Pada
suatu ketika ada seorang bhikkhu Barat, seorang murid saya. Setiap kali ia
melihat para bhikkhu dan samanera Thai lepas jubah ia akan berkata, "Oh,
betapa memalukan! Mengapa mereka melakukan itu? Mengapa begitu banyak bhikkhu
dan samanera Thai lepas jubah?" Ia terkejut. Ia bersedih atas lepas
jubahnya para bhikkhu dan samanera Thai, karena ia baru saja mengenal agama
Buddha. Ia tergugah, ia merasa mantap. Menjadi bhikkhu merupakan satu-satunya
hal yang harus dilakukan, ia berpikir ia tak akan pernah lepas jubah. Siapa pun
yang lepas jubah adalah orang bodoh. Ia akan melihat masyarakat Thai mengenakan
jubah sebagai bhikkhu dan samanera pada awal Masa Vassa dan lepas jubah pada
akhir masa itu… "Oh, betapa menyedihkan! Saya merasa amat prihatin kepada
para bhikkhu dan samanera Thai itu. Bagaimana bisa mereka melakukan hal itu?"
Nah, dengan berjalannya sang waktu
beberapa di antara bhikkhu Barat mulai lepas jubah, akhirnya ia melihat hal itu
sebagai sesuatu yang tidak begitu penting. Pada awalnya, ketika ia mulai
berlatih, ia gelisah karenanya. Ia pikir menjadi seorang bhikkhu merupakan
sesuatu yang sangat penting. Ia pikir akan mudah menjalaninya.
Ketika orang tergugah, semua tampak
begitu tepat dan baik. Tidak ada yang bisa mengukur perasaan mereka, jadi
mereka terus melangkah dan memutuskannya untuk diri mereka sendiri. Tetapi
mereka sebenarnya tidak mengerti bagaimana sesungguhnya praktek itu. Mereka
yang mengerti akan mempunyai landasan yang benar-benar kuat di dalam hati
mereka —meskipun begitu mereka tidak perlu memamerkannya.
Untuk saya sendiri, ketika pertama kali
saya ditahbiskan, sesungguhnya saya tidak melakukan banyak praktek, tetapi
keyakinan saya begitu besar. Saya tak tahu mengapa, mungkin ia sudah ada sejak
lahir. Para bhikkhu dan samanera yang ditahbiskan bersama saya, pada akhir Masa
Vassa, semuanya lepas jubah. Saya berpikir sendiri, "Eh? Ada apakah
gerangan dengan orang-orang ini?" Akan tetapi, saya tidak berani
mengatakan apapun kepada mereka karena saya sendiri belum yakin terhadap
perasaan saya, saya sangat bingung. Tetapi di dalam hati saya merasa bahwa
mereka semua bodoh. "Adalah sulit untuk bisa ditahbiskan, tapi mudah untuk
lepas jubah. Orang-orang ini tidak banyak memiliki kebajikan, mereka pikir
jalan duniawi lebih bermanfaat daripada jalan Dhamma". Saya berpikir seperti
itu tetapi saya tidak mengatakan apapun, saya hanya mengamati batin saya
sendiri.
Saya akan melihat para bhikkhu yang
ditahbiskan bersama saya silih berganti lepas jubah. Kadangkala mereka
berdandan serta kembali ke vihara untuk pamer. Saya akan melihat mereka dan
berpikir bahwa mereka gila, tetapi mereka berpikir mereka tampak rapi. Saya
katakan pada diri sendiri bahwa cara berpikir seperti itu salah. Meskipun
begitu saya tidak mengatakannya, karena saya sendiri masih ragu-ragu. Saya
masih tak yakin berapa lama keyakinan saya ini akan bertahan.
Ketika semua teman saya sudah lepas
jubah saya singkirkan semua keprihatinan, tak ada lagi yang tersisa untuk saya
perhatikan. Saya mengambil Patimokkha (Pokok aturan keviharaan, yang dibaca
dalam bahasa Pali setiap dua minggu sekali.) dan tekun mempelajarinya. Tidak
ada lagi yang mengganggu dan membuang waktu saya, saya curahkan perhatian pada
praktek. Saya tetap tidak mengatakan apapun karena saya merasa bahwa untuk
berlatih sepanjang hidup, mungkin tujuh puluh, delapan puluh atau bahkan
sembilan puluh tahun serta mempertahankan usaha yang gigih tanpa menjadi lamban
atau kehilangan ketetapan hati, tampaknya sesuatu yang sangat sulit untuk
dilakukan.
Mereka yang telah pernah ditahbiskan
akan ditahbiskan lagi, mereka yang telah pernah lepas jubah akan lepas jubah
lagi. Saya hanya mengamati mereka semua. Saya tidak peduli apakah mereka
tinggal atau pergi. Saya akan melihat teman-teman saya pergi, tetapi perasaan
di dalam diri saya mengatakan bahwa orang-orang tersebut tidak melihat dengan
jelas. Bhikkhu Barat itu mungkin berpikir begitu. Ia akan melihat orang menjadi
bhikkhu hanya untuk satu Masa Vassa, dan ia menjadi sedih.
Selanjutnya ia mencapai tingkatan yang
kita sebut… jemu; jemu dengan Kehidupan Suci. Ia meninggalkan praktek dan
akhirnya lepas jubah.
"Mengapa kamu lepas jubah?
Sebelumnya, ketika kamu melihat para bhikkhu Thai lepas jubah kamu akan
berkata, "Oh, memalukan! Betapa menyedihkan, betapa memilukan! Sekarang,
ketika kamu sendiri ingin lepas jubah, mengapa kamu tidak merasa
menyesal?"
Ia tidak menjawab. Ia hanya berjalan
tersipu-sipu.
Ketika sampai pada latihan batin,
sangatlah sulit untuk menemukan ukuran yang baik jika kalian belum
mengembangkan "kesaksian" di dalam diri kalian. Dalam banyak
persoalan luar kita bisa mengandalkan umpan balik pihak lain, ada ukuran dan
contohnya. Tetapi ketika semua menggunakan Dhamma sebagai patokan… Apakah kita
telah memiliki Dhamma? Apakah kita berpikir dengan benar atau tidak? Dan
seandainya itu benar, apakah kita tahu bagaimana melepaskan kebenaran atau
apakah kita tetap melekat padanya?
Kalian harus merenungkan sampai kalian
mencapai titik di mana kalian melepaskan, inilah hal yang penting… sampai
kalian mencapai titik di mana tak ada apapun yang tersisa, di mana di sana
bukanlah baik bukan pula buruk. Kalian tinggalkan. Ini berarti kalian
melepaskan segalanya. Jika semua sudah lenyap maka tak ada yang tersisa; jika
masih ada yang tersisa maka itu belum lenyap semuanya.
Jadi mengenai latihan batin ini,
kadangkala kita mungkin mengatakan mudah. Memang mudah untuk mengatakan, tetapi
sulit untuk melakukannya. Ia sulit karena ia tidak memuaskan
keinginan-keinginan kita. Kadang-kadang tampaknya seolah-olah ada
bidadari-bidadari (Devaputta mara —si Mara, atau Penggoda, yang muncul dalam
bentuk yang tampaknya penuh kebaikan.) yang membantu kita. Semua berjalan baik,
apapun yang kita pikirkan atau ucapkan tampaknya selalu benar. Selanjutnya kita
pergi dan melekat pada kebenaran itu dan tak lama kemudian kita salah melangkah
dan semua jadi buruk. Inilah kesulitannya. Kita tidak memiliki norma/standar
untuk mengukurnya.
Orang-orang yang memiliki keyakinan
besar, diberkahi dengan keyakinan dan perasaan tetapi kurang di dalam
kebijaksanaan, mereka bisa jadi sangat baik di dalam samadhi tetapi mereka
kurang memiliki pengertian. Mereka hanya melihat satu sisi saja, serta
sungguh-sungguh mengikutinya. Mereka tidak merenungkannya. Ini merupakan
keyakinan yang membuta. Di dalam agama Buddha itu kita sebut Saddha adhimokkha,
keyakinan yang membuta. Mereka sudah mempunyai keyakinan tetapi tidak timbul
dari kebijaksanaan. Tetapi mereka tidak melihatnya pada saat itu, mereka
percaya bahwa mereka mempunyai kebijaksanaan, sehingga mereka tidak melihat di
mana kesalahan mereka.
Oleh karena itu, mereka mengajar
tentang Lima Kekuatan (Bala): Saddha, viriya, sati, samadhi, pañña. Saddha
berarti keyakinan; viriya berarti usaha yang gigih; sati berarti kesadaran;
samadhi berarti terpusatnya pikiran; pañña berarti pengetahuan yang mencakup
semuanya. Jangan katakan pañña sebagai pengetahuan saja, tetapi pañña mencakup
semuanya, pengetahuan yang sempurna.
Sang Bijaksana telah memberi kita lima
langkah ini sehingga kita bisa mempergunakannya, pertama sebagai bahan untuk
dipelajari, selanjutnya sebagai norma pembanding pada keadaan praktek kita
sendiri. Misalnya, saddha —keyakinan. Apakah kita memiliki keyakinan, apakah
kita sudah mengembangkannya? Viriya: apakah kita memiliki usaha yang gigih atau
tidak? Apakah usaha kita betul atau salah? Kita harus memperhatikan ini. Setiap
orang mempunyai semacam usaha, tetapi apakah usaha kita mengandung
kebijaksanaan atau tidak?
Sati juga sama. Bahkan seekor kucing
pun mempunyai sati. Ketika ia melihat seekor tikus, ada sati di sana. Mata si
kucing menatap pasti pada si tikus. Inilah sati seekor kucing. Setiap orang
memiliki sati, hewan mempunyainya, para penjahat mempunyainya, para bijaksana
memilikinya.
Samadhi, terpusatnya pikiran —setiap
orang juga mempunyai ini. Seekor kucing mempunyainya ketika pikirannya terpusat
untuk menangkap tikus dan memakannya. Ia mempunyai perhatian yang satu. Sati si
kucing adalah sati yang semacam ini; samadhi, perhatian yang satu pada apa yang
dikerjakan, juga ada di sana. Pañña, pengetahuan: seekor kucing juga
mempunyainya, tetapi bukan suatu pengetahuan yang luas, seperti yang dimiliki
oleh manusia. Ia tahu sebagaimana seekor hewan tahu, ia mempunyai cukup
pengetahuan untuk menangkap tikus sebagai makanan.
Kelima hal ini disebut
"Kekuatan". Sudahkah kelima Kekuatan ini muncul dari Pandangan Benar,
sammaditthi, atau tidak? Saddha, viriya, sati, samadhi, pañña —sudahkah mereka
timbul dari Pandangan Benar? Apakah Pandangan Benar itu? Apakah norma kita
untuk mengukur Pandangan Benar? Kita harus memahaminya secara jelas.
Pandangan Benar adalah pengertian bahwa
segala sesuatu tidaklah pasti. Oleh karena itu Sang Buddha dan semua Para Ariya
tidak melekat kuat padanya. Mereka menggenggam, tetapi tidak melekat. Mereka
tidak membiarkan penggenggaman itu menjadi sebagai diri/suatu identitas. Penggenggaman
yang tidak membawa pada suatu perwujudan adalah keadaan yang tidak dicemari
oleh hawa nafsu. Tanpa mencari untuk menjadi ini atau itu, yang ada hanyalah
praktek itu sendiri. Ketika kalian melekat pada suatu keadaan tertentu adakah
kalian melekat pada kesenangan itu? Jika ada ketidaksenangan, apakah kalian
melekat pada ketidaksenangan itu?
Sebagian pandangan dapat digunakan
sebagai dasar untuk mengukur praktek kita secara lebih tepat. Misalnya
mengetahui bahwa pandangan-pandangan seperti demikian: pandangan yang ini lebih
baik daripada yang lainnya, atau sama dengan yang lainnya, atau lebih bodoh
daripada yang lainnya; semua itu adalah pandangan yang salah. Kita bisa
merasakan hal ini tetapi kita juga mengetahuinya dengan kebijaksanaa, bahwa
mereka hanya timbul dan tenggelam. Mengira bahwa kita lebih baik daripada yang
lain tidaklah benar; mengira bahwa kita sama dengan yang lain adalah tidak
benar; mengira bahwa kita lebih rendah daripada yang lain adalah tidak benar.
Pandangan yang benar adalah pandangan
yang menembus semua ini. Jadi ke mana kita akan pergi? Jika kita berpikir bahwa
kita lebih baik daripada yang lain, timbul kesombongan. Ia ada di sana tetapi
kita tidak melihatnya. Jika kita pikir bahwa kita sama dengan yang lain, maka
kita akan lalai mengungkapkan rasa hormat dan kerendahan hati pada saat-saat
yang tepat. Jika kita berpikir bahwa kita lebih rendah daripada yang lain, kita
akan merasa tertekan, dengan berpikir bahwa kita rendah, terlahir dengan
kehidupan buruk dan sebagainya. Kita masih melekat pada Lima Khandha (Lima
Khandha: Bentuk (rupa), perasaan (vedana), pencerapan (sañña), gagasan atau
bentuk-bentuk pikiran (sankhara), dan kesadaran-indera (vññana). Ia membentuk
pengalaman batin-jasmani yang dikenal sebagai "diri".), yang semuanya
hanyalah proses perwujudan/dumadi dan kelahiran.
Inilah satu patokan/standar untuk
mengukur diri kita sendiri. Yang lainnya adalah: jika kita menemui pengalaman
yang menyenangkan, kita merasa bahagia; jika kita menemui pengalaman buruk,
kita tidak senang. Apakah kita mampu melihat pada hal-hal yang kita sukai dan
yang tidak kita sukai sebagai memiliki nilai yang sama? Ukurlah diri kalian
dengan patokan ini. Dalam kehidupan sehari-hari, dalam berbagai pengalaman yang
kita jumpai, jika kita mendengar sesuatu yang kita sukai, apakah suasana hati
kita berubah? Jika kita menjumpai suatu pengalaman yang tidak kita sukai,
apakah suasana hati kita berubah? Ataukah batin kita tidak goyah? Melihat tepat
di sini, kita mempunyai satu ukuran.
Pahamilah diri kalian sendiri, inilah
saksi kalian. Janganlah membuat keputusan ketika dipengaruhi oleh nafsu kalian.
Nafsu bisa melambungkan kita ke dalam pemikiran bahwa kita adalah sesuatu, yang
sebenarnya bukan. Kita harus sangat berhati-hati.
Ada begitu banyak sudut dan aspek yang
harus dipertimbangkan, tetapi jalan yang benar adalah tidak mengikuti nafsu
kalian, melainkan Kebenaran. Kita harus mengetahui yang baik dan yang buruk,
dan ketika kita mengetahuinya, lepaskanlah mereka. Jika kita tidak melepaskan,
kita tetap berada di situ, kita tetap "ada" kita tetap
"punya". Jika kita tetap "ada" maka di sana terdapat sisa,
ada timbunan proses dumadi dan kelahiran.
Oleh karena itu Sang Buddha mengatakan
agar hanya menilai diri sendiri, jangan menilai orang lain, tidak peduli betapa
baik atau jahatnya mereka. Sang Buddha hanya menunjukkan sang Jalan, dengan
mengatakan "Seperti inilah Kesunyataan". Sekarang, apakah batin kita
seperti itu atau tidak?
Misalnya, seandainya seorang bhikkhu
mengambil sesuatu milik bhikkhu lain, lalu bhikkhu yang lain itu menuduhnya,
"Kamu mencuri barang-barang saya". "Saya tidak mencurinya saya
hanya mengambilnya". Lalu kita meminta bhikkhu ketiga untuk memutuskan.
Bagaimana ia harus memutuskannya? Beliau mungkin harus meminta bhikkhu yang
bersalah untuk menghadap sidang Sangha. "Ya, saya mengambilnya, tapi saya
tidak mencurinya". Atau berdasarkan aturan lain, seperti
pelanggaran-pelanggaran parajika atau sanghadisesa: "Ya, saya melakukannya,
tapi saya tidak mempunyai kehendak". Bagaimana kalian bisa mempercayai
itu? Ini rumit. Jika kalian tidak bisa mempercayai, yang bisa kalian lakukan
adalah menyerahkan tanggung-jawab kepada si pelaku, itu terserah padanya.
Tetapi kalian harus mengetahui bahwa
kita tidak dapat menyembunyikan hal-hal yang muncul di dalam batin kita. Kalian
tidak bisa menutupinya, baik itu perbuatan salah maupun benar. Apakah perbuatan
itu baik atau buruk, kalian tidak bisa meniadakannya hanya dengan
mengabaikannya, karena hal-hal ini cenderung untuk mengungkapkan dirinya
sendiri. Mereka menyembunyikan dirinya sendiri, mereka mengungkapkan dirinya
sendiri, mereka muncul dan lenyap sendiri. Mereka semua otomatis. Beginilah
cara kerja mereka.
Janganlah mencoba untuk menebak atau
berspekulasi terhadap hal-hal ini. Selama masih ada avija (ketidaktahuan),
mereka belumlah tuntas. Pada suatu ketika seorang Kepala Dewan Kebersihan
bertanya kepada saya, "Luang Por, apakah batin seorang anagami (Anagami
(yang tidak kembali lagi): "Tingkat" kesucian yang ketiga, yang
dicapai dengan membebaskan diri dari lima "belenggu yang lebih
rendah" (semuanya berjumlah sepuluh), yang mengikat batin pada keberadaan
duniawi. Dua "tingkat" yang pertama adalah sotapanna ("pemasuk
arus") dan sakadagami (yang kembali satu kali lagi), dan yang terakhir
adalah arahat ("Yang telah selesai atau yang sempurna").) sudah
bersih?"
"Ia sebagian bersih".
"Eh? Seorang anagami sudah
membuang keinginan-keinginan inderawinya, bagaimana bisa batinnya belum
bersih?"
"Ia mungkin telah melepaskan
keinginan-keinginan inderawinya, tetapi di sana masih ada sesuatu yang tersisa,
bukan? Masih ada avijja. Jika masih ada sesuatu yang tersisa maka tetap ada
sesuatu yang tersisa. Itu bagaikan mangkuk makan para bhikkhu. Terdapat
mangkuk-besar ukuran besar, mangkuk-besar ukuran sedang, mangkuk-besar ukuran
kecil; lalu mangkuk-sedang ukuran besar, mangkuk-besar ukuran sedang,
mangkuk-sedang ukuran kecil; selanjutnya ada mangkuk-kecil ukuran besar, mangkuk-kecil
ukuran sedang, mangkuk-kecil ukuran kecil… Tidak peduli betapa kecilnya itu
tetap ada mangkuk di sana, bukan? Demikianlah halnya dengan sotapanna,
sakadagami, anagami. Mereka memang sudah melenyapkan kekotoran tertentu, tetapi
hanya sebatas tingkatan mereka. Apapun yang tetap tertinggal, para suci itu
tidak melihatnya. Jika mereka mampu, mereka semuanya telah menjadi Arahat.
Mereka masih belum bisa melihat semuanya. Avijja merupakan yang tidak terlihat.
Jika batin sang anagami sepenuhnya diluruskan maka ia bukan lagi seorang
anagami, tetapi ia sudah sepenuhnya sempurna (Arahat). Jadi di sana masih ada
sesuatu yang tersisa.
"Apakah batin dia suci?"
"Benar, agak suci, tetapi tidak 100%".
Apalagi yang bisa saya jawab? Ia
berkata kelak ia akan datang lagi dengan bertanya lebih lanjut tentang hal itu.
Ia bisa memeriksa hal itu, standarnya ada di sana.
Janganlah lengah, waspadalah. Sang
Buddha menasihati agar kita waspada. Berkenaan dengan latihan batin ini, saya
juga mengalami saat-saat tergoda, kalian tahu. Saya kerapkali tergoda untuk
mencoba banyak hal. Tetapi mereka selalu seperti tidak sampai pada sang Jalan.
Ini sungguh bagaikan berlaga di dalam batin seseorang, semacam keangkuhan.
Ditthi —pandangan-pandangan, dan mana —kesombongan, ada di sana. Cukup sulit
untuk hanya menyadari keberadaan kedua hal ini.
Suatu ketika ada seseorang yang ingin
menjadi bhikkhu di sini. Ia membawa jubahnya, memutuskan untuk menjadi seorang
bhikkhu untuk mengenang almarhumah ibunya. Ia memasuki vihara, meletakkan
jubahnya, dan, tanpa memberi hormat kepada bhikkhu-bhikkhu lainnya, ia memulai
dengan meditasi jalan tepat di depan ruang utama… bolak-balik, bolak-balik, ia
seperti akan menunjukkan kesanggupannya.
Saya pikir, "Oh, jadi ada juga
orang seperti ini!" Ini disebut saddha adhimokkha —keyakinan yang membuta.
Ia pasti sudah memutuskan untuk mencapai pencerahan sebelum senja atau semacam
itu, ia pikir hal itu sangat mudah. Ia tidak melihat siapapun, hanya
menundukkan kepala dan berjalan bagaikan kehidupannya bergantung pada hal itu.
Saya biarkan ia meneruskannya, tetapi saya pikir, "Oh, teman, kamu pikir
sesederhana itukah?" Pada akhirnya saya tidak tahu untuk berapa lama ia
bertahan, saya bahkan tidak berpikir ia telah ditahbiskan.
Begitu batin memikirkan sesuatu kita
mengeluarkannya, mengeluarkannya setiap saat. Kita tidak menyadari bahwa itu
hanyalah kebiasaan perkembangbiakan batin. Ia menyamarkan dirinya sebagai
kebijaksanaan dan tercetak keluar dalam bagian yang sangat rinci.
Perkembangbiakan batin ini tampak sangat cerdik, jika kita tidak mengetahuinya
kita akan mengartikannya sebagai kebijaksanaan. Tetapi jika ia tiba pada saat
yang genting, ia bukanlah hal yang sebenarnya. Ketika muncul penderitaan, di
manakah yang disebut kebijaksanaan itu? Apakah ia bermanfaat? Akhirnya ia
hanyalah perkembangbiakan saja.
Jadi tetaplah bersama Sang Buddha.
Seperti yang sudah saya katakan berkali-kali, dalam praktek kita harus melihat
ke dalam dan menemukan Sang Buddha. Di manakah Sang Buddha? Sang Buddha masih
tetap hidup sampai dengan hari ini, periksalah dan temukan beliau. Di manakah
beliau? Di anicca, periksa dan temukanlah beliau di sana, pergilah dan
sembahlah beliau: anicca, ketidakpastiaan. Bagi para pemula, kalian bisa
berhenti tepat di sana.
Jika batin berusaha mengatakan padamu,
"Saya seorang sotapanna sekarang", pergi dan menyembahlah pada sang
Sotapanna. Ia akan mengatakan padamu, "Semuanya tidak pasti". Jika
kalian bertemu seorang sakadagami, pergi dan hormatilah dia. Jika ia melihatmu
ia hanya akan mengatakan, "Bukan satu hal yang pasti!" Jika ada
seorang anagami, pergi dan sembahlah dia. Ia hanya akan mengatakan satu hal…
"Tidak pasti". Bahkan jika kalian bertemu seorang arahat, pergi dan
sembahlah dia, dia bahkan akan lebih tegas mengatakan, "Semuanya bahkan
lebih tidak pasti!" Kalian akan mendengar kata-kata Para Suci…
"Segala sesuatu tidak pasti, jangan melekat pada apapun".
Jangan hanya memandangi Sang Buddha
seperti seorang yang tolol. Jangan melekat pada segala sesuatu, mencengkeram
kuat tanpa melepaskan. Lihatlah segala sesuatu sebagai fungsinya Yang Tertampak
kini, kemudian alihkan mereka pada Yang Melebihinya. Itulah yang harus kalian
lakukan. Harus ada Yang Tertampak dan harus ada Yang Melebihinya.
Jadi saya katakan, "Pergilah
kepada Sang Buddha". Di manakah Sang Buddha? Sang Buddha adalah Sang
Dhamma. Semua Ajaran di dunia ini dapat dimuat dalam satu ajaran ini: anicca.
Pikirkanlah itu. Sebagai bhikkhu saya sudah mencarinya lebih dari empat puluh
tahun dan inilah semua yang saya temukan. Anicca dan ketahanan kesabaran.
Inilah cara mendekati ajaran Sang Buddha… anicca: semuanya tidak pasti.
Tidak peduli betapa yakinnya sang
batin, katakan padanya: "Tidak pasti!" Bilamana si batin ingin
menangkap sesuatu sebagai hal yang pasti, katakanlah, "Ia tidak pasti, ia
bersifat sementara". Hadapkanlah dengan hal ini. Dengan menggunakan Dhamma
Sang Buddha semua sampai pada hal ini. Ia bukanlah itu, ia hanyalah
perwujudan/fenomena yang bersifat sementara. Apakah ketika berdiri, berjalan,
duduk, atau berbaring, kalian melihat segala sesuatu seperti itu. Apakah timbul
rasa suka atau tidak suka, kalian lihat semuanya dalam cara ini. Inilah yang
mendekatkan pada Sang Buddha, dekat pada Sang Dhamma.
Sekarang saya merasa bahwa inilah cara
berlatih yang lebih berharga. Semua praktek saya sejak awal sampai sekarang
adalah seperti ini. Saya sesungguhnya tidak bersandar pada kitab suci, tetapi
saya juga tidak mengabaikan mereka. Saya tidak bersandar pada seorang guru
tetapi saya juga tidak sepenuhnya "melakukannya sendiri". Praktek
saya semuanya "bukanlah ini maupun itu."
Sesungguhnya ia merupakan persoalan
"menyelesaikan", yaitu, berlatih sampai selesai, dengan mulai
melaksanakan praktek dan selanjutnya mengamatinya sampai selesai, melihat Yang
Tertampak dan juga Yang Melebihinya.
Saya sudah membicarakan hal ini, tetapi
beberapa di antara kalian mungkin tertarik untuk mendengarkannya lagi: jika
kalian berlatih terus-menerus dan mempertimbangkan semuanya dengan cermat,
akhirnya kalian akan mencapai titik ini. Pada awalnya kalian bergegas maju,
bergegas kembali, dan bergegas berhenti. Kalian meneruskan latihan seperti ini
sampai kalian mencapai titik di mana tampaknya maju bukanlah seperti itu,
kembali bukanlah seperti itu, dan berhenti pun bukanlah seperti itu! Selesai.
Inilah akhirnya, jangan mengharapkan sesuatu yang lebih dari ini, ia selesai
tepat di sini. Khinasavo —mereka yang sudah menyelesaikan. Ia tidak maju, tidak
mundur, dan tidak berhenti. Tidak ada berhenti, tidak ada maju, dan tidak ada
kembali. Ia sudah selesai. Pertimbangkan ini, sadarilah dengan benar dalam
batin kalian. Di sana kalian akan menemukan bahwa sesungguhnya tidak ada apapun
juga.
Apakah ini sesuatu yang lama atau baru
bagi kalian, itu tergantung pada kalian, pada kebijaksanaan dan ketajaman
kalian. Orang yang tidak mempunyai kebijaksanaan atau ketajaman tak akan dapat
memahaminya. Lihatlah pada pohon, seperti pohon mangga atau nangka. Jika mereka
tumbuh di dalam satu rumpun, pohon yang satu pada awalnya bisa lebih besar dan
selanjutnya yang lain akan melengkung, tumbuh keluar dari yang besar tadi.
Mengapa hal ini terjadi? Siapa yang menyuruh mereka untuk melakukan itu? Inilah
Alam. Alam mengandung baik dan buruk, benar dan salah. Ia dapat cenderung
menjadi benar ataupun menjadi salah. Jika kita menanam suatu jenis pepohonan
secara berdekatan, maka pohon tersebut akan besar dengan batangnya melengkung
menjauh dari pohon yang lebih besar. Mengapa hal ini terjadi? Siapa yang
menyuruhnya begitu? Inilah Alam, atau Dhamma.
Demikian juga tanha, nafsu-keinginan,
membawa kita pada penderitaan. Sekarang, jika kita merenungkannya, hal itu akan
mengeluarkan kita dari keinginan, kita akan menguasai tanha. Dengan menyelidiki
tanha kita akan menggoyahkannya, menjadikannya lebih ringan secara bertahap
sampai semuanya lenyap. Sama halnya dengan pohon: adakah seseorang yang
memerintahkan agar mereka tumbuh seperti itu? Mereka tak bisa bicara atau
pindah tetapi mereka tahu bagaimana caranya untuk tumbuh menghindari rintangan.
Bilamana terkekang dan berjejal serta sulit tumbuh, mereka akan membelok
keluar.
Tepat di sinilah Dhamma, kita tidak
harus mencarinya ke mana pun. Orang yang cerdik akan melihat Dhamma seperti
ini. Secara alam pohon tidak mengetahui apapun, mereka bergerak sesuai dengan
hukum alam, tetapi mereka cukup mengerti untuk tumbuh menghindari bahaya, untuk
condong ke tempat yang cocok.
Seperti itulah orang yang waspada. Kita
pergi meninggalkan kehidupan rumah tangga karena kita ingin mengatasi
penderitaan. Apakah yang membuat kita menderita? Jika kita mengikuti jejaknya
di dalam batin, kita akan menemukannya. Apa yang kita sukai dan apa yang tidak
kita sukai adalah penderitaan. Jika mereka merupakan penderitaan maka janganlah
terlalu dekat pada mereka. Apakah kalian ingin jatuh cinta dengan berbagai
kondisi atau membenci mereka? …mereka semuanya tidak pasti. Jika kita dekat
kepada Sang Buddha, semua ini akan berakhir. Jangan lupakan ini. Dan
bersabarlah. Hanya dua saja sudah cukup. Jika kalian memiliki pemahaman seperti
ini, sangatlah baik.
Sesungguhnya di dalam praktek saya
sendiri saya tidak mempunyai guru yang memberikan ajaran sebanyak yang kalian
peroleh dari saya. Saya tidak mempunyai banyak guru. Saya ditahbiskan di sebuah
vihara desa yang sederhana dan hidup di berbagai vihara desa selama beberapa
tahun. Di dalam batin saya menaruh keinginan untuk praktek, saya ingin menjadi
cakap/pandai, saya ingin terlatih. Tak ada seorang pun yang memberikan ajaran
di vihara-vihara itu tetapi timbul inspirasi untuk berlatih. Saya pergi dan
saya mencari. Saya mempunyai telinga jadi saya bisa mendengar, saya mempunyai
mata jadi saya bisa melihat. Apa saja perkataan orang, akan saya katakan pada
diri sendiri, "Tidak Pasti". Bahkan ketika saya mencium bau saya akan
katakan pada diri sendiri, rasa yang menyenangkan, atau tidak menyenangkan,
atau timbul perasaan senang atau sakit dalam badan, akan saya katakan pada diri
sendiri, "Ini bukanlah hal yang pasti!" Dan dengan begitu saya hidup
bersama Dhamma.
Di dalam kesunyataan, semuanya tidaklah
pasti, tetapi keinginan kita menghendaki segala sesuatu menjadi pasti. Apa yan
bisa kita lakukan? Kita harus bersabar. Hal yang sangat penting adalah khanti
—ketahanan kesabaran. Jangan lepaskan Sang Buddha, yaitu apa yang saya sebut
"ketidak-pastian" —janganlah membuangnya.
Suatu saat saya ingin mengunjungi
tempat keagamaan kuno dengan berbagai bangunan biara kuno, yang dirancang oleh
para arsitek, yang dibangun oleh para seniman. Di beberapa tempat ada yang
retak. Mungkin satu di antara teman saya akan berujar, "Betapa memalukan,
bukan? Ada yang retak". Saya akan menjawab, "Jika tidak ada kasus
seperti itu maka tidak akan ada Sang Buddha, tidak akan ada Sang Dhamma. Ia
retak seperti itu karena selaras dengan ajaran Sang Buddha". Walau dari
hati yang paling dalam saya juga sedih melihat bangunan-bangunan itu retak
tetapi saya akan menghilangkan keharuan saya dan berusaha mengatakan sesuatu
yang akan bermanfaat bagi teman-teman dan saya sendiri. Meskipun begitu saya
juga merasa prihatin, saya tetap condong pada Dhamma.
"Jika tidak retak seperti itu
tidak akan ada Sang Buddha!"
Saya menilai perkataan saya ini cukup
sulit untuk dimengerti oleh teman-teman saya… atau mungkin mereka tidak
mendengarkan, tetapi saya tetap mendengarkan.
Ini merupakan satu cara
mempertimbangkan berbagai hal yang sangat bermanfaat. Misalnya, seseorang
bergegas masuk dan berkata, "Luang Por! Apakah Anda mengetahui apa yang
baru dikatakan si anu tentang Anda?" Atau "Ia mengatakan
demikian-demikian tentang Anda…" Mungkin kalian akan marah. Begitu kalian
mendengar kritikan, kalian segera siap untuk bertikai! Inilah timbulnya
suasana-hati. Kita harus mengetahui setiap tahapan suasana-hati ini. Begitu
kita mendengar perkataan semacam ini, kita mungkin segera siap membahas, tetapi
ketika memeriksa kebenaran persoalan itu kita mungkin menemukan bahwa… "Ya
ampun, mereka telah mengatakan tentang hal-hal yang lain setelah itu".
Jadi ini merupakan kasus lain dari
"ketidak-pastian". Oleh karena itu mengapa kita harus menyerbu dan
mempercayainya? Mengapa kita begitu mempercayai apa yang dikatakan orang lain?
Apapun yang kita dengar harus kita perhatikan, bersikap sabar, memeriksa
persoalan dengan cermat… tetap tegak. Bukannya apapun yang singgah di dalam
benak kita semuanya kita tuliskan sebagai semacam kebenaran. Pernyataan manapun
yang mengabaikan ketidak-pastian, bukanlah pernyataan seorang bijaksana.
Ingatlah hal ini. Untuk kita sendiri, bilamana kita menolak ketidak-pastian
maka kita tidak lagi bijaksana, kita tidak lagi berlatih. Apapun yang kita
lihat atau dengar, apakah menyenangkan ataupun menyedihkan, katakan saja
"Ini tidak pasti!" Tekankan ini pada dirimu sendiri, letakkanlah
semuanya seperti ini. Janganlah membangunnya menjadi persoalan pokok,
letakkanlah hanya pada itu saja. Inilah titik yang penting. Inilah titik di
mana kekotoran-kekotoran batin padam. Para praktisi Dhamma tidak boleh
mengabaikannya.
Jika kalian mengabaikan hal ini, kalian
hanya akan mendapatkan penderitaan, hanya mendapatkan kesalahan. Jika kalian
tidak jadikan hal ini sebagai landasan dalam praktek kalian, kalian akan salah
jalan… tetapi kemudian kalian akan kembali pada jalur yang benar, karena dasar
ini sangat baik.
Sesungguhnya Dhamma sejati, intisari
yang telah saya bicarakan pada hari ini, tidaklah begitu pelik. Apapun yang
kalian alami hanyalah bentuk, hanyalah perasaan, hanyalah pencerapan, hanyalah
kehendak, dan hanyalah kesadaran. Hanya ada sifat-sifat dasar ini, di manakah
ada kepastian di dalam mereka?
Jika kita memahami sifat sejati dari
berbagai benda seperti ini, nafsu keinginan, kegilaan, dan kemelekatan akan
berangsur hilang. Mengapa mereka berangsur hilang? Karena kita memahami, kita
tahu. Kita beralih dari ketidak-tahuan menjadi pengertian. Pengertian lahir
dari ketidak-tahuan, kepastian lahir dari ketidak-pastian, kesucian lahir dari
kekotoran. Begitulah cara kerjanya.
Tidak menyingkirkan anicca, Sang Buddha
—Inilah yang dimaksudkan bahwa Sang Buddha tetap hidup. Untuk mengatakan bahwa
Sang Buddha telah masuk Nibbana tidaklah perlu benar. Dalam pengertian yang
lebih mendalam Sang Buddha tetaplah hidup. Itu mirip sekali bagaimana kita
mendefinisikan kata "bhikkhu". Jika kita mengartikannya sebagai
"orang yang meminta" (Yaitu orang yang hidup dengan bergantung pada
kemurahan hati orang lain.), artinya sangat luas. Kita bisa mengartikannya
seperti ini, tetapi terlalu banyak menggunakan arti ini tidaklah begitu baik
—kita tidak tahu kapan harus berhenti meminta! Seandainya kita harus
mendefinisikan kata ini secara lebih mendalam, kita akan mengatakan:
"Bhikkhu —orang yang melihat bahayanya samsara". Bukankah hal ini
lebih mendalam. Ia tidak berjalan searah dengan pengertian yang terdahulu, ia
berjalan lebih dalam. Seperti itulah praktek Dhamma. Jika kalian tidak
sepenuhnya memahami Dhamma ia tampak sebagai satu cara, tetapi ketika kalian
sepenuhnya memahaminya, ia menjadi sesuatu yang lain lagi. Ia menjadi tak
ternilai, ia menjadi sumber kedamaian.
Ketika kita mempunya sati kita dekat
dengan Dhamma. Jika kita mempunyai sati kita akan melihat anicca,
ketidak-kekalan dari semua hal/benda. Kita akan melihat Sang Buddha dan
mengatasi penderitaan samsara, jika tidak sekarang maka pada saat lain di masa
yang akan datang.
Jika kita membuang sifat-sifat dari
Para Ariya, Sang Buddha atau Sang Dhamma, praktek kita akan mandul dan tak
berbuah. Kita harus merawat praktek kita terus-menerus, apakah kita sedang
bekerja, duduk, atau hanya berbaring. Ketika mata melihat bentuk, telinga
mendengar suara, hidung mencium bau, lidah merasakan cita-rasa, atau badan
mengalami sentuhan… dalam semua itu, jangan buang Sang Buddha, jangan
menyimpang dari Sang Buddha.
Ini adalah seorang yang sudah dekat
pada Sang Buddha, yang setiap saat memuja Sang Buddha. Kita mengenal berbagai
cara untuk memuja Sang Buddha, seperti di pagi hari mengalunkan "Araham
Samma Sambuddho Bhagava" …Ini merupakan satu cara untuk memuja Sang Buddha
tetapi bukan memuja Sang Buddha dalam cara yang mendalam seperti yang telah saya
jelaskan di sini. Begitu pula denga kata "bhikkhu". Jika kita
mendefinisikannya sebagai "orang yang meminta" maka mereka akan tetap
meminta… karena ia diartikan seperti itu. Untuk mengartikannya dengan cara yang
terbaik, kita seharusnya mengatakan "Bhikkhu adalah orang yang melihat
bahayanya samsara".
Begitu pula dengan memuja Sang Buddha.
Memuja Sang Buddha hanya dengan mengucapkan ungkapan-ungkapan berbahasa Pali
sebagai suatu upacara di pagi dan sore hari, dapat dibandingkan dengan
mendefinisikan kata "Bhikkhu" sebagai "orang yang meminta".
Jika kita condong pada anicca, dukkha, dan anatta (Ketidak-kekalan,
Ketidak-sempurnaan, dan ketanpa-pemilikan.) maka kapan saja mata melihat
bentuk, telinga mendengar suara, hidung mencium bau, lidah mengecap rasa, badan
mengalami sentuhan, atau batin mengenali kesan-kesan mental, pada setiap saat,
ini bisa dibandingkan dengan mendefinisikan kata "Bhikkhu" sebagai
"orang yang melihat bahayanya samsara". Ini jauh lebih mendalam,
menembus begitu banyak hal. Jika kita memahami ajaran ini kita akan tumbuh
dalam kebijaksanaan dan pemahaman.
Ini disebut patipada. Kembangkan sikap
ini di dalam praktek, dan kalian akan berada di jalan yang benar. Jika kalian
berpikir dan merenungkan dalam cara ini, meskipun kalian mungkin berada jauh
dari guru kalian, kalian akan tetap dekat dengannya. Jika kalian hidup dekat
dengan sang guru secara fisik tetapi batin kalian belum selaras dengan beliau
maka kalian hanya akan menghabiskan waktu untuk mencari-cari kesalahannya atau
memuji-muji beliau. Jika ia melakukan sesuatu yang kalian sukai, kalian akan
mengatakan bahwa beliau baik, dan jika ia melakukan sesuatu yang tidak kalian
sukai, kalian akan mengatakan ia tidak baik —dan sejauh itulah praktek kalian.
Kalian tidak akan mencapai apapun dengan membuang-buang waktu mengamati orang
lain. Tetapi jika kalian memahami ajaran ini kalian bisa menjadi seorang Ariya
pada saat ini.
Itulah mengapa pada tahun ini (tahun
Buddhis 2522, atau tahun 1979 Masehi.) saya mengambil jarak dengan murid-murid
saya, baik yang lama maupun yang baru, dan tidak memberikan banyak ajaran:
sehingga kalian semua bisa sebanyak mungkin melihat berbagai hal untuk diri
kalian sendiri. Untuk para bhikkhu baru, saya telah menetapkan jadwal dan
aturan-aturan vihara, seperti: "jangan terlalu banyak bicara". Jangan
melanggar aturan-aturan yang sudah ada, aturan-aturan yang membawa pada jalan
kepada pemahaman, kepada hasil/pahala, dan Nibbana. Siapa pun yang melanggar
aturan-aturan ini bukanlah seorang pelaksana sejati, bukanlah seseorang yang
datang dengan tujuan murni untuk berlatih. Apakah yang bisa diharapkan oleh
orang semacam itu untuk dilihat? Biarpun setiap hari ia tidur di dekat saya, ia
tidak melihat saya. Biarpun ia tidur di dekat Sang Buddha, ia tak akan melihat
Sang Buddha, jika ia tidak berlatih.
Jadi mengenali Dhamma atau melihat
Dhamma bergantung pada praktek. Punyailah keyakinan, murnikan batin kalian.
Jika semua bhikkhu di vihara ini menempatkan kesadaran di dalam batin
masing-masing, kita tidak perlu menegur atau memuji siapa pun. Jika kemarahan
atau ketidaksukaan muncul, biarlah hal-hal itu pada batin saja, tetapi amatilah
dengan cermat!
Teruslah mengamati hal-hal itu. Selama
masih ada sesuatu di sana berarti kita masih tetap harus bekerja keras dan
menggerinda tepat di situ. Beberapa orang berkata, "Saya tak dapat
memotongnya, saya tidak mampu melakukannya", jika kita mulai berkata
seperti itu, di sini hanya akan ada segerombolan orang yang tidak berarti,
karena tidak ada seorang pun yang berusaha memotong kekotorannya sendiri.
Kalian harus berusaha. Jika kalian
belum bisa memotongnya, galilah lebih dalam. Galilah kekotoran-kekotoran itu,
ambillah mereka. Galilah mereka keluar walaupun mereka tampak keras dan
bertahan. Dhamma bukanlah sesuatu yang bisa dicapai dengan mengikuti keinginan
kalian. Batin kalian mungkin merupakan satu cara, sedangkan kebenaran adalah
yang lainnya. Kalian harus melihatnya dari bagian muka dan meninjaunya dari
bagian belakang. Itulah sebabnya saya katakan, "semua itu tidak pasti,
semuanya berubah".
Kebenaran dari ketidak-pastian ini,
kebenaran yang singkat dan sederhana, yang secara bersamaan juga sangat
mendalam dan tanpa cacat, cenderung diabaikan oleh orang-orang. Mereka
cenderung melihat segala sesuatu secara berbeda. Janganlah melekat pada
kebaikan, janganlah melekat pada keburukan. Mereka merupakan sifat dunia ini.
Kita berlatih untuk bebas dari dunia ini, jadi bawalah keadaan-keadaan itu pada
suatu akhir. Sang Buddha mengajarkan untuk meletakkan mereka, membuang mereka,
karena mereka hanyalah menimbulkan penderitaan.
(www.kalyanadhammo.net)
(www.kalyanadhammo.net)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar