Kamis, 14 Juni 2012

Bab 3. Tegakkan Norma



Hari ini kita bertemu kembali seperti yang kita lakukan setiap tahun setelah ujian Dhamma (Banyak bhikkhu mengikuti ujian tertulis terhadap pengetahuan tentang kitab suci mereka, yang kadang kala —seperti dinyatakan Achan Chah —mengganggu penerapan mereka terhadap berbagai ajaran dalam kehidupan sehari-hari.) tahunan. Kali ini kalian harus merenungkan pentingnya menjalankan berbagai kewajiban terhadap vihara, terhadap pembimbing dan para guru. Hal-hal ini yang menjadikan kita bersama sebagai satu kelompok, yang memungkinkan kita hidup dalam keharmonisan dan kedamaian. Hal-hal ini pula yang menuntun kita untuk saling menghormati, yang pada gilirannya memberikan manfaat kepada masyarakat.

Dalam semua masyarakat, sejak zaman Sang Buddha sampai saat ini, tidak peduli bentuk apapun yang mereka pilih, jika penghuninya tidak mempunyai rasa saling menghormati, mereka tak akan berhasil. Apakah masyarakat awam atau masyarakat viharawan, jika mereka tidak saling menghormati maka mereka tidak memiliki solidaritas. Jika tidak ada saling menghormati, timbul kelalaian dan akhirnya praktek memburuk.

Kelompok pelaksana Dhamma kita sudah tinggal di sini sekitar dua puluh lima tahun, berkembang mantap, tetapi ini bisa merosot. Kita harus menyadari hal ini. Tetapi jika kita semua penuh perhatian, mempunyai rasa saling menghormati dan terus menegakkan norma praktek, saya rasa keharmonisan kita akan kokoh. Praktek kita sebagai satu kelompok akan menjadi sumber perkembangan agama Buddha di masa yang akan datang.

Sekarang mengenai belajar dan berlatih/praktek, mereka merupakan pasangan. Agama Buddha telah tumbuh dan berkembang sampai saat ini karena belajar dan berlatih berjalan seiring. Jika kita mempelajari kitab suci dengan tanpa perhatian maka kelalaian akan muncul... Sebagai contoh, pada tahun pertama di sini kami memiliki tujuh orang bhikkhu yang menjalani Masa Vassa. Saat itu saya berpikir, "Setiap kali para bhikkhu belajar untuk Ujian Dhamma, tampaknya praktek mulai menurun". Menimbang hal ini, saya berusaha mencari penyebabnya, maka saya mulai mengajar para bhikkhu yang berdiam di sana selama Masa Vassa —yaitu mereka bertujuh. Saya mengajar kira-kira selama empat puluh hari, setiap hari mulai sehabis makan sampai dengan pukul enam petang. Para bhikkhu mengikuti ujian dan berhasil baik, ketujuhnya lulus.

Sejauh itu memang bagus, tetapi ada kesulitan tertentu untuk mereka yang kurang berhati-hati. Belajar memerlukan banyak membaca dan mengulang. Mereka yang kurang terkendali dan kurang siap cenderung lalai dengan latihan meditasi dan menghabiskan seluruh waktu mereka untuk belajar, mengulang, dan menghafal. Ini menyebabkan mereka melupakan kebiasaan lama, norma praktek mereka. Dan ini sering terjadi.

Begitulah ketika mereka sudah selesai belajar dan mengikuti ujian, saya melihat perubahan dalam prilaku mereka. Tidak ada meditasi jalan, hanya sedikit meditasi duduk, dan peningkatan di dalam pergaulan. Kurang ada mengendalikan diri dan ketenangan.

Sesungguhnya, dalam praktek kita, ketika kalian melakukan meditasi jalan, kalian harus benar-benar memutuskan untuk berjalan; ketika duduk bermeditasi, kalian harus memusatkan hanya melakukan hal itu. Apakah kalian sedang berdiri, berjalan, duduk, atau berbaring, kalian harus berjuang supaya tenang. Tetapi ketika orang banyak belajar, pikiran mereka penuh dengan kata-kata, mereka mabuk pada buku dan melupakan diri sendiri. Mereka tersesat pada keadaan-keadaan luar. Semua itu hanya bagi mereka yang tidak mempunyai kebijaksanaan, yang tidak terkendali dan tidak mempunyai sati yang kuat. Bagi orang-orang seperti itu belajar bisa menjadi sebab kehancuran. Ketika orang seperti itu sedang belajar mereka tidak melakukan meditasi duduk atau jalan serta menjadi semakin lalai. Batin mereka menjadi lebih kacau. Mengobrol tanpa tujuan, kurang pengendalian diri, serta bermasyarakat menjadi kegiatan sehari-hari. Inilah sebab kehancuran praktek kita. Bukan karena belajar itu sendiri, tetapi karena orang-orang tersebut tidak berusaha, mereka melupakan diri sendiri.

Sebenarnya kitab suci merupakan petunjuk jalan untuk praktek. Jika kita sudah mengerti tentang praktek, selanjutnya membaca atau belajar merupakan segi selanjutnya dari meditasi. Tetapi jika belajar dan melupakan diri sendiri hal itu menimbulkan banyak percakapan dan kegiatan yang tak bermanfaat. Mereka meninggalkan praktek meditasi dan segera ingin lepas jubah. Banyak di antara mereka yang belajar dan gagal lalu segera lepas jubah. Bukan berarti belajar itu tidak baik, atau prakteknya tidak benar. Itu karena mereka gagal untuk menguji diri sendiri.

Melihat hal ini, pada Masa Vassa yang kedua saya berhenti mengajarkan kitab suci. Beberapa tahun kemudian lebih banyak pemuda yang menjadi bhikkhu. Beberapa di antara mereka sama sekali tidak mengerti tentang Dhamma-Vinaya dan meremehkan naskah-naskah, sehingga saya memutuskan untuk memperbaiki keadaan dengan meminta para bhikkhu senior yang sudah belajar untuk mengajar, dan mereka sudah mengajar sampai saat ini. Inilah sebabnya kita menjadi memiliki kelas belajar di sini.

Bagaimanapun, setiap tahun setelah ujian berakhir, saya meminta semua bhikkhu untuk membangun kembali latihan mereka. Semua bagian kitab suci yang tidak berhubungan langsung dengan praktek, simpanlah di dalam almari. Kembangkan kembali diri sendiri, kembali pada norma semula. Bangun kembali latihan bersama seperti bersama-sama dalam chanting (pembacaan paritta) harian. Inilah norma kita. Lakukanlah itu meskipun hanya untuk mengusir kemalasan dan keenggananmu. Ini menumbuhkan ketekunan.

Jangan tinggalkan praktek dasar kalian: sedikit makan, sedikit bicara, sedikit tidur; terkendali dan tenang/sabar; menyendiri; meditasi berjalan dan duduk yang teratur; secara teratur bertemu pada saat yang tepat. Setiap orang dari kalian, berusahalah untuk itu. Jangan biarkan kesempatan baik ini terbuang. Berlatihlah. Kalian memiliki kesempatan untuk berlatih di sini karena kalian hidup di bawah bimbingan guru. Ia melindungi kalian dalam batas tertentu, jadi kalian harus mencurahkan diri untuk berlatih. Sebelumnya kalian sudah melakukan meditasi berjalan, sekarang kalian juga harus duduk. Pada waktu itu kalian sudah membaca paritta bersama pada pagi dan petang hari, sekarang kalian juga harus berusaha. Inilah tugas-tugas khusus kalian, curahkanlah tenaga untuk itu.

Ketahuilah bahwa mereka yang sekedar "membunuh waktu" di dalam jubah tidak mempunyai kekuatan apapun. Mereka yang gelisah, rindu rumah, bingung... apakah anda melihat mereka? Mereka inilah yang tidak memusatkan batin pada latihan. Mereka tidak mempunyai pekerjaan untuk dilakukan. Kita tidak bisa hanya berbaring di sini. Sebagai seorang bhikkhu atau samanera, hidup kalian terjamin, janganlah kalian menganggapnya memang mesti begitu. Kamasukhallikanuyogo (Menuruti kesenangan indera, menuruti kegemaran.) adalah suatu bahaya. Berusahalah untuk menemukan latihanmu sendiri. Tingkatkanlah latihanmu, secara bertahap doronglah dirimu sendiri. Apapun yang salah, perbaikilah, janganlah tersesat dengan keadaan-keadaan luar.

Mereka yang bersemangat tak akan melewatkan meditasi berjalan dan duduk, tak pernah berhenti menjaga pengendalian diri dan ketenangan/kesabaran.

Cobalah perhatikan para bhikkhu di sini. Siapa saja, setelah selesai makan atau pekerjaan lain, setelah meletakkan jubah, berjalan bermeditasi —dan ketika kita melewati kuti (Kuti —tempat tinggal seorang bhikkhu, sebuah gubuk.) nya kita melihat jejak pada jalur jalan, dan kita sering melihatnya —bhikkhu ini tidak jemu berlatih. Inilah orang yang memiliki usaha dan yang memiliki semangat.

Jika kalian mencurahkan perhatian pada praktek seperti ini maka tak akan timbul banyak persoalan. Jika kalian tidak berlatih, meditasi berjalan dan duduk, itu adalah tidak lebih dari sekedar berjalan-jalan. Tidak senang di sini kalian ke sana; tidak senang di sana kalian kembali ke sini. Kalian hanya berjalan terus ke mana saja.

Orang-orang seperti ini tak akan bertahan, ini tidak baik. Kalian tidak perlu terlalu banyak berkeliling, tinggallah di sini dan kembangkan latihan, pelajarilah dengan seksama. Pergi berkeliling bisa dilakukan kelak, itu tidak sulit. Kalian semua, kerahkanlah usaha.

Keberhasilan dan kehancuran bergantung pada hal ini. Jika kalian benar-benar ingin melakukan dengan benar, maka belajar dan prakteklah secara berimbang; gunakanlah keduanya bersama-sama. Ia bagaikan batin dan jasmani. Jika batin tenang serta jasmani bebas dari penyakit dan sehat, selanjutnya batin menjadi tenang. Jika batin kacau, biarpun jasmani kuat akan muncul kesulitan, apalagi bila jasmani mengalami gangguan.

Belajar meditasi adalah belajar mengembangkan dan melepaskan. Yang saya maksudkan dengan belajar di sini adalah: bilamana batin merasakan suatu sentuhan, apakah kita masih melekat padanya? Apakah kita masih menciptakan persoalan di sekitar itu? Apakah kita masih merasakan kesenangan atau keengganan terhadapnya? Secara sederhana: apakah kita masih tersesat dalam pikiran kita? Ya, masih. Jika kita tidak menyukai sesuatu kita bereaksi dengan keengganan; jika kita suka kita bereaksi dengan kegembiraan, batin menjadi kotor dan ternoda. Jika begitu kasusnya maka kita harus melihat bahwa kita masih mempunyai kesalahan, kita belum sempurna, masih ada yang harus kita kerjakan. Lebih banyak yang harus dilepaskan serta lebih gigih mengembangkan batin. Inilah yang saya maksud dengan belajar. Jika kita melekat pada sesuatu, kita mengenali bahwa kita melekat. Kita mengetahui keadaan kita, dan kita berusaha memperbaiki diri.

Hidup secara bersama atau terpisah dari guru haruslah sama. Sebagian orang merasa takut. Mereka takut guru akan mencela atau memarahinya jika mereka tidak melakukan meditasi jalan. Pada satu sisi ini baik, tetapi dalam praktek sebenarnya kalian tidak perlu takut pada orang lain, hanya waspadailah kesalahan yang timbul di dalam perbuatan, ucapan atau pikiran sendiri, kalian harus menjaga diri sendiri. Attano jodayattanam —"kalian harus menasehati diri kalian sendiri", jangan minta orang lain untuk melakukannya. Kita harus secepatnya meningkatkan diri, mengenal diri sendiri. Inilah yang disebut "belajar", mengembangkan dan melepaskan. Perhatikan hal ini sampai kalian memahaminya dengan jelas.

Hidup dengan cara ini berarti kita bersandar pada kesabaran, keteguhan dalam menghadapi semua kekotoran-batin. Meskipun ini bagus, ini tetap berada pada tingkat "mempraktekkan Dhamma sebelum melihatnya". Jika kita sudah mempraktekkan Dhamma serta sudah melihatnya, maka kita akan sudah menghindari apapun yang salah, apapun yang bermanfaat akan telah kita kembangkan. Melihat itu dalam diri sendiri, kita merasakan kesejahteraan. Tidak peduli apa yang dikatakan orang lain, kita mengenali batin kita, kita tidak goyah. Kita merasa damai di manapun.

Sekarang para bhikkhu dan samanera yang baru mulai berlatih mungkin berpikir bahwa Acjhan senior tampaknya tidak banyak melakukan meditasi jalan dan duduk. Dalam hal ini jangan meniru beliau. Kalian harus berusaha melebihi, bukannya meniru. Berusaha untuk melewati adalah satu hal, meniru merupakan hal lain. Kenyataannya, Achan senior itu berdiam dalam kediaman khususnya sendiri yang membahagiakan. Walaupun tampaknya beliau tidak berlatih, tetapi di dalam batin beliau berlatih. Apapun yang ada di dalam batin beliau tak bisa dilihat dengan mata. Praktek agama Buddha adalah praktek batin. Walaupun praktek itu tidak jelas kelihatan dalam perbuatan atau ucapan, batin merupakan hal yang lain.

Jadi seorang guru yang sudah berlatih dalam waktu lama, yang cakap dalam praktek, tampaknya seperti mengacuhkan perbuatan dan ucapannya, tetapi beliau menjaga batinnya. Beliau tenang. Hanya dengan melihat perbuatan luarnya saja kalian boleh berusaha meniru beliau, melepaskan dan mengatakan apa yang ingin dikatakan, tetapi semuanya tidak sama. Kalian tidak berada dalam tingkatan yang sama. Camkan hal ini.

Ada perbedaan yang nyata, kalian bertindak dari tempat yang berbeda. Walaupun Achan tampaknya hanya duduk santai, beliau sama sekali tidak sembrono. Beliau hidup bersama berbagai barang tetapi tidak bingung oleh barang-barang tersebut. Kita tidak bisa melihat itu, apapun yang ada dalam batin beliau tidak dapat kita lihat. Janganlah hanya menilai dari penampilan saja, batin sesungguhnya yang terpenting. Ketika kita berbicara, pikiran kita mengikuti pembicaraan itu. Perbuatan apapun yang kita lakukan, pikiran kita mengikuti, tetapi orang yang sudah berlatih bisa melakukan atau mengatakan sesuatu yang tidak diikuti pikirannya, karena ia menyatu dengan Dhamma dan Vinaya. Misalnya, suatu saat Achan mungkin keras pada muridnya, ucapannya tampak kasar dan sembrono, perbuatannya tampak kasar. Melihat hal itu, semua yang bisa kita lihat adalah perbuatan jasmani dan ucapannya, tetap batin yang menyatu dengan Dhamma dan Vinaya tidak bisa dilihat. Taat pada instruksi Sang Buddha: "Janganlah lengah". "Kewaspadaan adalah jalan menuju ketanpa-matian. Kelalaian adalah jalan menuju kematian". Camkanlah hal ini. Apapun yang dilakukan orang lain tidaklah penting, janganlah lengah, inilah yang terpenting.

Semua yang sudah saya katakan di sini hanyalah untuk mengingatkan kalian bahwa sekarang, setelah menyelesaikan ujian, kalian mempunyai kesempatan untuk pergi berkeliling dan melakukan banyak hal. Semoga kalian selalu ingat bahwa kalian adalah pelaksana Dhamma; seorang pelaksana harus tenang, terkendali dan sangat berhati-hati.

Mempertimbangkan ajaran yang mengatakan "Bhikkhu adalah orang yang mencari sedekah". Jika kita mendefinisikannya dalam cara seperti ini latihan kita... ini sangat kasar. Jika kita memahami kata ini sesuai dengan yang Sang Buddha definisikan, sebagai "orang yang melihat bahayanya Samsara (Samsara —lingkaran kelahiran yang berkondisi, dunia khayalan.)", ini lebih baik lagi.

Orang yang melihat bahayanya samsara adalah orang yang melihat kesalahan-kesalahan dan kekurangan dunia ini. Di dunia ini ada begitu banyak bahaya, tetapi kebanyakan orang tidak melihatnya, mereka melihat kenikmatan dan kesenangan dunia ini. Sekarang Sang Buddha mengatakan bahwa seorang bhikkhu adalah orang yang melihat bahayanya samsara. Apakah samsaraitu? Penderitaan dari samsara sangatlah besar, sangatlah berat. Kesenangan adalah juga samsara.

Sang Buddha mengajar kita agar tidak melekat pada mereka. Jika kita tidak melihat bahayanya samsara, maka ketika timbul kesenangan kita melekat pada kesenangan dan melupakan penderitaan. Kita mengabaikannya, seperti seorang anak kecil yang tidak mengenal api.

Jika kita memahami praktek Dhamma dalam cara begini... "Bhikkhu: orang yang melihat bahayanya samsara" ...jika kita mempunyai pengertian ini, ajaran ini dengan kuat mengilhami keberadaan kita, apakah kita sedang berdiri, berjalan, duduk atau berbaring, ke manapun kita, kita akan merasa tenang. Kita merenungkan diri sendiri, kewaspadaan ada di sana. Bahkan ketika duduk santai, kita merasakannya dalam cara itu. Apapun yang kita kerjakan, kita melihat bahaya ini, jadi kita berada dalam keadaan yang sangat berbeda. Praktek ini disebut "orang yang melihat bahayanya samsara".

Seseorang yang melihat bahayanya samsara, hidup di dalam samsara dan juga tidak. Artinya, ia mengerti konsep-konsep dan ia mengerti kelebihan mereka. Apapun yang dikatakan oleh orang seperti itu tidaklah sama dengan orang kebanyakan. Apapun yang dikerjakannya juga tidak sama, apapun yang dipikirkannya juga tidak sama. Kelakuannya jauh lebih bijaksana.

Oleh karena itu dikatakan: "Berusahalah untuk melebihi tetapi jangan meniru". Ada dua jalan —melebihi dan meniru. Orang yang dungu akan mengambil segala sesuatu. Kalian jangan lakukan itu! Jangan lupakan dirimu sendiri.

Untuk saya, tahun ini badan saya kurang sehat. Beberapa hal akan saya limpahkan kepada bhikkhu-bhikkhu dan samanera-samanera lainnya untuk membantu mengerjakannya. Mungkin saya akan beristirahat. Sejak dahulu kala selalu begitu, demikian pula di dunia: selama ayah dan ibu masih hidup, anak-anak sehat dan sejahtera. Ketika orang tua telah meninggal, anak-anak terpisah. Dari kaya mereka menjadi miskin. Begitulah pada umumnya yang terjadi dalam kehidupan awam, dan orangpun bisa melihatnya di sini. Misalnya, ketika Achan (guru) masih hidup, semuanya baik dan sejahtera. Begitu beliau wafat, kehancuran segera terjadi. Mengapa begini? Karena ketika sang guru masih hidup orang merasa puas diri dan melupakan diri sendiri. Mereka tidak berusaha untuk belajar dan berlatih. Seperti dalam kehidupan awam, ketika ibu dan ayah masih hidup, anak-anak menyerahkan semuanya pada mereka. Mereka bersandar pada orang tua dan tidak tahu bagaimana cara menjaga diri mereka sendiri. Ketika orang tua meninggal mereka jadi miskin. Begitu pula dalam kebhikkhuan. Jika Achan pergi atau wafat, para bhikkhu cenderung bergaul bebas, terpisah dalam kelompok serta hanyut dalam kemunduran, hampir begitu setiap saat.

Mengapa demikian? Karena mereka melupakan diri sendiri. Dengan hidup dari kebaikan sang guru semua berjalan lancar. Ketika sang guru wafat, para siswa cenderung bercerai-berai. Pandangan mereka berbenturan. Mereka yang berpikir keliru hidup di satu tempat, mereka yang berpikir benar hidup di tempat lain. Mereka yang merasa tidak nyaman, meninggalkan teman lamanya serta mendirikan tempat baru dan memulai garis baru dengan kelompok murid mereka sendiri. Begitulah semua terjadi. Saat inipun demikian. Semua itu karena kita salah. Ketika sang guru masih hidup kita bersalah, kita hidup ceroboh. Kita tidak mempelajari norma-norma praktek yang diajarkan oleh guru serta mengembangkannya di dalam batin kita. Kita tidak bersungguh-sungguh mengikuti jejak beliau.

Bahkan pada zaman Sang Buddha pun begitu, ingat kitab suci? Bhikkhu tua itu, siapa namanya... ya, Bhikkhu Subhadda! Ketika Yang Ariya Maha Kassapa kembali dari Pava, dalam perjalanan beliau menanyai seorang pertapa, "Apakah Sang Buddha baik-baik saja?" Si pertapa menjawab, "Sang Buddha telah memasuki Parinibbana tujuh hari yang lalu".

Para bhikkhu yang belum mencapai kesucian sangatlah berduka, menangis dan meratap. Mereka yang sudah menembus Dhamma merenungkan pada diri mereka sendiri, "Ah, Sang Buddha telah wafat. Beliau telah pergi". Tetapi mereka yang masih dipenuhi kekotoran, seperti Bhikkhu Subhadda berkata:

"Untuk apa kalian menangis? Sang Buddha telah wafat. Itu bagus! Sekarang kita bisa hidup santai. Ketika Sang Buddha masih hidup Beliau selalu mengganggu kita dengan aturan-aturan atau yang lainnya, kita tidak dapat melakukan ini atau mengatakan itu. Sekarang Sang Buddha telah wafat, itu baik! Kita bisa melakukan apa saja yang kita inginkan, mengatakan apa yang kita mau... Untuk apa kalian menangis?"

Keadaannya selalu begitu sejak dahulu sampai saat ini.

Akan tetapi, walaupun tidak mungkin untuk melindungi secara keseluruhan... Seperti misalnya kita mempunyai satu gelas dan kita merawatnya dengan baik. Setiap kali kita memakainya kita bersihkan dan menyimpannya di tempat yang aman. Dengan berhati-hati terhadap gelas itu kita bisa menggunakannya untuk waktu yang lama, dan ketika kita sudah selesai memakainya orang lain juga dapat memakainya. Sekarang, menggunakan gelas dengan ceroboh dan memecahkannya setiap hari, serta memakai satu gelas selama sepuluh tahun sebelum ia rusak, manakah yang lebih baik?

Praktek kitapun seperti itu. Sebagai contoh, jika dari semua yang hidup di sini, berlatih terus-menerus, hanya sepuluh yang berlatih dengan baik, maka Wat Ba Pong akan sejahtera. Seperti di desa-desa, dalam satu desa dengan seratus rumah, andaikan hanya ada lima puluh saja orang yang baik maka desa itu akan sejahtera. Sesungguhnya untuk mencari sepuluh saja cukup sulit. Atau ambil satu vihara seperti ini di sini: sangatlah sulit untuk menemukan lima atau enam orang bhikkhu yang benar-benar bertanggung jawab, yang benar-benar melaksanakan latihan/praktek.

Bagaimanapun juga, sekarang kita tidak mempunyai tanggung jawab apapun, selain daripada untuk berlatih sebaik mungkin. Pikirkanlah itu, apakah yang kita miliki di sini? Kita tidak memiliki harta, kekayaan, dan keluarga lagi. Makanpun kita hanya sekali sehari. Kita sudah melepaskan banyak hal, bahkan yang lebih baik dari semua itu. Sebagai bhikkhu dan samanera kita melepaskan segala sesuatu. Kita tidak memiliki apapun. Hal-hal yang digemari orang sudah kita buang. Pergi menjadi bhikkhu adalah dalam rangka praktek. Mengapa kemudian kita mengharapkan hal-hal lain, menuruti ketamakan, kemalasan atau khayalan? Mengisi batin kita dengan hal-hal lain adalah sudah tidak pantas lagi.

Pikirkan: mengapa kita menjadi pertapa? Mengapa kita berlatih? Kita menjadi pertapa untuk berlatih. Jika kita tidak berlatih maka kita hanya bermalas-malasan. Jika kita tidak berlatih, maka kita lebih buruk daripada umat awam, kita tidak mempunyai fungsi apapun. Jika kita tidak melakukan pekerjaan apapun atau menerima tanggung-jawab kita, itu merupakan kesia-siaan dari kehidupan samana (Samana: seorang pencari kebenaran yang meninggalkan kehidupan duniawi. Berasal dari istilah Sansekerta untuk "seseorang yang berjuang", kata itu manunjukkan seseorang yang sudah berjanji menjalankan latihan keagamaan.). Itu bertentangan dengan tujuan seorang samana.

Jika demikian kasusnya maka berarti kita lalai. Lalai itu bagaikan mati. Tanyalah dirimu sendiri, apakah kamu punya waktu untuk berlatih ketika kamu mati? Teruslah tanyakan pada dirimu, "Kapan aku akan mati?" Jika kita merenungkan dalam cara ini, batin kita akan waspada setiap saat, kewaspadaan akan selalu hadir. Jika waspada, ada sati, maka ingatan terhadap "apa adalah apa" dengan sendirinya akan mengikuti. Kebijaksanaan akan jernih, melihat dengan jelas segala sesuatu sebagaimana adanya. Ingatan menjaga sang batin, mengenali munculnya semua perasaan pada setiap saat, siang dan malam. Itulah arti dari memilikisati. Memiliki sati berarti tenang. Tenang berarti waspada. Jika seseorang waspada maka ia berlatih dengan benar. Inilah tanggung jawab khusus kita.

Jadi hari ini saya ingin menyampaikan hal ini pada kalian. Jika kelak kalian meninggalkan tempat ini ke salah satu vihara cabang atau ke manapun, jangan lupakan diri kalian sendiri. Kenyataannya kalian masih belum sempurna, masih belum selesai. Kalian masih mempunyai banyak pekerjaan yang harus dilakukan, banyak tanggung jawab yang harus dipikul, yaitu praktek untuk mengembangkan dan melepaskan. Masing-masing dari kalian, harap perhatikan benar hal ini. Apakah kalian hidup di sini atau di vihara cabang, pertahankan norma-norma latihan ini. Sekarang ini jumlah kita banyak, banyak pula vihara-vihara cabang. Semua vihara cabang ini mengakui Wat Ba Pong sebagai asal mereka. Bisa kita katakan bahwa Wat Ba Pong adalah "orang tua", guru, contoh bagi semua vihara cabang. Jadi, terutama para guru, bhikkhu dan samanera dari Wat Ba Pong, haruslah berusaha untuk memberi contoh, menjadi panduan bagi semua vihara cabang lainnya, teruslah untuk tekun dalam praktek dan tanggung jawab sebagai seorang samana.

(www.kalyanadhammo.net)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar