Ada
dua cara untuk mendukung ajaran Buddha, salah satunya yaitu yang disebut
amisapuja, mendukung melalui persembahan barang-barang materi. Persembahan
tersebut dapat berupa makanan, pakaian, tempat tinggal, dan obat-obatan. Ini
adalah cara mendukung ajaran Buddha dengan memberikan benda-benda materi kepada
Bhikkhu Sangha dan Viharawati, sehingga mereka bisa hidup layak dalam pelayanan
terhadap Dhamma. Hal ini akan mendasari realisasi nyata ajaran Sang Buddha,
yang otomatis akan membawa kemakmuran bagi agama Buddha.
Ajaran
Buddha dapat disamakan seperti pohon, sebatang pohon mempunyai akar, batang,
cabang, dahan serta daun. Daun, cabang, ranting tergantung pada akar dalam
menyerap nutrisi dari tanah dan menyebarkannya ke seluruh bagian. Seperti
halnya pohon tergantung pada akarnya untuk bertahan, tindakan dan perkataan
kita adalah 'cabang' dan 'daun', yang tergantung pada pikiran, si 'akar', yang
menyerap nutrisi dan kemudian mengedarkannya ke seluruh bagian 'batang',
'dahan' dan 'daun'. Ini kemudian akan menghasilkan buah yaitu perkataan dan
perbuatan, bagaimana tingkat pikiran, terampil atau tidak, diekspresikan oleh
perkataan dan perbuatan kita.
Karena
itu dukungan yang paling penting bagi ajaran Sang Buddha adalah melalui
penerapan ajaran itu sendiri. Sebagai contoh, dalam upacara penetapan
aturan-aturan pada hari-hari observasi, Sang Guru akan menggambarkan
tindakan-tindakan yang harus dihindari, tetapi jika anda hanya sekedar
mendengarkan dan mengikuti jalannya upacara tanpa merenungkan artinya, anda
akan sulit maju dan berkembang. Anda tidak akan mampu menemukan latihan yang
sesungguhnya. Karena itu dukungan bagi agama Buddha harus dilakukan melalui
Patipattipüja, pemberian 'persembahan' berupa latihan, menanam kontrol diri,
konsentrasi dan kebijaksanaan. Dengan begitu anda akan tahu ajaran agama Buddha
yang sesungguhnya. Jika kita belum bisa mengerti lewat latihan maka meskipun
kita mempelajari seluruh isi Tipitaka kita tetap tidak akan mengerti.
Pada
jaman Sang Buddha ada seorang bhikkhu yang bernama Pothila, yang diberi gelar
Tuccha yang artinya kosong, Tuccha Pothila adalah seorang bhikkhu yang sangat
terpelajar. Ia sangat terkenal dan mempunyai 18 (delapan belas) cabang vihara.
Ketika orang mendengar nama 'Pothila' mereka semua kagum dan tidak ada
seorangpun yang berani mempertanyakan segala yang diajarkannya, mereka begitu
memujanya. Tuccha Pothila adalah salah satu murid Sang Buddha.
Pada
suatu hari ia datang untuk menghormat Sang Buddha, sewaktu ia melakukan
penghormatan, Sang Buddha berkata, "Apa kabar Bhikkhu Kitab Kosong!....
Hanya begitu! Mereka bercakap-cakap sejenak. Dan kemudian sewaktu Tuccha
Pothila berpamitan, Sang Buddha berkata: "Pergi sekarang, Bhikkhu Kitab
Kosong?"
Sang
buddha hanya berkata seperti itu. Pada saat datang, "Apa kabar Bhikkhu
Kitab Kosong?" Dan waktu pulang "Pergi sekarang Bhikkhu Kitab
Kosong?" Sang Buddha tidak menjelaskan lebih jauh, hanya itulah ajaran
yang diberikan. Tuccha Pothila, guru yang terkenal itu bingung, "Mengapa
Sang Buddha berkata demikian? Apa maksudnya?" Ia berpikir keras,
mengeluarkan semua ajaran yang pernah dipelajari, sampai akhirnya ia
menyadari... "Benar! 'Bhikkhu Kitab Kosong' - seorang bhikkhu yang belajar
tetapi tidak mempraktekkan. .." Ketika ia melihat dalam hatinya, ia
menyadari bahwa ia tidak berbeda dari kebanyakan orang awam. Apapun yang
disukai mereka, ia juga suka, apapun yang dinikmati oleh orang-orang awam ia
ikut menikmati. Tidak ada samana yang benar pada dirinya, tidak ada kualitas
yang baik dalam diri untuk membawa menuju Jalan Mulia dan menemukan kedamaian.
Ia
memutuskan untuk berlatih, tetapi ia tidak tahu harus pergi ke mana. Semua guru
yang ada di sekitarnya adalah murid-muridnya, tidak ada yang berani menerimanya
sebagai murid. Biasanya ketika seseorang bertemu dengan si guru, mereka menjadi
penakut dan penghormat, jadi tidak ada seorangpun yang berani menjadi gurunya.
Akhirnya
ia pergi untuk menemui seorang samanera muda yang telah mencapai tingkat
kesucian untuk meminta petunjuk. Samanera itu berkata, "Baiklah, kamu bisa
berlatih bersama saya, tetapi kamu harus tulus. Jika kamu tidak tulus saya
tidak akan menerimamu."
Samanera
itu kemudian menyuruh Tuccha Pothila untuk mengenakan jubahnya dengan lengkap.
Ada tanah berlumpur di sekitar situ. Ketika Tuccha Pothila telah mengenakan
jubahnya dengan lengkap, samanera itu berkata, "Baiklah, sekarang
berjalanlah di tanah berlumpur itu, jika saya tidak menyuruh untuk berhenti,
jangan berhenti. Jika saya tidak memintamu untuk meninggalkannya, jangan
tinggalkan. Sekarang bersiaplah dan..... jalan!"
Tuccha
Pothila yang berjubah rapi, masuk ke dalam tanah berlumpur itu. Samanera tidak
menyuruh berhenti sampai ia betul-betul rata berlumuran lumpur. Akhirnya ia
berkata, "Kamu dapat berhenti sekarang"... dan Tuccha Pothila
berhenti. "Baklah, tinggalkan tempat itu!" Lalu ia pergi. Ini jelas
menunjukkan bahwa Tuccha Pothila telah meninggalkan keangkuhannya. Ia siap
menerima ajaran, jika ia tidak siap untuk belajar ia tidak akan mau berjalan
dalam lumpur seperti itu. Tetapi walaupun dia seorang guru yang terkenal, ia
mau melakukannya. Samanera muda itu melihat bahwa Tuccha pothila benar-benar
tulus dan berniat kuat untuk berlatih.
Setelah
Tuccha Pothila keluar dari lumpur itu dan membersihkan diri, samanera muda
memberikan ajarannya. Ia mengajar Tuccha untuk mengamati obyek sensasi,
mengetahui pikiran dan mengenali obyek-obyek sensasi. Digunakan perumpamaan
seseorang yang akan menangkap kadal yang bersembunyi dalam lubang yang bercabang.
Jika lubang itu mempunyai enam jalan keluar, bagaimana caranya menangkap kadal
tersebut? Tentunya dengan menutup lima jalan keluar yang lain. Dengan demikian
ia hanya perlu melihat dan menunggu satu lubang. Ketika kadal itu keluar dengan
mudah ia bisa menangkapnya.
Begitu
juga cara mengamati pikiran; menutup mata telinga, hidung, lidah dan tubuh,
kita hanya menyisakan pikiran. Yang dimaksud dengan menutup indera adalah
menahan serta menatanya, dan hanya mengamati pikiran.
Meditasi
sama seperti menangkap kadal. Kita menggunakan sati untuk mengamati nafas. Sati
adalah kualitas perenungan, sama halnya seperti bertanya pada diri sendiri,
"Apa yang saya lakukan?" Sampajañña adalah kesadaran bahwa 'saat ini
saya sedang melakukan ini dan itu'. Kita mengamati nafas yang masuk dan keluar
dengan menggunakan sati dan sampajañña.
Kualitas
perenungan semacam ini adalah sesuatu yang timbul dari latihan dan bukan
sesuatu yang dapat dipelajari lewat buku-buku. Ketahuilah pikiran-pikiran yang
timbul, pikiran dapat menjadi tidak aktif sebentar dan kemudian perasaan akan
timbul. Sati bekerja sebagai penghubung bagi perasaan-perasaan ini, dan
mengumpulkannya. Ada sati, yaitu kumpulan "Saya akan berbicara",
"Saya akan pergi" dan sebagainya, kemudian ada sampajañña, kesadaran
bahwa 'Sekarang saya sedang berjalan', 'Saya sedang berbaring', 'Saya sedang
mengalami perasaan ini dan itu'. Dengan dua hal ini; sati dan sampajañña, kita
dapat mengetahui pikiran kita saat ini. Kita akan mengetahui bagaimana pikiran bereaksi
terhadap rangsangan. Sesuatu yang menyadari akan adanya obyek sensasi itulah
yang disebut 'pikiran'. Obyek sensasi itu berkelana masuk ke dalam pikiran.
Sebagai contoh ada suara, suara itu masuk melalui telinga dan berkelana ke
dalam menuju pikiran, yang mengenali suara apakah itu. Yang mengenali suara
itulah yang disebut 'pikiran'.
Pikiran
yang mengenali suara itu masih termasuk pikiran dasar, pikiran rata-rata.
Pikiran kejengkelan dapat timbul pada sesuatu yang mengenali. Kita harus
melatih 'yang mengenali' ini lebih jauh lagi agar menjadi 'mengetahui' sesuai
dengan kebenaran—yang disebut Buddho. Jika kita tidak mengetahui sesuai dengan
kebenaran kita akan jadi jengkel dengan suara mobil, orang dan sebagainya. Ini
hanyalah pikiran rata-rata yang mengenali suara dengan kejengkelan. Ia
mengetahui menurut pilihan, bukan menurut kebenaran. Kita harus melatihnya
lebih jauh untuk mengenali gambaran dan pandangan terang (insight) ñanadassana,
kekuatan dari pikiran yang tersaring, sehingga mengenali suara hanya sebagai
suara. Jika kita tidak melekat pada suara, tidak akan ada kejengkelan. Suara
timbul dan kita hanya mengetahui saja. Inilah yang disebut benar-benar
mengenali timbulnya suara, dengan begitu kita tidak akan jengkel. Suara itu
timbul menurut kondisi, bukan makhluk (being), individu, diri, kita atau
'mereka'. Hanya suara, pikiran harus melepas.
Pengenalan
semacam ini disebut Buddho, pengetahuan yang jelas dan menembus. Dengan
pengetahuan seperti ini kita dapat membiarkan suara sebagai hanya suara. Ia
tidak akan mengganggu kita kecuali jika kita mengganggunya dengan berpikir,
'Saya tidak ingin mendengar suara itu, itu menjengkelkan' . Penderitaan timbul
karena pemikiran semacam itu. Inilah penyebab penderitaan: saat kita belum
mengembangkan Buddho, kita belum jernih, belum terjaga (awake), belum waspada.
Inilah pikiran yang mentah, belum terlatih. Pikiran semacam itu belum
benar-benar berguna bagi kita.
Maka
dari itu Sang Buddha mengajarkan bahwa pikiran harus dilatih dan dikembangkan.
Kita harus mengembangkan pikiran seperti kita mengembangkan tubuh, hanya tentu
saja lewat cara lain. Untuk mengembangkan tubuh; kita berlatih lari, jogging
pada pagi hari dan sore atau olah raga lain. Itu semua adalah latihan fisik.
Hasilnya: tubuh menjadi sehat, kuat, pernafasan dan sistem syaraf menjadi lebih
efisien. Untuk melatih pikiran kita tidak perlu memindah-mindahkann ya,
melainkan membawanya ke suatu perhentian, membawanya beristirahat.
Sebagai
contoh, ketika berlatih meditasi, kita mengambil suatu obyek, misalnya
pernafasan sebagai dasar. Pernafasan ini menjadi pusat perhatian dan perenungan
kita. Kita mengamati pernafasan. Mengamati artinya mengikuti pernafasan dengan
penuh kesadaran, mengetahui iramanya, keluar masuknya. Kita menempatkan
kesadaran pada pernafasan, mengikuti jalannya pernafasan secara alami dan
melepaskan segala yang lain. Sebagai hasil dari kesadaran mengamati hanya satu
obyek, pikiran kita menjadi segar kembali. Jika kita membiarkan pikiran
memikirkan ini dan itu, kesadaran kita mengamati banyak obyek, pikiran tidak
menyatu, tidak beristirahat.
Mengatakan
bahwa pikiran berhenti artinya seakan-akan rasanya pikiran itu berhenti, tidak
berkelana ke sana ke mari. Sama halnya seperti memiliki pisau yang tajam. Jika
kita menggunakan pisau itu untuk memotong-motong segala sesuatu tanpa
membedakan, misalnya batu, rumput dan batu bata, pisau kita akan cepat menjadi
tumpul. Kita harus menggunakannya untuk memotong hanya benda-benda yang sesuai
dengan kegunaannya. Demikianlah juga dengan pikiran kita. Jika kita membiarkan
pikiran berkelana dari satu pemikiran ke pemikiran lain yang tidak berguna,
pikiran akan menjadi lemah dan lelah. Jika pikiran tidak lagi mempunyai
kekuatan, kebijaksanaan tidak akan timbul, karena pikiran tanpa energi adalah
pikiran tanpa samadhi.
Jika
pikiran belum berhenti, kita belum mampu melihat obyek sensasi sebagaimana
adanya. Pengetahuan bahwa pikiran adalah pikiran dan obyek sensasi adalah obyek
sensasi, adalah akar dari pertumbuhan dan perkembangan ajaran Buddha.
Kita
harus mengolah, mengembangkan dan melatih pikiran ini dalam ketenangan dan
pandangan terang (insight). Kita melatih pikiran agar mempunyai kontrol dan
kebijaksanaan dengan cara membiarkan pikiran tenang dan membiarkan
kebijaksanaan timbul, dengan mengenali pikiran sebagaimana adanya.
Anda
tahu, cara kita manusia hidup, bagaimana kita melakukan segala sesuatunya, sama
seperti anak-anak. Seorang anak tidak mengetahui apapun. Bagi orang dewasa yang
mengamati tingkah laku anak-anak, bagaimana ia bermain dan berlari serta
melompat ke sana ke mari, tampaknya tindak-tanduk anak-anak itu tidak banyak
tujuannya. Jika pikiran kita tidak terlatih, sama halnya seperti anak-anak.
Kita berbicara tanpa kesadaran dan bertindak tanpa kebijaksanaan. Kita mungkin
akan jatuh dan merusakkan sesuatu atau menyebabkan kerugian yang tidak
terbayangkan, semuanya terjadi tanpa kita sadari. Seorang anak tidak pedulian,
ia bermain sebagaimana anak-anak, demikian juga dengan pikiran kita yang tidak
pedulian.
Jadi
kita harus melatih pikiran ini. Sang Buddha melatih kita untuk melatih pikiran,
mengajar pikiran. Biarpun kita mendukung ajaran Buddha dengan empat kebutuhan
pokok, dukungan kita masihlah secara permukaan, dukungan itu hanya mencapai
'kulit keras' sang pohon. Dukungan yang sesungguhnya haruslah dilakukan lewat
praktek, bukan yang lain, melatih tindakan, perkataan dan pikiran kita menurut
ajaran. Ini lebih bermanfaat, jika kita jujur dan lurus, memiliki kontrol diri
dan kebijaksanaan, latihan kita akan membawa kemakmuran. Kebencian dan
keiri-hatian tidak punya sebab untuk timbul. Beginilah agama kita mengajarkan.
Jika
kita menentukan berbagai aturan semata-mata berdasarkan tradisi, maka meskipun
Guru Besar sendiri yang mengajar kita tentang kebenaran, latihan kita akan
kurang baik. Kita mungkin akan bisa mempelajari ajaran-ajaran itu dan
menghormatinya, tetapi jika kita ingin benar-benar mengerti kita harus melatih
ajaran-ajaran tersebut. Jika kita tidak mengembangkan latihan, kita akan
terhambat dalam menembus inti ajaran Buddha pada beribu kehidupan yang akan
datang. Kita tidak akan mengerti inti ajaran Buddha. Karena itu latihan
bagaikan kunci, kunci dari meditasi, jika kita mempunyai kunci yang tepat di
tangan kita, bagaimanapun kuatnya gembok suatu peti, ketika kita mengambil
kunci dan memutarnya, peti itu akan terbuka. Jika kita tidak mempunyai kunci
kita tidak dapat membukanya. Kita tidak akan bisa melihat apa yang ada di dalam
peti itu.
Sebenarnya
ada dua jenis pengetahuan, seseorang yang mengetahui Dhamma tidak berbicara
hanya melalui ingatan, ia mengatakan yang sebenarnya. Manusia biasanya
berbicara melalui ingatan, dan seringnya mereka biasanya berbicara dengan
kesombongan. Sebagai contoh, misalkan ada dua orang yang sudah lama tidak
bertemu, mungkin karena hidup berjauhan, suatu hari bertemu di kereta api... di
antara mereka berkata: "Oh, kebetulan. Saya sebenarnya berkeinginan untuk
menjengukmu! "... padahal tidak demikian. Sebenarnya mereka tidak saling
memikirkan, tetapi karena gembira mereka berkata seperti itu. Dan hal itu
menjadi suatu kebohongan. Ya, berbohong karena kecerobohan, berbohong tanpa
mengetahuinya. Ini adalah salah satu jenis kekotoran batin yang halus dan
sering kali terjadi.
Jadi
masih mengenai pikiran, Tuccha Pothila mengikuti petunjuk dari samanera:
menarik nafas, menghembuskan. .. dengan kesadaran mengikuti tiap nafas...
sampai ia melihat kebohongan dalam dirinya, kebohongan dari pikirannya, ia
melihat kekotoran batin saat timbul, sama seperti kadal yang keluar dari lubang
yang bercabang, ia melihatnya dan menerima sifat alaminya segera setelah
muncul. Ia mengamati bagaimana pikiran berpindah dari hal yang satu ke hal yang
lain tiap saat.
Berpikir
adalah sankhata dhamma, sesuatu yang tercipta dari kondisi yang mendukung. Ini
bukan asankhata dhamma, yang tidak terkondisi. Pikiran yang terlatih dengan
baik, yang mempunyai kesadaran yang sempurna, tidak menciptakan tahapan mental.
Pikiran semacam ini menembus Kesunyataan Mulia dan melampaui semua kebutuhan
yang bergantung pada keadaan eksternal. Mengetahui Kesunyataan Mulia adalah
mengetahui kebenaran. Pikiran yang bercabang mencoba menghindari kebenaran ini,
dan mengatakan 'itu baik' atau 'ini indah', tetapi jika ada Buddho dalam
pikiran, hal-hal semacam itu tidak akan bisa menipu kita lagi, karena kita
mengenali pikiran seperti apa adanya. Pikiran tidak dapat lagi menciptakan
keadaan mental yang tertutup khayalan, karena ada kesadaran yang jernih bahwa
semua keadaan mental yang tertutup semacam itu tidak stabil, tidak sempurna dan
merupakan sumber penderitaan bagi yang melekat padanya.
Kemanapun
ia pergi, kesadaran selalu mengikuti pikiran Tuccha Pothila. Ia mengamati
berbagai macam variasi ciptaan dan percabangan pikiran dengan pengertian. Ia
melihat bagaimana pikiran menipu dengan berbagai cara. Ia menangkap inti dari
latihan dengan melihat bahwa "Pikiran yang ada inilah yang
mengamati—inilah yang membawa kita pada kebahagiaan dan penderitaan yang
ekstrim dan menyebabkan kita terus berputar-putar pada lingkaran samsara tanpa
henti, dengan segala kenikmatan dan penderitaannya. Baik dan jahat, semua
karena pikiran ini". Tuccha Pothila menyadari kebenaran dan menangkap inti
dari latihan seperti seseorang yang menangkap ekor kadal. Ia melihat cara kerja
pikiran yang diselubungi khayalan.
Pada
saat itu, ia melihat bayangan Sang Buddha sehingga Tuccha Pothila semakin
bersemangat dan tekun. Dan pada akhirnya ia mencapai tingkat kesucian
Arahat.Karena itu, penting untuk melatih pikiran. Sekarang jika pikiran adalah
pikiran itu sendiri, dengan apa kita bisa melatihnya? Dengan terus menerus
mempunyai sati dan sampajañña kita akan mampu terus-menerus mengenali pikiran.
Sati dan sampajañña berada satu langkah di atas pikiran, inilah yang mengetahui
tahapan pikiran. Pikiran adalah pikiran. Yang mengenali pikiran adalah sati dan
sampajañña. Ia berada di atas pikiran. Karena sati dan sampajañña berada di
atas pikiran, maka ia dapat menjaga pikiran, mengajar pikiran agar mengetahui
mana yang salah dan benar. Pada akhirnya semua kembali pada percabangan pikiran.
Jika pikiran terperangkap dalam percabangannya, maka tidak akan ada kesadaran.
Akibatnya, latihan akan menjadi sia-sia.
Jadi
kita harus melatih pikiran untuk mendengar Dhamma, untuk mengolah Buddho,
kesadaran yang bersinar dan jernih, yang berada di atas dan melewati pikiran
yang biasa dan mengenali apa yang terjadi dalam pikiran biasa tersebut, inilah
sebabnya kita bermeditasi dengan mantra Buddho, sehingga kita bisa mengenali
pikiran yang berada di atas pikiran. Amati saja pergerakan pikiran baik atau
buruk, sampai menyadari bahwa pikiran hanyalah pikiran, bukan diri, bukan
seseorang. Ini disebut cittanupassana, perenungan pikiran. Melihat dengan cara
seperti ini kita akan mengerti bahwa pikiran tidak kekal (transient), tidak
kekal dan tidak berkonsep diri. Pikiran in bukan milik kita.
Jadi
dapat kita simpulkan demikian: Pikiranlah yang mengenali obyek sensasi; obyek
sensasi adalah obyek sensasi, sesuatu yang berbeda dari pikiran; Yang Tahu
adalah yang mengenal baik pikiran maupun obyek sensasi sebagaimana adanya. Kita
harus terus menerus menggunakan sati untuk membersihkan pikiran. Semua orang
mempunyai sati, bahkan kucingpun punya sati saat akan menangkap tikus. Anjing
mempunyai sati saat ia menggonggong pada seseorang. Ini adalah bentuk sati,
tetapi bukan sati menurut Dhamma. Semua mempunyai sati, hanya tingkatnya yang
berbeda, sama halnya seperti perbedaan pendapat yang terjadi pada waktu
mengamati sesuatu. Sama halnya seperti saat saya menyuruh merenungkan tubuh,
beberapa orang akan berkata, "Apa yang harus direnungkan pada tubuh? Semua
orang dapat melihatnya. Kesa, kita dapat melihatnya; loma, kita juga sudah
dapat melihatnya.. . Rambut, kuku, gigi dan kulit kita telah melihatnya. Jadi
apa?"
Begitulah
manusia, mereka memang bisa melihat tubuh, tetapi melihat dengan cara yang
salah. Mereka tidak melihat dengan menggunakan Buddho, Yang Tahu, Yang terjaga.
Mereka hanya melihat tubuh dengan cara biasa, dengan cara visual. Melihat tubuh
dengan cara seperti itu tidak cukup. Jika kita hanya melihat tubuh begitu saja
akan timbul masalah. Kalian harus melihat tubuh di dalam tubuh, dengan begitu
segala sesuatu akan tampak jelas. Kalau hanya melihat tubuh, kalian akan
tertipu olehnya, terpesona oleh penampilan. Karena tidak melihat
ketidak-kekalan, ketidak-sempurnaan, dan Tidak Adanya Diri, maka kamachanda
(hawa nafsu) timbul. Kalian menjadi terpesona oleh bentuk, suara, aroma, rasa
dan perasaan. Melihat dengan cara begitu adalah melihat dengan mata fisik.
Akibatnya kalian mencinta, membenci dan membedakannya menjadi menyenangkan dan
tidak menyenangkan.
Sang
Buddha mengajarkan bahwa itu tidak cukup. Kalian harus melihat dengan
menggunakan "mata batin": melihat tubuh dalam tubuh. Jika kalian
benar-benar melihat tubuh... Ugh! Menjijikan, ada barang kemarin hari dan hari
ini, semua tercampur baur, tidak dapat dibedakan satu sama lain. Melihat
seperti ini lebih jelas dari pada melihat dengan mata fisik. Merenunglah,
lihatlah dengan mata batin, dengan mata kebijaksanaan.
Beginilah
perbedaan pengertian pada manusia. Beberapa orang tidak mengetahui apa yang
harus direnungkan dalam Meditadi 5, rambut kepala, rambut, kuku, gigi dan
kulit. Mereka berkata telah dapat melihat hal-hal tersebut, tetapi mereka hanya
bisa melihatnya dengan mata fisik, dengan "mata gila" yang hanya
melihat yang ingin dilihat. Untuk melihat tubuh dalam tubuh, kalian harus
melihatnya dengan lebih jelas.
Inilah
latihan yang dapat menghilangkan kemelekatan kata Pañca Khanda (bentuk,
perasaan, persepsi, pikiran dan kesadaran). Menghilangkan kemelekatan adalah
menghilangkan penderitaan, karena melekat pada Pañca Khanda adalah penyebab
penderitaan. Jika penderitaan muncul di sinilah ia muncul: pada kemelekatan
terhadap Pañca Khanda, bukan dalam Pañca Khanda. Bukan dalam Pañca Khanda itu
sendiri terletak penderitaan, melainkan pada kemelekatan yang menganggap mereka
merupakan milik pribadi... itulah penderitaan.
Jika
kalian melihat dengan jelas kebenaran tentang segala sesuatu melalui latihan
meditasi, penderitaan akan melepas, seperti baut. Ketika baut dibuka, ia
mundur. Demikian juga pikiran, melepas, mundur dari obsesi terhadap kebaikan
dan kejahatan, kepemilikan, pujian dan kedudukan, kebahagian dan penderitaan.
Jika kita tidak tahu kebenaran akan segala sesuatu, sama halnya seperti kita mengencangkan
baut dan terus mengencangkannya sampai baut tersebut menjadi rusak. Begitu pula
bila kita tidak tahu akan kebenaran dan selamanya tidak tahu maka akan membuat
kita menderita terhadap apapun dan dalam kondisi bagaimanapun. Jika kita tahu
sebagaimana adanya, berarti kita melepaskan baut. Dalam bahasa Dhamma kita
menyebutnya: timbulnya nibbida, ketidak-terpesonaan . Kalian akan menjadi bosan
terhadap berbagai hal dan meletakkan keterpesonaan. Jika kita melepas dengan
cara seperti ini, kita akan menemukan kedamaian.
Terkadang
orang saling membunuh karena berbagai masalah. Semua masalah; baik pribadi,
keluarga maupun masyarakat, timbul dari satu akar ini, tidak ada yang menang...
mereka saling membunuh tetapi pada akhirnya tidak seorangpun mendapatkan
manfaat. Saya tidak mengerti mengapa orang terus membunuh tanpa guna.
Kekuasaan,
kepemilikan, kedudukan, pujian, kebahagiaan dan penderitaan. .. ini adalah
dhamma duniawi, dan dhamma-dhama duniawi ini menelan makhluk duniawi. Makhluk
duniawi diputar oleh dhamma duniawi: untung dan rugi, kepemilikan dan
perampasan, kedudukan dan hilangnya kedudukan, kebahagiaan dan pendertitaan.
Dhamma-dhamma semacam ini membuat masalah. Jika anda tidak merenung pada sifat
alaminya, anda akan menderita. Orang bahkan bunuh diri demi kedudukan,
kekayaan, kekuatan. Mengapa? Karena menanggapinya terlalu serius. Mereka
mempunyai kedudukan tertentu dan itu masuk ke dalam kepala mereka, seperti
misalnya menjadi kepala desa. Setelah pengangkatannya ia menjadi 'mabuk
kekuasaan'. Jika ada teman lama yang datang berkunjung, ia akan berkata,
"Jangan terlalu sering datang, segala sesuatunya sudah tidak sama
lagi."
Sang
Buddha mengajarkan agar kita mengerti sifat dari kepemilikan, kedudukan, pujian
dan kebahagiaan. Terima mereka sewaktu hadir tetapi biarkan saja. Jangan
biarkan mereka masuk ke kepala. Jika anda tidak benar-benar mengerti akan
hal-hal seperti itu, anda akan tertipu oleh kekuasaanmu, anak-anakmu dan
saudara-saudaramu. .. oleh segalanya! Jika anda mengerti dengan jelas, anda
tahu bahwa mereka semua adalah kondisi yang tidak kekal. Jika anda melekat
padanya, mereka menjadi ternoda. Semua itu akan timbul nantinya, ketika orang
lahir, yang ada hanyalah nama dan rupa, hanya itu. Kemudian dalam bisnis kita
menambahkan "Tuan Jones", "Nona Smith", atau apapun, ini
dilakukan menurut konsesi (kesepakatan) . Kemudian ada lagi
"Kolonel", "Jendral" dan lain sebagainya. Jika kita tidak
benar-benar mamahami hal-hal seperti ini, kita akan berpikir bahwa semua itu
nyata dan kita akan membawanya ke mana-mana. Kita membawa harta, status, nama
dan pangkat ke mana-mana. Jika kalian mempunyai kekuasaan kalian dapat
berkata... "Tangkap orang ini dan hukum mati, yang itu masukkan
penjara"... pangkat memberikan kekuasaan. Kata 'pangkat' inilah pokok di
mana kemelekatan mengikat. Segera bertindak hanya menurut perasaan hati.
Kemungkinan mereka berbuat kesalahan lama, yang menyimpang jauh dan lebih jauh
dari jalan benar.
Seseorang
yang mengerti Dhamma tidak akan berlaku seperti itu. Baik dan jahat telah ada
di dunia ini sejak entah kapan... jika kepemilikan dan kedudukan datang pada
anda, biarkanlah mereka menjadi status dan kedudukan, jangan biarkan mereka
menjadi identitas anda. Gunakan mereka untuk memenuhi tugas anda dan biarkan
saja. Anda harus tetap sama, jika kita telah bermeditasi dalam hal-hal semacam
ini, maka apapun yang datang tidak akan bisa memperdayai, kita tidak akan
terganggu, terpengaruh, tetap sama, segala sesuatu pada dasarnya hanyalah sama
saja.
Beginilah
Sang Buddha meminta kita untuk mengerti tentang segala sesuatunya, apapun yang
anda terima, pikiran jangan menambah. Mereka mengangkat anda menjadi penasehat
kota... "Baik, saya jadi penasehat... tapi saya bukan itu!" Mereka
menunjuk anda sebagai kepala kelompok.. "Tentu saja, tapi saya bukan
itu!" Diangkat sebagai apapun anda... "Ya, tapi saya bukan itu!"
Pada akhirnya siapakah kita? Kita semua hanya akan meninggal pada akhirnya.
Tidak menjadi soal mereka mengangkat anda sebagai apa, pada akhirnya semua akan
sama saja. Apa yang dapat anda katakan? Jika Anda dapat melihat segala sesuatu
dengan cara semacam ini, Anda akan mempunyai ketentraman yang benar dan kekal.
Tidak ada yang berubah.
Begitulah
yang tidak tertipu. Apapun yang datang pada anda semuanya hanyalah kondisi.
Tidak ada apapun yang dapat membuat pikiran semacam ini menjadi bercabang,
membuatnya tamak, berlawanan atau berangan-angan.
Inilah
pendukung ajaran Buddha yang benar, walaupun anda menjadi yang didukung
(misalnya Sangha) ataupun yang mendukung (masyarakat awam), harap pertimbangkan
hal ini dengan seksama. Olalah Sila-Dhamma di dalam diri anda, ini adalah cara
yang paling tepat untuk mendukung ajaran Buddha. Mendukung ajaran Buddha dengan
mempersembahkan makanan, tempat berlindung, jubah dan obat-obat juga baik,
tetapi persembahan semacam itu hanya akan mencapai lapisan luar ajaran Buddha.
Harap jangan lupakan hal ini. Sebatang pohon mempunyai lapisan luar, daging
pohon, dan inti pohon, dan bagian-bagian ini saling berhubungan. Inti pohon itu
harus bergantung pada daging dan kulit pohon. Kulit pohon tergantung pada inti
dan dagingnya. Mereka semua saling bergantung sama seperti ajaran disiplin
moral, konsentrasi dan kebijaksanaan. Disiplin moral untuk membetulkan pikiran
dan perbuatan. Konsentrasi untuk memantapkan pikiran, kebijaksanaan adalah
pengertian tentang sifat alami kondisi. Pelajari dan latihlah ini dan anda akan
mengerti ajaran Buddha pada jalur yang paling penting.
Jika
anda tidak mengerti hal-hal ini, anda akan tertipu oleh kepemilikan, kedudukan,
dan pangkat. Tertipu oleh apapun yang anda temui. Mendukung hanya dengan cara
eksternal saja, tidak akan menghentikan pertempuran dan pergulatan, dendam dan
kebencian, penembakan dan pembunuhan. Jika kita ingin mengurangi hal-hal
semacam itu, kita harus merenungkan sifat alami kepemilikan, pangkat, pujian,
kebahagiaan dan penderitaan. Kita harus mempertimbangkan hidup kita dan
menempatkannya pada jalur ajaran. Kita harus merenungkan bahwa semua makhluk di
dunia ini adalah bagian dari satu kasatuan. Kita seperti mereka, mereka seperti
kita. Mereka merasakan kebahagiaan dan penderitaan seperti kita juga, jika kita
merenungkan dengan cara seperti ini, kedamaian dan pengertian akan muncul.
Inilah dasar ajaran Buddha.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar