Sabtu, 02 Juni 2012

3. SILA, SAMADHI dan PANNA



Berlatihlah seperti itu. Bila orang ingin ngomong panjang lebar tentang teori, itu urusan mereka. Namun tak peduli berapa banyak diperdebatkan, latihan itu selalu tiba pada titik yang satu ini. Ketika sesuatu muncul, ia munculnya di sini. Entah banyak atau sedikit, ia berasal tepat di sini. Ketika ia berhenti, penghentiannya pun tepat di sini. Ya mau dimana lagi?
Sang Buddha menyebut titik ini sebagai “yang Mengetahui”(the “Knowing”).
Ketika the “Knowing” ini mengetahui segala sesuatu dengan akurat, yakni sesuai dengan kebenaran, kita bakal memahami seperti apa pikiran itu.
Segala macam hal tak henti-hentinya membohongi. Anda mempelajarinya, namun pada saat yang sama mereka mengelabui anda. Ya, bagaimana lagi saya harus ngomong? Walaupun anda memahami mereka,namun anda tetap saja masih dikecoh olehnya justru persis pada pemahaman anda itu. Itulah situasinya. Menurut hemat saya, inti masalahnya adalah: Sang Buddha tidak ingin kita cuma sekedar tahu tentang bagaimana menamai hal-hal diatas.
Tujuan dari ajaran Sang Buddha adalah memahami jalan yang membebaskan diri kita dari hal-hal tersebut melalui penyelidikan akan pelbagai sebab [penderitaan] yang mendasari(the underlying causes).
Saya mempraktikkan Dhamma dengan tanpa banyak pengetahuan [teori].
Saya hanya tahu jalan untuk pembebasan dimulai dengan moralitas atau kebajikan (sila). Sila merupakan indahnya permulaan dari Jalan. Kedamaian yang mendalam dari samadhi merupakan indahnya pertengahan. Kebijaksanaan (panna) adalah indahnya akhir. Kendati mereka dapat dibagi atas tiga aspek unik dari latihan, bila kita meninjau lebih dalam lagi ketiga kualitas ini bertemu menjadi satu.
Untuk mendukung kebajikan, anda harus bijak. Kita biasanya menganjurkan orang untuk mengembangkan standar etikanya dengan menjaga lima aturan perilaku (Panca Sila), dengan demikian sila-nya akan menjadi mantap. Bagaimanapun kesempurnaan sila memerlukan banyak kebijaksanaan (wisdom).
Kita harus mempertimbangkan perkataan dan tindakan kita, serta menganalisa konsekuensinya. Inilah pekerjaan dari kebijaksanaan.
Kita musti mengandalkan wisdom untuk menumbuhkan kebajikan.
Menurut teori, kebajikan datang duluan lalu Samadhi dan selanjutnya kebijaksanaan. Namun ketika saya menelitinya sendiri, ternyata saya menemukan bahwa sesungguhnya kebijaksanaan merupakan landasan setiap aspek lain dari praktik.
Agar memahami sepenuhnya segala konsekuensi dari apa yang kita ucapkan dan lakukan — khususnya yang merugikan — kita perlu menngunakan wisdom guna menuntun, mengendalikan,dan menyelidiki bekerjanya sebab-dan-akibat. Ini akan memurnikan (purify) perbuatan dan ucapan kita. Manakala kita menjadi terbiasa dengan tindakan etis dan tidak etis, kita mulai paham untuk berlatih. Kitapun lalu meninggalkan apa yang buruk dan menumbuhkan apa yang baik. Kita meninggalkan yang salah dan mengembangkan yang benar. Inilah: kebajikan.
Dengan menjalankan ini, bathin bertambah kokoh dan tabah.
Ketegaran serta kemantapan ini bebas dari kekhawatiran, rasa bersalah, keraguan dalam bertindak dan berbicara. Inilah: samadhi.
Penyatuan pikiran yang stabil ini membentuk tambahan sumber tenaga yang lebih kuat lagi bagi praktik kita,membuat kontemplasi yang lebih mendalam pada penglihatan,pendengaran, segala yang kita alami. Begitu pikiran telah terbentuk dengan perhatian-penuh (mindfulness) yang kokoh,mantap serta damai — kita bisa memulai penyelidikan tanpa putus terhadap realitas tubuh, perasaan, persepsi, buah pikir,kesadaran, penglihatan, pendengaran, penciuman, pengecapan,sensasi dan segala obyek dari pikiran. Sebagaimana mereka selalu muncul, kita pun terus-menerus gigih menginvestigasi dengan sepenuh hati tanpa kehilangan mindfulness sedikitpun.
Kemudian kita akan tahu hal yang sebenarnya.
Mereka sekedar muncul ke eksistensi sesuai dengan hakekat alamiahnya sendiri. Sejalan dengan tumbuhnya pemahaman kita, maka lahirlah kebijaksanaan.
Begitu ada pemahaman jernih akan kebenaran segala sesuatu, maka persepsi-persepsi kolot kita bakal tercerabut dan pengetahuan konseptual kitapun lalu transformasi menjadi wisdom.
Demikianlah kebajikan, samadhi dan kebijaksanaan bergabung serta berfungsi sebagai satu kesatuan.
Dengan bertambahnya kekuatan serta keteguhan dari kebijaksanaan, samadhi akan jadi kian mantap. Semakin samadhi tak tergoyahkan, sila secara menyeluruh pun kian tak tergoncangkan. Sempurnanya sila, akan turut mengembangkan samadhi; meningkatnya penguatan samadhi mendorong matangnya kebijaksanaan. Inilah tiga aspek dari latihan yang saling membaur kait-mengkait. Kesatuannya disebut Jalan Mulia Berunsur Delapan, jalan Sang Buddha. — Ketika Sila,Samadhi dan Panna mencapai puncaknya, Jalan ini mampu mencerabut semua ketidakmurnian dalam pikiran. Saat nafsu keinginan, kebencian dan kebodohan tampil, Jalan inilah
satu-satunya yang dapat membabatnya habis hingga ke akar akar.
Kerangka dari praktik Dhamma adalah Empat Kebenaran Mulia yaitu:
Kebenaran adanya penderitaan (dukkha),
sebab dari penderitaan (samudaya),
berhentinya penderitaan(nirodha) dan
Jalan menuju lenyapnya penderitaan (magga).
Jalan ini terdiri dari kebajikan, samadhi dan kebijaksanaan —kerangka dalam melatih bathin ini. Maksud sebenarnya bukan ditemukan dalam kata-kata tersebut tetapi ada di kedalaman bathin kita. Begitulah sila, samadhi, dan panna. Mereka berputar terus menerus. Jalan Mulia Berunsur Delapan akan melingkupi setiap pemandangan, suara, bau, rasa, sensasi tubuh dan obyek pikiran yang muncul. Namun demikian, apabila unsur-unsur dari Jalan Mulia ini lemah dan lesu, kotoran-bathin akan menguasai pikiran kita. Sebaliknya kalau Jalan ini kuat dan teguh, ia akan mengalahkan dan menghancurkan kekotoran tersebut. Jika kekotoran begitu kuat dan tangguh sementara Jalan ini ringkih dan lemah, maka kekotoran bakal mengalahkan Sang Jalan. Mereka akan menguasai bathin kita.
Apabila the knowing kurang sigap dan gesit, begitu bentuk-bentuk pikiran, perasaan, persepsi serta buah-buah-pikir muncul, maka mereka bakal segera menguasai dan menghancurkan kita. Sang Jalan dan kekotoran bathin itu berjalan ber-iringan.
Dengan berkembangnya latihan Dhamma dalam bathin kita, kedua kekuatan itu mesti bertarung pada setiap langkahnya. Ini seperti dua orang yang bertengkar dalam pikiran kita. Tetapi ini hanyalah Jalan Dhamma dan kekotoran yang saling bergulat buat menguasai bathin. Jalan ini menuntun serta mengembangkan kemampuan kita untuk terus menyelidiki dengan perhatian-penuh. Selama kita mampu berkontemplasi
secara tepat, kekotoran-bathin akan kehilangan pijakannya. Namun bila kita goyah, seketika itu pula kekotoran bersatu-padu dan mendapatkan kekuatannya kembali.
Sang Jalan akan terkepung ketika kekotoran kembali merebut posisinya. Kedua pihak ini akan terus bertempur hingga ada pemenangnya, serta seluruh urusan telah dirampungkan.
Bila kita memusatkan usaha kita untuk mengembangkan Jalan Dhamma, kekotoran akan berangsur-angsur musnah. Begitu tumbuh secara penuh, Empat Kebenaran Mulia akan menetap dalam bathin. Dalam bentuk apapun penderitaan itu hadir, ia selalu berkaitan dengan suatu sebab. Itulah Kebenaran Mulia Kedua. Dan apa penyebabnya? Lemahnya kebajikan, samadhi dan kebijaksanaan. Saat Sang Jalan tak mampu bertahan, kekotoran menguasai pikiran. Ketika mereka menguasai, Kebenaran Kedua berperan dan kekotoran ini menimbulkan beragam jenis penderitaan. Saat kita menderita,segala kualitas untuk menumpas penderitaan pun hilang.
Sebaliknya jika kondisi-kondisi yang menyokong Sila, Samadhi dan Panna mencapai kekuatan maksimal, Jalan Dhamma tidak dapat dihentikan, melaju terus mengatasi kemelekatan dan keterikatan yang telah membuat kita begitu menderita. Penderitaan tidak dapat muncul karena Jalan telah melenyapkan kekotoran bathin. Disinilah berhentinya penderitaan. Mengapa Jalan dapat melenyapkan penderitaan? Karena sila, Samadhi dan panna telah mencapai puncak kesempurnaan, dan Sang Jalan telah membangun suatu momentum yang tidak dapat dibendung lagi. Semuanya hadir bersamaan tepat disini.
Bahkan saya mau katakan bahwa: siapa saja yang berpraktik seperti ini, segala ide teoritis [tentang pikiran] tidak bakalan muncul. Bila pikiran telah terbebaskan dari hal-hal ini, maka ia benar-benar dapat diandalkan dan pasti. Kini apapun jalannya yang hendak ditempuh, kita tidak perlu lagi terlalu pusing mengendalikannya agar tetap lurus.
Bayangkanlah daun-daun pohon mangga. Seperti apakah mereka? Dengan meneliti cukup satu daun saja kita  akan tahu seperti apa yang lainnya walau mungkin terdapat sepuluh ribu daun. Yang lain pada dasarnya sama saja. Begitu juga dengan batangnya, kita hanya perlu melihat batang dari satu pohon mangga untuk mengetahui karakteristik semuanya. Hanya melihat pada satu pohon. Semua pohon mangga lainnya pada dasarnya tidaklah berbeda. Walaupun terdapat seratus ribu pohon, jika satu diketahui maka semuanya juga diketahui. Inilah yang diajarkan Sang Buddha.
Kebajikan, samadhi dan kebijaksanaan memang membentuk Jalan Sang Buddha.
Tapi Jalan ini sendiri bukanlah esensi dari Dhamma. Jalan ini bukanlah tujuan-akhir, bukan sasaran utama Sang Bhagava. Tetapi sekedar jalan yang menuntun ke dalam bathin. Ini seperti saat anda berkunjung dari Bangkok ke vihara ini, Wat Nong Pah Pong. Bukanlah jalan itu yang hendak dicapai. Apa yang diinginkan adalah mencapai vihara, tapi untuk mencapainya anda memerlukan jalan tersebut.
Jalan yang anda lalui bukanlah vihara, ini merupakan cara untuk tiba ke sana.
Hal ini sama seperti kebajikan, samadhi dan kebijaksanaan. Kita dapat mengatakan mereka bukanlah esensi dari Dhamma, tetapi merupakan jalan untuk tiba ke sana.
Saat sila, samadhi dan panna telah kita kuasai, hasilnya adalah kedamaian pikiran yang sangat mendalam. Itulah tujuannya.
Begitu kita tiba disana, walaupun ada kebisingan, pikiran tetap tenang seimbang.
Saat kita mencapai kedamaian ini, tidak ada yang perlu dilakukan lagi.
Sang Buddha mengajarkan untuk melepas. Apapun yang terjadi, tak ada yang perlu dikhawatirkan.Kemudian kita benar-benar yakin dan tahu sendiri. Kita tidak lagi sekedar mempercayai perkataan orang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar