.
Kita mengandalkan pada kesabaran,ketabahan dan kemandirian.
Kita harus melakukannya sendiri, mengalaminya sendiri dan merealisasikannya sendiri pula.
Namun demikian, para cendekiawan sering kebingungan. Contohnya, saat mereka duduk bermeditasi, sesaat pikiran mereka mengalami setitik ketenangan; mereka mulai perpikir, “Hei, ini pasti jhana pertama.” Beginilah cara kerja pikiran mereka.Dan begitu pemikiran-pemikiran seperti itu muncul, maka ketenangan yang baru dialaminya hancur-berantakan. — Tak lama kemudian mereka mulai berpikir lagi, itu pasti jhana kedua. – Janganlah memikirkan dan berspekulasi tentang itu.
Tidak ada papan yang mengumumkan tingkat samadhi yang kita alami. Di kenyataannya sungguh sama sekali berbeda.Tidak ada petunjuk apapun seperti petunjuk jalan yang memberitahu anda, “Jalan ini menuju Wat Nong Pah Pong”. Tidak seperti itu saya memahami pikiran. Tidak ada pengumuman.
Walaupun banyak cendekiawan papan-atas telah menulis penjelasan-rinci tentang jhana pertama, kedua, ketiga dan keempat, apa yang tertulis hanyalah informasi eksternal.
Apabila pikiran benar-benar memasuki kedamaian mendalam seperti itu, pikiran tidak tahu menahu mengenai apa yang tertulis. Pikiran memang mengetahui, tetapi apa yang diketahuinya tidaklah sama dengan teori yang kita pelajari. Jika para akademisi mencoba untuk menggenggam teorinya dan memeriksanya ke dalam meditasi, mereka duduk dan berpikir,“Hmmm…Apa ya ini? Apakah ini sudah jhana pertama?” Nah! Kedamaiannyapun buyar, dan mereka tidak mengalami apapun yang sungguh bermanfaat. Dan apa sebabnya? Karena terdapat nafsu, dan begitu ada nafsu kemelekatan maka apa
yang terjadi? Pikiran segera keluar dari meditasi. Jadi penting bagi kita semua untuk menyingkirkan segala pemikiran dan spekulasi. Tinggalkanlah mereka seluruhnya. Cukup gunakan tubuh, ucapan dan pikiran dan ceburkan diri seluruhnya ke dalam praktik. Amati langsung cara kerja pikiran ini, tetapi janganlah menyeret serta buku-buku Dhamma saat anda mengamati pikiran. Kalau tidak, maka segalanya bakal berantakan, karena tidak ada isi buku yang cocok persis dengan kenyataan yang sebenarnya.
Orang yang belajar terlalu banyak, yang penuh dengan pengetahuan teoritis, biasanya kesulitan dalam praktikmeditatif. Mereka cuma mandeg pada tingkat informasi. Kenyataannya adalah, pikiran dan bathin ini tidak bisa diukur dengan standar eksternal. Jika pikiran ini damai, sekedar biarkanlah ia menjadi damai. Pelbagai level kedamaian yang amat mendalam memang sungguh ada. – Secara pribadi, saya tidak tahu banyak teori tentang latihan.
Waktu itu saya telah menjadi bhikkhu selama tiga tahun dan masih banyak pertanyaan tentang bagaimana sebenarnya samadhi itu. Saya terus memikirkannya dan membayangkannya saat bermeditasi, tetapi pikiran saya malah menjadi kian gelisah dan bingung.
Jumlah pemikiran-pemikiran kian bertambah. Dan ketika saya tidak bermeditasi kok malah lebih tenang. Aduh, sulitkah,sangat menjengkelkan! Tapi sekalipun saya menjumpai banyak hambatan, saya tak pernah menyerah. Saya teruskan saja. Kala saya tidak berusaha berbuat sesuatu yang khusus, pikiran saya relatif tenteram. Tapi manakala saya bertekad membuat pikiran menyatu dalam samadhi, ia malah kehilangan kontrol.
“Apa yang sesungguhnya terjadi di sini,” pikir saya.
 “Mengapa ini terjadi?”
Belakangan saya mulai menyadari bahwa meditasi itu sama halnya dengan bernapas. Bila kita memaksa napas untuk menjadi dangkal, dalam atau membetulkannya — itu sangatlah sulit. Namun demikian, kalau kita berjalan-jalan, dan tidak menyadari napas masuk, napas keluar, itu sangatlah santai.
Jadi saya berpikir, “Aha? Mungkin begitulah caranya.” Ketika seseorang berjalan biasa di sepanjang hari, tanpa memfokuskan perhatian pada napasnya, apakah napas tersebut membuatnya menderita? Tidak, mereka hanya merasa relax. Tetapi ketika saya duduk dan bertekad-bulat hendak membuat pikiran tenang, maka kemelekatan pun timbul. Ketika saya berusaha mengendalikan napas menjadi dangkal atau dalam, hal itu justru membuat saya lebih tertekan. Mengapa? Karena tekad saya ternoda oleh kemelekatan. Saya justru jadi tidak tahu apa yang terjadi. Semua frustasi dan penderitaan muncul karena saya membawa kemelekatan ke dalam meditasi.
Suatu waktu saya tinggal di vihara hutan sekitar setengah mil dari desa. Pada satu malam penduduk desa merayakan pesta meriah saat saya sedang meditasi-jalan. Ketika itu pukul 11.00 lebih dan saya merasa sedikit ganjil. Saya merasakannya sejak tengah hari. Pikiran (mind) saya hening. Hampir tidak ada pemikiran (thought) apapun. Saya merasa sangat santai dan enteng. Saya melakukan meditasi-jalan sampai lelah dan kemudian duduk [meditasi] di dalam gubuk. Demikian saya duduk, belum lagi menyilangkan kaki, menakjubkan, pikiran ini ingin memasuki kedamaian yang mendalam. Itu semua
terjadi dengan sendirinya. Begitu saya duduk, pikiran langsung jadi sungguh tenteram. Seperti batu karang tak tergoyahkan. Bagaikan saya tidak lagi mendengar riuh nyanyi serta tarian penduduk desa — sebenarnya saya masih bisa mendengar — tetapi saya juga bisa membungkam seluruhnya sama sekali.
Aneh. Saat saya tidak memberi perhatian pada suara itu, ia hening sempurna — tidak mendengar apapun. Tapi kalau saya mau mendengar, saya bisa, tanpa menjadi terganggu.
Saat itu seperti ada dua obyek dalam pikiran saya yang saling berdampingan namun tanpa saling sentuh. Saya dapat melihat pikiran itu dan obyek kesadaran-nya terpisah dan berbeda.
Seperti tempolong dan ceret air ini. Kemudian saya mengerti: ketika pikiran menyatu dalam ketenangan samadhi, bila kita mengarahkan perhatian keluar kita dapat mendengarkan suara
— tetapi jika anda tinggal di kekosongannya maka akan hening sempurna. Saat suara ditangkap, saya dapat melihatnya bahwa “yang-mengetahui” dan suara itu adalah hal yang jelas berbeda. Saya lalu merenung, “Kalau bukan demikianlah ini adanya, ya mau bagaimana lagi?” Ya begitulah adanya.
Kedua hal tersebut terpisah sama sekali. Saya melanjutkan penyelidikan demikian ini sampai pengertian yang lebih mendalam lagi: “Ah, ini penting. Ketika pencerapan fenomena telah terpotong, hasilnya adalah kedamaian.” Ilusi yang berlangsung selama ini (santati) tertransformasi menjadi kedamaian pikiran (santi).
Saya lalu terus duduk, berusaha tetap bermeditasi. Pikiran saat itu hanya terpusat pada meditasi, yang lain diabaikan. Kalaupun saya berhenti bermeditasi pada titik ini, itu hanya oleh karena praktik telah benar-benar sempurna. Saya bisa saja memandangnya enteng, tapi itu bukan karena malas, lelah ataupun kesal. Bukan semuanya.
Hal tersebut tidak ada dalam bathin. Yang ada hanya keseimbangan bathin yang sempurna— pokoknya: pas.
Akhirnya saya istirahat sejenak, tapi itu hanya posisi duduk yang berubah. Bathin saya tetap tenang, tak bergeming, dan tidak lelah. Saya mengambil bantal, bermaksud untuk istirahat.
Sembari hendak berbaring, pikiran tetap damai seperti sebelumnya.
Kemudian sesaat sebelum kepala saya menyentuh bantal, kesadaran (the mind’s awareness) mulai mengalir ke dalam. Saya tidak tahu ini akan menuju kemana, tetapi ia terus mengalir lebih dalam dan lebih dalam lagi. Bagai arus listrik dalam kabel yang mengalir ke saklar. Begitu sampai di saklar, tubuh saya meledak dengan dentum memekakkan. Selama itu “yang-mengetahui” sangatlah luar biasa terang dan jernih. Begitu titik ini lewat, pikiran lepas menembus semakin ke dalam.
Ia meluncur ke dalam lagi hingga mencapai titik dimana tidak ada sesuatu apapun. Sama sekali tidak ada hal dari dunia luar yang bisa sampai ke tempat ini. Tiada apapun yang mampu mencapainya.
Berdiam di dalam untuk beberapa saat, pikiran ini lalu mundur mengalir balik keluar. Namun demikian, ketika saya mengatakan mundur tidak berarti saya yang membuatnya mengalir keluar. Saya hanya seperti seorang pengamat, hanya mengetahui dan menyaksikan saja. Pikiran keluar dan terus
keluar hingga akhirnya kembali “normal”. Begitu kesadaran kembali normal, timbul pertanyaan, “Eh, apakah itu?!” Sesegera itu muncul jawaban, “Semua ini terjadi sendiri sesuai dengan sifat-alaminya. Engkau tidak perlu mencari penjelasan lagi.” Jawaban ini sudah cukup memuaskan pikiran saya.
Sesaat kemudian, pikiran ini mulai mengalir ke dalam lagi. Saya tidak mengarahkannya dengan sengaja. Itu terjadi dengan sendirinya. Bergerak makin mendalam dan mendalam lagi hingga menabrak saklar yang sama. Kali ini tubuh saya pecah berantakan dalam fragmen dan partikel-partikel sangat kecil.
— Lagi, pikiran pun lalu lepas menembus ke dalam dengan sendirinya. Sunyi… — bahkan jauh lebih sunyi dari sebelumnya.
Sama sekali tiada apapun di luar yang dapat menjangkaunya.Pikiran tinggal disini beberapa saat, selama dia mau,kemudian mundur mengalir keluar. Saat itu, semuanya terjadi sesuai dengan momentumnya dan terjadi dengan sendirinya. Saya tidak mempengaruhi atau mengarahkan pikiran saya secara khusus, untuk mengalir ke dalam ataupun ke luar. Saya hanya pihak yang mengetahui dan mengamatinya saja.
Pikiran saya kembali pada kesadaran normalnya lagi, dan saya pun tidak bertanya-tanya atau berspekulasi tentang apa yang baru saja terjadi. Demikian saya bermeditasi, pikiran sekali lagi meluncur ke dalam. Kali ini seluruh jagad-raya hancur berantakan, terburai menjadi partikel-partikel kecil. Bumi, tanah, gunung-gunung, ladang-ladang dan hutan-hutan — seluruh dunia — cerai-berai menjadi elemen-elemen di udara. Orang orang lenyap. Semuanya hilang. Pada kali ketiga ini, sama sekali tiada yang tersisa.
Pikiran ini, setelah meluncur ke dalam, berdiam disana selama ia mau. Saya tidak bisa mengatakan saya mengerti persis bagaimana ia tinggal disana. Sulit untuk menggambarkannya.
Tiada yang dapat saya gunakan untuk membandingkannya. Tidak ada perumpamaan yang cocok. Kali ini pikiran tinggal di dalam jauh lebih lama dari yang sebelumnya, dan hanya setelah beberapa waktu ia kembali keluar. Ketika saya mengatakan “ia keluar”, saya tidak bermaksud mengatakan bahwa saya telah membuatnya keluar ataupun mengendalikan segala yang terjadi. Pikiran keluar dengan sendirinya. Saya hanya seorang pengamat. Akhirnya pikiran pun kembali pada keadaan kesadaran normalnya. — Bagaimana anda bisa memberi nama apa yang terjadi barusan sebanyak tiga kali? Siapa tahu? Istilah apa yang dapat digunakan untuk menamainya?
Semua yang saya ceritakan pada anda mengenai pikiran mengikuti hukumnya sendiri, terjadi secara alami. Tidak ada penjelasan teoritis dari pikiran atau keadaan keadaaan mental. Semua ini tidak perlu. Dengan keyakinan atau kepercayaan yang anda miliki, praktikkan ini dengan sungguh-sungguh.
Jangan berputar-putar terus, masuklah ke dalam Dhamma. Dan bila praktik anda sudah mencapai tingkatan seperti yang baru saja saya jelaskan, seluruh dunia ini akan jungkir-balik. Pemahaman anda akan realitas akan berbeda sama sekali. Pandangan hidup anda berubah total.
Bahkan kalau ada orang melihat anda pada saat itu, mungkin mereka berpikir anda sinting. Dan jika anda tidak mempunyai keyakinan diri yang sungguh kuat, anda memang bisa jadi benar-benar gila, karena tiada lagi apapun yang sama dengan sebelumnya. Orang-orang tampak berbeda dari yang biasanya dulu. Tetapi cuma anda satu-satunya yang melihat kenyataan ini. Semuanya berubah total. Pemikiran-pemikiran anda juga berubah: Orang lain kini berpikir begini, sementara saya berpikir begitu. Mereka berbicara tentang pelbagai hal begini, sementara anda ngomong dengan cara lain. Mereka mengikuti satu jalan, sedangkan anda mendaki jalan yang lain. Anda tak lagi sama dengan manusia lumrah lainnya. Pengalaman akan hal-hal di atas tidaklah luntur. Ini berlangung terus. Cobalah. —Jika benar-benar mengalami seperti yang saya ceritakan, anda takkan perlu mencari terlalu jauh-jauh. Cukup tengok saja ke dalam bathinmu sendiri. Bathin ini sesungguhnya teguh, kokoh tak tergoyahkan. Inilah kekuatan dari bathin, sumber kekuatan dan energi. Bathin ini mengandung kekuatan yang potensial.
Inilah kekuatan dari samadhi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar