Sabtu, 02 Juni 2012

6. Mengubah Pandangan Kita





Ini tak lain adalah Kebenaran Mulia kedua, nafsu-keinginan (craving) akan menimbulkan penderitaan.
Jika sadar akan kebenaran ini dan merenungkannya dengan mendalam, kita akan mengerti bahwa memaksakan hasil dari latihan Dhamma adalah murni kebodohan. Itu salah. Memahami hal ini, kita pasrah dan membiarkannya tumbuh menurut kemampuan, kecakapan spiritual dan pahala yang telah kita kumpulkan. Kita tetap mengerjakan bagian kita. Jangan khawatir berapa lama hasilnya muncul. Walaupun masih seratus, seribu kehidupan lagi untuk mencapai pencerahan, lalu kenapa? Berapa banyakpun kehidupan yang diperlukan, kita terus berlatih dengan bathin yang enteng, melangkah dengan tanpa beban. Begitu pikiran memasuki arus, tidak ada ketakutan. Perbuatan jahat sekecil apapun telah lenyap.
Sang Buddha menyebutkan bahwa pikiran seorang sotapanna — seseorang yang telah mencapai tingkat pertama dalam pencerahan, yang sudah memasuki arus Dhamma — terus mengalir menuju pencerahan.Orang tersebut tak lagi mengalami alam rendah yang menyedihkan, takkan jatuh ke neraka. Bagaimana mungkin mereka yang pikirannya telah terbebas dari niat jahat bisa jatuh ke dalam neraka? Mereka sudah melihat bahaya dari melakukan kamma buruk. Sekalipun anda memaksa mereka untuk melakukan atau mengatakan sesuatu yang jahat, mereka tidak mampu melakukannya. Jadi tak ada kesempatan bagi mereka untuk jatuh ke neraka atau alam yang menyedihkan.Pikiran mereka mengalir sesuai arus Dhamma.
Saat anda memasuki arus, anda tahu apa tanggungjawab anda. Anda memahami kerjanya. Mengerti cara berlatih. Anda tahu kapan harus berjuang keras dan kapan harus rileks.
Anda memahami tubuh dan pikiran anda, proses fisik dan mental ini, dan meninggalkan hal-hal yang musti ditinggalkan, terus menerus melepas tanpa setitik pun keragu-raguan.
Dalam pengalaman saya mempraktikkan Dhamma, saya tidak berharap menguasai semua bagian. Hanya satu: saya memurnikan hati ini. Seperti saat melihat sesosok tubuh. Kalau kita tertarik, maka analisalah. Perhatikan baik-baik: rambut,bulu badan, kuku, gigi, dan kulit yang indah. Sang Buddha mengajarkan untuk meneliti dan berulang-ulang merenungi bagian-bagian tubuh ini. Membayangkannya secara terpisah,memisahkannya dengan mengupas kulit ini dan membakarnya.
Beginilah caranya. Latih terus meditasi ini hingga mantap dan kokoh. Lihat setiap orang secara sama. Sebagai contoh ketika para bhikkhu dan murid pemula (samanera) pergi ke desa untuk mengumpulkan dana makanan di pagi hari, siapapun yang mereka lihat — apakah ia bhikkhu maupun penduduk desa — mereka membayangkannya sebagai tubuh mati, sosok mayat yang berjalan sempoyongan di depan mereka. Selalulah melihat dengan cara seperti itu. Inilah cara kerja kita. Ini akan menuntun kepada kematangan dan perkembangan bathin.Ketika anda melihat seorang wanita muda yang menurut anda menarik, bayangkan ia adalah mayat yang berjalan, badannya busuk dan bau bangkai. Lihatlah setiap orang dengan cara itu.
Jangan biarkan mereka terlalu dekat. Jangan sampai nafsu timbul dalam diri anda. Apabila anda melihatnya busuk dan berbau, saya jamin nafsu tak akan muncul.
Kontemplasikan hingga anda yakin dengan apa yang anda lihat, hingga jelas dan anda menjadi mahir. Maka jalan apapun yang akan anda tempuh, anda takkan tersesat. CEBUR-kan diri sepenuh hati ke dalam meditasi ini. Kapanpun anda melihat seseorang, itu sama dengan mayat. Apakah ia laki-laki atau perempuan, lihatlah mereka sebagai mayat. Hasilnya, mayatlah yang anda lihat.
Berusahalah mengembangkan cara ini dengan seksama semampu anda.
Melatihnya sampai hal tersebut menjadi bagian dalam pikiran anda. Saya jamin, ini bakal sangat mengasyikkan bila anda melatihnya sungguh-sungguh. Apabila hal ini Cuma terbayang-bayang dalam pikiran setelah anda membacanya dari buku, anda akan mengalami kesulitan. Jadi anda harus mem-praktik-kannya. Lakukan dengan sepenuh hati dan ikhlas.
Melatihnya hingga meditasi ini menjadi bagian dari diri anda. Tanamkan cita-cita yang kuat untuk merealisasikan Kebenaran.
Jika anda termotivasi oleh keinginan untuk mengatasi penderitaan, maka anda akan berada di jalan yang benar.
Saat ini banyak orang yang mengajar Vipassana dan berbagai ragam teknik-teknik meditasi. Saya mau katakan: tidak gampang melakukan vipassana. Kita tidak bisa langsung melompat ke dalamnya. Tak bakal jalan kalau tidak dimulai dengan latihan moralitas yang tinggi. Coba saja. Disiplin moral dan latihan sila adalah penting, karena sebelum perilaku,perbuatan, dan ucapan kita tanpa-cela kita takkan pernah bisa berdikari. Bermeditasi tanpa adanya kebajikan adalah mengabaikan bagian pokok dari jalan.
Begitu pula, terkadang anda mendengar orang berkata, “Anda tak perlu mengembangkan ketenangan (samatha). Loncati, langsung saja meditasi vipassana”. — Orang malas yang grusah-grusuh suka ngomong seperti itu. Mereka bahkan mengatakan anda tak perlu pusing dengan disiplin-moralitas. — Menegakkan dan memurnikan sila memang penuh tantangan. Tidak main main.
Andai saja kita boleh melewati semua latihan laku etis,urusan jadi gampang; begitu ‘kan? Dan lalu setiap menjumpai kesulitan, kita hanya menghindar — lompati saja. Ya tentu, kita semua maunya sih meloncati kesulitan-kesulitan.
Dahulu saya pernah ketemu seorang Bhikkhu yang mengatakan bahwa ia seorang praktisi-meditator. Dia minta ijin untuk tinggal bersama saya di sini dan menanyakan jadwal kegiatan serta peraturan biara. Saya menjelaskan bahwa kita hidup di vihara ini menurut Vinaya, peraturan kebiaraan yang diberikan Sang Buddha. Dan apabila ia ingin tinggal dan berlatih dengan saya maka ia mesti meninggalkan uang dan semua barang miliknya. Dia menjawab bahwa ia berlatih “tidak-melekat kepada aturan-umum (conventions)”. “Dapatkah saya tinggal di sini?”, dia bertanya, “Dan saya mau tetap menyimpan semua uang saya, namun tanpa melekat kepadanya. Uang itu ‘kan cuma konvensi”. — Dia cuma sedang membual. Sebenarnya dia hanya terlalu malas untuk mengikuti vinaya. Makanya saya bilang, ini tidak gampang. — “Jika anda bisa menelan garam dan dengan jujur bisa meyakinkan saya bahwa itu tidak asin,maka saya akan tanggapi anda dengan serius.
Dan ketika anda mengatakan itu tidak asin, saya akan membawakan sekarung lagi untuk anda makan. Coba saja. Asin tidak? Ketakmelekatan terhadap konvensi bukanlah hanya soal pintar bersilat lidah.Kalau anda cuma terus ngomong macam begitu, anda tidak dapat tinggal bersama saya.” Kemudian ia pun ngeloyor pergi.
Kita harus berusaha dan menjaga praktik kebajikan (sila).
Para biarawan musti berlatih dengan berupaya menjalankan praktik asketik (dhutanga), sementara umat awam musti melatih Pancasila Buddhis. Berusahalah mencapai kemurnian dalam setiap ucapan dan perbuatan. Kita harus mengembangkan kebaikan dengan segenap kemampuan kita, dan terus melakukannya.
Ketika kita mulai mengembangkan ketenangan meditasi samatha, jangan membuat kesalahan dengan cuma berlatih sekali dua kali lalu berhenti karena pikiran tidak bisa tenang. Itu bukan cara yang benar. Anda harus menumbuhkan meditasi dalam jangka waktu yang panjang. Mengapa membutuhkan waktu yang panjang?
Coba pikirkan. Entah berapa lama kita telah membiarkan pikiran ini mengembara? [Sejak dahulu kala] sudah berapa tahun anda tidak melakukan meditasi samatha?
Kapan saja pikiran ini memerintahkan hal tertentu, kita tergopoh-gopoh memburunya. Untuk menenangkannya, agar berhenti dan diam, sekedar latihan beberapa bulan belumlah cukup. Pikirkanlah ini.
Ketika kita melatih pikiran agar menjadi tenang di segala situasi, harap dimaklumi bahwa di awal manakala emosi negative muncul, pikiran ini tidak akan tenang. Ia akan terganggu dan hilang kendali.
Mengapa? Karena masih ada nafsu-kemauan (tanha)18. — Kita tidak mau pikiran ini berpikir. Kita tidak mau mengalami gangguan suasana hati atau emosi. Ketidak-mauan ini adalah keterikatan terhadap non-eksistensi [atau maunya:TIDAK-terganggu]. Semakin kita menolaknya semakin kita justru mengundang dan mempersilahkannya masuk. —“Saya tidak menginginkan ini, tapi mengapa mereka datang padaku? Saya tidak mengharapkan begini, tapi mengapa terjadi begini?
” Nah, itu! — Kita mau-nya pelbagai hal jadinya begini atau begitu, karena kita tidak memahami pikiran kita sendiri. Ini bisa memakan waktu yang panjang sebelum kita meng-realisasi (menyadari) bahwa berputar-putar dengan hal tersebut adalah sebuah kesalahan. Pada akhirnya kita akan mengerti dengan jelas, “Ooh, hal-hal tersebut muncul karena aku memang mengundangnya.”
Mendambakan untuk TIDAK-mengalami sesuatu, mendambakan untuk menjadi tenang, mendambakan untuk tidak terganggu atau teragitasi — ini semua adalah tanha. Itu semuanya seperti lempeng besi panas membara. Tetapi, okelah.
Pokoknya berlatihlah terus. Tiap kali mengalami suatu mood atau emosi, periksalah bahwa ini tidak kekal, tidak memuaskan,dan tanpa inti, dan cemplungkan mereka ke dalam salah satu dari tiga kategori ini. Kemudian refleksi dan selidiki: perasaan yang keruh selalu dibarengi dengan pemikiran yang berlebihan (excessive thinking). Manakala suatu mood terbit, pemikiran mesti lalu datang membayang-bayangi. Pemikiran atau mikir mikir (thinking) dan kebijaksanaan (wisdom) adalah dua hal yang sangat berbeda.
Mikir-mikir itu cuma bereaksi dan membuntuti suasana hati kita, dan mereka berlanjut tanpa henti.
Tetapi begitu wisdom bekerja, ia akan membawa pikiran ke keheningan (stillness). Pikiran ini berhenti dan tidak ke manamana.
Yang ada sekedar mengetahui dan mengenali apa yang sedang dialami: ketika emosi ini muncul, pikiran seperti ini; dan saat mood itu muncul, ia seperti itu. Kita pertahankan yang “mengetahui” ini. Akhirnya terjadilah pada kita, “Heii, semua mikir-mikir, ocehan mental tak ada juntrungnya, kekhawatiran serta pelbagai sikap-menghakimi, mengecap, memberi penilaian— ini semuanya gombal tanpa makna. Semuanya tak permanen, tidak memuaskan, bukan aku atau milikku.” Cemplungkan hal tersebut ke dalam satu dari TIGA-KATEGORI yang mencakup semuanya ini, dan tumpas habis. Anda memotong sumbernya.Nanti saat kita bermeditasi lagi, hal ini akan muncul lagi. Terus waspadai dan awasi. Mata-matailah dia.
IBARAT menggembalakan kerbau. Anda punya: petani, tanaman padi, dan kerbau. — Si kerbau maunya memakan tanaman padi. Bukankah tanaman padi adalah makanan yang disukainya?
Pikiran anda adalah ibarat kerbau. Perasaan yang keruh adalah seperti tanaman padi. Yang “mengetahui” adalah petaninya. Praktik adalah seperti itu. Tidak berbeda. Bandingkanlah sendiri. Ketika menggembalakan seekor kerbau, apa yang anda lakukan? Anda melepas, membiarkannya leluasa, tetapi anda memantaunya.
Ketika ia nyeleweng terlalu dekat ke tanaman padi, anda meneriakinya. Ia pun berbalik saat mendengar suara anda.
Tetapi jangan lalai, lengah akan apa yang sedang dilakukan kerbau. Bila anda mempunyai kerbau yang bebal yang tidak nurut pada peringatan anda, ambillah tongkat dan pukul pantatnya. Maka ia takkan berani mendekati tanaman padi. Tetapi anda jangan bobok-siang. Kalau anda rebah terkantuk-kantuk, tanaman padi itu bakal tinggal kenangan.
Demikian juga dengan praktik Dhamma: anda cukup mengawasi pikiran anda; “si tahu” menggembalakan pikiran ini.
“Orang-orang yang mengawasi pikirannya dengan cermat akan terbebas dari jeratan Mara.” Namun demikian “pikiran yang-mengetahui” ini adalah sang pikiran juga, jadi siapakah yang sedang mengamati pikiran ini? Pertanyaan begini ini bisa jadi sangat membingungkan. Pikiran adalah satu hal, yang-mengetahui adalah hal lain; tetapi yang-mengetahui ini terbentuk dalam pikiran yang sama. Apa yang dimaksud dengan mengetahui pikiran? — Yaa, seperti apakah rasanya menjumpai suasana hati dan emosi-emosi? Seperti apakah keadaan perasaan yang jernih? Pengetahuan tentang hal inilah yang dimaksud dengan yang “mengetahui.”
Yang-mengetahui mengikuti pikiran dengan pengamatan, dan dari “mengetahui” inilah lahir kebijaksanaan. — Pikiran yang berpikir dan yang terikat satu sama lain dengan emosi-emosi ini persis seperti kerbau. Ke arah mana pun ia pergi, gunakan pengamatan yang jeli. Bagaimana ia dapat lolos? Kalau ia mendekat tanaman padi, anda bentak. Jika tak mau mendengar, ambil sepotong tongkat dan pukul. “Whack!” Inilah cara menundukkan tanha (craving).
Tak beda pula dengan melatih pikiran. Ketika pikiran mengalami suatu perasaan (emosi) dan sekejab menggenggamnya — merupakan tugas “yang-mengetahui” untuk mendidik.
Selidiki suasana hati tersebut apakah ia baik atau buruk.
JELASKAN pada pikiran bagaimana berlakunya sebab-dan akibat
 Apabila pikiran kembali meraih, memegang sesuatu yang ia sangka menyenangkan, “yang-mengetahui” harus mendidiknya lagi, menjelaskan sebab dan akibatnya sampai ia rela melepaskan hal tersebut. Ini akan membawa kedamaian pikiran. — Setelah menyadari bahwa apapun yang ia ambil dan genggam pada dasarnya tidak memuaskan, pikiran pun berhenti. Ia tak memusingkan hal-hal semacam itu lagi, karena ia di bawah cecaran teguran dan nasehat-nasehat teratur.
Hadang nafsu-pikiran ini dengan gigih. Desak dia sampai ke sarangnya, hingga ajaran ini merasuk dalam bathin. Begitulah cara anda melatih pikiran

Tidak ada komentar:

Posting Komentar